Vote sebelum membaca😘
.
.
Madrid, Spanyol.
Kota indah dengan sejuta kuliner, hiburan dan gaya. Semua menikmati, terkecuali seorang perempuan yang sibuk menata kehidupan. Hidupnya hancur setelah kematian kedua orangtuanya, menyisakan utang yang mungkin tidak akan mampu dibayarnya meskipun dia bekerja seumur hidup di restauran cepat saji.
Lucia Michelle, nama perempuan berusia 19 tahun yang sudah mandiri sejak kecil. Hingga detik ini, dia tidak bisa berhenti membenci kedua orangtuanya, tidak jarang dirinya mencaci mereka dalam hati maupun doa. Bagaimana tidak, mereka meninggalkan Lucia ketika berusia 5 tahun pada neneknya yang lumpuh, dengan kemiskinan. Mereka melakukan semua itu dengan meninggalkan janji, bahwa mereka akan kembali dengan kekayaan. Nyatanya, hanya tubuh yang pulang dan desakan untuk semakin miskin.
Untuk mengganti semua uang yang dihamburkan kedua orangtuanya, membuat takdir hidup Lucia buntu. Dia terpaksa harus mengabdikan diri, seumur hidup sebagai pelayan, pada pria kaya dimana orangtuanya meminjam uang. Mendapatkan gaji lalu memotong bagian untuk utang.
Dua tahun berada di mansion megah itu membawanya pada hal lain. Sejak dirinya dilahirkan, baru kali ini perempuan pendiam yang memiliki manik biru langit itu merasakan getaran aneh. Disaat tuannya memainkan nada piano, bahkan disaat pria itu melangkah melewatinya, aroma parfumnya berhasil membuat jantung Lucia berdetak kencang. Dalam diamnya, dia menyukai pria itu.
Louis De La Mendoza, pria yang umurnya 14 tahun lebih tua darinya. Mata hitamnya yang tajam, rahangnya yang kuat dan ditumbuhi bulu-bulu halus, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang agak tebal. Dia bagaikan dewa yang tersesat di dunia manusia.
Namun, bukan paras yang membuat Lucia tertarik, tapi jemarinya yang pandai memainkan piano, memberi desakan pada jiwanya untuk melepaskan perasaan itu. Perasaan untuk mengikuti alunan musik.
“Lucia, berhenti melamun,” ucap Derulo --yang tingkatannya lebih tinggi-- mengangetkan.
“Maaf, Derulo.” Lucia mengaktifkan kembali sistem motoriknya, mengepel lantai dapur sebelum beralih untuk mengepel bagian luar mansion.
“Buenos días, Lucia. (Selamat pagi.)”
“Buenos días, Señora, (Selamat pagi, Nyonya.)” menundukan tubuh menyambut kedatangan wanita berambut merah yang menaiki tangga.
Penelope Mentinel, wanita yang berhasil menaklukan tuannya. Satu tahun kebersamaan mereka, mampu membuat Lucia lebih giat memanjatkan doa agar Tuhan menghapuskan perasaannya.
Penelope tertawa. “Aku masih Señorita, belum sah menjadi Señora.”
“Lo siento, Señorita. (Maaf, Nona.)”
“Berhenti menunduk dan mengucapkan itu. Apa Louis sudah bersiap?”
“Mi querido. (Sayangku.)”
“Louis.”
Mata Lucia berpaling melihat sepasang kekasih yang berciuman. Hanya terhitung detik, tapi efeknya mampu membuat hatinya meledak hancur berkeping-keping.
“Adiós, Lucia. (Sampai jumpa.)”
“Adiós, Señorita.”
Belum pernah sekalipun Lucia mendapatkan sebuah kata yang keluar dari mulut tuannya. Dia benar-benar dingin dan tidak tersentuh. Beruntungnya Penelope yang bisa masuk ke dalamnya, menyentuh dan mengisi ruang hati pria dingin itu. Memikirkannya saja membuat perempuan setinggi 150 cm itu mendapatkan kesedihan.
Dia menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat sebelum pergi ke dapur untuk mendapatkan sarapan.
“Apa yang kau masak hari ini, Jule?”
“Tuan menginginkan fritatta, tapi dia tidak menyentuhnya karena Nona Penelope datang. Kita dapat jatah makan besar,” ucap wanita tua itu memberikan Lucia sepiring makanan.
“Gracias, Jule.” Pemilik rambut cokelat muda bergelombang itu berjalan ke belakang mansion, tepat di samping ruang penyimpanan bahan makanan, dia duduk dan melahapnya. Masakan Jule adalah yang terenak kedua setelah neneknya. Ah, mengingat wanita tua yang telah meninggal itu membuatnya tambah sedih.
“Hei, Lucia.”
“Apa itu?”
“Udang, kau mau?”
Lucia menggeleng, bergeser membiarkan Jule duduk di dekatnya. “Kemana kau akan pergi akhir bulan ini?”
“Dikamar, mungkin. Aku sedang berhemat untuk melunasi utang lebih cepat.”
Jule menahan tawa dengan mulut penuh makanan. “Lucia, utangmu lebih dari puluhan juta dollar Amerika, seumur hidup bekerja tidak akan terlunasi.”
“Setidaknya aku membayarkan semua gaji, mencegah jika aku mati muda dan menyisakan utang besar.”
Jule mengangguk-angguk. “Lihatlah aku, umurku 50 dan masih ada 43 tahun untuk melunasi utang. Nikmati gajimu, setidaknya sebagian, atau kau mati tanpa menikmati hidup. Apalagi kita punya libur dua hari dalam sebulan.”
“Aku sudah mati,” gumam Lucia menggigit bagian terakhir makanannya. Dia membisu tanpa menatap Jule yang terlihat kesal dengan jawabannya. “Hari ini aku akan membersihkan kamar atas agar besok bisa istirahat.”
“Bisakah kalian makan dengan cepat? Utang kalian mungkin akan dibawa mati, selelah apapun kalian bekerja tidak akan mengganti uang Tuan Louis. No seas estúpido. (Jangan bodoh.)”
"Sí, Andrean,” ucap keduanya bersamaan.
Andrean, pria berusia 67 tahun yang memiliki tanggung jawab dengan semua keheningan di mansion ini. “Cepat.”
“Aku duluan.” Jule meninggalkan.
Tidak ingin dimarahi oleh Andrean, Lucia menaiki tangga menuju lantai dua.
Mungkin bagi yang mendengar, membersihkan 32 kamar adalah hal sulit. Namun, tidak baginya. Kamar-kamar itu tidak pernah ditempati. Dan selama dua tahun, hanya satu kamar yang belum pernah Lucia masuki. Tentu saja kamar milik tuannya, Louis.
Hanya ada sembilan pelayan disini, termasuk dirinya. Mereka disini karena alasan yang sama, yaitu membayar utang dengan mengabdikan diri. Dan secara tidak langsung, dirinya adalah milik tuannya, dia adalah budaknya.
Satu alasan yang membuat para pelayan tidak berani kabur, Louis De La Mendoza bukan sekedar pria pemilik real estate, club ternama atau perusahaan Mendoza Inc. Louis adalah tuan dari kartel paling berbahaya di Madrid, atau yang sering disebut kartel “dioses la asesinos.” yang artinya dewa para kematian.
Sebuah jiwa pembunuh bersembunyi dibalik wajah tampannya. Dan salah satu kewajiban Lucia adalah diam, seperti yang diajarkan Andrean.
Keributan dari arah luar menarik perhatian Lucia, dia menuruni anak tangga, tangannya membungkam mulut saat melihat dua pria berbadan besar membawa seorang pria tua dengan darah di sekujur tubuhnya. Bagian barat mansion adalah tempat misterius yang tidak pernah tersentuh siapapun. Dan pria tua itu dibawa ke sana.
“Lucia, kembali bekerja sebelum Andrean melihatmu.”
“Noah, pria tua itu sepertinya butuh pertolongan.”
Pria tanpa rambut itu menahan. “Ini bukan kali pertamanya kita melihat hal seperti itu.”
Lucia tetap melihat ke koridor barat, mulutnya terkatup seakan tidak kuasa menahan hasrat.
“Lucia, ayo pergi.”
Suara pintu terbuka kasar mengagetkan keduanya, apalagi dengan kembalinya dua pria besar tadi.
“Que has hecho?! (Apa yang telah kalian perbuat?!)”
“Lo siento, Señor. (Maaf, Tuan,)” ucap salah satunya dengan bergetar.
Tanpa berkata, Louis mengambil senjata dari balik jas dan menembak kaki dua pria besar itu.
Lucia menjerit ketakutan, yang segera direndam oleh pelukan Noah. Pria itu menyeretnya pergi dari sana.
Pemilik mata biru itu menengok, menatap Louis. Tidak ada rasa bersalah di matanya, begitu datar ketika menembakan peluru ketiga dan empat, tepat di tangan kiri dua pria itu.
***
Pemilik bulu mata lentik membuka mata, merasakan kemarau panjang di tenggorokan. Lucia bangkit, keluar kamar untuk memenuhi hasrat menelan air.
Mansion begitu gelap, senyap dan sunyi. Hanya detak jam yang terdengar. Sampai Lucia menangkap sosok pria yang tertidur di meja bar. Mengumpulkan keberanian, dia mendekat.
“Señor, Señor.” Suaranya lembut, pelan dan berharap mampu menembus ruang ketidaksadarannya. Lucia mengguncang pelan tubuhnya “Señor.”
Pria itu merasa terganggu, Louis mendorong Lucia kuat hingga terjatuh, pria itu menegakan tubuhnya, dan menatap tajam perempuan yang kini berdiri menundukan kepala.
“Maaf, Tuan.”
“Ambilkan air putih.”
“Ya?” Mata Lucia membulat. Kaget, tidak percaya pria itu bicara dengannya.
Menatap matanya hitam kelamnya mampu membuat jantungnya kembali berdetak kencang. “Sí, Tuan.” Segera melangkah melaksanakan perintah.
Tangannya bergetar halus, Lucia meletakan segelas air tepat di depan tuannya. Tersenyum kecil saat pria itu meminumnya.
“Kau ingin lagi, Tuan?”
Hening, tidak ada jawaban dari Louis yang nampak lelah dan mengantuk.
“Señor? Aku akan mengisinya ulang.”
Jantung Lucia kembali dibuat bermasalah, Louis tiba-tiba mencekal tangannya, lalu matanya yang terlihat berkabut menelanjanginya. “Señor…..” Lucia mencoba melepaskan.
Namun, Louis malah menarik pemilik bibir tipis itu hingga dada Lucia hampir menyentuh wajah majikannya. Perempuan itu menunduk malu saat jemari Louis menelusup, dan menari di kulit pinggangnya.
“Señor…..” Bibirnya bergetar, kini yang dia rasakan hanyalah ketakutan. Apalagi saat Louis tiba-tiba mencengkram lehernya, lalu mendorongnya hingga terbaring dalam dinginnya lantai.
Pria itu menindih dengan tangan masih mencekik. “You’re slave, my slave,” ucapnya lalu mencium paksa Lucia.
Tidak ada yang bisa Lucia lakukan, mulutnya dibungkam oleh bibir yang mengalirkan saliva bercampur alkohol. Air matanya menetes, tubuhnya yang lemah mencoba menghentikan. Namun, pemberontakan itu dikalahkan oleh gumaman Louis, menyatakan bahwa dia adalah budaknya.
“Callate! (Diamlah!)”
Lucia tersakiti, hatinya hancur berkeping, tubuhnya dirusak oleh pria --yang sialnya-- masih dia sukai hingga detik penyelesaian.
Dia mengambilnya secara paksa, merusak apa yang telah Lucia jaga. Ruangan sunyi menjadi saksi bisu bagaimana keringat bercampur dengan air mata. Dinginnya lantai tidak sebanding dengan dinginnya hati pria bermata hitam itu. Tidak ada rasa kasihan, tidak ada kesempatan Lucia bahkan untuk mengucapkan satu patah kata.
“Shit!” umpatnya.
Lucia rusak, terbaring lemah disamping gelas yang pecah.
***
Pagi itu, Lucia terbangun di kamar asing, ditarik pada kenyataan oleh aroma maskulin. Matanya mengedar, menatap ruangan yang didominasi warna hitam dan abu-abu. Tentu saja dengan gaya modern, dan inilah kamar yang belum pernah Lucia masuki sebelumnya.
Begitu dia membalikan badan, tubuhnya menegang melihat sosok pria yang membelakangi. Menghadap celah gorden, dengan asap yang mengepul di sekitarnya. Dia merokok tanpa menganakan baju.
“Aw,” rintih Lucia begitu dia mendudukan diri, tangannya menahan selimut agar tidak jatuh. Begitu pula untuk menahan rasa takut saat pria itu datang mendekat.
Louis mematikan rokoknya, lalu melemparkan sebuah amplop cokelat. “Itu gajimu.”
Tangan putih itu mengambilnya dengan tangan bergetar, menatap isi amplop yang dipenuhi uang. “Tidak, Señor, ini untuk melunasi utang-utangku.”
“Itu untuk gajimu semalam, nikmatilah.”
Sekan dihantam batu besar, Lucia sesak. Ditindih oleh perkataan yang mengatakan bahwa dirinya adalah pelacur. Lucia menunduk.
“Kau akan pergi ke Pulau Balears, tepatnya di Palma untuk menjaga villa. Aku akan menggajimu seperti biasa, dengan ketentuan yang sama. Satu hal….” Louis mendekat lalu menjambak kuat rambut Lucia, membuat perempuan itu mengadah. “Kau tidak boleh memberitahu apa yang terjadi semalam, mengerti?”
Lucia mengangguk dengan air mata yang mengalir membasahi pipi. “Sí, Señor.”
Tanpa belas kasihan, Louis menarik Lucia untuk berdiri dan menghantamkan kepalanya ke lantai. “Itu untuk kesalahanmu karena mendekatiku semalam.”
Dengan bibirnya yang bergetar, Lucia menjawab, “Sí, Señor…” Meringkuk mencoba menutupi tubuh telanjangnya.
Louis melemparkan kaos tepat di wajah cantik Lucia. Perempuan itu segera memakainya. Mulutnya mungkin bungkam, tapi air matanya terus menetes, yang segera dia hapus secara paksa dan kasar.
Pemilik mata hitam itu terlihat sedang memanggil seseorang lewat telpon. Dan benar saja, sesosok pria datang tidak lama setelahnya.
Louis berkata sambil melangkah ke arah kamar mandi. “Buang sampah ini dari Madrid.”
“Si, Señor,” ucap pria kulit hitam itu menarik paksa Lucia agar bangun.
Louis tidak tahu, bahwa yang dia sakiti bukanlah Lucia saja, bahwa yang dia usir bukanlah Lucia saja. Dia tidak tahu, kalau ada janin yang akan segera terbentuk karena kesalahannya.
----
Love,
Ig : @Alzena2108
Vote sebelum membaca😘
.
.
Madrid, Spanyol.
“Maaf membuatmu menunggu lama.”
Louis tersenyum tipis, menyambut ciuman di pipi kirinya. “Kau sudah selesai?”
Penelope tampak menimang, dia duduk di pangkuan pria itu. Mengusap rahang yang ditumbuhi bulu. “Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.”
“Jadi kau tidak bisa ikut bersamaku ke bar?”
“Aku akan menyusulmu,” bisiknya saat melihat kedatangan seorang pria kembar. “Aku harus mengurus bintang filmku.”
Louis menatap kepergian Penelope. Wanita berambut pendek dengan kulit cokelat eksotis itu tidak memiliki waktu untuknya. Dia mencoba membuat semua orang bahwa menjadi sutradara dapat menyita waktu, tapi sebenarnya Penelope yang selalu mencari pekerjaan dikala waktu luang. Tidak sekali Louis menawarkan pekerjaan yang lebih mudah, seperti diam di salah satu rumahnya.
Porsche hitam itu membelah jalanan Madrid, tidak membiarkan waktu memakannya, ataupun lambaian tangan wanita penghibur yang menginginkan bayaran.
Sebagai penenangan diri, Louis mendatangi De La Lavinda, sebuah kelab malam miliknya. Berada tepat di tengah kota Madrid, menjadikannya klan paling ramai. Apalagi di desain oleh arsitek berkebangsaan Norwegia yang menyajikan gaya modern, dengan DJ yang tengah mendunia. Dibalik itu, Louis menjadikannya untuk tempat transaksi.
“Selamat datang, Tuan.” Penjaga pintu membukakan pintu untuk Louis.
Suara musik memenuhi pendengarannya begitu pintu terbuka, anak manusia bergoyang, meliuk-liukan tubuh mengikuti irama musik. Sebagian dari mereka berpesta dengan alkohol dan ciuman.
“Hola, Señor,” ucap seorang wanita dengan rambut terurai sepinggang mendekat. Dia mengusap dada Louis. “Kau butuh hiburan?”
Louis terkekeh, wanita ini sepertinya orang baru. Dia mencekal tangannya lalu mendorong. Lalu pria yang memakai sweater turtleneck dan dibalut mantel itu berjalan begitu saja.
“Amelia, apa kau baik-baik saja?” Salah satu teman wanitanya membantu berdiri.
“Sial, siapa dia berani menolakku?” Gerutunya hendak menyusul, tapi dicegah oleh temannya.
“Jangan pernah berurusan dengan De La Mendoza, Amelia.”
“Dia mendorongku hingga aku jatuh.”
“Kau tidak tahu siapa dia? Kau bisa saja terbunuh.”
“Memangnya siapa dia? Who is he?!” Teriaknya tidak ingin kalah oleh musik.
Bibirnya mendekat ke telinga Amelia. “Dia adalah pemilik Madrid. Sebagian orang percaya dia adalah pemimpin kartel yang memperjual belikan senjata ilegal. Kau tahu? Dioses la asesinos?”
Amelia nampak terkejut, memandang pria yang kini menaiki lantai dua. Hanya beberapa orang yang diperbolehkan naik, privasi para tamu terhormat begitu terjaga, sampai tidak ada yang tahu aktris atau aktor favorit mereka sedang bersama wanita lain di lantai dua.
“Señor.”
“Norman, senang kau kembali.”
Pria latin itu tersenyum tipis, membukakan pintu untuk Louis. “Dia menunggu anda, Tuan.”
Kakinya melangkah masuk, menatap pria berjas yang sedang membuat minuman, membelakangi dirinya. “Sasha El Digueroz.”
“Louis Mendoza, kau ingin aku buatkan minum?”
“Martini, tanpa zaitun.” Pemilik mata hitam itu duduk dan menerima pesanan. “Kau bawa pesananku?”
Sasha, pria yang tidak memiliki mata kiri akibat tembakan. Selama 20 tahun hidupnya dia menggunakan penutup mata layaknya bajak laut. Dia meneguk minuman langsung dari botolnya. “Ya, di sana.” Menunjuk peti kecil, tepat di samping sofa Louis.
Tangannya yang kekar mengambil, membuka dan memastikan ada banyak peluru di sana. Jemarinya berenang dalam lautan peluru, mengangkatnya satu dan memadukannya pada cahaya. “Bagaimana dengan senjatanya?”
“Akan siap dalam 2 minggu, keinginanmu begitu gila, Louis. Menciptakan senjata tembak dengan kecepatan seperti itu, bukanlah hal yang mudah.”
Louis terkekeh, dia menyalakan rokok. “Aku tahu kau bisa.”
“Jika kau membayarku lebih awal.”
“Kau tahu perjanjian kita, Digueroz.”
Sasha menggeleng, memegang rambut panjangnya yang diikat ke belakang. “Aku akan berkencan besok malam. Kau pasti mengerti karena sekarang kau punya kekasih.”
“Jangan membuatku membicarakan wanitaku, atau matamu yang lain akan berlubang.”
Kalimat itu mampu membuat Sasha terdiam, menelan ludahnya kasar dan menatap Louis yang beranjak mengambil sesuatu dari laci di sudut ruangan. “Ini sebagai permulaan,” ucapnya melemparkan permata biru yang langsung digigig Sasha.
Pria satu mata itu tersenyum mengetahui keasliannya. “Terima kasih, Tuan. Aku tidak akan mengecewakanmu.”
“Ini pertama dan terakhir kalinya aku membayarmu lebih awal.”
“Mengerti, Señor.” Sasha segera keluar dari ruangan itu.
Norman yang berjaga di pintu, segera masuk dan mengamankan puluhan peluru dalam peti. Menggabungkannya dengan temannya yang lain, ada ruang di balik rak anggur. “Kemana kita akan menjual ini, Señor?”
“Kau punya saran?” Louis menyandar, menikmati isapan rokok yang menjadi candunya.
“Anda punya janji?”
“Ya, aku akan memberikannya pada Chicago.”
***
Palma, Kepulauan Balears, Spanyol.
“Sudahlah, Lucia, jangan terlalu keras bekerja. Tidak pernah ada yang memeriksa selama 10 tahun, tempat ini ditetlantarkan.”
Lucia yang tidak terbiasa diam menonton televisi, tidur seharian dan membersihkan villa satu kali dalam seminggu. Apalagi villa terlihat kotor, debu menempel di setiap kaca.
“Lucia…. Duduklah dan sarapan.”
“Setelah selesai,” ucapnya berpindah tempat untuk membersihkan kaca jendela lain. Rani nama teman sesama pelayan, wanita India yang sudah lama berdiam di villa ini. “Makan saja duluan.”
“Sudah aku bilang, tidak akan ada yang datang ke villa tua ini. Lihat di sana, pengantar bahan makanan baru saja datang. Ayoo nikmati semuanya.”
“Bagaimana jika tiba-tiba tamu datang?” Lucia menatap dengan kesal Rani yang berisik, berbeda dengan mansion di Madrid. “Kenapa kau sangat berisik?”
“Karena tidak ada yang mengatur di sini.”
Jujur saja, diam-diam Lucia menyukai keadaan di Madrid yang sunyi daripada berisik dan berhadaoan dengan wanita gemuk seperti Rani. Lucia memilih meninggalkan pekerjaannya, mencuci tangan dan mengambil makanan dari kulkas. “Bukankah kemarin mereka memberikan roti?”
“Aku menghabiskannya semalam,” jawab Rani dengan senyuman memperlihatkan gigi hitamnya. Lucia bergidik aneh setiap melihat itu, Rani menjelaskan bahwa itu didapatkannya karena selalu tidur setelah kekenyangan makan malam, tanpa menggosok gigi.
“Kau akan sepertiku lima tahun kemudian.”
“Tidak!” Lucia tegas. “Aku akan segera pergi.”
“Ke mana? Madrid?” Rani mendekat dan duduk di samping Lucia yang makan sosis. “Ini adalah tempat terbengkalai, pembuangan bagi pelayan bermasalah seperti kita.”
“Apa sebelumnya ada yang lain?”
Rani tersenyum, mendekat membuat Lucia bergeser menjauh.
“Aku senang akhirnya kau banyak bicara sekarang.”
“Rani, menjauhlah. Berikan jarak.”
“Oke, oke.” Dia mengangkat tangannya ke udara agar tidak menyentuh Lucia yang terlihat mual dengan keberadaannya. “Enam tahun lalu Kakek Joshi menjaga villa ini bersamaku sampai akhirnya meninggal.”
“Utangnya terlunasi?”
Rani menggeleng, lalu memasang wajah menakut-nakuti. “Tuan De La Mendoza menjual bagian dalam tubuhnya.”
“Apa?!”
Tawa Rani menghentikan ketakutan Lucia, memukul wanita gemuk itu agar menjauh darinya. “Berhenti bercanda, beri jarak diantara kita!”
“Aku akan berkencan malam ini.” Rani membanggakan diri, merebut remot televisi. Sikap Rani yang seenaknya membuat Lucia mual, dalam artian sesungguhnya.
“Aku mungkin akan menikah dalam waktu dekat.”
“Lalu bagaimana utangmu?” Lana berdecak saat Rani duduk di sampingnya yang sedang makan. Membuat Lucia menyimpan makanannya, menahan mual yang semakin melanda. Bukan hanya sikapnya, tapi bau badannya yang menggila.
“Aku mengencani pria India kaya, dan dia akan membayar sisanya untukku hingga aku bebas.”
“Oke, sekarang mundurlah….” Lucia mendorong Rani pelan, dan segera berpindah tempat. “Karena hanya kita berdua yang ada di sini, mari membuat peraturan. Jangan jorok hanya itu.”
“Kau pikir aku jorok?” Rani membuka mulutnya yang kotor, membuat Lucia tidak tahan hingga dia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan sarapannya. Hidungnya benar-benar sensitif, apalagi Lucia melihat ada pot bunga dengan tanaman busuk di dekat closet, mengakibatkan dorongan untuk mengeluarkan semua isi perut.
***
Ketukan dari arah pintu membuat Lucia menengok, di sana Rani tersenyum memperlihatkan gigi. “Aku sudah mandi dan gosok gigi, juga memakai prngharum ruangan. Boleh aku masuk?”
Lucia tidak memiliki banyak tenaga, dia menggerakan jari memberi isyarat agar masuk. Rani dengan senangnya membawa papper bag McD, mengeluarkan isinya dan menyusunnya di meja kecil samping tempat tidur. “Aku membelikan kentang goreng kesukaanmu.”
“Gracias, kau boleh keluar sekarang.”
Rani merengut, memukul pelan bahu Lucia, dengan gayanya yang manja. “Ayolah, aku sudah bersih. 13 kamar sudah aku bersihkan termasuk kamar utama. Jadi, nikmati akhir pekanmu kali ini.”
Lucia mengangguk, fokus pada kentang goreng dan saus tomat yang dia dapatkan. Mengunyahnya membuat Lucia membayangkan dirinya di luar sana, di restaurant cepat saji menghirup aroma gorengan yang sudah lama tidak dia rasakan. Nikmat mengalir pada tenggorokan, entah karena apa kentang goreng ini terasa sangat lezat. Bahkan Lucia sampai menjilati jemarinya, tidak ingin menyisakan butiran bumbu gurih.
“Kau baik-baik saja, Lucia?”
“Cukup merasa baik,” gumamnya meminum cola dan melanjutkan membuka kentang yang lain. “Ini sangat nikmat.”
“Oke, katakan padaku.”
“Tentang apa?” Lucia melotot ketika Rani hendak duduk di pinggir ranjang, membuat Rani mundur dan memilih membawa kursi rias untuk diduduki.
“Siapa pria yang menghamilimu?”
Lucia terbatuk, wajahnya memerah merasakan minuman itu salah masuk jalan. Hidungnya terasa panas, membuat Lucia memukul Rani akibat kesal. “Apa maksudmu?” Bertanya dengan nada tinggi, jelas tidak suka.
“Kau memiliki perubahan sikap yang drastis. Saat malam, kau sangat baik. Tapi setiap pagi, kau selalu marah, dan muntah. Aku pikir kau hamil.”
Wajah Lucia menegang, napsu makannya hilang. Kentang goreng di tangannya seolah berubah menjadi arang, tidak enak dipandang ataupun dimakan. Mengakibatkannya menatap kosong pada kaca jendela, ingat kembali kejadian mengerikan itu.
Kenapa tidak terpikir ke arah itu? Lucia benar-benar melupakannya. Dia sibuk menyimpulkan bahwa dirinya sakit dan butuh obat.
“Lihat, kau melamun. Aku rasa kau benar-benar hamil, Lucia.”
“Tidak mungkin,” gumamanya memagang perut yang masih rata. Lucia menunduk, mengusapnya pelan berharap di dalam sana tidak ada apapun selain saluran pencernaan. “Dia hanya melakukannya sekali.”
“Tidak perlu berkali-kali untuk menghasilkan anak. Jika kau dan pasanganmu subur, maka akan terjadi.”
Lucia menatap kosong pada Rani, terlihat bingung dan meminta pertolongan apa yang harus dilakukan.
“Maka dari itu, aku memebelikanmu testpack.” Merogoh saku kirinya dan memberikannya pada telapan Lucia. Sedetik setelahnya Lucia menyingkirkan selimut, berjalan cepat ke kamar mandi.
Bertahun-tahun rasanya menunggu kepastian dari benda mati. Test pack itu digenggamnya erat, Lucia memejamkan mata memohon agar semuanya tidak seperti pikirannya. Dan ketika matanya terbuka, tangan Lucia bergetar, dia melemparkan benda itu dengan penuh kekecewaan, ketakutan. Lucia menangis meraung, menarik perhatian Rani.
Wanita berdarah India itu mengambil testpack yang tergrletak di lantai kamar mandi, dia sama terkejutnya dengan Lucia. Menunjukan dua garis pada Lucia yang menangis. “Kau hamil, Lucia.”
---
Love,
Ig : @Alzena2108
Vote sebelum membaca😘😘
.
.
5 years later….
Madrid, Spanyol.
Tidak ada yang bisa menghancurkan keterdiaman Louis atau memutuskan tatapan hampanya. Tidak ada titik penglihatan yang menarik perhatian, selain wanita yang terbaring lemah. Louis mencoba menyangkal intusi tajamnya, tentang apa yang akan terjadi. Kali ini, dia tidak mempercayai.
Kausalitas yang akan dihadapi masih dia bentengi, mengelak menerima kenyataan.
Usapan lembut di pipi Louis menyadarkan pria itu, dia tersenyum kecil melihat wanita yang terbaring di ranjang. “Bercukurlah, ini sudah melebihi batas. Aku takkan mati jika ditinggalkan ke kamar mandi.”
Louis terkekeh, dia menggenggam tangan Penelope dan menciumnya. “Berhenti bicara seperti itu.”
“Dokter bilang waktuku hanya beberapa hari.”
Louis menggeleng, enggan mendengar itu. “Aku akan membunuh dokter itu.” Matanya terpejam, membiarkan Penelope mengusap rambutnya penuh kasih sayang.
“Berhenti mengotori tanganmu, hiduplah dalam kedamaian.”
“Kau kedamainku.”
Penelope tersenyum, bergerak memaksakan diri untuk bangun.
“Tetaplah di tempat tidurmu.”
“Aku ingin keluar, melihat cahaya.”
Louis menggeleng, menahan bahu Penelope agar tetap terbaring. Wanita dengan mata lelahnya menggenggam Louis, memberikannya tatapan penuh keinginin. “Please, aku ingin mati tanpa alat ini.”
Sekuat tenaga pria itu menahan ait mata. Louis mengangguk, dengan wajah sedih, dia meminta perawat menyiapkan kursi roda.
Tiga tahun Penelope mengidap kanker paru-paru, dan Louis baru mengetahuinya satu tahun yang lalu, dengan keadaannya yang sudah parah. Bukan hal yang mudah untuk menyingkirkan penyakit itu, kanker perlahan menyebar dan siap membunuh inangnya.
Louis telah melakukan segalanya untuk kesembuhan kekasih tercintanya. Wanita tangguh yang berdiri sendiri, tidak sekalipun Penelope meminta sesuatu pada Louis. Dibalik tampilannya yang elegan, tersimpan hati lembut yang mampu menyentuhnya.
Penelope memejamkan mata begitu sinar matahari menembus kulit, memberi kehangatan yang hampir dia lupakan. Ketika Louis menggenggam tangannya, Penelope menatap pria yang duduk di sampingnya.
“Kita tidak bisa berlama-lama di sini, Sayang.”
Penelope tersenyum kecil. “Kau ingat pertama kali kita bertemu? Dibawah hujan sinar matahari sore?”
Louis mengangguk, memori indah yang mungkin tidak akan pernah dia lupakan.
“Saat itu kau begitu dingin, tidak menjawab pertanyaanku.”
Tersenyum, pria itu mengingat bagaimana malaikat cantik yang menyukai anak-anak. Tersenyum pada mereka.
Penelope membuka ciput yang menutupi kepala, memperlihatkan kepalanya yang tidak ditumbuhi rambut sehelaipun. Cahaya matahari yang menerpa menghangatinya lebih dalam lagi. Semua pengobatan kanker yang menyebabkan rambutnya rontok, berat badannya turun. Tidak ada lagi rambut merah yang sering dibanggakannya. “Apa aku cantik?”
“Sangat.”
Jawaban yang pasti disukai semua wanita, termasuk Penelope dengan tubuhnya yang telah rusak oleh penyakit. “Aku ingin tidur, Louis.”
“Tidak.” Pria itu menggeleng dengan air mata mengenang.
Penelope tidak bisa menahannya lebih lama, rasa sakit itu menggerogotinya. Dan semakin pedih saat jiwanya ikut terluka, tidak kuasa melihat Louis yang rapuh. “Jangan menangis untukku, aku bukan siapa-siapa untukmu.”
Menggeleng kuat, Louis menggenggam tangannya lebih kuat.
“Maaf aku selalu menolak lamaranmu. Aku tidak ingin mengecewakanmu dengan tubuhku yang sakit.”
Mengatur napas yang membuat Louis lebih tenang, dia masih belum membiarkan intuisi tajamnya mengambil alih. “Biarkan aku duduk di pangkuanmu.”
Permintaan itu segera dilakukan, Louis membawa Penelope ke pangkuan, memeluknya erat dengan ciuman yang menghangatkan.
“Aku akan tidur sebentar, Louis….,” ucapnya perlahan memejamkan mata.
Bersamaan dengan air mata Louis yang jatuh membasahi Penelope, wanita itu menghembuskan napas terakhirnya. Meninggalkan tubuhnya dengan seorang pria yang dicintai.
Alam seakan ikut bersedih, rintikan hujan turun ke bumi, membasahi mansion yang gagah. Awan hitam datang, mnyingkirkan sinar yang menghilang mengantarkan jiwa Penelope pada kedamaian.
Tangisan alam menjadi saksi bisu, bahwa kanker telah berhasil membunuh inangnya, bahwa kekasih tercinta Louis telah pergi untuk selamanya.
***
“Kita harus pergi, Señor.”
Norman, pria yang setia menunggu tuannya selesai melepaskan rindu. Dia melindungi Louis dengan payung saat rintikan hujan mulai bertambah volume, mengkibatkan aroma tanah kering tercium. Debu kemarau menghilang digantikan oleh air jernih.
Tatapan mata hitam Louis masih terpaku pada kuburan dengan patung malaikat di atasnya. Baginya, Penelope adalah malaikat yang Tuhan kirimkan. Memberinya ketenangan dan juga kedamaian. Sayang, kembalinya Penelope pada pencipta-Nya membawa Louis pada jalan yang lebih gelap.
“Señor?”
Louis mengambil payung yang dipegangi Norman. Tanpa berkata, dia berjalan pergi menuju mobil.
“Ke mana kita pergi, Señor?”
“Pinggiran kota.”
Dua kata mampu membuat Norman mengerti. Dari kaca spion, dia dapat melihat Louis yang terlihat berat meninggalkan pemakaman. Setelah keluar melewati gerbang pemakaman, wajahnya kembali datar.
Membutuhkan waktu 20 menit untuk menunu tempat yang dimaksud. Pria berjas itu turun begiti Norman membukakan pintu untuknya. Daerah yang kumuh, debu bertebaran dan orang-orang yang kumal menyambut penglihatannya.
Mereka tinggal di belakang gedung-gedung besar, bergandengan dengan sampah menjijikan. Dibalik kekumuhan, ada potensi besar yang dilihat Louis, seperti perdagangan senjata yang senyap dan juga aman.
“Señor?”
“Ricco.”
Salah satu pria yang sedang duduk berkumpul memainkan kartu segera berdiri, menjabat tangan Louis dan mempersilahkannya masuk ke rumah. “Kehormatan kau datang ke mari.”
“Bagaimana ?”
Ricco, pria yang penuh dengan tatto dan tindik di wajah membuka satu ruangan di rumah.
“Kopi?”
“Tidak.”
Ricco segera duduk setelah tawarannya di tolak, pria yang hanya memakai kaos kutang itu menatap mata hitam tuannya, seakan siap menerima perintah ataupun hukuman. “Señor?”
“Kau menangkapnya?” Louis mengambil satu biji anggur di meja, memuntahkannya kembali begitu merasakan itu masam.
“Dia ada di halaman belakang, Señor. Dan ini adalah bukti perbuatannya.” Ricco menunjukan ponsel, menayangkan sebuah rekaman buram CCTV dimana ada dua pria yang sedang melakukan transaksi.
Ricco mengambil sesuatu dari laci. “Ini buku tabungannya, dia melakukannya selama dua bulan.”
“Dan kenapa kau tidak tahu itu?!”
Sesak yang dirasakannya, Ricco terkejut dengan serangan tiba-tiba. Louis mencekiknya dengan tangan kiri, dengan begitu kuat. “I-- i just.” Ricco terbatuk begitu Louis melepaskan. Dia segera berdiri, memegang lehernya yang masih menyisakan sesak dan sakit.
Berjalan cepat saat Louis menuju pintu. “Silahkan.” Membukakan pintu untuk majikannya.
Mereka berjalan ke arah belakang rumah, di mana sekelilingnya dibentengi bebatuan besar yang tinggi. Di dindingnya terdapat seorang pria berlumuran darah, kakinya diikat di benteng, lemas seakan hampir kehabisan napas. Dia mengadah dengan mata lelahnya, menatap Louis yang berdiri di depannya. Pria itu meludahi Louis lalu tertawa, membuat Ricco murka dan memberikan pukulan. “Kau akan mati,” ucapnya melepaskan cengkraman pada pipi.
Seakan tidak takut ajal menjemput, pria itu tertawa lebih keras sebelum akhirnya menarik napas dalam. “Kau akan mati oleh klanmu sendiri, De La Mendoza.”
“Jaga ucapanmu!”
Louis mengisyaratkan Ricco untuk tidak memukulnya. Sepasang mata elang itu tidak berpaling dari mangsanya, Louis berjongkok, menatap lebih jelas pria yang telah mengkhianatinya. “Kau menikmati hasil penjualanmu?”
Pria berlumuran darah tertawa. “Sebenarnya masih kurang, aku berencana manjual informasi kepada kepolisian tentang klanmu.”
Louis tersenyum miring. “Sayangnya kau akan mati sebelum melakukannya.”
“Mereka akan tahu siapa kau sebenarnya, kau akan dipenjara selama-lamanya!”
“Aku mempercayakan padamu senjata-senjata itu, apa lagi yang kau inginkan?” Louis menatap dengan tajamnya.
“Aku butuh uang lebih banyak! Aku ingin setara dengan mereka yang menyepelekan, kau tidak tahu bagaimana rasanya diinjak.”
Seketika Louis mencengkram wajah pria itu dengan kuat, rahang Louis mengeras menahan amarah. “Aku dibesarkan di tempat sampah. Butuh dua tahun untukku membunuh tiga pemimpin kartel sekaligus dan menyatukannya menjadi klan, kau tahu maksudnya? Nikmati prosesnya.” Louis melepaskan cengkraman kuatnya, dia berdiri. “Kau tahu apa yang harus dilakukan, Ricco.”
“Sí, Señor.”
Norman melihat dari ambang pintu, bagaimana Louis kembali pada sisi gelapnya. Tanpa ampun, tanpa nurani, hatinya segelap mata elangnya.
Kematian Penelope berdampak sangat buruk. Louis lebih banyak menghabiskan waktu mengurusi klan yang sempat dia tinggalkan, memproduksi lebih banyak senjata dan mengedarkannya.
Bukan kekayaan yang dia cari, melainkan kesenangan hingga bisa melupakan kepedihan. Tanpa ekspresi, jiwanya seakan mati mengikuti kekasihnya.
***
Palma, Kepulauan Balears, Spanyol.
Angin musim panas menerpa kulit putih Lucia, matanya terpejam, merasakan hujan sinar matahari memanggangnya. Hangat, perasaan yang dia dambakan setelah sekian lama.
Dari atap, Lucia dapat melihat laut biru yang berpadu dengan langit cerah. Indah hingga dia ingin berlama-lama di sana.
Musim panas datang. Ternyata, begitu banyak cerita mistis tentang villa ini hingga tidak ada peminat. Lebih banyak hotel murah yang ditawarkan kota Palma, yang membuat villa terlupakan. Bagi Lucia, ini adalah keuntungan bisa menikmati waktu untuk diri sendiri.
Villa ini terletak di tengah hutan Bosque de Bellver. Kabarnya, Louis sengaja membeli sebagian tanah pemerintah untuk membangun ini.
Dari atap, Lucia juga bisa melihat jalan yang kini mulai ramai, dipenuhi pengunjung yang akan menuju Kastel Bellver.
Merasa cukup bersantai, Lucia turun ke lantai dasar. Dia tersenyun menggoda melihat Rani yang tengah menelpon sambil cekikikan.
Ketika telponnya ditutup, Lucia mendekat. “Berapa lama lagi?”
Rani menutup wajahnya malu, dia berbisik, “Majnu mendapatkan pinjaman dari pamannya.”
Raut wajah Lucia berubah sedih seketika. “Jadi kau benar-benar akan pergi?”
“Oh ayolah!” Wanita itu mengibaskan tangan. “Aku akan diam di sini meskipun sudah bebas, kau tahu Majnu hanya pulang setiap akhir bulan.”
“Lalu bagaimana dengan pernikahan?” Lucia mengambil sebotol bir dari kulkas, meminum dan merasakan ini adalah hal yang pas dalam cuaca panas.
“Aku pikir butuh pengumpulan dana lagi untuk itu.”
“Maksudku, Rani…” Lucia duduk di sofa, tepat di samping Rani. “Kau akan kembali ke India?”
Wanita itu terdiam cukup lama, tidak terpikir untuknya pulang ke tempat keluarganya. Mungkin tidak pantas disebut keluarga, mereka yang memberikan Rani untuk bekerja menebus utang kakeknya.
“Maaf membuatmu sedih, Rani.” Lucia menggenggam tangannya. “Kau mau bir?” Dia menawarkan miliknya.
Rani menggeleng, raut wajahnya kembali ceria saat telpon kembali berbunyi. Dia bergegas mengangkat. “Majnu?”
Dan Lagi, Lucia melihat perubahan wajah Rani. Dia menegang, seakan menahan ketakutan. Lucia mencoba bertanya dengan bahasa tubuhnya, tapi Rani terlalu larut dalam ketakutannya.
“Ini telpon untukmu, Lucia.”
“Kenapa kau tidak bilang?” Lucia mendekat dan mengambil alih.
Rani berbisik, “Aku akan memeriksanya.” Sebelum melangkah pergi dari sana.
“Ini Lucia Michelle.”
‘Lucia, ini Andrean. Kau akan kembali ke Madrid, seseorang akan menjemputmu besok pagi. Persiapkan dirimu.’
Bir yang dipegang Lucia jatuh seketika, dia memegang telpon dengan kedua tangan. “A-apa?”
‘Kau mendengarku, Lucia.’
“Tunggu! Tunggu! Andrean?!” Lucia mencoba menghubungi kembali, tapi tidak bisa. Dia membanting kuat telpon itu dengan air mata yang hampir menetes.
Dan tidak bisa dihentikan, air mata itu jatuh saat Rani keluar membawa anak dalam gendongannya.
“Mum….” anak berusia empat tahun itu merentangkan tangan meminta Lucia menggendong.
“Aku tidak bisa melakukannya, Rani,” ucap Lucia menangis sambil memeluk anak bermata hitam itu.
Rani mencoba menenangkan, dia duduk di samping Lucia dan mengusap punggungnya. “Aku akan menjaganya, percayalah padakku.”
Lucia menatap mata hitam itu, mata yang selalu mengingatkannya pada kejadian bertahun silam. Tangan mungil itu menghapus air mata ibunya dengan tatapan bingung, membuat Lucia menangis semakin deras.
Lima tahun ketenangan, yang dia pikir akan dilupakan, nyatanya Lucia harus kembali ke sana. Meninggalkan buah hati yang sangat dia sayangi, yang sangat dia jaga dari dunia luar yang kejam. Tidak terbayang untuknya meninggalkan anaknya seorang diri, tanpa dirinya yang membentengi.
“That’s cry, Mum?” Bibir kecilnya berbicara.
Lucia menggeleng, merangkup pipi putih kemerahan putrinya. Mencium keningnya lama sebelum mengusap rambut hitamnya perlahan. “I'll leave for a moment.”
“Where? Meet daddy?”
Rani menarik napasnya dalam, dia beranjak pergi tidak dapat menahan tangis.
Anggukan Lucia membuat senyuman terpatri di wajah kecilnya. “Menurut apa kata Rani. Mum akan kembali secepat mungkin. Mengerti, Louisa?”
Kepalanya mengangguk kuat. “Sí, Mumy.”
---
Love,
ig : @Alzena2108
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!