NovelToon NovelToon

Kekuatan Cinta

Pertemuan*

"Ahh... hei tunggu..!!" teriakan seorang gadis cantik berambut panjang.

Dia adalah Aurora Wijaya , gadis cantik putri tunggal Tuan Hardy Wijaya dan Nyonya Riyanti. Mereka adalah keluarga yang cukup terpandang di negara ini. Ayahnya seorang pengusaha kain yang memiliki banyak garment, sedangkan ibunya seorang desainer ternama yang memiliki butik dengan pelanggan high class.

Seorang pria tampan bertopi serta mengenakan kacamata hitam menghentikan langkahnya dan berbalik menatap gadis cantik yang berteriak memanggilnya.

"Ada apa?" tanya pria itu.

"Dompet kamu terjatuh. Punya kamu kan?" Aurora menyodorkan dompet milik pria itu.

"Terima kasih." Pria itu mengambilnya dan melenggang meninggalkan gadis itu.

Aurora hanya menatap datar punggung pria itu hingga kian menghilang dari pandangannya. Hatinya berkata jika pria itu adalah sosok yang pernah ditemuinya, sayangnya ia tidak bisa mengingat walau ia berpikir keras. Tidak ingin ambil pusing, ia memilih melanjutkan langkahnya ke parkiran kampus dimana mobilnya berada.

"Aurora tunggu, aku nebeng pulang yah, hari ini lagi gak bawa mobil." Ucap Listy teman sekaligus sahabatnya di kampus.

Aurora tersenyum dan mengangguk.

"Okey, tapi kamu yang bawa." Aurora menyerahkan kunci mobilnya.

Mobil pun melaju meninggalkan area kampus. Membelah jalan di tengah teriknya matahari. Lalu lintas yang padat merayap seolah menjadi makanannya sehari hari, untung saja mobil yang dikendarainya sudah menggunakan sistem autopilot yang lebih memudahkan mereka saat mengemudikannya.

"Ra! Ngapain sih ngalamun gitu?" tanya Listy yang dari tadi memperhatikan sikap Aurora.

"Nggak kok, cuma lagi mikirin ucapan mamah." ucapnya sembari tersenyum.

"Ada apa? Kalo punya masalah ceritain aja, mungkin aku bisa bantu." Kata Listy sambil menoleh kesamping.

"Lagi bingung aja menyikapi keadaan ini. Mamah bilang mau jodohin aku dengan anak temannya." ucapnya lesu

"Whats...!!Apa aku gak salah denger Ra!" pekik Listy yang kaget mendengar ucapan sahabatnya.

"Entahlah. Kata mamah dia pria yang baik dan udah mapan. Gue juga belum tau orangnya."

"Kalau ganteng mah aku juga mau kali Ra." ucap Listy menggoda sahabatnya.

"Dasar...!!" Aurora menonyor kepala Listy.

"Adowh! jahat amat sih. Aku kan ngomong apa adanya. Secara ya, tante Riyanti gak mungkin ngejodohin anaknya jika nilainya kurang dari 90. Wah pasti tu cowok ganteng, keren plus tajir pula. Percaya deh sama aku, mamamu pasti gak akan salah pilih. Tapi kalau kamu nggak mau, biar aku yang tampung. Hehehe.."

Aurora hanya diam tak menanggapi. Ia saja sampai saat ini masih dilema memikirkan hubungan dengan pacar masa lalunya. Walaupun janji itu dibuat ketika dirinya masih remaja, tapi ia menganggap jika hubungan itu belum putus sampai sekarang. Dan setelah sekian lama ia membatasi hubungan dengan laki-laki lain, tapi apa kenyataannya. Sekarang malah ia dijodohkan dengan pria lain. Ia bingung harus bagaimana. Ia merasa jika penantiannya selama ini akan sia sia belaka.

"Haruskah hubungan kita berakhir sampai disini Kak Ard." Batin Aurora sendu.

.

.

"Mamah...aku pulang..!!" seru Aurora begitu masuk ke dalam rumah dan memeluk mamanya yang sedang berkutat di dapur bersama para pelayan.

"Ehh, ada apa ini,kenapa tiba-tiba peluk mamah." tanya Riyanti lembut.

"Ga papa, kangen aja sama Mama. Yaudah kalo gitu aku ke atas dulu ya Ma." Aurora melepas pelukannya dan mengecup sekilas pipi mamanya.

"Tunggu Ra!" cegah Mamanya.

"Ya."

"Nanti malam akan ada tamu penting yang datang, mama harap kamu tidak mengecewakan mama."

Aurora hanya mengangguk walau hatinya teriris. Ia pikir jika memang dirinya berjodoh pasti akan bertemu disaat yang tepat.

.

.

Di kediaman Tuan Admaja

"Baru pulang nak?" Sapa Nyonya Yuli pada anak sulungnya.

"Ya Bun." Edward mencium pipi Bundanya.

"Nak, ada yang mau bunda bicarakan sama kamu, bisa duduk sebentar? Ayahmu sudah menunggu di sofa ruang tamu." Ujar Bunda Yuli pada putranya.

"Baiklah."

Ya dia adalah Edward Felix Edlyn. Anak sulung dari pasangan Tuan Admaja dan Nyonya Yuli. Merupakan eksekutif muda menggantikan posisi Ayahnya menjadi Direktur utama di perusahaan ekspor impor.

Mempunyai asisten kepercayaan sekaligus sahabatnya yaitu Lukas Fernando. Dingin, irit bicara dan tegas kadang bertingkah konyol. Kemampuannya hampir sama dengan Edward.

Edward pun mengikuti langkah kaki Bundanya dan mendudukkan bokongnya di sofa single. Perasaannya mendadak tidak enak.

"Ada apa ayah, Bunda? Apa yang ingin kalian bicarakan." tanya Edward melirik kedua orang tuanya.

"Edward, usiamu kan sudah 26 tahun. Seperti yang kami bicarakan waktu lalu, Ayah dan Bundamu berniat menjodohkan kamu dengan anak gadis sahabat Bundamu. Dan rencananya, nanti malam kami akan ke rumahnya untuk melamar putrinya. Setuju tidak setuju, kamu harus ikut dengan kami." ucap Tuan Admaja tidak ingin dibantah.

"Yah...!!" pekik Edward pada Ayahnya.

"Kenapa memutuskan sendiri. Aku belum mau menikah!" tolaknya mentah mentah.

"Apa alasanmu menolak pernikahan ini. Bahkan kami sudah membicarakan ini padamu jauh jauh hari."

"Ayah. Bunda. Aku sudah mengikat janji dengan dengan gadis kecilku Rara. Bagaimana bisa aku menghianatinya. Ini semua gara gara kalian. Jika saja kalian tidak menyuruhku ke London waktu itu. Pasti kami tidak akan terpisah selama ini. Bahkan ini sudah tahun ke 8. Kalian tidak tau bagaimana usahaku untuk mencarinya. Kalian egois. Kalian hanya mementingkan diri kalian sendiri!"

"Nak, percayalah, kalo jodoh nggak akan kemana, percaya sama Bunda. Ikuti saja takdirmu. Atau jangan jangan kamu sengaja ingin mengecewakan Bunda ya. Bunda tidak menyangka kamu bisa melakukan itu." ujar Bunda Yuli. Matanya memerah menahan tangis.

"Bukan seperti itu Bunda. Ayolah tolong mengerti keadaanku. Aku hanya tidak ingin menyakiti hati siapa pun. Bagaimana bisa aku menikah tanpa cinta. Aku mohon Bunda mengerti posisiku." Edward sudah frustasi, ia mengacak acak rambutnya.

"Kamu mengecewakan Bunda nak. Bunda nggak habis pikir denganmu."

"Aagghhh terserah kalian. Terserah! Ingat Bunda, Bunda juga sudah menyakiti hati ini." Edward beranjak dari dudukannya dan pergi begitu saja. Ia sangat marah sekali dengan kedua orang tuanya. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran kedua orang tuanya.

"Edward! Ayah nggak mau tau. Nanti malam kamu harus ikut dengan kami. Jangan coba coba kabur. Atau Ayah akan bertindak tegas padamu. Dan jangan coba coba mencoreng nama baik kami jika kamu tidak ingin melihat kami menanggung malu." tegas Tuan Admaja

"Terserah Ayah! terserah! Aku bahkan sudah tak mempunyai hak untuk mengatur hidupku sendiri. Lakukan seperti yang kalian inginkan. Tapi tolong jangan salahkan aku jika aku tidak bisa membahagiakan gadis itu. Karena sampai kapanpun aku hanya mencintai Rara."

Tuan Admaja hanya menghela nafasnya. Ia menatap istrinya penuh maksud. Nyatanya Bunda Yuli tetap bersikukuh dengan pilihannya. Ia sama sekali tidak ingin memberi tahu yang sebenarnya. Baginya, Aurora adalah calon yang tepat untuk putranya dan tidak bisa diganti dengan yang lain.

"Suatu saat kamu akan mengerti dan berterima kasih pada Bunda, Nak." batin Bunda Yuli menatap sendu putranya.

.

.

Jangan lupa tinggalkan jejaknya, like and komennya guys. Harap maklum, ini karya pertamaku, jadi musti banyak revisi.

❤ u all

Melamar Aurora*

Kediaman Tuan Admaja

Edward tampak muram ketika melihat tampilan dirinya didepan cermin, kemeja batik lengan panjang bermanset warna coklat tampak melekat pas ditubuh pria itu. Tak dapat dipungkiri jika Edward malam itu tampak mempesona, kulitnya yang bersih seakan memancarkan cahaya, harusnya wajahnya berseri seri saat akan melakukan acara lamaran pada sang kekasih, tapi ini lain ceritanya. Ia dipaksa, dan harus menuruti kehendak orang tua dengan dalih untuk kebaikannya. Kebaikan seperti apa yang dimaksud orang tuanya, ia juga belum tau. Yang harus dia tau adalah jika sebagai seorang anak harus menurut pada orang tuanya.

Perlahan kaki jangkung pria itu melangkah menuruni anak tangga. Disana sudah banyak orang yang menunggu. Tuan Admaja, Nyonya Yuli, Amelia adik kandungnya dan asistennya Lukas tersenyum tipis melihat penampilannya malam ini.

"Wuuihhh kakak tampan sekali pakai baju itu. Ck..ck..! Tak kusangka, wajah bad boy mu itu tampak seperti pangeran jika sudah seperti ini." Amelia berdecak kagum melihat tampilan kakaknya yang beda dari biasanya. Ia pikir kakaknya akan memakai setelan jas formal, nyatanya ia salah besar.

"Biasa aja." Jawab datar Edward.

"Isshh.." Amel menyebikkan bibirnya.

"Sudah sudah! Jangan ribut disini. Ayo kita segera berangkat! Jangan membuat mereka menunggu terlalu lama. Dan ingat Edward, jangan bikin malu Ayah!" Tuan Admaja memperingati putranya.

Mereka semua akhirnya keluar dari mansion mewah itu menuju mobil masing masing. Satu mobil yang berisi barang yang akan mereka berikan saat acara lamaran telah terparkir rapi dengan roti buaya di bagian atap mobil beserta kandang transparan dengan hiasan pita diatasnya.

"Tunggu!" cegah Edward. Ia menatap horor pada mobil yang biasa ia pakai.

"Bunda! Apa tidak ada yang lebih baik dari itu? Ini memalukan Bunda!"

Bunda Yuli hanya tersenyum kikuk, menggaruk pelipisnya yang tiba tiba gatal. "Jangan membantah! Itu namanya melestarikan tradisi." kilah Bunda Yuli agar putranya tak marah.

"Apa! Tradisi? Ck! Oh terserah Bunda saja, aku kalah jika begini."

Edward menggeleng lalu segera masuk mobil sportnya dan duduk di bangku penumpang. Ia sedang tidak ingin berdebat dengan orang tuanya, karena pasti tidak akan ada ujungnya. Terserah mereka melakukan apa pikirnya.

Lukas yang melihat itu hanya bisa tersenyum geli, tapi ia tak berani tertawa dihadapan Edward karena takut di tempeleng kepalanya. Ia tahu benar emosi tuannya saat ini, salah salah kakinya bisa dilubangi oleh pria itu.

.

.

Kediaman Tuan Hardy

Jam pun mulai menginjak pukul 8 malam. Tuan Hardy dan istrinya Nyonya Riyanti, sedang menunggu kedatangan calon besan dan calon mantunya. Hatinya harap harap cemas menanti kehadiran rombongan, pasalnya jam terus saja bergulir tanpa mau menunggu. Pasti akan sangat memalukan jika rombongan itu tak jadi datang, mau ditaruh dimana muka mereka di hadapan keluarga besar Wijaya.

Tak lama mereka mendengar suara deru mobil yang berhenti dan terparkir rapi di halaman mansion yang tak sebesar milik keluarga Tuan Admaja. Mereka berdua terlihat lega dan segera menyambut kedatangan rombongan didepan pintu mansionnya yang memang mereka buka lebar untuk penyambutan.

"Selamat datang di kediaman keluarga kami, maaf hanya gubuk kecil. Mari semua silahkan masuk." ucap Tuan Hardy ramah.

"Terima kasih dan jangan merendah." ucap Tuan Admaja dan mengulurkan tangan berjabat tangan.

"Mari mari silahkan duduk senyamannya." Timpal Nyonya Riyanti.

Rombongan duduk di sofa besar yang terlihat mahal. Edward duduk diapit kedua orang tuanya sedangkan Amelia dan Lukas duduk terpisah dengan ketiganya di sofa berbeda.

"Jadi ini Edward? Wah udah besar ya, beda sama yang dulu, lebih ganteng lagi. Saya sampai pangling lho." ucap Nyonya Riyanti memuji dan mengamati Edward.

"Iya. Mungkin kelamaan hidup diluar negeri dan jarang bertemu jadi tampak berbeda. Dan itu anak ke dua kami Amelia." Ucap Nyonya Yuli memperkenalkan putrinya yang langsung tersenyum lebar ke arah Nyonya Riyanti.

"Halo tante." Sapa Amel.

"Wah, kamu juga makin cantik. Udah besar ya, gak nyangka waktu cepat sekali berlalu. Dulu terakhir ketemu kamu masih kecil sekali." Nyonya Riyanti tersenyum.

"Ah tante bisa aja."

Edward hanya bisa pasrah duduk diantara kedua orang tuanya. Diam menyimak sambil mengamati dari jauh orang orang yang hadir dalam acara itu.

"Nyonya, ini mau diletakkan dimana?" Tanya seorang pelayan menyela pembicaraan mereka. Dua orang itu sedang mengangkat sebuah kotak besar yang berisi roti buaya. Dua pelayan itu bingung, pasalnya meja didepan Tuan rumah sudah dipenuhi banyak hantaran yang dibawa dari kediaman Tuan Admaja. Sudah tidak cukup jika harus diletakkan ditempat yang sama pikirnya.

Nyonya Riyanti meringis melihat ukuran roti sebesar buaya sungguhan, yang mungkin ia baru melihatnya kali ini. Ia pikir, mungkin calon besannya itu sampai mendatangkan patissier untuk membuatnya.

"Taruh didalam saja dan segera siapkan hidangan untuk tamu kita. Pastikan tersaji dengan baik." Ujarnya kemudian.

"Baik Nyonya."

Edward mengusap wajahnya malu. Di jaman semodern seperti sekarang, Bundanya masih saja menggunakan cara kuno untuk melamar seorang gadis. Tak habis pikir dengan Bundanya yang katanya kaum sosialita itu.

"Itu tradisi di keluarga kami, kalau kami membawa yang kecilkan sudah biasa, jadi kami sengaja membawa yang luar biasa. Konon katanya, buaya adalah simbol kesetiaan. Harapan kami, supaya anak anak bisa awet dan langgeng sampai tua dan sampai maut memisahkan." Nyonya Yuli tersenyum dan menepuk pelan bahu putranya.

"Wah sedalam itu filosofinya. Terima kasih, nanti kami akan bagikan pada sepupu Aurora yang lain biar bisa ketularan." Nyonya Riyanti menanggapi perkataan Nyonya Yuli.

Dua orang pria tua yang sedari tadi diam menyimak pembicaraan para istri akhirnya angkat bicara juga, karena jam juga sudah semakin meninggi.

"Lalu dimana putrimu? Sepertinya putraku sudah tidak sabar menunggu." Gurau Tuan Admaja, ekor matanya melirik Edward yang diam saja.

Tuan Hardy tersenyum. "Sabar, sebentar lagi juga turun. Kalian pasti tak akan bisa mengenalinya. Putriku sudah berubah menjadi gadis yang jelita, tidak seperti dulu yang belum bisa bersolek dan merawat diri." Ucap Tuan Hardy yang membanggakan Aurora. Istrinya hanya menepuk pelan paha suaminya mengingatkan agar jangan berlebihan.

Tuan Admaja hanya tersenyum mendengarnya.

Tak lama setelah itu, terlihat seorang gadis cantik menuruni anak tangga dengan gaya anggunnya. Suara high heels berbenturan dengan lantai granit rumahnya, membuat semua pasang mata memandang kearahnya.

Wajahnya yang bagaikan rembulan, cantik, teduh dan kalem pembawaannya membuat semua yang melihatnya melemparkan senyuman dan kata kata pujian.

Aurora yang saat itu menggunakan gaun panjang batik potongan mermaid dengan ekor panjang ke belakang hanya bisa berjalan pelan kearah Papa dan mamanya sambil menyunggingkan senyum tipis dari bibirnya.

Aurora tiba tiba merasa gugup ketika matanya bersirobok dengan seorang pria yang duduk diapit oleh kedua orang tuanya yang ia yakini jika pria itu adalah pilihan papa mamanya.

Tunggu, aku sepertinya pernah bertemu pria itu. Apa pria yang tadi di kampus ya.

"Cantik." satu kata yang lolos dari bibir Edward tanpa sadar. Lukas yang mendengarnya hanya bisa tersenyum penuh arti.

"Kemari sayang, duduk di sini." tutur mamanya menepuk tempat disebelahnya, Aurora pun mengangguk dan duduk di tengah tengah orang tuanya.

Tuan Admaja hanya bisa tersenyum melihat pilihan istrinya untuk anak sulung mereka. Aurora terlihat smart, berkelas, dan elegan dimatanya. Sangat cocok jika disandingkan dengan putranya. Mereka akan memperoleh bibit unggul berkualitas seperti harapannya.

"Oke, sebelumnya kami mengucapkan terimakasih dan berkenan menyambut dan menerima rombongan kami dengan sambutan hangat dan penuh kekeluargaan. Saya harap silaturahmi ini tidak akan putus sebagai keluarga." Tuan Admaja menoleh pada istrinya yang mengangguk memberi kode.

"Maksud kedatangan kami sekeluarga kemari adalah untuk melanjutkan rencana perjodohan yang telah kita sepakati bersama waktu lalu. Niatan utama yang kami bawa dari rumah menuju ke kediaman ini adalah untuk melamar ananda Aurora untuk putra kami Edward." Tuan Admaja tersenyum melihat Aurora yang menundukkan pandangannya.

"Berkenaan dengan hal tersebut, dengan penuh rasa hormat kami meminta kesediaan nak Aurora untuk dinikahi oleh putra kami Edward. Mengenai mahar, dan lain lain tentu kami percayakan sepenuhnya pada nak Aurora sendiri."

Aurora mengangkat kepalanya untuk memandang wajah pria yang sedari tadi memandangnya. Acara lamaran yang menurutnya sederhana ini, nyatanya membuat jantungnya berdegup tak karuan, apalagi saat mendengar suara Tuan Admaja yang berwibawa saat berbicara.

Seorang ayah yang melamarkan putranya dengan penuh rasa hormat, bisakah jika hanya untuk dibuat mainan saja. Rasanya itu tidaklah adil. Apalagi melihat Papa dan mamanya yang selalu tersenyum disepanjang acara, mampukah ia melukai perasaannya. Akan tetapi jika dirinya tidak menolak, bagaimana dengan kisah cinta lamanya. Bagaimana jika pria itu menuntut jawab dan bagaimana dengan hatinya sendiri, mampukah hatinya berpaling dengan pria lain yang bahkan dia sendiri tak mengenalnya.

Apa yang akan aku katakan pada mereka.

"Ehmm, jadi bagaimana menurutmu nak Aurora, apakah kamu bersedia dipinang putra kami?" tanya nyonya Yuli tak sabar.

Aurora menoleh kekanan dan kekiri melihat mama dan papanya. Mereka berdua mengangguk bersama, sebuah kode besar agar putrinya mau dan menerima lamaran tersebut. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu.

"Ya, sa..ya bersedia."

Semua mengucap syukur atas jawaban Aurora. Orang tuanya begitu lega mendengar jawaban putrinya.

Lalu bagaimana dengan Edward? Pria itu hanya tersenyum tipis untuk menghormati dua keluarga itu. Ia tak bisa membuat keluarganya malu atas sikapnya yang tidak sopan.

Acara dilanjutkan dengan penyematan cincin. Edward dan Aurora saling memasangkan cincin emas putih yang dibeli Nyonya Yuli. Keduanya tersenyum canggung.

Suara tepuk tangan memenuhi ruang tamu. Semua mengucapkan selamat dengan penuh suka cita. Edward dan Aurora hanya mengembangkan senyum palsu dihadapan mereka semua.

"Jadi kapan acara pernikahan akan dilangsungkan." tanya Tuan Admaja kepada Tuan Hardy calon besannya.

"Untuk itu sebaiknya setelah wisuda Aurora saja, bagaimana menurutmu Ma? Kasihan kalau kita nikahkan sekarang juga." Kelakar Tuan Hardy.

"Haha.. bisa saja kamu. Saya setuju saja jika mereka menikah sekarang. Kita legalkan suratnya besok. Bagaimana menurutmu Edward, tak masalah bukan kamu menikah sekarang. Kamu bisa enak enak malam ini." Kata Tuan Admaja menanggapi kelakaran Tuan Hardy.

"Ehmm begitu juga boleh, saya juga setuju." Timpal nyonya Yuli menganggukkan kepalanya.

Edward menelan ludahnya sendiri. Wajahnya terlihat panik sendiri. "Jangan, jangan sekarang!"

"Kenapa? Tidak mau enak enak malam ini?" Goda Tuan Hardy mengerutkan kening.

"Aduh bukan seperti itu, hanya saja itu terlalu cepat. Benarkan Ra,? Bisakah kita saling mengenal dulu." Edward menoleh kearah Aurora yang mengangguk.

"Baiklah jika kalian tidak mau, kalian bisa menikah usai Aurora wisuda. Bagaimana?" Tanya Tuan Hardy lagi.

"Ya, setidaknya itu lebih baik." Jawab Edward tidak yakin.

Para orang tua hanya tersenyum mendengar jawaban Edward.

.

.

Semua orang menuju ke tempat makan, kecuali Edward yang memilih mengambil minuman dan membawanya keluar. Ia duduk dan menyalakan rokoknya. Rupanya pria itu sedang mencoba menutupi hatinya yang kacau.

"Harusnya tidak terjadi hari yang seperti ini. Rara Rara, dimana kamu sayang. Andai saja kamu selalu memakai kalung itu, pasti aku dengan mudah melacak keberadaanmu. Lalu sekarang aku harus bagaimana."

Aurora yang mengetahui Edward ada di taman depan langsung menghampirinya. Ia ingin tahu bagaimana tanggapannya.

"Hey!" Sapa Aurora ramah.

Edward melirik malas. "Kau, ada apa kemari!" ketus Edward kembali memalingkan wajah.

"Kenapa begitu? Aku hanya ingin membicarakan sesuatu padamu. Bisakah kita bicara sebentar, setelah itu aku janji tidak akan mengganggumu."

"Katakan!" Ketus Edward.

Aurora tersenyum mendengar Edward yang masih ketus padanya. "Pertama, kita tadi siang tak sengaja bertemu di kampus. Kau ingat?"

"Hemm." Ucap Edward malas.

"Ada keperluan apa ke kampus?" Tanya Aurora.

"Bukan urusanmu!"

"Oke. Apa kau menganggap serius pertunangan ini?" Tanya Aurora lagi.

"Tidak!"

"Kalau tidak kenapa memaksakan diri untuk melamarku. Aku juga tidak memintamu untuk melamarku. Aku juga tidak kenal denganmu!"

"Terpaksa, lebih tepatnya dipaksa. Kau sudah terlalu banyak bicara nona. Masuklah ke dalam , aku ingin sendiri." Ucap Edward datar.

"Sebentar, aku belum selesai. Apa kau mempunyai pacar?"

"Ya."

Aurora terdiam dengan pikirannya sendiri. Matanya menatap kosong. Sesulit inikah kisah percintaannya.

"Bisakah kita menganggap pertunangan ini serius? Kita akan menyakiti hati orang tua kita jika begini." Pinta Aurora ragu.

"Maaf aku tidak bisa Aurora. Ku mohon jangan menaruh harapan besar padaku, sampai kapan pun aku akan menunggu gadis kecilku. Kau akan sakit hati jika menganggap pertunangan ini serius. Percayalah, aku hanya mencintai gadisku."

Aurora terdiam membisu. Tak tau harus mengatakan apa lagi. Berkali kali ia hanya menghela nafasnya untuk menenangkan hatinya. Ia sudah mencoba menerima takdirnya, tapi ternyata kisah cintanya juga tak semudah itu.

.

.

.

#####

Teman masa lalu*

Usai acara lamaran, Aurora segera masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya rapat rapat, dan segera membersihkan diri. Hatinya sudah lelah, begitu juga dengan tubuhnya.

Selesai membersihkan diri, ia duduk di kursi riasnya dan memandangi sebuah kalung dengan liontin bertuliskan AR. Sebuah kalung yang diberikan seorang pria dimasa lalunya.

"Hufh. Dimana kamu sekarang Kak. Kenapa sampai sekarang kita tak jua bertemu. Aku takut tak bisa mengenalimu jika kita terlalu lama berpisah. Pasti wajah dan tubuhmu sekarang banyak yang berubah. Ku mohon segera kembalilah dan selamatkan hubungan ini." Gumam Aurora. Pikirannya membayang pada sosok pria yang menyelamatkan dari penculikan kala itu. Pria yang melindungi dengan tubuhnya saat mereka menghunuskan pisau tajamnya ke tubuhnya.

"Kak Ard, aku merindukanmu. Segeralah kembali."

.

.

Keesokan harinya Aurora bangun dengan tubuh segarnya. Ia mencoba mengabaikan kejadian semalam. Ia bersikap biasa, untuk menutupi hati yang sebenarnya.

Di lantai bawah, sudah ada Papa dan mamanya yang menunggu untuk sarapan bersama. Ia terbitkan senyum tipis dari bibirnya.

"Pagi Pa, Ma." Sapa Aurora dan langsung mengambil duduk di kursi biasanya.

"Pagi." Jawab mereka berdua.

"Mau ngampus nak? Sudah rapi begitu. Apa nggak capek?" Tanya mamanya.

"Ngak kok."

Acara sarapan kali ini mendadak hening, Aurora yang biasanya cerewet saat makan, kini dia anteng tak banyak bicara. Jelas dua orang tua itu tau apa penyebabnya.

Keheningan itu terpecah ketika mobil yang dikemudikan Listy terparkir di halaman mansion.

Tin..tinn..

"Mah, Pah, seperti itu Listy sudah datang. Aku pamit ya." Aurora mengecup pipi mereka bergantian.

"Hati hati, jangan pulang kemaleman." Pesan mamanya. Aurora hanya mengangguk dan mengacungkan jempolnya.

Diteras mansion, Aurora menutup mulutnya tak percaya. "Woaahh... Gila mobil baru!! Keren oy." Aurora terkagum melihat Lamborghini biru milik Listy.

"Yuk, cus cabut!" ucap Listy dari dalam mobil.

Aurora tersenyum lebar dan masuk kebangku sebelahnya."Jadi ini yang kemarin loe mau kasih tau ke gue." tanya Aurora sambil memasang sabuk pengaman.

"Hehee.. iya beb." Listy hanya nyengir kuda memperlihatkan gigi putihnya.

"Bagus, selera loe boleh juga."

Mobil pun melaju menuju ke kampus tanpa kendala. Setelah sampai di area parkir, Listy langsung memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Mereka berdua turun setelah membenahi dandanannya sebentar.

Banyak mahasiswa yang melirik kearah mereka. Mereka saling melemparkan suitan untuk menggoda dua gadis itu, tapi sayangnya dua gadis itu bergeming dan terus berjalan sampai,__

BRUK

"Ahh maafkan saya nona, saya tadi terburu buru." Ucap pria itu menunduk dan mengambil buku Aurora yang terjatuh.

''Ini bukumu." ucap laki-laki itu.

"Aurora!" Laki laki itu terkejut.

"Oh hai Kak Aldi. Lama nggak ketemu." Aurora tersenyum menerima buku miliknya.

"Ehm. Oh hai." Jawab Aldi yang tiba tiba gugup.

"Ada perlu apa kemari? Apa kuliah di universitas ini juga? Tapi aku kok gak pernah ketemu kamu ya." bingung Aurora.

"Iya, kita beda gedung fakultas, jadi wajar saja kita tidak pernah bertemu." ucap Aldi sekenanya.

"Oh. Eh kenalin Kak, ini Listy temanku." Ucap Aurora. Aldi hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Oke, gue duluan ya. Kita buru buru soalnya. Ga papa kan."

"It's oke. Gue tunggu saat makan siang nanti." Aurora hanya mengacungkan jempolnya keatas.

Aldi adalah teman sekolah SMA Aurora. Dia pria tampan, putih dan tinggi, cocok menjadi model jika pria itu mau.

Laki laki yang selalu menyembunyikan latar belakangnya itu, diam diam menyukai Aurora, tapi tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ia mempunyai alasan yang kuat di balik kemisteriusannya itu.

.

.

Di Perusahaan Global. Inc

"Tuan, siang ini anda ada temu janji dengan klien dari Singapura, jam 11 siang nanti dilanjut makan siang bersama di kafe Robusta." Lukas mengingatkan jadwal meeting siang ini.

"Ngapain disana. Tempat itu kurang nyaman untuk meeting. Telfon Alex, suruh siapkan ruangan privasi untuk kami." gerutu Edward

Lukas tak menyahut pertanyaan Edward, ia langsung mengambil ponselnya dan segera menghubungi nomor Alex.

"Siapkan ruangan privasi. Bos akan kesana jam 11 nanti. Ok." Lukas memutuskan sambungan saat Alex telah menyanggupi permintaannya.

"Lukas, apa belum ada kabar dari anggota kita?" tanya Edward.

"Maafkan saya Tuan, kami belum menemukan keberadaan nona Rara." ucap Lukas penuh penyesalan.

"Apakah kita perlu menggunakan pasukan khusus untuk mengerjakan misi ini?" Tanya Lukas serius.

"Ck. Kau pikir Rara itu buronan!" Edward berdecak.

"Bukan seperti itu, saya bahkan sampai hampir menyerah. Bagaimana mungkin gadis anda menghilang tanpa jejak seperti ditelan bumi. Kita sudah seperti berhadapan dengan kelompok mafia saja."

"Entahlah. Kau lanjutkan saja pencariannya. Jangan mengusik pasukan khusus itu, mereka juga sedang menjalankan misi."

"Saya mengerti. Tapi bisakah anda jelaskan sedikit lebih detail mungkin tentang keluarganya. Ayah, ibunya atau saudara lainnya. Siapa tau dengan melacak keberadaan mereka, kita bisa lebih mudah menemukannya."

"Ck. Aku lupa soal itu, aku bahkan lupa wajah orang tuanya. Aku hanya bertemu beberapa kali dengan mereka." Edward berdecak kesal.

"Namanya mungkin?"

"Apalagi namanya! Aku hanya tau Rara memanggil papa dan mama." Edward memijit pelipisnya.

"Apa anda amesia? Ck..ck.. cinta itu buta memang benar adanya. Pacaran dengan anaknya, tapi tidak tau nama orang tuanya. Anda menggelikan Tuan, padahal anda waktu itu pasti sudah dewasa walaupun nona Rara masih SMP waktu itu. Walaupun anda tidak tau namanya, setidaknya anda ingat wajahnya. Saya jadi tidak yakin jika anda lulusan terbaik."

"Kau benar. Kenapa aku bisa lupa ya. Harusnya ingatan itu ada, tapi kenapa aku tak ingat apapun. Kepalaku sampai sakit jika aku mencoba mengingatnya."

"Sebaiknya anda memeriksakan diri sebelum terlambat. Saya akan menyiapkan berkas sebentar." Lukas langsung ngeloyor pergi dari ruang atasannya.

.

.

Di kafe yang sama dengan tempat Edward melakukan temu janji. Aurora, Listy dan Aldi makan siang bersama di tempat itu pula.

Diiringi live musik siang itu, kafe robusta jadi makin tambah ramai. Aurora dan dua kawannya makan dengan santai. Mereka sangat menikmati siang itu. Apalagi pertemuannya dengan Aldi, seperti mengulang masa sekolahnya lalu.

Aurora yang telah selesai makan, memilih membuka ponselnya mencari kesibukan. Tiba tiba dari arah panggung, seorang pembawa acara menghampirinya dengan membawa microfon.

"Bisa menyanyi Kak." Tanya pria itu.

Aurora hanya meringis sambil menggeleng pelan."Maaf tidak bisa."

"Ayolah Ra, suaramu kan bagus." Listy mengompori.

Aurora mendelik sebal pada kawannya. "Jangan saya ya, saya malu, suara saya buruk. Yang lainnya saja." Tolak Aurora halus.

"Mungkin mas nya mau nyanyi, even ini kami adakan untuk menggali dana. Siapa tau jika mbak dan mas nya yang nyanyi, pengunjung kafe disini akan memberi banyak tips hari ini." Bujuk pria itu lagi.

"Ayolah Ra, bantu orang apa salahnya sih." Kompor Listy.

Aurora meringis menatap Aldi. Aldi hanya tersenyum dan berdiri menggandeng tangan Aurora. "Anggap saja kita bernostagia. Suaramu bagus, jangan minder." Ucap Aldi.

Dua orang menuju panggung musik. Aurora dan Aldi mulai bernyanyi bersama. Dua suara yang merdu seakan menghipnotis pengunjung yang sedang menikmati makan siang di tempat itu. Listy segera mengabadikan momen yang jarang terjadi itu di akun IG nya. Siapa sangka, baru semenit diposting sudah mendapatkan banyak viewer.

.

.

Diruangan lain, Edward yang sudah selesai meeting, langsung keluar dan ingin segera kembali ke kantornya. Belum sampai di pintu keluar, Edward menghentikan langkahnya sejenak. Ia merasa tidak asing dengan suara itu.

Edward menatap datar pasangan yang sedang berduet itu. Hatinya terasa panas saat melihat pemandangan didepannya. Ia membalikkan badan dan tergesa keluar.

"Lukas, kau cari tau siapa laki laki yang bersama Aurora tadi!" perintah Edward ketus.

"Baik tuan, apakah Tuan sedang cemburu?" tanya Lukas.

"Untuk apa aku cemburu." Edward memalingkan wajahnya yang memerah malu.

"Cemburu juga tak apa Tuan. Jadi saya tidak perlu mencari nona Rara." Lukas tersenyum menggoda.

"Jangan mimpi!"

.

.

Edward yang sudah kembali ke kantor, ia mulai menyibukkan diri dengan berkas berkas dimeja kerjanya. Ia tidak ingin mencemari otaknya dengan memikirkan hal hal tidak penting. Apalagi jika itu mengenai tentang tunangannya. Toh, tidak ada awak media yang meliput acara kemarin.

Sedang asik asiknya kerja, asistennya nyelonong masuk tanpa ketuk pintu. Edward langsung memberikan tatapan maut padanya.

"So.. sorry Bos. Ini Bunda anda sedari tadi menghubungi anda." Lukas menyerahkan ponselnya.

"Edward!!" pekik Bunda Yuli kesal, spontan Edward langsung menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Ada apa Bun? kenapa teriak teriak begitu. Aku nggak tuli kalau Bunda lupa."

"Kamu ya, sedari tadi dihubungi gak gak direspon respon. Mbok ya di jawab, atau paling tidak ya di balas. Ini, di wa dibaca doang, ditelfon gak mau jawab. Lagi ngapain sih!" Sebal Bunda Yuli.

Edward terkekeh pelan, "Bunda, Edward lagi kerja kalau Bunda lupa. Jadi ada perlu apa Bunda telfon aku sekarang. Kemarin aku udah nurutin kemauan Bunda lho, aku harap kali ini Bunda gak minta aneh aneh lagi sama aku. Aku nyerah deh."

"Ck. Bunda belum ngomong udah membentengi diri. Malam nanti kau ajak Aurora makan malam bersama dirumah. Kamu mengerti! Bunda tidak mau dengar kata penolakan!! Pokoknya harus.!! Wajib!" tegas Bunda Yuli.

"Hahaha.. baru semalam kita makan dirumahnya, sekarang dia makan dirumah kita., ngapain sih Bund. Edward pusing kalau kayak gini terus. Sorry Bunda, aku nggak bisa, aku banyak kerjaan." Tolak Edward mentah mentah.

"Dasar anak soleh! Gak mau tau. Bunda ingin kamu membawanya malam ini. Bye." Bunda Yuli mematikan sambungan telfonnya sepihak.

Edward memijit pelipisnya yang terasa berdenyut setelah mendapat telfon dari Bundanya.

"Lukas!"

"Ya, Tuan."

"Tolong beri tahu Aurora, nanti malam aku akan menjemput dirumahnya. Bilang padanya, Bunda mengundangnya makan malam bersama. Kau, keluarlah. Jangan lupa laporan yang aku minta. Kau mengerti!"

"Mengerti Tuan."

.

.

.

######

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!