NovelToon NovelToon

Bidadari Untuk Theo

PROLOG

Pagi ini, aku merasa bahagia.

Bagaimana tidak?

Hidupku sebagai seorang pria akan menjadi sempurna kurang dari satu bulan lagi. Aku akan menjadi seorang ayah tak lama lagi. Dan akhirnya aku akan bisa bersaing dengan Devan untuk menjadi seorang hot daddy.

Seperti sebelum-sebelumnya, aku mengantar istriku ke rumah sakit pagi ini untuk check up rutin. Kandungan Risha sudah genap delapan bulan. Dan kata dokter, istriku sehat. Calon bayiku yang berjenis kelamin perempuan juga sehat.

Masih terekam dengan sangat jelas, gerakan-gerakan calon anakku di layar monitor tadi, saat aku dan Risha berjalan menyusuri koridor rumah sakit untuk menuju ke tempat parkir. Aku merasa menjadi pria paling beruntung di muka bumi ini. Hidup mapan, istri cantik yang begitu aku cintai, dan calon anakku yang sebentar lagi akan lahir.

"Sayang, itu bapak yang jualan mangga ada di sana lagi." Risha menunjuk kepada bapak tua yang biasa mangkal di dekat pintu masuk rumah sakit.

Risha biasanya akan membeli barang apapun yang dijajakan oleh bapak tua tersebut, sekedar untuk berbagi rezeki.

Ah, istriku yang berhati mulia.

"Aku ambil mobil dulu, nanti kita berhenti di sana," usulku seraya mengusap rambutnya yang hitam lurus.

"Kamu ambil mobil, aku jalan ke sana. Kan cuma dekat. Sekalian olahraga," bantah Risha seraya mengecup pipiku.

"Baiklah, hati-hati!" Pesanku seraya melepaskan genggaman tangan kami berdua.

Aku baru berpaling sebentar, dan mungkin Risha juga baru melangkahkan kakinya beberapa langkah, saat tiba-tiba mobil laknat itu melaju dengan kecepatan tinggi dari arah halaman parkir, melewatiku dan secepat kilat aku berbalik.

Tidak!

Risha-ku!

Aku berteriak memanggil nama istriku saat mobil hitam itu menghantam tubuh Risha hingga terpental cukup jauh lalu mendarat di aspal yang keras.

Braaak!

Mobil masih terus melaju dan menabrak pos satpam hingga akhirnya berguling miring di dekat pos satpam yang sudah hancur.

Jantungku terasa mencelos. Tulang-tulangku seakan dilolosi dari sendinya. Aku berlari, meskipun kakiku terasa semakin lemah dan langkahku melambat.

Tapi aku terus berlari ke arah istriku yang kini terkapar bersimbah darah diatas aspal hitam.

"Risha!"

Tidak! Ini pasti mimpi! Risha-ku!

Aku kini sudah berhasil memeluk tubuh istriku yang bersimbah darah. Membopongnya dengan segera untuk membawanya kembali ke dalam rumah sakit. Mengabaikan orang-orang yang ikut berlarian untuk membantuku.

Beberapa orang menggeret brankar agar aku bisa segera meletakkan tubuh istriku disana. Lalu para perawat mendorongnya masuk ke sebuah ruangan. Masih bisa kullihat mata Risha yang menatapku sayu.

"Sayang...cinta....kamu," lirih dan terbata-bata bibir itu mengucapkan sebuah kalimat.

Tidak, Risha!

Tidak!

Jangan pergi dulu! Jangan tinggalkan aku!

Para perawat mendorong brankar Risha masuk ke sebuah ruangan yang aku tidak dijinkan untuk masuk ke dalamnya.

Tubuhku meluruh ke atas lantai dan tangisku pecah seketika.

Aku takut!

Aku takut!

Tanganku yang masih terkena darah Risha merogoh ponsel di saku. Menekan nomor prioritas, yang langsung diangkat sebelum dering pertama berakhir.

"Theo, ada apa?"

"Dev, Risha kecelakaan!" Jawabku yang kembali menangis tersedu-sedu.

"Aku kesana sekarang."

Ponselku jatuh dari genggaman.

Aku masih duduk di lantai rumah sakit yang dingin, memeluk lututku dan menangis tergugu.

Jangan pergi dulu, Risha!

Jangan pergi dulu bidadariku!

.

.

.

Halo! Aku balik lagi 😁

Huh, prolognya udah bikin deg-degan ya?

Ini adalah cerita Matheo Rainer, asisten sekaligus sepupu Nona Bellinda yang sekarang juga adalah sahabat karib Devan.

Yang kemarin nanyain kisah rumah tangganya Bellinda-Devan pasca menikah, nanti bakal aku selip-selipin juga di sini berdampingan dengan kisah cintanya Theo.

Alur mundur-maju-mundur dan bakalan banyak flashback serta mengandung beberapa teka-teki. Jadi bacanya pelan-pelan, ya!

Biar nggak bingung 🙈

Jangan lupa masukin ke rak favorit 😙

Terima kasih yang sudah mampir.

Dukung othor dengan like dan komen di bab ini.

SATU TAHUN SEBELUMNYA...

Satu tahun sebelumnya,

Astaga! Astaga! Astaga!

Naya menarik rem tangan motornya sambil tak berhenti menggerutu dalam hati. Mata gadis itu membulat melihat tubuh kekar yang kini jatuh menelungkup di atas trotoar.

Apa Naya baru saja menabraknya?

Tapi orang itu memang menyeberang tiba-tiba tadi.

Tapi kalau Naya menabraknya, bukankah seharusnya motor Naya juga oleng dan terjatuh?

Sepertinya tadi motor Naya belum sempat menyenggol tubuh kekar itu.

Naya sudah kembali menaikkan standart motornya dan menghidupkan mesin motor matic-nya, saat tiba-tiba kepala orang itu berputar cepat dan netranya menatap tajam ke arah Naya.

Jantung Naya hampir saja jatuh ke perut melihat tatapan tajam itu. Orang itu bangun dengan cepat dan menghampiri Naya yang masih gemetar di atas motornya. Bahkan sekarang Naya mendadak lupa bagaimana caranya menghidupkan motor matic kesayangannya tersebut.

"Tolong aku!" Suara bass dari pria yang wajahnya tidak terlalu jelas itu menyusup ke dalam helm Naya.

"Woy! Dia disana!" Teriakan dari segerombolan orang di kejauhan membuat Naya semakin panik.

Ada apa ini?

Ada apa ini?

"Cepat! Pergi dari sini!" Pria itu secepat kilat sudah naik ke belakang jok motor Naya.

Naya hampir saja kehilangan keseimbangan kalau saja kaki pria itu tidak menahan motornya.

Naya terlalu gemetar hingga tangannya tak sanggup menyalakan mesin motor.

"Cepat!" Sergah pria itu saat segerombolan orang yang mengacungkan kayu sudah berlarian di belakang motor Naya.

Pria bertubuh kekar itu mengambil alih kendali motor Naya, menyalakan mesin dengan cepat dan segera menarik gas.

Motor melaju dengan stang yang dipegang penuh oleh pria itu dan Naya duduk di depan seperti anak kecil yang gemetar, ketakutan, dan ingin menangis sekarang.

****

Beberapa bulan setelah pernikahan Devan dan Bellinda.

"Kami minta maaf, Pak Owen. Kami sudah berupaya keras mencari Risha satu bulan terakhir. Tapi anak itu seperti hilang ditelan bumi."

Aaarggh!

Theo menggeram frustasi.

"Risha memang menolak perjodohan ini sejak awal kami menyampaikannya. Tapi kami sungguh tidak menduga, jika Risha akan nekat kabur dari rumah demi menghindari perjodohan ini."

Brengsek!

Theo meneguk sekali lagi minuman di gelasnya hingga tenggorokannya terasa terbakar. Papanya pasti akan marah besar jika tahu Theo pergi ke club malam dan meminum cairan terkutuk ini.

Tapi siapa peduli?

Theo sedang frustasi sekarang.

Gadis yang rencananya akan dijodohkan dengan Theo tiba-tiba kabur tak tahu rimbanya. Theo merasa kesal.

Kenapa gadis itu menolak Theo mentah-mentah?

Memangnya Theo kurang apa?

Theo pria yang tampan, mapan, dan pekerja keras.

Risha Sahanaya, itulah nama gadis yang rencananya akan dijodohkan dengan Theo.

Risha adalah teman masa kecil Theo. Sayangnya mereka harus berpisah saat Risha dan keluarganya harus pindah ke luar negeri.

Dan setahun terakhir, Risha dan keluarganya kembali ke negara ini. Yang lebih membahagiakan, ternyata diam-diam papa Owen dan orang tua Risha sudah bertemu dan merencanakan perjodohan Theo dan Risha.

Theo tentu saja sangat bahagia, saat sang papa menyampaikan berita tentang perjodohan tersebut, karena sudah sejak lama Theo memendam perasaan pada Risha. Namun sayangnya, di malam yang seharusnya menjadi ajang pertemuan Theo dan Risha setelah bertahun-tahun terpisah malah menjadi malam yang paling Theo benci.

Risha kabur dari rumah.

Risha menolak perjodohannya dengan Theo.

Ah sudahlah!

Theo benar-benar sedang kesal sekarang.

Theo kembali meneguk cairan laknat itu hanya demi membuat tenggorokannya merasa panas terbakar. Kali ini pria itu meneguknya hingga tandas tak tersisa.

Theo keluar dari club malam itu dengan langkah sedikit terhuyung. Meraba-raba sakunya dan mencari kunci mobil.

Ponselnya berbunyi, saat pria itu hendak memakai sabuk pengaman.

"Theo, kau dimana?" Suara Devan di seberang telepon terdengar khawatir.

"Aku akan pulang sebentar lagi, Dev! Kau bukan ibuku. Kenapa harus khawatir berlebihan seperti itu?" Sahut Theo masih dengan nada kesal.

"Bukan aku. Tapi paman Owen yang mengkhawatirkan keadaanmu."

"Iya, iya. Aku pulang sekarang. Dasar bawel!" Gerutu Theo seraya menutup panggilan dari Devan.

Theo melempar ponselnya begitu saja ke jok di samping kursi pengemudi. Pria itu segera melajukan mobilnya membelah jalanan kota yang cukup lengang.

Perjalanan pulang yang Theo kira akan lancar, ternyata harus terhenti tatkala segerombolan pemuda mengacungkan kayu dan senjata tajam lain untuk menghentikan mobil Theo.

Sial!

Pintu mobil digedor dengan kasar. Theo memilih untuk mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah. Meskipun sebenarnya Theo punya sedikit ilmu beladiri, namun Theo sedang tidak mau mencari perkara.

Mereka lebih dari lima orang dan Theo hanya sendiri. Belum lagi Theo yang saat ini setengah mabuk, membuat Theo sadar diri kalau ia tak akan mampu melawan gerombolan begal ini. Theo tidak mau mati konyol di tangan begal-begal sialan ini.

"Kalian mau mobilku? Ambil saja!" Theo melemparkan kunci mobilnya pada kawanan begal.

"Dompet!" Kata salah satu begal sambil mengacungkan golok ke arah Theo.

Theo merogoh saku celananya untuk mengambil dompet. Disaat bersamaan, kakinya juga mengambil ancang-ancang untuk segera lari dari tempat ini.

Satu

Dua

Tiga!

Theo melempar dompetnya ke arah salah satu begal sebelum akhirnya dirinya lari membelah jalanan malam yang entah mengapa terasa lengang. Theo terus lari tanpa peduli arah yang dia tuju. Sesekali matanya menoleh ke belakang, memastikan kalau kawanan begal tadi tidak sedang mengejarnya sekarang.

Theo menyeberang jalan dengan cepat dan jatuh tertelungkup di atas trotoar karena keseimbangannya hilang tiba-tiba. Dan disaat bersamaan, sebuah motor matic mengerem dan berhenti mendadak hanya beberapa inchi dari tubuh Theo yang kini tersungkur di atas trotoar.

****

Theo duduk di trotoar jalan seraya menselonjorkan kakinya yang nyaris putus. Gadis yang tadi hampir menabraknya dan membantunya kabur dari kawanan begal, sedang berjongkok di bawah motor seraya menutup wajahnya. Sepertinya sedang menangis.

"Kau kenapa?" Tanya Theo tak mengerti.

Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih tertutup helm dan tak menjawab sepatah katapun. Theo hanya mengendikkan bahu.

"Dimana rumahmu?" Theo mengganti pertanyaannya.

Gadis itu masih membisu, namun tangannya bergerak cepat melepas tas selempangnya lalu memberikannya pada Theo.

"Aku hanya punya beberapa uang tunai dan ponsel murahan di dalam tas. Tapi tolong jangan ambil motorku," suara gadis itu terdengar memelas. Masih ada sisa-sisa isak tangis dari caranya berbicara.

"Kau pikir aku begal?" Sahut Theo merasa sebal.

Theo mengambil tas selempang yang tadi disodorkan gadis itu dan memakaikannya kembali ke tubuh gadis itu.

"Siapa namamu?" Bisik Theo seraya mendekatkan wajahnya pada gadis yang masih menunduk ketakutan tersebut.

"Na...Naya. Kau bau alkohol!" Suara Naya tercekat di tenggorokan.

"Ya, aku tadi sedikit mabuk, lalu aku di begal, dan sekarang aku jadi gembel yang tak punya kendaraan untuk pulang," cerita Theo menjelaskan kronologi kejadian yang menimpanya.

"Boleh aku pinjam motormu?" Tanya Theo to the point, menatap tajam ke arah Naya yang melihatnya dengan tatapan aneh.

"Dahimu berdarah," ucap Naya merasa ragu.

Theo segera meraba dahinya sendiri, mencari bagian yang terasa nyeri yang rupanya ada di dahi sebelah kanan. Pasti gara-gara Theo jatuh menabrak trotoar tadi.

"Hanya luka ringan," jawab Theo santai.

Pria itu sudah beranjak dan bangkit dari duduknya.

"Dimana rumahmu?" Tanya Theo yang kini sudah naik ke atas jok motor Naya.

"Kenapa bertanya rumahku? Bawa saja motorku! Aku akan pulang sendiri," ketus Naya sedikit mencebik.

"Kau akan pulang naik apa, Nona Naya?" Theo kembali mendekatkan wajahnya ke arah Naya.

"Aku bisa naik ojek, atau angkot," jawab Naya sedikit ragu. Matanya celingukan ke arah jalan yang lengang.

Mana ada ojek atau angkot jam segini?

Ini bahkan hampir tengah malam.

"Sudah hampir tengah malam," Theo mengetuk-ngetuk arloji di tangannya.

Naya masih mencebik.

"Naik!" Perintah Theo sedikit memaksa.

"Kau mau menculikku?" Tuduh Naya berprasangka.

"Kau anak konglomerat memangnya?" Kekeh Theo yang kembali turun dari motor.

"Naik saja! Apa susahnya?" Theo mengangkat tubuh Naya dan mendudukkan gadis itu ke jok belakang motor bak anak kecil.

Dan Theo segera naik kembali ke atas motor, men-starter-nya, lalu melaju menyusuri jalanan malam yang lengang.

Naya merasa asing dengan arah jalan yang dilalui oleh Theo. Pria ini mau membawa Naya kemana?

Motor terus melaju hingga akhirnya berbelok masuk ke sebuah basement gedung apartemen.

Sial!

Apa pria ini akan membawa Naya ke apartemennya?

.

.

.

Bingung nggak?

Hihihihi

Terima kasih yang sudah mampir.

Dukung othor dengan like dan komen di bab ini.

TERIMA KASIH

Motor sudah terparkir di dalam basement gedung apartemen. Theo menguncinya dan segera menyimpan kunci motor tersebut ke saku celananya.

"Kunci motorku, kembalikan!" Hardik Naya menatap tajam pada Theo.

"Kau mau kemana memangnya?" Theo balas mendelik ke arah Naya.

"Pulang," jawab Naya seraya memalingkan wajahnya.

"Ini sudah tengah malam. Berbahaya jika kau pulang sendiri," dengkus Theo meraih tangan Naya dan sedikit menyeret gadis itu untuk ikut dengannya.

"Aku tidak mau!" Tolak Naya keras kepala.

"Aku akan membopongmu, jika kau terus-terusan keras kepala!" Theo mengancam Naya.

Gadis itu mencebik sekali lagi.

Akhirnya Naya melepas helm di kepalanya dan membenarkan ikatan rambutnya yang sedikit berantakan. Gadis itu mengikuti langkah Theo yang sudah masuk ke dalam lift.

"Kenapa kau membawaku ke apartemenmu?" Tanya Naya memecah kebisuan di dalam lift.

"Aku sudah bertanya alamat rumahmu sedari tadi, dan kau tak kunjung menjawab. Aku tidak mau terus-terusan berada di jalan. Bagaimana kalau para begal itu kembali menyerang kita?" Panjang lebar Theo memberikan jawaban untuk pertanyaan Naya yang bahkan hanya terdiri dari satu kalimat.

Ting!

Lift sudah sampai di lantai tempat unit apartemen Theo berada. Theo keluar dari lift dan Naya mengekori pria itu sambil tak berhenti menggerutu dalam hati.

Pintu apartemen terbuka, Theo mempersilahkan Naya untuk masuk ke dalam apartemennya, sebelum pria itu kembali menutup pintu dan menguncinya memakai password.

Apa?

Apa pria ini akan mengurung Naya di apartemennya.

"Anggap saja rumah sendiri dan tidak perlu sungkan. Aku akan mandi," ucap Theo pada Naya yang masih mematung di ruang tamu apartemen.

Theo sudah menghilang dengan cepat ke dalam kamarnya.

Naya menghela nafas kasar sebelum mendaratkan bokongnya di sofa empuk tersebut. Netra gadis berusia dua puluh empat tahun itu berkeliling memindai setiap sudut apartemen Theo yang ukurannya berkali-kali lipat dari kamar kost-nya.

Naya merogoh ponsel di dalam tas selempangnya, sekedar memeriksa pesan yang masuk.

Tidak ada pesan!

Memangnya apa yang Naya harapkan?

Pesan mesra dari mantan pacarnya yang mesum itu?

Ah, sudahlah!

Tidak perlu lagi memikirkan pria brengsek nan mesum itu.

Bukankah hubungan mereka sudah berakhir?

Dan sekarang Naya malah terjebak di apartemen seorang pria asing.

Yang setengah mabuk.

Yang mungkin juga sama brengseknya dengan sang mantan pacar.

Apa semua pria memang brengsek?

"Kau sedang apa disini?" Teguran Theo lumayan membuat Naya terlonjak kaget.

Pria itu sudah mandi dan terlihat segar sekarang. Mengenakan celana rumahan selutut dan kaus berwarna hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih.

"Menunggumu membuka pintu apartemen itu untukku, agar aku segera bisa pulang," jawab Naya seraya mengendikkan dagunya ke arah pintu masuk.

Theo menyodorkan sebuah kotak P3K pada Naya.

"Tolong obati lukaku! Aku tidak bisa melakukannya sendiri," pinta Theo yang kini sudah duduk di samping Naya.

Aroma maskulin dari pria itu langsung merebak memenuhi indera penciuman Naya.

"Kenapa tadi tidak ke rumah sakit atau UGD saja?" Gerutu Naya yang mulai membuka kotak P3K.

Gadis itu mengambil kapas, lalu meneteskan cairan betadine ke atasnya. Dengan hati-hati, Naya mulai mengobati luka di dahi kanan Theo. Lukanya tidak terlau dalam, jadi Naya hanya menutupnya dengan kain kasa dan plester.

"Sudah," ucap Naya yang kembali membereskan isi kotak P3K.

"Terimakasih," ucap Theo tulus.

Naya hanya mengangguk samar.

"Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawaku," ucap Theo sekali lagi dengan kalimat yang lebih lengkap.

"Apa?" Naya tidak mengerti. Otaknya mendadak menjadi lemot.

Menyelamatkan nyawa?

Hanya mengobati luka kecil begitu, dan pria ini mengatakan mengatakan kalau Naya sudah menyelamatkan nyawanya?

Benar-benar gombalan tingkat tinggi.

"Kau sudah menyelamatkan nyawaku dari para begal sialan itu. Kalau kau tidak lewat, mungkin aku sudah babak belur di hajar para begal," jelas Theo yang hanya disambut Naya dengan sebuah anggukan samar.

"Hanya sebuah kebetulan," gumam Naya yang sepertinya tidak didengar oleh Theo.

Sejenak suasana menjadi hening. Dua manusia itu seakan kehabisan bahan pembicaraan.

"Oh, ya. Ngomong-ngomong, kau tinggal dimana?" Tanya Theo yang akhirnya kembali menemukan bahan untuk berbasa-basi.

"Aku nge-kost di kota ini," jawab Naya datar.

"Kuliah?"

"Kerja di salah satu minimarket," jelas Naya sekali lagi.

"Minimarket dua puluh empat jam? Kenapa hampir tengah malam begini baru pulang?" Raut wajah Theo dan cara bicara pria itu terdengar khawatir.

Aneh sekali. Padahal mereka baru saja bertemu.

Naya hanya mengendikkan bahu dan sepertinya enggan untuk menjelaskan lebih detail.

Haruskah Naya berkata jujur kalau dirinya baru saja kabur dari rumah sang pacar?

Tidak!

Mantan pacar lebih tepatnya.

Mantan pacarnya yang mesum dan hampir memperkosa dirinya. Dan sekarang Naya malah bersama seorang pria asing di dalam sebuah apartemen yang dikunci dengan password.

Mungkin ini yang dinamakan keluar dari mulut buaya dan masuk ke mulut singa. Naya sedang masuk ke mulut singa sekarang. Singa yang tampan, putih tegap, dan mempesona.

Ya, ampun!

Kenapa pria ini begitu tampan?

"Nay!"

"Eh, iya, apa?" Jawab Naya tergagap karena dirinya baru saja melamun dan sedikit berpikiran kotor.

Hush! Hush!

Pergi kau pikiran mesum!

"Kau melamun apa?" Tanya Theo kepo yang sekarang kembali mendekatkan wajahnya pada Naya.

Demi apapun, dada Naya terasa mengembang dan siap meledak kapan saja, jika pria ini tak segera menjauhkan wajahnya dari wajah Naya.

Jantung apa kabar jantung?

Oh jantung Naya sudah memompa dengan sangat cepat. Semoga Theo tidak mendengarnya sekarang.

"Ti...tidak ada!" Jawab Naya dengan suara tergagap-gagap.

Theo tertawa kecil.

"Kau begitu menggemaskan!" Theo mencolek hidung Naya yang sontak membuat pipi Naya menjadi bersemu merah

Astaga!

Memalukan sekali!

Theo melirik sekilas ke arah jam dinding yang tergantung di ruangan tersebut.

"Sudah lewat tengah malam. Sebaiknya kau pergi tidur," saran Theo seraya beranjak dari duduknya.

"Tidur? Disini?" Tanya Naya bingung.

"Di kamarku," jawab Theo santai.

"Tidak!" Sergah Naya cepat dan terlihat marah.

Theo mengernyitkan kedua alisnya. Merasa heran dengan ekspresi wajah Naya yang tiba-tiba berubah garang.

"Maksudku aku bukan wanita murahan yang bisa kau ajak tidur atau apapun itu," sambung Naya lagi masih mempertahankan raut wajah garangnya yang justru terlihat lucu di mata Theo.

"Memangnya siapa yang bilang kau gadis murahan?" Tanya Theo yang sontak membuat Naya salah tingkah.

"Dan aku juga tidak menyuruhmu untuk tidur bersamaku," imbuh Theo lagi yang semakin membuat Naya salah tingkah karena berpikiran yang tidak-tidak.

"Hanya ada satu kamar di apartemen ini, dan aku tidak mungkin menyuruhmu tidur di sofa." Theo merunduk dan merengkuh kedua bahu Naya.

"Jadi sebagai pria jantan, aku akan membiarkan gadis baik hati yang sudah menyelamatkan nyawaku untuk tidur di kamarku yang hangat itu dan biar aku saja yang tidur di sofa." Telunjuk Theo mengarah ke sofa ruang tengah.

"Jangan lupa untuk mengunci pintu kamar malam ini, karena aku bisa menerkammu kapan saja," imbuh Theo lagi berbisik di telinga Naya.

Wajah Naya kembali memerah, dan gadis itu dengan cepat beranjak berdiri tanpa menyadari kalau Theo masih merunduk dan melingkupi tubuhnya dengan badan kekar pria itu.

Bugh!

Kepala Theo dan Naya saling beradu. Dua orang itupun saling meringis dan memegangi kepala masing-masing. Theo tergelak, sementara Naya langsung berlari ke arah kamar Theo demi menyembunyikan wajahnya yang entah sudah semerah apa sekarang.

Naya menutup pintu kamar Theo dan bersandar di balik pintu, berusaha menormalkan irama jantungnya yang terasa ingin meledak.

Sial!

Sial!

Sial!

Ada apa dengan jantung Naya?

.

.

.

Terima kasih yang sudah mampir

Dukung othor dengan like dan komen di bab ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!