Di sudut restoran, seorang pria duduk, memantau dari kejauhan. Dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dan mengenakan topi, dia menutupi penampilannya. Majalah yang sengaja dia bawa, dia gunakan untuk menutupi wajahnya.
Sesekali dia melihat seorang wanita dan pria yang sedang asik mengobrol serius. Dia teramat penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Namun, karena jarak tempat duduknya cukup jauh, dia tidak dapat mendengarkannya.
"Mau pesan apa, Pak?" tanya pelayan.
"Espreso coffee," jawabnya.
Pelayan mencatat pesanan dan meninggalkan pria aneh yang menjadi tamu di restoran. Pelayan langsung memberikan kertas pada barista.
Pria aneh itu adalah Felix Julian, pria 26 tahun, yang bekerja sebagai asisten CEO di Adion Company. Pria tampan dengan kulit putih dan tubuh kekar itu adalah magnet bagi para wanita.
Predikat cassanova kedua disematkan padanya, setelah predikat pertama dipegang oleh CEO tempatnya bekerja.
Sama dengan sang CEO, dia pun juga pemain wanita. Namun, dia hanya melakukan hal intim pada kekasihnya. Dasar cinta menjadikannya alasan, untuk merengkuh kenikmatan bersama kekasihnya.
Namun, semenjak diselingkuhi, dia menjadi pria kesepian. Tak ada wanita yang singgah di hidupnya ataupun di ranjangnya.
Di tempat inilah dia berada. Memantau wanita yang akan dia bawa ke kehidupannya. Akan tetapi nyalinya ciut saat yang dihadapinya adalah wanita baik-baik, dan yang pasti wanita itu akan mencari pria baik-baik juga.
Dengan keteguhan hati, dia tetap berusaha mendekati sang wanita, walaupun harus bersaing dengan pria yang mungkin jauh lebih baik dari dirinya.
Dari kejauhan, dia memantau wanita yang dia sukai itu. Wanita yang bisa menggetarkan hatinya, dan mampu membuatnya berjuang.
Matanya terus dia arahkan kemana wanita itu berada. Sampai saat wanita itu berdiri dan pergi dari meja restoran.
"Maaf," ucap Chika saat menabrak salah satu pelayan restoran.
Chika Anastasya, gadis 24 tahun yang bekerja sebagai sekertaris di Maxton Company. Dengan tinggi 160 cm dan memiliki tubuh ramping, membuat penampilannya begitu sempurna. Kulitnya yang putih mulus, menambah nilai plus dari kecantikannya.
"Tidak apa-apa," jawab pelayan.
Chika melanjutkan langkahnya menuju ke toilet. Meninggalkan sang pria yang bersamanya duduk sendirian.
Felix melayangkan tatapan tajam yang sebenarnya tidak tampak karena tertutup kacamata. Dia teramat kesal dengan pria yang sekarang duduk sendirian itu. Pria itu adalah lawannya, dan teramat sulit saat harus berhadapan dengannya.
Sesaat kemudian, Chika keluar dari toilet. Dia menghampiri kembali pria yang bersamanya. Mereka berdua berbincang kembali.
Pelayan datang memberikan kopi pesanan Felix. Menikmati kopinya, matanya tak lepas memandang Chika dari kejauhan.
Sejam berlalu. Chika dan pria yang bersamanya memutuskan untuk pulang, karena sudah cukup berbincang.
Felix terus saja mengikuti Chika dan pria yang bersamanya. Menaiki mobilnya, dia mengikuti mobil yang membawa Chika. Felix benar-benar tampak seperti penguntit, karena dia terus saja mengikuti Chika.
Mobil di depannya, berhenti di depan rumah Chika, dan Felix memilih untuk memarkirkan mobilnya agak jauh, agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Rasanya Felix, tidak rela saat wanita yang disukainya pergi dengan pria lain, tetapi dia tidak punya alasan kuat untuk melarangnya.
Saat sudah memastikan jika Chika sudah masuk ke dalam rumah, Felix pun ikut meninggalkan rumah Chika.
Dalam suasana galau seperti sekarang, Felix merasa membutuhkan teman. Hingga satu tempat yang melintas pikirannya adalah rumah Bryan-atasan sekaligus temannya.
Sesampainya di rumah Bryan, Felix memarkirkan mobilnya dan turun sesaat kemudian. Menekan bel rumah, dia menunggu sesaat kemudian.
"Kenapa kemari?" Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bryan saat melihat temannya datang. Di hari libur seperti ini adalah waktunya berkumpul dengan anak dan istrinya, jadi dia tidak mau diganggu.
"Aku sedang malas, berdebat denganmu." Felix mengabaikan Bryan dan masuk begitu saja ke dalam rumah.
"Hai, Om Felix," sapa Shea seraya melambaikan tangan baby El.
"Ternyata istri dan anakmu lebih ramah ya," ucap Felix mencibir Bryan.
Bryan berdecih saat temannya datang dan merusak suasana hatinya itu. Dia meraih tubuh El dari Shea dan menggendongnya.
"Hai, El, Sayang, nanti jika kamu besar jangan mirip dengan daddy-mu," ucap Felix menggoda El.
Bayi kecil itu tertawa mendengar pria yang menjadi teman daddy-nya, menggodanya. Sejak di kantor tempo hari, bayi kecil itu menjadi sangat suka dengan Felix.
"Apa kamu kemarin hanya ingin mencari ribut?" Bryan yang kesal langsung melayangkan protesnya.
"Sayang … " tegur Shea. Dia yang melihat suaminya begitu kasar memperingatkannya. Berlalu ke dapur, Shea membuatkan minum untuk Felix.
"Dengarkan itu!" Felix menimpali ucapan Shea. Dia tahu temannya itu tidak akan berkutik dengan istrinya.
Bryan yang malas langsung meninggalkan Felix, dan duduk di playmat. Dia bermain dengan baby El yang makin hari makin mengemaskan.
Felix ikut duduk bersama dengan Bryan, dan ikut melihat mantan cassanova itu menjaga anaknya.
"Silakan diminum," ucap Shea seraya meletakkan secangkir teh di atas meja.
"Terima kasih, Se." Felix tersenyum pada Shea.
"Sebenarnya dari mana kamu?" tanya Bryan yang penasaran.
"Aku tadi membututi Chika bersama Erix," jelas Felix malas.
Erix adalah pria yang bersama dengan Chika tadi. Dokter muda yang usianya sama dengannya itu memang sedang dekat dengan Chika.
"Jadi kamu kesal karena itu?" tanya Bryan tertawa.
Felix memutar bola matanya malas. Temannya itu bukannya menghiburnya, tetapi justru mengejeknya.
Sebenarnya Felix tidak hanya kesal, tapi dia sangat bingung karena lawannya mendapatkan Chika adalah dokter muda dan baik impian semua wanita.
"Apa belum ada perkembangan setelah aku memintamu mengantarkan Chika waktu itu?" Shea mengingat seusai pesta ulang tahun pernikahan, dia meminta Felix mengantarkan Chika.
Felix menggeleng.
"Apa kamu tidak bisa berusaha lebih keras?" Bryan tidak habis pikir dengan temannya itu, padahal istrinya sudah membantunya.
Felix mengingat, jika Chika seolah menutup jalan dirinya untuk masuk ke dalam hidupnya. Sepanjang mengantarkan Chika pulang juga tidak banyak yang dibicarakannya.
"Lalu bagaimana? Apa kalian ada ide lain?" tanya Felix polos.
Bryan dan Shea memikirkan ide untuk membuat Felix bisa mendapatkan Chika.
"Bagaimana jika kamu memperkosa Chika seperti apa yang aku lakukan? Dengan begitu dia tidak ada pilihan." Bryan dengan polosnya memberikan ide itu pada Felix.
Shea spontan langsung memukul lengan Bryan. Dia melayangkan tatapan tajam pada suaminya itu.
"Maaf," ucap Bryan tersenyum memamerkan deretan giginya.
"Jangan pakai cara seperti Bryan," ucap Shea seraya melirik tajam pada Bryan.
Nyali Bryan langsung ciut saat idenya ditolak mentah-mentah oleh Shea. Dia pun akhirnya menutup mulutnya.
"Cara yang Bryan pakai, bisa saja berbeda akhirnya jika kamu yang melakukan. Bisa saja Chika justru membencimu." Shea melanjutkan ucapannya.
"Lalu aku harus pakai cara apa?" Felix sudah tampak frustrasi memikirkan caranya.
"Gunakan cara yang baik," ucap Shea.
Felix dan Bryan saling pandang. Mereka tidak tahu cara baik apa yang dimaksud oleh Shea. "Cara apa?" tanya Felix.
...----------------...
...Selamat datang di cerita ke lima di Noveltoon. Untuk lihat visual kalian bisa mampir ke Instagram Myafa16...
...Jangan lupa like dan beri komentar...
"Seoang gadis adalah milik keluarganya, jadi mintalah pada keluarganya." Shea menjelaskan pada Felix.
"Maksudmu melamarnya?" Felix memastikan pada Shea.
Shea mengangguk. Dia berpikir hanya cara itu yang dapat Felix gunakan, karena mendekati Chika secara personal terlalu sulit. Lagipula, meminta pada keluarganya adalah hal baik yang bisa dilakukan.
"Apa dia akan menerima?" Felix benar-benar ragu dengan pilihan saran dari Shea.
"Tidak ada salahnya dicoba," jawab Shea.
Bryan yang mendengar ucapan Shea tak bisa berkata apa-apa, dirinya sendiri saja tidak dengan baik mendapatkan Shea.
Felix mengangguk. Dia merasa itulah pilihan yang pilihan tepat. Mungkin sedikit memaksakan, tetapi demi mendapatkan wanita yang dia cintai apa salahnya.
Setelah mendapatkan saran dari Shea dan mendengarkan beberapa hal yang harus disiapkan, akhirnya Felix memilih untuk pulang. Karena tidak mau berlama-lama, dia segera menemui mamanya.
Mobil Felix sampai di rumahnya. Dia memilih diam di dalam mobil memandangi rumah besar pemberian papanya yang sekarang ditinggali oleh mamanya.
Sejak kuliah dia memutuskan untuk tinggal sendiri, dan jarang sekali dia pulang. Mamanya yang justru sering datang ke apartemen, sekedar mengantarkan makanan atau mengecek keadaan Felix.
Dengan penuh keyakinan Felix turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Menekan bel, dia menuggu sejenak pintu rumahnya dibuka.
"Anak Mama," ucap Liana terkejut saat membuka pintu. Dia langsung memeluk anaknya yang baru saja datang.
Felix membalas pelukan mamanya. Sebenarnya dia juga merindukan mamanya, tetapi dia terlalu malu untuk mengatakannya.
"Apa aku tidak diajak masuk?" tanya Felix saat mamanya tidak berhenti memeluknya.
Liana melepaskan pelukannya dan menatap putra semata wayangnya yang begitu dia sayang.
"Apa kamu tamu yang harus dipersilakan masuk?" Liana memukul lengan anaknya karena kesal. "Auch … " teriak Liana saat merasakan tangannya sakit. "Apa kamu memasang plat besi di lengan?"
Felix tertawa mendengar pertanyaan konyol mamanya itu. Mamanya tidak pernah berubah selalu saja bisa membuatnya tertawa.
"Iya, dan akan aku jual nanti jika sudah aku lepas." Felix merangkul tubuh Liana dan melangkah masuk ke dalam rumah.
"Mana laku?" tanya Liana dengan nada menyindir.
"Laku di tukang loak," jawab Felix tersenyum dan menaikan alisnya.
Liana yang gemas mencubit perut Felix. Akan tetapi, perut dengan enam kotak itu tampak keras dan sulit untuk dicubit.
Tawa keduanya terdengar mengisi keheningan rumah. Rumah besar yang hanya dihuni mamanya dan asisten rumah tangga itu memang tampak sepi.
Mereka berdua menuju ke meja makan. Tempat favorite Felix dan mamanya saat berbincang. Karena di meja makan, mereka bisa makan sambil bercerita banyak hal.
"Mau minum apa?" Liana menuju ke lemari pendingin dan membukanya. Dia mencari minuman dingin untuk diberikan pada anaknya.
"Bir atau whisky," jawab Felix.
Liana langsung menatap tajam pada anaknya saat mendengar apa yang diinginkan anaknya. Felix yang mendapati tatapan tajam, membalas senyuman di wajahnya.
Mengambil minuman soda, Liana menghampiri Felix yang duduk di meja makan. "Apa kamu belum berhenti minum?" tanyanya seraya memberikan minuman soda pada Felix.
"Em … sedikit," jawab Felix. Dia membuka kaleng soda dan meminumnya.
"Kapan kamu akan berhenti?" Liana tahu jika anaknya adalah pecandu minuman. Setiap dia ke apartemen di hari libur, selalu mendapati anaknya tidur seusai mabuk.
"Nanti setelah aku menikah." Felix menjawab dengan santai pertanyaan mamanya.
"Wanita mana yang mau denganmu?" Liana melayangkan pertanyaan dengan nada sindiran. Dia sudah banyak mendapat infomasi jika wanita yang didekati anaknya adalah wanita yang ditemui di bar.
"Ada, jika Mama mau melamarkannya."
Liana yang juga sedang minum langsung tersedak. Dia benar-benar terkejut dengan ucapan anaknya.
"Apa kamu menghamili kekasihmu?" tanya Liana menatap tajam pada Felix.
Felix berdecih, dia merasa mamanya benar-benar menyebalkan, karena menuduh anaknya seenaknya saja.
"Apa aku harus menikah karena menghamili seorang wanita?" Felix memutar bola matanya malas.
"Lalu?" Liana ingin tahu alasan anaknya. Perlahan dia mulai tahu untuk apa anaknya pulang dan menemuinya. Dia menduga, jika anaknya itu pulang dengan maksud tertentu.
"Aku kemari untuk meminta Mama melamarkan seorang gadis?" Felix memberanikan menjelaskan pada mamanya.
"Gadis?" tanya Liana memastikan pada Felix. Dia mendekatkan tubuhnya untuk mendengar jawaban dari anaknya.
Felix menghela napasnya, menahan kesabarannya. Mamanya itu selalu bisa membuatnya mati kutu. Gadis yang dimaksud mamanya adalah seorang wanita yang masih perawan dan belum pernah melakukan hubungan suami istri.
"Gadis," jawab Felix malas.
"Wah …." Liana merasa kagum saat mendengarkan jawaban anaknya. "Kapan?" Dia tidak mau kehilangan momen berharga itu.
"Besok."
Liana benar-benar terkejut mendengar acara yang begitu mendadak. Menyiapkan semua secara mendadak pasti sangat membutuhkan waktu, apalagi harus ada yang dibawa untuk melamar seseorang.
"Baiklah." Liana tidak mau kehilangan kesempatan saat anaknya memintanya dengan sungguh-sungguh. Dia berharap anaknya bisa berubah setelah menikah dan bisa hidup bahagia.
***
Tiga mobil sedan berwarna hitam yang melaju beriringan, menuju ke rumah Chika. Satu mobil diisi oleh Shea dan Bryan, satu mobil diisi oleh Felix dan mamanya, sedangkan satu mobil lagi diisi oleh Melisa dan Daniel.
Sampai di depan rumah Chika, Felix merasakan jantungnya berdebar, dia benar-benar merasakan takut jika sampai keluarga Chika menolak.
Shea menepuk bahu Felix. Dia mencoba menenangkan teman suaminya itu. Kemarin Shea sudah menghubungi Paman Aland- Papa Chika. Shea menjelaskan, jika ada seorang pria yang menyukai Chika dan ingin melamarnya.
Aland merasa senang saat Shea yang menghubungi dan menjelaskan niatan pria yang menyukai Chika. Sebagai seorang ayah, mendengar ada pria dengan berani langsung melamar, membuatnya kagum. Dia pun mengizinkan untuk Shea membawa pria itu datang.
Mereka semua masuk ke dalam rumah Chika untuk menemui orang tua Chika. Saat mereka datang, ternyata keluarga Chika sudah menunggu. Aland dan Ella-istrinya menyambut baik kedatangan Felix dan keluarga.
Satu persatu dari mereka yang datang memperkenalkan diri, termasuk Felix-pria yang datang untuk melamar.
Keluarga Chika juga memperkenalkan anggota keluarga masing-masing. Elia-Kakak Chika bersama suaminya David memperkenalkan diri setelah sang mama dan papa. Anaknya berusia lima tahun bernama Kay anak dari Elia dan David tak kalah antusias memperkenalkan diri juga.
Selesai saling mengenal, Aland meminta Elia untuk memanggil Chika. Elia menuju ke kamar adiknya untuk meminta adiknya keluar.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Elia sesaat membuka pintu.
"Sudah," jawab Chika malas.
Elia menemani Chika untuk keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu untuk menemui keluarga yang datang melamarnya. Karena malas, Chika memilih menundukkan kepalnya.
"Ini anak kami Chika," ucap Aland pada kelurga Felix.
"Tegakkan kepalamu," bisik Elia pada adiknya.
Chika menegakkan kepalanya untuk melihat keluarga yang datang. Namun, dia dikejutkan dengan orang-orang yang datang ke rumahnya. Dia jelas mengenal semua orang yang datang.
Mengedarkan padangan, dia mencari siapa pria yang datang melamarnya. "Felix," gumamnya menebak pria itu.
.
.
.
Chika menahan gemuruhnya saat Felix adalah orang yang melamarnya. Lebih kesal lagi, dia melihat sahabatnya yang mendampingi.
Elia mengantarkan Chika untuk duduk di antara orang tuanya. Mata Chika terus menatap tajam pada Felix. Rasanya dia ingin sekali memaki pria itu, tetapi dia tidak sekejam itu hingga mempermalukan pria yang dikenalnya dari sahabatnya itu.
Felix menyadari jika tatapan Chika begitu penuh dengan kemarahan. Mungkin terlalu egois, jika dia melamar tanpa bertanya pada yang bersangkutan.
Siapa cepat dia dapat. Itulah yang dia jadi pedoman saat berniat melamar. Antara dia dan Erik, siapa yang cepat mendapatkan Chika, dia yang akan bersamanya.
"Sebenarnya saya sudah sering bertemu Felix sewaktu dia mengantar Chika, tetapi tidak menyangka jika ternyata Felix menyukai Chika," ucap Aland tertawa.
Aland mengingat bagaimana dia mengobrol dengan Felix sewaktu pria itu menjemput Chika atau mengantar Chika. Di matanya Felix adalah pria yang mudah sekali berbaur, karena dia dengan mudah berbagi cerita dengannya.
Karena seringnya Felix ke rumah, saat Chika tidak ada, jadi Alan sering mengobrol dengan Felix. Banyak hal yang diceritakan Felix pada Aland, hingga Aland meyakini jika Felix sebenarnya adalah pria baik yang sedikit tersesat.
Chika merutuki kesalahannya. Selama ini memang dia memang membiarkan Felix mengobrol dengan papanya. Hingga akhirnya membuat Felix dekat dengan papanya.
Berbeda dengan Erik. Chika justru banyak mengobrol dengannya saat Erik datang, dan tidak membiarkan papanya dekat atau mengobrol.
"Syukurlah jika Felix dan Chika sudah saling mengenal, paling tidak mereka bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan," ucap Daniel pada Aland. Dua pria itu saling membicarakan hubungan kelanjutan antara Felix dan Chika.
"Ta …." Chika ingin menyanggah ucapan papanya, tetapi papanya sudah memotong pembicaraannya.
"Iya, seperti yang tadi kita sudah bicarakan, mereka akan menikah secepatnya," potong Aland. Dia memegang tangan Chika mengisyaratkan untuk Chika diam.
Chika yang melihat papanya memberikan isyarat membuat Chika tidak berani menjawab. Dia mengingat bagaimana semalam papanya itu berdebat dengannya.
"Chika, besok akan ada pria yang datang melamarmu." Aland yang memanggil Chika ke ruang keluarga dan memberitahu anaknya.
Mata Chika membulat sempurna saat mendengar ucapan papanya. "Melamar?" tanyanya memastikan. "Apa maksudnya, Papa akan menjodohkan Chika?"
"Kalau kamu menganggap begitu, anggap saja begitu," jawab Aland dengan santai.
"Pa, ini sudah jaman modern, kenapa bisa Papa menikahkan dengan cara menjodohkan?" Chika benar-benar kesal karena papanya dengan teganya memaksakan kehendaknya.
"Chika, kakakmu juga dulu menikah karena dijodohkan, dan dia bahagia jadi kenapa tidak sekarang kamu dijodohkan?" Sang mama ikut menimpali ucapan suaminya.
"Akan tetapi Chika mencintai pria lain," sanggah Chika.
"Baiklah, kalau begitu mintalah dia datang kemari dan bersama keluarganya. Jadi agar, papa bisa melihat pria mana yang layak untukmu."
Chika membeku. Dia tidak mungkin meminta Erik tiba-tiba datang, sedangkan Erik sampai detik ini belum menyatakan cinta. Lagi pula Erix besok jelas tidak akan bisa datang ke rumahnya.
Kini di sinilah Chika berada, berhadapan dengan Felix dan keluarga Shea dan Bryan yang ikut mewakilinya.
"Sebaiknya kita lansung saja ke acara inti pernikahan, jadi agar tidak terlalu lama," ucap Daniel.
"Benar, sebaiknya tidak perlu acara pertunangan, langsung saja acara pernikahan saja." Aland setuju dengan ide yang diberikan oleh Daniel.
Chika hanya bisa menelan salivanya saat ternyata dua keluarganya itu tidak akan lama mengadakan pernikahan. Dia benar-benar bingung bagaimana cara agar semua ini gagal.
"Maaf, sebelumnya, saya memang sudah mengenal Felix, tetapi saya belum mengenal dengan baik Felix. Bisakah jika kami melakukan pertunangan dulu dan kemudian enam bulan lagi kami menikah." Chika memberanikan diri untuk mengatakan pada semua yang berada di rumahnya.
Aland menyenggol tubuh Chika. Dia terkejut kenapa putrinya mengatakan akan hal itu. Namun, Chika mengabaikan papanya begitu saja. Dia tidak ada pilihan lain, karena kini dia sudah terjebak.
Anggota keluarga yang lain juga terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Chika. Padahal mereka berharap pernikahan akan segera di gelar. Mereka semua akhirnya memilih diam dan menunggu Papa Chika mengatakan sesuatu.
"Aku juga setuju." Suara Felix terdengar saat keheningan. "Apa yang dikatakan Chika benar. Kami belum terlalu dekat jadi mungkin dengan bertunangan dulu, kami bisa saling lebih mengenal sebelum hari pernikahan tiba," ucapnya menatap Chika.
Felix berpikir mungkin dengan perkenalan lebih dekat, dia bisa membuat Chika jatuh cinta dan menikah karena cinta.
Siapa yang mau benar-benar mengenalmu. Chika hanya bisa mencibir dalam hatinya tentang apa yang dikatakan oleh Felix.
"Felix sudah setuju jadi saya rasa tidak apa jika memang mereka berdua mau bertunangan lebih dulu." Daniel ikut menimpali ucapan Felix dan Chika.
Aland akhirnya setuju juga. Mereka melanjutkan dengan merencanakan kapan acara pesta pertunangan dilaksanakan, dan minggu depan adalah waktu yang mereka pilih, mengingat hanya keluarga saja yang akan datang.
Semua sepakat termasuk Felix dan Chika. Mereka mengakhiri semua perbincangan dengan makan bersama. Saat akan makan, Chika menarik Shea ke dalam kamarnya. Dia ingin mendengar penjelasan dari Shea kenapa bisa Felix melamarnya.
"Kenapa kamu tidak mengatakan jika Felix melamarku?" tanya Chika kesal pada Chika.
"Aku semalam menghubungimu, tetapi ponselmu sibuk," jawab Shea. Kemarin setelah menghubungi Papa Chika, dia menghubungi Chika, tetapi temannya itu sangat sulit dihubungi.
Chika menghela napasnya. Semalaman dia mendengarkan cerita Erik, jadi benar saja Shea tidak bisa menghubunginya. "Lalu kenapa kamu tidak mencegah Felix untuk melamarku?"
Mencegah? tanya Shea dalam hatinya. Justru dialah yang meminta Felix melamar Chika jika pria itu memang benar-benar mencintai.
"Dia mencintaimu, dan waktu aku mengubungi Papamu dan menjelaskan jika ada pria yang akan melamarmu, dia menerima. Jadi aku bisa apa jika keduanya tidak keberatan," jelas Shea.
"Tapi aku keberatan!" ucap Chika tegas. Dia masih belum bisa terima jika Felix akan menikahinya.
"Jika kamu tidak mau, kenapa kamu justru meminta pertunangan?" tanya Shea.
Chika bingung menjelaskan pada Shea keadaannya sekarang. Papanya seolah tidak bisa dibantah sedangkan Erix tidak mungkin bisa tiba-tiba datang bak penolong. "Entahlah."
"Dengarkan aku, aku tahu kamu kecewa, tetapi percayalah Felix orang baik."
"Baik," cibir Chika.
Shea menggeleng. Dia tahu temannya sedang sangat kesal, jadi dia tidak mau menambah kekesalannya. "Dengarkan aku! Terkadang orang yang kelihatan buruk belum tentu benar-benar buruk, dan juga orang yang kelihatannya baik belum tentu baik juga." Dia mengatakan dengan penuh penekanan, agar temannya itu mengerti.
Chika yang masih diliputi dengan kekesalan, mengabaikan omongan Shea. Sampai akhirnya suara ketukan pintu terdengar. Saat pintu dibuka, Elia memberitahu jika anggota keluarga Shea dan Felix akan pulang.
Shea dan Chika keluar dari kamar dan bergabung kembali. Semua anggota keluarga Bryan berpamitan dan menyerahkan semua pada para ibu-ibu yang akan mengurus semua persiapan pertunangan Chika dan Felix.
Sebelum pulang, Felix mengatakan jika besok saat jam istirahat dia akan menjemput Chika untuk membeli cincin pertunangan. Chika hanya menjawab dengan malas permintaan Felix. Entah apa yang akan dia lakukan pada pria itu, karena sebenarnya dia sangat malas.
.
.
.
.
...Jangan lupa like dan koment...
...Berikan juga hadiah ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!