Duarrr!
Duaaar!
Jdaarrr!
Kilatan petir berperang di angkasa, menggetarkan seisi penghuni jagat bumi, kilaunya seperti ingin membelah langit. Bumi saat itu menjadi gelap tertutup oleh awan tebal bergumpal seperti akan segera menumpahkan air hujan tepat di tempat dia berpijak.
Sepasang pria dan wanita tengah berdiri tegap dihadapan wanita malang yang tengah tersungkur di tanah. Tangan mereka merekat erat pada pinggul, dengan bola mata membelalak seakan hendak melompat dari kelopak mereka. Raut penuh kekejian itu mereka lontarkan pada wanita malang yang mulai beringsut memegang kaki mereka.
"Saya mohon, Juragan. Berikan saya pinjaman lagi. Bahkan hari ini saya belum makan, kasihanilah saya, Juragan. Hiks hiks!"
"Apa, mengasihanimu? Kalau semua orang pemalas sepertimu aku kasihani, bisa-bisa aku bangkrut!" makinya, mengibas lengan wanita yang menempel pada betisnya.
Wanita itu tersungkur untuk ke sekian kali.
"Tuan, saya mohon." Memelas.
"Cih!" Berseringai. "Tak sudi aku mengasihanimu!"
Tawa mereka mendengung dalam indera wanita malang itu. Keduanya sampai tergoyang bahu saat menertawai wanita itu.
Bras!
Guyuran mulai menggerayangi bumi, hanya dalam hitungan detik wanita malang sudah basah kuyup, sementara tawa kedua orang tadi semakin memudar seiring derasnya air hujan.
"Dasar orang miskin, bisanya menyusahkan saja!" ucap pasangan itu pada istrinya.
"Sudahlah, Pah. Kita tinggalkan saja dia."
"Iya, Mah," sahutnya. "Heh, Orang Miskin! Pergi sana cari tempat teduh di lain. Kami gak sudi mencium aroma badanmu yang bau busuk itu!"
"Iya, pergi sana! Hush!"
Braap!
Mereka menutup gerbang, meninggalkan wanita yang mulai terisak di bawah guyuran alam. Dengan haru, wanita itu mulai mengangkat wajahnya, menengadah ke langit.
"Kenapa!!" Berteriak.
"Kenapa kau tidak adil padaku! Kenapa kau buat aku sengsara! Agghhh!" Kembali menunduk. Air mata wanita itu mengalir deras seiring derasnya hujan.
"Lihat saja kau, Tuan Takur! Aku akan membalasmu! Aku pastikan aku akan membalasmu! Lihat saja. Lihat saja!"
6 bulan kemudian ....
Rumah mewah bak kerajaan istana terlihat menonjol di sebuah desa pemukiman warga. Bagaimana tidak, hanya bangunan itu yang terlihat begitu megah di antara bangunan lainnya. Semua warga tunduk saat berpapasan dengan sang pemilik bangunan mewah milik seorang wanita janda beranak 2, wanita yang kini selalu memamerkan perhiasan saat bepergian, menggunakan mobil yang mana sangat jarang penduduk di sana memilikinya.
"Ada Teh Bainah! Ada Teh Bainah!" bisik para warga saat Bainah pemilik rumah megah di desa turun dari mobilnya, memasuki kawasan pasar tradisional. Ia sudah terbiasa dengan sikap para warga yang selalu membicarakannya di manapun ia berada. Dengan angkuhnya meletakkan sebuah tas hermes pada pergelangan tangan. Langkahnya gemulai menapaki jalan yang kian meluas saat ia melintas. Para warga sigap menyingkir untuk memberinya jalan.
Mata para pedagang langsung berbinar, senyum mereka merekah melihat Bainah, sambutan hangat langsung merangkul Bainah.
"Hari ini, mau beli sayur apa, Teh Bainah?" Senyum lebar. Bainah membalasnya dengan lirikan singkat.
"Bungkusin 1 menu yang biasa di masak sama orang kaya!"
"Pffhh!" Para pembeli lain tampak menertawainya, sambil berbisik-bisik.
"Biasa, OKB, orang kaya baru, ya gitu deh sikapnya, norak-norak gimana gitu hihihi!"
Bainah melirik mereka, lalu mulai mengeluarkan dompet yang berisikan puluhan lembar uang berwarna merah dan biru, membuat orang-orang terbelalak dengan isi dompetnya.
"Wah, banyak betul uangnya, Teh!" Sumeringah.
"Oh, tentu dong! Aku kan orang kaya! Gak kaya ibu-ibu di sana, sok belaga kaya, tapi setiap beli suka nawar, cih!" sindirnya.
"Iya, Teteh mah debes pokoknya, jadi ini saya bungkusin menu sop tulang iga sapi aja mau gak, Teh?"
"Sup iga ya, boleh juga! Sekalian menu bakso juga ya, yang banyak, eu tapi bukan buat stok saya loh, tapi buat bagiin ke tetangga yang suka gosip!"
Glek! Wanita-wanita tadi terlihat menenggak saliva. Antara malu dan kesal karena tak mampu membantah sindiran Bainah.
"Oh, oke, Teh!" Si ibu penjual tadi mengacungkan jempol, lalu mulai membungkus pesanan Bainah dengan wajah penuh gembira.
Bip bop!
Notif pesan masuk dalam ponsel yang berasal dari dalam tas milik Bainah menyentaknya. Segera ia mengecek isi pesan itu.
Tertera nama Mbah sebagai pengirim pesan. Mata Bainah sedikit menyalak.
Ada apa ini, mengapa Mbah mengirimiku sepagi ini? selidiknya.
Bainah, apa yang kamu pikirkan, kamu sudah melewatkan ritual tumbal tadi malam. Nyai Nilam marah besar padaku gara-gara kamu yang melewatkan acara ritual! Cepat laksanakan ritual malam ini, dan jangan coba-coba untuk melewatkannya lagi
Pesan itu berakhir dengan emotikon merah.
Gawat! Aku melupakan ritual tadi malam, aku harus segera pulang untuk mempersiapkan segalanya lebih awal!
Buru-buru Bainah memasukkan ponselnya ke dalam tas, dan langsung berlari kecil untuk kembali menuju mobil yang ia parkir di bahu jalan.
"Teh, sayurnya gimana ini, Teh!" teriak si bule sayur.
"Simpan aja dulu, Bule. Besok pagi aku tebus!" balasnya yang tak lagi menoleh.
"Cih, gitu ngakunya orang kaya!"
"Hahahha, paling juga kekayaannya hasil ngutang lagi."
"Hahahhaha!"
Kembali para wanita iri tadi menggosipinya, kali ini nada bicara mereka lebih terang-terangan, karena Bainah sudah tidak mungkin untuk mendengar hinaan mereka.
Bersambung ....
Next ...
Flashback 6 bulan yang lalu ....
Happy reading 🤗
Flasback 1 bulan lalu ....
Happy Reading 🤗
"Hahahaha!" Tawa kedua pasutri, Juragan Tanah sang rentenir yang sering dijuluki Tuan Takur tadi menggema dalam bilik kamar lantai 2 kala Bainah melintas.
Bainah dapat mendengar dengan jelas meski sudah beranjak sejauh 50 meter dari rumah sang juragan.
Air matanya masih setia turun beriringan di bawah kelopak mata, seiring dengan curah hujan yang juga lekat seakan tak ingin pergi.
Mulai berjalan gontai, dengan raga yang seakan remuk redam setelah seharian perut tipisnya belum menyentuh makanan sedikitpun.
Rumah-rumah dari penduduk desa kala itu terlihat sepi. Semua pintu tertutup rapat, mereka tak ingin bias guyuran masuk ke dalam rumah. Pandangan Bainah menyapu sekeliking, kini nampak sebuah rumah yang terbuka pada bagian jendela, lampu kekuningan terlihat memberi kesan hangat dari luar. Dalam hati ia menjerit, berandai bisa berada di dalam sana barang sebentar hanya sampai hujan reda.
Ingin mengetuk pintu, Bainah ragu kalau pemilik rumah itu akan mengusirnya seperti tuan takur tadi yang menendangnya bagai hewan pengganggu, tapi keadaan semakin memaksa, ia terpaksa pergi dan mencoba meyakini bahwa tidak ada salahnya untuk mencoba.
Tok!
Tok!
Tok!
"Permisi?"
Hening, hujan masih mengalahkan panggilan Bainah untuk si pemilik rumah.
"Permisi!" Kali ini Bainah mengeraskan suaranya. "Semoga mereka membukakan pintu."
Kriieet!
Suara dari daun pintu yang sedikit lapuk itu berderit saat seseorang membukanya dari dalam. Kini, tampak jelas di hadapan Bainah seorang wanita berumur 30-an tahun, dengan mimik heran bercampur kesal ia menatap Bainah. "Loh, Bainah, ada apa, kenapa kamu mengunjungiku di hari hujan begini, jangan bilang kalau ke sini karena mau meminta pinjaman lagi, iya, begitu?"
"Bu-bukan begitu Cek Narti, a-aku cu-"
"Halah! Gak usah banyak alasan, kamu ke sini karena mau ngutang lagi kan? Maaf ya, gak bisa, hutangmu yang kemarin aja belum di bayar-bayar!"
"Ta-tapi, Cek-"
"Halah!" Narti mengibas tangannya dan nyaris mengenai wajah Bainah. "Gak usah banyak alasan, Nah. Aku tahu kok, kamu pasti mau cerita panjang lebar dulu kan! Aku tahu cara mainmu, sudahlah!"
Bainah tertunduk pasrah. Heran saja, bahkan matanya yang merah bengkakpun sudah tak cukup untuk membuat simpati wanita yang berdiri di hadapannya itu.
"Makanya, Bainah, kalau milih suami itu yang bener dong, jangan cuma karena ganteng terus kamu langsung mau dirayu, diajak nikah Kalau sudah begini, kamu yang sengsara 'kan? Suamimu pinjam uang sana sini, mana pake nama dan identitasmu lagi, giliran uang terkumpul dianya kabur ninggalin kamu," terangnya. "Pokoknya aku gak mau tahu, ya, utang yang kemarin harus di bayar dulu, sesuai janji yang ditandatangani suamimu, kalau lewat tempo dan kamu belum membayarnya, ingat aja, kamu bakal berurusan dengan pihak berwajib, paham kamu?"
"Iya, Cek. Aku paham." Isaknya pilu.
"Ya sudah. Terus sekarang kamu mau apa? Mau pulang, hari masih hujan nih?"
"Kalau boleh sih, aku cuma mau numpang berteduh di dalam, Cek!"
Kening Narti mengkerut mendengarnya. "Ehh, enak aja di dalam, nanti kalau kamu nyolong barang-barang aku gimana?"
Deg!
Bainah menatapnya pilu. Dalam hati ia terhenyak, bagaimana bisa ada manusia yang masih berpikir dirinya memanfaatkan keadaan? Padahal ia benar-benar butuh tempat teduh.
"Udah, jangan tatap aku kayak gitu."
Bainah kembali tertunduk lesu.
"Kamu di luar saja sampai hujan reda! Makanya, kalau sudah tahu hari mendung jangan keluyuran!" Narti kembali masuk ke dalam, memegang daun pintu untuk merapatkannya kembali.
"Tunggu, Cek!" Mendadak Bainah menahannya."
"Ih, apalagi sih, Bainah?"
"Cek, kalau boleh, beri aku sepiring nasi, aku sangat lapar."
Melihat itu, Narti hanya bisa menghela kasar. "Kamu itu ya, merepotkan sekali, cocok sekali dengan suamimu, ck ck ck!" Ia berdecak seraya menggeleng. "Suami tukang tipu, istrinya tukang minta-minta, ck ck ck." Lagi, ia mengulangnya. "Tunggulah di sini, aku akan ambilkan sepiring nasi!" ucapnya yang kemudian melenggang ke dalam.
Selang beberapa saat ia keluar, membawa sebuah piring berisikan nasi putih dengan lauk 1 potong tempe goreng. Juga satu buah selendang untuk menutupi tubuh Bainah agar tidak kedinginan.
"Pakailah selendang itu untuk menghangatkan tubuhmu. Jangan salah sangka, aku berbuat baik padamu hanya agar kamu bisa menemukan suamimu, atau setidaknya kamu berjuang melunasi hutang suamimu!" tukasnya.
"Terimakasih, Cek Nar-"
"Eit tunggu dulu." Ia menariknya lagi. "Yang ini tidak gratis, akan aku hitung sebagai tambahan hutangmu, paham?"
"Ah, iya, Cek Narti. Akan aku lunasi semua secepatnya."
"Baguslah kalau kamu berniat melunasinya, aku do'akan semoga kamu berhasil mendapatkan banyak uang, jadi janjimu gak hanya sekadar di mulut saja."
Cekat sekali tenggorokan Bainah saat mendengar penuturan Narti. Sungguh manusia yang tak punya hati. Dengan air mata pilu ia menelan lahap makanan di dalam piring tadi, sedang Narti sudah masuk ke rumah dan langsung menguncinya dari dalam.
Bersambung ....
Kering rasa tenggorokan Bainah karena harus menelan nasi putih bercampur sepotong tempe goreng, dengan sedikit rasa asin yang didapat dari tetesan air mata Bainah. Namun, yang membuat itu terasa lebih cekat bukan hanya karena menu yang diberikan seadanya, tapi juga karena semua itu terhitung sebagai hutang.
"Apa yang harus kulakukan?" Ia menjerit dalam hati.
Kedua buah hatinya sudah ia kirim kepada orangtuanya, ia benar-benar hancur saat ini, tapi lebih hancur lagi rasanya jika kedua anaknya harus ikut menderita dengannya.
Usai menghabiskan nasi dan lauk tempe, Bainah bangkit meninggalkan untuk rumah Narti, karena kini hujan hanya tinggal rintik saja. Dia mau pamit, tapi sepertinya pemilik rumh di situ sudah tak mungkin mau mendengar panggilannya untuk kedua kali.
Di bawah rintik dari awan yang mulai gelap, karena surya telah usai menjalani tugasnya untuk menerangi bumi hari itu, Bainah menapaki jalan yang sedikit berair paska hujan. Dia menunduk, hanya menatap jalanan tanpa berani meluruskan pandangan ke depan.
"Apalah aku, hanya makhluk hina, tidak ada orang yang peduli, bahkan ditipu oleh laki-laki. Aku memang bodoh, tak berguna. Apa lebih baik mati saja?" Dia sampai berpikir bahwa mati mungkin lebih baik baginya dan sebagai jalan untuk keluar dari masalah hidup.
Pikiran Bainah berlarian tak karuan, berbagai macam bayangan tentang cara bunuh diri terampuh melintas di kepalanya, hingga dia menemukan 1 cara yang mungkin efektif.
"Ya, benar. Aku akan terjun dari jurang saja. Begitu lebih baik, tidak akan ada yang menemukanku," pikirnya.
Bainah mulai menyusuri jalan setapak dengan langkah cepat. Di depan ada perempatan, salah satunya menuju hutan terlarang, Bainah berhenti sejenak untuk mengambil napas dalam, lalu dengan mantap memilih jalan menuju hutan terlarang.
Hari semakin gelap, suara dari burung hantu mulai terdengar, juga sesekali muncul suara desauan dan desisan seperti ular, tapi Bainah tak melihat adanya wujud mereka.
Rasa takut mulai menggerayungi pikiran, dia menyapu lengannya untuk mengusir hawa dingin yang berhasil membuat bulu kuduk-nya meremang.
Selendang dari Narti masih setia ditautkan pada bahu, setidaknya mengurangi sedikit dari hawa dingin, walau begitu masih saja hawanya terasa seperti menembus tulang sumsum.
Akk! Akk!
Suara sang penunggu malam di area hutan terlarang mulai terdengar nyata. Bainah menatap pohon-pohon yang menjulang di sana, dahan itu bergoyang-goyang saat tertiup angin.
Bayangan hantu menakutkan semakin menghantui pikiran, tapi keputusannya untuk mengakhiri hidup dengan melompat ke jurang sudah sangat bulat.
Akk! Akk!
Kembali suara itu muncul, Bainah bisa melihat wujudnya yang bertengger pada sebatang pohon. Matanya menyalak menatap tajam pada Bainah, membuat wanita itu bergidik ngeri, sampai dia tak sadar bahwa langkahnya semakin melaju kencang.
Anehnya, Bainah mendengar ada suara makhluk yang mengejarnya dari belakang, membuatnya semakin mempercepat langkah.
Bainah tak lagi memperhatikan jalan, dia menabrak semua ranting dan rumput di sana, meski sebagian berduri dan nyaris menggores betis, Bainah tetap berlari. Sampai tanpa sengaja, betis Bainah tersandung akar pohon yang melintang. Bainah tersungkur ke tanah, tapi kedua tangannya berhasil menopang sehingga badannya tidak menghantam rumput.
Saat itu juga Bainah menoleh, dan betapa terkejutnya Bainah mendapati sosok dengan jas yang menutup tubuhnya hingga kepala, persis seperti gambaran malaikat pencabut nyawa yang sering dia lihat di komik.
Sosok itu mengulurkan tangan padanya.
"Tunggu, apa mungkin, makhluk ini adalah malaikat yang akan mencabut nyawaku?" pikir Bainah yang mulai gemetar ketakutan.
"Kemari!" ujar makhluk itu.
"Tidaaak! Bainah menjerit.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!