NovelToon NovelToon

Alando Dan Silvi

1. Pulau Senja part 1

SMA Candrawan merupakan salah satu sekolah swasta terfavorit di kota Andolo. Sekolah ini mampu mengalahkan sekolah-sekolah negeri elit di kota tersebut. SMA ini menduduki peringkat 1 sekolah terbaik di kota Andolo selama 20 tahun lamanya dan mampu bersaing dengan SMA di kota-kota besar lainnya. Di SMA Candrawan terdapat sebuah geng yang di kenal dengan sebutan geng Senja dengan Beranggotakan 3 siswa populer.

Anggota ketiga adalah Tono Renald. Dia adalah pria tampan yang merupakan orang kaya kedua setelah kekayaan Candrawan. Dia juga termasuk urutun kedua siswa tercerdas di sekolah. Hanya saja pria ini sedikit gemulai.

Anggota kedua geng Senja adalah Lania Candrawan. Dari namanya di ketahui dia adalah putri dari pemilik sekolah. Dia adalah gadis feminim yang sangat cantik dan manis. Gadis ini sangat terkenal di kalangan pria karena keplaygilrannya.

Anggota pertama atau ketua geng Senja adalah Silvi Selvig. Dia merupakan siswa tercerdas di SMA Candrawan. Kecantikannya tidak kalah dengan Lania. Dia di kenal dengan gadis cuak yang sedikit angkuh, sehingga tidak banyak pria yang bisa mendekatinya.

Meski masing-masing dari mereka memiliki karakter yang berbeda. Namun rasa sayang dan rasa saling melindungi antara mereka tidak diragukan lagi. Mereka bersahabat sejak SMP kelas 1. Saat SMA pun, mereka memilih untuk menempati kelas yang sama. Tentu saja, itu sangat mudah diatur mengingat Lania yang merupakan putri pemilik sekolah.

Mereka menduduki kelas akhir pada masa SMA. Pada saat liburan memasuki semester genap, mereka memutuskan untuk berlibur di pulau Senja yang merupakan tempat awal terbentuknya geng Senja. Pulau itu merupakan pulau kecil tak berpenghuni yang tak jauh dari kota Andolo.

Hanya butuh 30 menit penyebrangan laut untuk tiba di pulau tersebut. Mereka tiba di pulau itu dengan segala cara agar tak diikuti para pengawal Lania dan Tono yang juga ikut merembes pada Silvi. Mendapat refreshing menyenangkan tanpa pengawal sangat di butuhkan oleh manusia-manusia terikat yang selalu di awasi setiap saat. Itulah alibi yang menguatkan tekad mereka bertiga.

***

"Gadis-gadis. Lihat senjanya sama sekali tidak berubah." Ucap Tono yang sukses membuat para gadis mengarahkan pandangan mereka pada Senja.

"Wah, aku merindukan pemandangan seperti ini dan suasana seperti ini." Silvi menarik dan menghembuskan nafas pelan menikmati suasana pantai.

"Foto aku dan Silvi, Ton." Lania menarik tangan Silvi yang langsung ikut berdiri karena tarikan Lania.

Mereka bertiga sedang berada di atas batu terbesar pulau Senja yang merupakan tempat strategis menikmati senja. Tono pun mempotret kedua sahabatnya hingga beberapa kali jepretan. Melihat kedua sahabatnya yang semakin dekat ujung batu tempat mereka berdiri, Tono mengingatkan keduanya.

"Hati-hati Sayang-sayangku. Ini sangat tinggi."

"Tentu Ton. Satu foto lagi untukku dan satu untuk Silvi." Lania mengambil tempat dan mulai berpose.

Kini giliran Silvi. Gadis itu mulai mengambil tempat dan tersenyum manis pada kamera.

"Sialan kamu Sil. Kalau sama kamera senyumnya manis bangat."

"Apa sih Ton. Senyum sama kita kan juga seperti itu."

"Selain kita berdua ****."

Laniapun tersadar. Silvi sangat dingin dengan orang-orang sekitarnya. Lania dan Tono berpikir karena Silvi tumbuh tanpa seorang Ibu. Ditambah lagi Ayahnya Brian Selvig adalah ketua organisasi Ranita yang melindungi keluarga kaya kota Andolo. Organisasi Ranita adalah bukti cinta Brian Selvig kepada mendiang istrinya Ranita Selvig. Organisasi Ranita tidak selembut namanya. Organisasi ini bahkan tak segan untuk membunuh penyerang orang yang mereka lindungi. Namun Silvi adalah putri yang dirahasiakan pada publik untuk keamanan Silvi sendiri. mengingat musuh organisasi Ranita bisa saja menjadikan Silvi sandera.

"Hei, pose Lania saat fashion show sekolah seperti ini kan." Silvi memperagakan pose Lania yang legendaris di sekolah yang sukses menyadarkan lamunan Lania dan Tono.

Silvi mulai tertawa dengan posenya sendiri. Tawa Silvi dengan cepat menular pada Tono dan Lania. kini ketiganya tertawa riang.

Tanpa mereka sadari ada seorang pria yang ikut tersenyum melihat tawa mereka. Lebih tepatnya kerena tawa Silvi. Pria itu sedang bersandar di bawah pohon yang tak jauh dari batu besar tempat Silvi dan kedua sahabatnya naiki. Pria itu adalah Alando. Alando Miller yang datang menemani sahabatnya Rangga Wijaya untuk membuang kesedihan hati Rangga yang ditinggal menikah oleh pujaan hatinya.

Byurr

"Silvi" Tono dan Lania berteriak panik.

"Jadi namanya Silvi" batin Alando

"Bagaimana ini Ton? Ini sangat tinggi aku tidak berani melompat setinggi ini."

Keduanya sama-sama panik karena mengatahui Silvi tidak dapat berenang. Tono pun demikian. Satu-satunya yang bisa diharapkan untuk membantu Silvi adalah Lania.

Lania sudah berlari menuruni batu agar posisi lompatnya tidak setinggi sebelumnya. Namun batu pulau ini cukup tajam sehingga Lania harus berhati-hati agar tidak terluka.

Tono mengedarkan pandangannya dan melihat seorang pria yang bersandar pada pohon, menonton mereka tanpa ekspresi.

"Hei. Kakaaak. Tolong bantu Silvi." Tono berteriak sekuat tenaganya pada Alando. "Tolongin Silvi. Aku mohon."

Alando seolah baru tersadar jika ternyata Silvi tidak dapat berenang. Pria itu segera berlari dan berenang dengan cepat ke arah Silvi.

2 menit kemudian, Alando sudah keluar dari air laut dengan Silvi yang tidak sadarkan diri dalam gendongannya. Alando meletakkan Silvi di samping api unggun yang dibuat Rangga.

"Hei. Buka matamu." Alando memompa dada Silvi, berusaha mengeluarkan air yang ditelan Silvi. Namun hasilnya seakan sia-sia. Tidak ada air yang keluar dari mulut Silvi.

Alando tidak patah semangat. Dia terus memompa. merasa usahanya tak berhasil, Alando mencoba memberi nafas buatan pada Silvi. Lania dan Tono yang baru tiba tercengang atas sikap Alando. Keduanya menyadari itu adalah ciuman pertama Silvi. Namun mereka tidak dapat melakukan apapun kecuali mendoakan keselamatan Silvi.

Alando mengulangi tindakannya berkali-kali. Namun nihil, Silvi tidak kunjung sadarkan diri. Lania dan Tono mulai gemetar. Keduanya saling menggenggam erat tangan masing-masing, seolah menyalurkan kekuatan dalam ketakutan.

"Rangga, cepat periksa keadaannya." Alando setengah berteriak pada Rangga.

Ranggapun maju dan mulai memeriksa alat vital Silvi.

"Apa kau dokter? Bagaimana keadaan Silvi?" Lania bertanya dengan suara getir menahan tangis.

"Nadinya lemah. Tubuhnya sangat dingin. Aku rasa api ini tidak banyak membantu."

"Apa yang harus kita lakukan? Kapal yang menjemput kita akan datang 5 hari lagi. Dan pulau ini tak terjangkau sinyal ponsel." Tono menangis histeris dan mendapatkan pelukan dari Lania yang juga ikut menangis.

"Ada 1 cara untuk menyelamatkannya." ucap Rangga

"Apa itu?" pertanyaan kompak yang di ajukan oleh 2 sahabat Silvi dan juga Alando.

"Seseorang harus memberinya kehangatan. Lewat hubungan intim."

"Aku akan melakukannya." Tanpa aba-aba, Alando dengan cepat menggendong Silvi dan Membawanya memasuki tenda.

Lania dan Tono hanya bisa tercengang tidak bisa mengucapkan apa-apa. Keduanya saling berpandangan dan seolah berbicara lewat telepati bahwa menanggung akibatnya akan lebih baik daripada kehilangan Silvi.

Malam itu merupakan malam yang panjang untuk Alando. Memberi kehangatan pada tubuh Silvi. Sekaligus membobol title gadis seorang Silvi Selvig.

2. Pulau Senja part 2

Silvi mulai sadarkan diri, namun matanya begitu berat untuk dibuka. Silvi tidak berusaha membuka matanya lagi. Rasanya sangat nyaman. Seingatnya setahun yang lalu ke sini bersama keluarga Tono, tempat ini sangat dingin. Namun sekarang yang dirasakan tubuhnya sangatlah hangat.

Ingatan Silvi kembali pada saat di atas batu. Kakinya tersandung dan dirinya terjatuh lalu tenggelam ke dalam laut. Nafasnya sesak dan pandangannya mulai gelap.

"Apa memang aku bukan di pulau? Apa aku di dunia lain?" Silvi yang ketakutan membuka paksa matanya.

"Silvi." Lania mengagetkan Tono yang baru saja memasuki alam mimpi.

Tono membuka paksa matanya dan beberapa kali menguap dengan sangat lebar. "Syukurlah. Silvi sudah sadar."

Melihat wajah kedua sahabatnya, Silvi sadar dirinya selamat dari maut dan wajar jika dirinya merasa hangat saat ini, karena tubuhnya ditutupi 3 selimut tebal hingga tidak ada celah untuk udara bisa mengenai kulitnya. Silvi mulai menggerakkan otot-ototnya yang kaku, kemudian keluar dari selimut hangat yang menutupi tubuhnya.

"Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit?" Tanya Tono.

"Kau ingat siapa kita?" ucapan Lania sukses mendapat pelototan dari Tono.

"Kepalanya tidak terbentur Lan." Tono berucap malas dan dibalas Lania dengan cengiran.

"Aku baik-baik saja. Hanya saja, selangkangku sedikit sakit."

"Kau ingat apa yang terjadi?" Lania mewakili Tono setelah meraka berdua saling beradu tatapan ketakutan.

"Ceritakan aku kronologisnya. Aku hanya ingat aku tenggelam, nafasku tersendat dan gelap." Silvi masih memeriksa tubuhnya sehingga tidak sadar dengan ekspresi kedua sahabatnya.

Lania menatap Tono memohon dan Tono mengangguk.

"Mulai darimana karangan ini. Bagaimana caranya agar aku berhasil menipu siswa terpintar di sekolah." batin Tono.

"Ehm. Jadi, saat kau terjatuh, Lania mencari tempat yang lebih rendah untuk melompat. Namun seorang pria dengan cekatan datang menyelamatkanmu karena mendengar teriakanku. Dia dokter Rangga. Dia ada di pulau ini bersama temannya. Dia juga menyelamatkanmu dengan keahlian kedokternya. Ya, Seperti itu cerita ringkasnya."

"Sudah tepat Ton. Setidaknya kau tidak menyebut pria yang di panggil Al oleh dokter Rangga itu. Itu bukan selera Silvi." Tono berguman dalam hati dan mendapat anggukan dari Lania. Seolah alasan yang dibuat Tono sangat tepat.

"Baiklah. Aku harus berterima kasih pada dokter Rangga itu. Jam berapa sekarang?"

Lania melirik ponselnya. "04.45. Kau yakin tidak ingin tidur kembali?"

"Kalian bisa tidur. Aku sudah cukup sehat untuk pergi sendiri."

"Kita akan mengekorimu hingga kau bisa berlari" Lania menarik tangan Tono hingga Tono kembali terpaksa membuka matanya.

Silvi keluar dari tenda dengan diikuti Lania dan Tono yang tidak berusaha menghentikannya, karena keduanya sadar bahwa Silvi bukan gadis yang bisa diatur setelah bertekad.

Silvi mengedarkan pandangannya mengelilingi pulau dan menemukan 2 buah tenda di ujung pulau. Gadis itu pun melangkah menuju tenda tersebut dengan diikuti Lania dan Tono.

*

Flashback on

"Maaf kakak-kakak. Bisa kita merahasiakan hal ini? Silvi mungkin akan kehilangan kepercayaan dirinya jika tahu kehormatannya telah direnggut."

Tono memberanikan diri angkat bicara ketika mereka semua berkumpul di luar tenda Silvi. Tentu saja, setelah Alando menyelamatkan Silvi dan pernyataan kondisi Silvi yang kembali stabil oleh Rangga.

"Dan Ayahnya bisa saja membunuh kita berdua tanpa mempedulikan status kita." Lania bergidik ngeri membayangkan kemarahan Brian.

"Al. Aku rasa permintaan mereka logis. Mengingat Silvi adalah siswa SMA. Kau juga tidak bisa menikahinya jika kau mau."

"Menikah?" ucap Lania dan Tono hampir bersamaan. Mereka bepandangan dengan penuh kecemasan.

"Maaf kak Al, bukan maksud kami merahasiakan kak Al sebagai penolong Silvi. Kami akan membalasnya suatu hari nanti..." Tono tidak sanggup melanjutkan ucapannya kala melihat senyum smirk Alando. Nyalinya menciut seketika.

"Tidak masalah untukku. Dia juga sudah membayarnya dengan tubuhnya. Semuanya sudah impas." Alando berdiri meninggalkan diskusi kecil yang menurutnya tidak berfaedah.

Flashback off

*

"Mereka mungkin sedang tidur, Silvi." Ucapan Lania menghentikan langkah Silvi.

"Hei, bagaimana jika kita duduk di sana sambil menunggu sunrise." Tono menunjuk tempat yang strategis untuk duduk.

"Tunggu! Kenapa ada bekas mereh pada leher Silvi? Astaga ini bukan 1. Ada...3, ya ada 3". Lania bergumam dalam hati dan berusaha menetralkan wajah keterkejutannya. "*A*pa kak Al menikmati pertolongannya?"

"Kenapa kissmarknya sebanyak itu. Jika hanya 1, aku akan berpikir jika kak Al khilaf. Tapi ini, sepertinya kak Al sungguh menikmatinya." Tono berbisik pada telinga Lania dan Lania mengangkat jari telunjuk dan ditempelkan pada bibirnya sendiri, pertanda Tono harus diam.

Langit memang sudah menunjukkan cahaya kekuning-kuningan hingga Lania dan Tono dapat melihat jelas kissmark di leher Silvi. Ketiganya pun berjalan menuju tempat yang di pilih Tono, lalu duduk bersimpuh di atas pasir. Melihat Silvi yang hanya berdiri, Lania menepuk pasir di sampinya sambil menatap Silvi.

"Aku masih ingin berdiri." Jawaban Silvi mendapat anggukan dari Lania. Lania pun bersandar pada bahu Tono dan Tono balas bersandar pada kepala Lania. Berharap sandaran ini dapat mengurangi lelah mereka yang berjaga dan tidak tidur semalaman.

Tiba-tiba seseorang yang entah datangnya dari mana menutup punggung Silvi dengan jaket kulit. Silvi yang penasaran pun menoleh dan mendapati seorang pria yang menatap arah ufuk tempat keluarnya sang surya.

Tanpa berkata apapun. Silvi melepas jaket yang bertengger di bahunya, membuat jaket itu jatuh ke pasir putih pantai. Pria itu mengambilnya dan memasang kembali jeket tersebut pada bahu Silvi.

Silvi yang merasa terganggu memberontak dan hendak menampar pria yang coba mengaturnya. Namun, tangannya dengan sigap ditangkap pria tersebut. Untuk mengantisipasi tendangan Silvi, pria itu mengijak ibu jari kaki Silvi. Kaki telanjang mereka saling bersentuhan. Lalu pria itu mendekatkan bibirnya pada telinga silvi dan berbisik menggoda.

"Kau ingin dihangatkan dengan jaketku atau dengan tubuhku?"

"Berani sekali kau mengancamku." Silvi begitu murka dengan kekurangajaran pria asing di hadapnnya.

"Kenapa aku harus takut? Aku serius dengan perkataanku." Pria itu menarik pinggang Silvi, menghilangkan jarak antara tubuhnya dengan Silvi. Hingga Silvi bisa merasakan sesuatu yang keras di bawah sana menekan perutnya.

Silvi berusaha mengontrol dirinya. Nafasnya sesak karena ditahan. Jantungnya sudah berdetak takaruan. Tubuhnya bahkan mulai terasa panas.

"Ah sial. Aku terpaksa harus menurutinya." batin Silvi merutuki nasibnya.

"Jadi, mana yang kau pilih?" sorot mata tajam pria itu menatap mata hitam Silvi dan Silvi membalas tatapan itu tak kalah tajamnya.

"Baiklah, aku akan memakainya." ucap Silvi mengalah namun wajahnya tidak sama sekali menunjukkan ekspresi orang yang sedang mengalah.

Pria itu melepas intimidasinya pada Silvi. Silvi memakai jaket yang bau rokok itu dengan terpaksa.

Merasa puas, pria itu kini pergi berenang. Silvi menatapnya dengan tatapan benci. Sementara Tono dan Lania menarik nafas lega.

"Kak Al memang brengsek. Dia bahkan bisa memaksa Silvi." bisik Lania pada Tono yang duduk di sampingnya.

"Itu karena pengawal Silvi tidak ada di sini."

Keduanya sadar. Selain pengawalan ketat organisasi Ranita atas perintah keluarga mereka, sebenarnya yang menjadi prioritas para pengawal organisasi Ranita adalah Silvi.

Bagi orang lain yang tidak mengetahui status Silvi akan menganggap, hanya Silvi lah yang tidak dikawal dalam geng Senja. Namun bagi Tono dan Lania yang merupakan sahabat dan sudah bolak-balik rumah Silvi seperti rumah sendiri, tidak ada rahasia Silvi yang belum mereka ketahui.

3. Pulau Senja part 3

Alando baru saja selesai berenang. Tubuh atasnya dibiarkan terbuka. Rambutnya basah dan sisa-sisa air laut masih menempel pada kulitnya yang sedikit coklat, menambah kesan seksi pada mata kaum hawa yang melihatnya.

"Wah, kak Al sangat sempurna. Tubuhnya yang atletis, wajahnya yang tampan. Dan berapa tingginya? 180? Tidak. Sepertinya 185 cm." Lania menatap kagum Alando.

Tono mengangguk mengiakan pernyataan Lania.

"Sayang sekali dia seorang perokok dan pemabuk."

"Apa kau melihatnya? Jangan sembarangan dalam berbicara." Lania masih berharap Alondo pria baik, karena Lania mulai memasukkan Alando dalam daftar pria yang ingin didekati.

"Kau. Kau tertarik padanya kan?" Tono menatap tajam Lania. "Hilangkan itu. Aku melihatnya sendiri. Jika kau tidak percaya, pergi tanyakan pada kak Al sendiri."

"Kalian mengenalnya?" Ucap Silvi yang juga menatap Alando.

"Dia kak Al. Temannya dokter Rangga." Jawab Lania Singkat.

Lania mulai memikirkan untuk tidak mendekati Alando. Mengingat Lania pernah memiliki kenangan buruk dengan mantannya yang pemabuk.

Alando yang tidak jauh dari posisi ketiganya bisa mendengar percakapan mereka. Pria itu hanya tersenyum dan menatap penuh arti pada Silvi. Tatapan keduanya bertemu cukup lama hingga berakhir dengan Silvi yang membuang muka karena tatapan intens Alando yang terlalu dalam bagi Silvi. Alando tertawa kecil.

"Halo semuanya." sapa Rangga yang baru selesai berlari mengelilingi pulau. "Bagaimana kabarmu Silvi?"

"Baik." Jawab Silvi cuek seperti gayanya pada umumnya ketika berbicara dengan orang asing.

"Kita harusnya berkenalan lebih awal setelah kau sadar. Ah, Aku rasa belum terlambat. Namaku Rangga."

Mendengar nama Rangga, Silvi seakan baru tersadar bahwa dia tidak seharusnya bersikap cuek seperti itu pada orang yang sudah menyelamatkannya. Silvi menyalahkan Alando yang telah membuat pikirannya tidak jernih.

"Maaf, aku tidak menyadari jika anda adalah dokter Rangga. Terima kasih telah menolongku." Silvi mencoba menarik dua sudut bibirnya agar terbentuk senyuman.

"Aku yang menolongmu?" Tanya Rangga bingung.

"Iya dokter. Terima kasih telah menolong Silvi kami." Tono memeluk erat Rangga. "Tolong kami dok." Tono berbisik sangat pelan pada telinga Rangga hingga hanya Rangga saja yang bisa mendengarnya.

Rangga mulai paham jika Tono dan Lania menyembunyikan kenyataan dengan menyodorkannya sebagai penyelamat Silvi. Dengan berat hati Rangga mengikuti drama yang dilakukan Tono dan Lania.

"Ah, kalian tidak perlu sungkan. Sudah tugasku menolong sesama." Ucap Rangga kikuk.

"Aku akan membalas budi baik dokter jika ada kesempatan." Ucap Silvi.

"Haha, tidak perlu. Namun jika kau ingin membalas budi baikku, kau bisa melakukannya sekarang."

"Apa yang bisa aku lakukan untuk dokter?"

"Aku dan Alan tidak membawa makanan. Karena kapal yang menjemput kami akan tiba sejam lagi. Kami tidak memikirkannya sebelumnya, ternyata setelah berlari mengelilingi pulau membuatku jadi lapar. Sepertinya Alan juga demikian. Dia sudah berenang sekitar 2 jam. Mungkin akan lebih menyenangkan jika pulang dengan perut kenyang."

"Tentu saja. Kami punya banyak persediaan makanan." Silvi mulai mengeluarkan persediaan makanan mereka dibantu Lania dan Tono.

"Ayo makan Al." Rangga setengah berteriak karena posisi Alando yang cukup jauh.

Alando mengangkat jempolnya dan mulai berjalan ke arah rombongan yang siap menikmati sarapan pagi. Alando memilih duduk di samping Silvi. Jelas terlihat pria itu sengaja, padahal di samping Rangga masih ada tempat yang kosong.

"Apa yang kalian lakukan di pulau ini?" Rangga memilih membuka percakapan.

"Kami sedang memanfaatkan liburan semester untuk bersenang-senang." Lania menjawab dengan antusias.

"Pulau ini memang aman. Tapi kalian cuma bertiga. Aku akui kalian anak-anak pemberani."

"Ah, sepertinya kita hanya berbeda beberapa tahun dok. Kita lebih pantas menjadi adik-adik dokter." Lania pikir, Rangga jauh lebih baik untuk diperjuangkan dibandingkan Alando.

Toni memandang Silvi dengan senyum yang ditahannya dan dibalas gelengan kepala oleh Silvi. Mereka tentu saja paham maksud Lania. Si gadis playgirl sedang menambah daftar pria incarannya.

"Tentu saja. Supaya lebih akrab, kalian bisa memanggilku kak Rangga."

"Kak Rangga?" Lania menatap Rangga dengan wajah yang dibuat seimut mungkin sambil menaikkan kedua alisnya.

"Pfft. Hahahaha." Tono tidak dapat menahan tawanya lebih lama lagi.

Silvi tersenyum geli. Jika Tono menjadikan tingkah Lania sebagai objek hiburan. Silvi justru sebaliknya, dia sangat malu dengan tingkah Lania.

"Iya, seperti itu. Kalian semua sangat manis." Rangga berusaha menggubris Lania yang terus menatapnya.

"Aku masih normal kak. Aku masih tertarik pada perempuan." Tono tidak senang dibilang manis.

"Apa kau tertarik pada Silvi?" Tanya Alando dingin.

"Apa urusanmu menanyakan hal itu?" Silvi bertanya tanpa menolah. Dia terus fokus pada sarapannya.

"Aku melarangnya tertarik padamu."

Silvi mengangkat wajahnya dan menatap tajam Alando. Dibalas tatapan santai Alando.

"Jika aku menerimanya?"

"Aku akan membuatmu menarik kembali penerimaanmu."

"Hei. Hentikan. Aku tidak tertarik pada Silvi. Aku tidak akan jatuh cinta pada kedua orang ini." Tono menunjuk Silvi dan Lania.

"Kenapa?" Rangga sengaja membuat Tono berbicara lebih bamyak, agar Silvi dan Alando yang telah berhenti mengadu tatapan tajam tidak kembali lagi.

"Itu karena aku tahu kebusukkan mereka."

"Kau yang busuk" Lania menaggapi.

"Tidak ada yang bisa mengalahkan kebusukkanmu." Tono tidak mau kalah.

"Hei. Ayolah. Kenapa kalian semua suka berdebat." Ucap Rangga kesal. "Bagaimana jika kita berenang bersama?"

"Ide bagus kak. Aku akan bersiap untuk berenang." Lania tersenyum dan masuk ke dalam tenda untuk bersiap.

"Aku akan memukulnya jika dia berani memakai bikini." Tono menyusul Lania.

Tidak lama kemudian Lania sudah keluar dari tenda dan masih menggunakan baju yang sama sebelum dia memasuki tenda. Tono yang mengekorinya tersenyum pada Silvi dan Silvi membalas serupa.

Kelimanya mulai menuju ke arah laut yang tidak sampai 20 langkah untuk tiba di sana. Rangga dengan cekatan berenang ke arah laut yang lebih dalam dan diikuti Lania. Tono tidak mau kalah, dia berenang dengan batang pohon yang dijadikannya pelampung ke arah yang sama dengan Lania dan Rangga.

Silvi dengan santai berjalan ke dalam laut sampai air laut membasahi kakinya yang telanjang. Gadis itu mulai memotret biota laut yang berhasil membuatnya tertarik. Perlahan senyum mulai mengambang di wajahnya.

"Rupanya kau tahu caranya tersenyum."

Silvi menoleh dan mendapati Alando yang kini berada di sampingnya. Seketika wajah Silvi kembali menjadi datar.

"Kenapa kau mengikutiku?"

"Apa tidak boleh aku berada di sini?"

Silvi hanya dapat mendengus kesal dan melangkahkan kakinya menjauhi Alando. Namun Alando terus saja mengikutinya.

"Berhenti mengikutiku!" bentak Silvi.

"Aku melakukan apa yang ingin ku lakukan."

"Kenapa kau ingin mengikutiku?"

"Entahlah."

"Kau merusak kenyamananku. Suasana hatiku menjadi buruk karenamu." Silvi membalikkan badannya menatap Alando dengan wajah kesal. "Si brengsek ini, bukankah tadi dia sudah selesai berenang."

"Aku tahu cara memperbaiki suasana hati seorang wanita." Alando tersenyum dan berjalan mendekat ke arah Silvi.

Langkah Alando sukses membuat Silvi mundur hingga beberapa langkah. Silvi dapat merasakan air laut sudah mencapai perutnya. Silvi pikir tidak ada gunanya terus mundur. Alando mungkin berusaha memojokkannya ke dalam laut dan mencari kesampatan dalam kesimpitan karena tahu Silvi tidak bisa berenang.

"Apa yang kau inginkan?" Silvi menaikkan wajahnya menatap Alando dengan angkuh.

Alando tersenyum. "Terlalu cepat bibirmu menjadi canduku. Bagaimana bisa?" Alando tertawa kecil.

"Aku hanya ingin kau mandi." Alando berbalik dan meninggalkan Silvi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!