NovelToon NovelToon

Ketentuan Nasib

Bab 1

Di sebuah rumah kecil terdapat sebuah keluarga yang kurang mampu. Mau beli ini itu saja mereka tidak mampu. Mereka harus menahan selera jika memerlukan sesuatu. Karena batasan uang yang mereka miliki.

Dalam keluarga itu memiliki dua orang putri yang cantik dan baik. Mereka tidak mempertanyakan segala kekurangan yang ada.

Suatu hari saat-saat orang tuanya tidak memiliki apa-apa lagi atau bahkan orang sudah jarang memperkerjakan ayahnya. Dia harus menjadi tulang punggung dalam keluarganya.

Dia di sarankan oleh ayahnya untuk bekerja ke luar negeri agar kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Hanya itu lah cara terbaik agar mereka bisa bertahan hidup.

Dia adalah Somsi. Putri sulung dari ayah dan ibunya. Dia harus berjuang dan bertahan meski banyak cobaan yang ia hadapi.

Cerita pun berlanjut.

"Nak, apa kamu mau bekerja di Malaysia?" tanya pak Nius.

"Mengapa harus ke Malaysia pa?" tanya Somsi dengan mata kosongnya.

"Bukannya di sini juga bisa mencari kerja, kenapa harus pergi jauh sih pa."

Somsi tidak tau apa maksud dan tujuan dari perkataan ayahnya itu. Dia sendiri heran mengapa dia harus bekerja di Malaysia. Tempat yang sangat jauh, bahkan berjumpa pun akan jarang.

"Nak, kamu tau keadaan kita seperti apa dari dulu sampai saat ini," lirih pak Nius.

Pak Nius bicara lagi berusaha membujuk Somsi, "Kita tidak memiliki apa pun yang orang miliki. Aku mohon nak, dengarlah permohonan papamu ini."

Pak Nius sendiri bingung harus melalui apa dan mulai dari mana. Hanya itu lah yang terlintas dalam pikirannya. Somsi sendiri mencoba menolak. "Tapi pa," lirih Somsi. Hatinya sekarang mulai diliputi oleh kesedihan.

Pak Nius tidak menyerah, ia mencoba membujuk Somsi lagi.

"Nak... kita bisa makan kalau papa bekerja di ladang orang, itu pun kalau mereka membutuhkan tenaga papa," jelas pak Nius.

Pak Nius tetap melanjutkan perkataannya walau apa pun yang terjadi. Apakah putrinya akan menerimanya atau tidak itu urusan belakang. Yang penting sekarang pak Nius sedang berusaha membujuk putri sulungnya.

"Selama ini papa masih sanggup mencukupi kebutuhan kalian. Seiring bertambah usianya papa, papa juga gak mungkin lagi bisa seperti dulu," ucap pak Nius dengan raut wajah sedih,

" Papa takut tidak akan sanggup menyekolahkan adek mu nanti. Papa takut sekali nak jika adek mu harus putus sekolah ditengah jalan karena ketidak mampuan papa," lirihnya.

"Tapi pa, Somsi baru tamat sekolah. Disini juga banyak pekerjaan. Mengapa harus pergi jauh agar bisa memiliki uang banyak," bantah Somsi melotot. Sulit rasanya ia harus membendung air matanya, " Selama kita giat bekerja rejeki gak akan kemana."

Somsi tetap saja membuat alasan. Dia juga ingin pergi jauh dan mencari pekerjaan yang bagus. Tapi niatnya itu dia kurung kan karena masih memikirkan orang tua dan adeknya.

Pa... aku mohon jangan paksa Somsi. Somsi takut kalau nanti aku tidak bisa melakukan apapun. Somsi juga takut kalau nanti aku melupakan kalian.

"Nak... disini sangat sulit untuk mencari pekerjaan. Jika kau mau papa akan bicara pada teman papa. Kebetulan putrinya baru pulang dari Malaysia," ucapnya memberi memberi penjelasan semaksimal mungkin,

"Kalau nanti tidak mengerti, kau bisa minta tolong pada kakak mu itu. Agar kau tidak kesusahan. Dia lah nanti yang akan memasukkan kamu bekerja disana. Sama dengan tempat dia bekerja dulu."

Pak Nius tetap melakukan banyak cara agar putri sulungnya bisa menerima dan mau bekerja.

Tapi apa lah daya Somsi yang ingin menolak lagi.

"Ta-tapi pa, Somsi takut. Somsi takut kalau nanti aku merindukan kalian," ucapnya terbata.

Somsi meneteskan air mata nya. Dia tidak bisa menahannya lagi.

Dia juga tidak mengira kalau dirinya akan pergi sejauh itu dari kedua orang tuanya dan juga adek yang sangat ia cintai. Pergi merantau di negeri orang itu sangat sulit. Dia sebenarnya ingin sekali menolak saran ayahnya.

"Nak, lihat lah adek mu. Dia masih butuh kehidupan yang pantas dia dapatkan darimu," jelas pak Nius. Meski ia tau sangat sulit menyakinkan putrinya, " Mungkin papa tidak pernah memberikan apapun yang kau inginkan selama ini. Tapi kau bisa memberikan kehidupan yang pantas untuknya. Selama ini papa mencari pekerjaan, tapi papa selalu ditolak karena papa hanya bisa sekolah di tingkat SD saja."

Pak Nius mengatakan apa pun yang menjadi beban dalam pikirannya selama ini. Dia juga tidak ingin putrinya pergi menjauh dari mereka. Tapi apa lah daya mereka, hanya itu lah yang ia rasa benar. Karena merasa tidak mampu maka dia harus merelakan putrinya jauh dari mereka.

Somsi berpikir dua kali apa kah ia akan menerima saran ayahnya atau menolaknya.

"Pa, Somsi berpikir dulu ya pa," ucap Somsi mempertimbangkan keputusan yang akan ia pilih nanti. Dia juga tidak mau mengecewakan ayahnya.

"Iya nak, papa tidak akan memaksamu kalau memang kau tidak bisa," ucap pak Nius. "Tapi kalau nanti kau setuju bilang sama papa. Biar papa tau dan mengijinkan mu pergi menemuinya," jelas pak Nius mulai meneteskan air matanya setelah Somsi pergi.

Somsi pergi ke kamarnya. Kamar yang kecil diisi oleh dua orang manusia. Somsi dan adeknya tidur ditempat yang sama. Somsi melihat adek nya tidur di kasur. Kasur yang sudah sangat lama dan terlihat buruk. Dia menangis menatap adeknya yang masih tidur. Di pegangnya wajah adeknya itu, dielus dan dicium keningnya.

Dek, kakak tidak akan membiarkanmu merasakan seperti yang kakak rasakan selama ini. Kakak ingin kau bahagia dek.

Somsi sangat menyayangi adeknya. Air mata nya mengalir deras dibagian pipinya. Dia menghapus air matanya itu. Dia harus bangkit dan tidak luput dalam kesedihan. Sekian lama dia meratapi nasib mereka, akhirnya dia tidur juga.

...****************...

Keesokan harinya Somsi bangun lebih cepat. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan menemui kedua orang tuanya. Dia ingin berangkat ke tempat teman papanya itu.

"Pa, Somsi pergi dulu," ucap Somsi senyum tipis. Ia tidak ingin memperlihatkan kesedihannya. Somsi sudah memakai pakaian rapi.

"Mau kemana kau nak sepagi ini, sudah rapi juga," ucap Bu Wati kagum. Bu Wati heran melihat penampilan putrinya itu. Terlihat sangat rapi seperti orang bekerja di kantor. Bu Wati sendiri tidak tau kemana Somsi ingin pergi.

"Ma, mama tidak tahu kalau Som-" Suara Somsi terputus saat ayahnya menghentikan ia untuk bicara.

"Nak kamu sudah siap. Semangat kali kamu ingin bekerja, sudah rapi begini. Papa yakin kamu akan diterima," ucap pak Nius seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Pak Nius terpaksa menutupi semuanya dari bu Wati. Ia tidak ingin bu Wati tau rencana putrinya yang ingin bekerja. Bisa-bisa itu menjadi penghalang untuk putrinya pergi.

Somsi sendiri bingung mengapa ayahnya membohongi ibunya. Mengapa tidak memberitahu kalau dirinya akan bekerja di Malaysia. Apa yang menjadi tujuan ayahnya itu dia sendiri tidak tau. Untuk apa ayahnya berbohong nanti juga ibunya akan tau.

"Eh,iya pa. A-aku sudah siap," ucap Somsi menjawab terbata. Dia juga berbohong. Meski, ia tidak tau tujuan ayahnya berbohong ia tetap menutupinya.

"Mau pergi kemana nak. Apa kau mau melamar kerja?" Yang bu Wati pikirkan adalah jika seorang terlihat rapi berarti dia mau melamar pekerjaan.

"Oh, iya ma.aku akan melamar pekerjaan. Siapa tau rejeki Somsi kalau masuk. Somsi sudah lama sekali tamat sekolah tapi belum punya pekerjaan. Somsi bosan dirumah terus ma, kalau Somsi bekerja, mungkin bisa mengurangi pengeluaran yang ada," jelasnya. Somsi juga tidak ingin ibunya tau kalau ia akan pergi bekerja jauh. Kalau sudah saatnya baru lah ia akan memberitahu ibunya.

"Wah, putri mama rupa nya mau bekerja. Jadi mama akan makan dari hasil keringat kamu, itu pasti menyenangkan nak," puji bu Wati. " Saat putri dari seorang ibu tumbuh besar dan bisa membantu kedua orang tua nya, hal apa lagi yang lebih bahagia dari itu."

Bu Wati sangat bahagia melihat putrinya kini sudah bisa diandalkan. Dia tidak perlu lagi bersusah payah untuk bekerja. Mereka akan menggabungkan penghasilan mereka. Sebagian penghasilan dari mereka dan putrinya lalu menabung.

Bu Wati tidak henti-hentinya menghayal sambil senyum-senyum sendiri. Somsi yang melihat ibunya senyum-senyum sendiri merasa bingung.

Duh, mama kenapa yah?

"Ma, mama kenapa? Somsi mau pigi. Apa mama akan terus senyum seperti itu," kesal Somsi.

Somsi sendiri kesal dengan ibunya. Dari tadi sibuk menghayal. Sudah lama dia menunggu ibunya bicara tapi karena ibunya lagi menghayal dia memilih bersabar.

"Eh,i-iya nak." Bu Wati menjawab terbata. Lalu ia mengijinkan putrinya itu pergi.

...****************...

Somsi akhirnya menemui putri teman papanya. Dia harus kuat kalau nanti dia diterima, dia harus siap kalau dia akan pergi jauh dari keluarganya. Beberapa menit kemudian dia sampai kerumah teman papanya. Dia sudah tau tempat itu, karena saat dia kecil dia pernah dibawa kesana.

tok..tok..tok...

Suara ketukan pintu dari luar. Seseorang dari dalam membuka pintu lalu menghampiri orang yang berada diluar tadi.

"Eh dek...kau sudah datang. Ngapain disitu, silahkan masuk," ucap Ka uba melemparkan senyum lebar.

Ka uba mempersilahkan Somsi masuk ke dalam. Dia tidak ingin nanti Somsi berpikir kalau dirinya itu sombong.

"Iya kak."

Somsi masuk. Tanpa harus panjang kali lebar, dia mengatakan maksud kedatangannya.

"Begini kak, kata papa kakak baru pulang dari Malaysia ya kak. Kebetulan aku juga ingin sekali bekerja seperti kakak. Apa kakak bisa membantuku agar aku bisa bekerja disana?" tanya Somsi. Hal yang paling utama yang ingin ia tanyakan. Apa kah masih ada pekerjaan untuknya bekerja nanti.

"Bisa dek. Oh ya kamu sudah tamat sekolah gak dek?" tanya Ka uba. Dalam peraturan kerja, ia yang ingin bekerja di sana harus tamat sma.

Kalau belum tamat atau memang tidak sekolah. Siapa pun dia, baik gubernur atau presiden, kalau sudah peraturan ya harus ditaati.

"Sudah kak." Somsi menjawab dengan serius.

"Sebelumnya dek, Kakak ingin katakan kalau kakak masuk kesana bukan kakak yang memasukkan," ucap Ka uba. Ka uba berbicara lembut seperti orang-orang Jawa.

"Lalu siapa kak?" ucap Somsi semakin serius. Dia penasaran dengan orang yang akan mendaftarkan nya nanti.

"Kakak dulu di daftarkan oleh orang yang berurusan ke sana. Yang jelas bukan kakak yang memasukkan. Kakak hanya tinggal capcus kerja. Yang mendaftarkan kakak bekerja disana ya Ka borusaragih dek," jelas Ka uba berbicara dengan lembut dan tidak menyinggung.

"Owh begitu ya kk, boleh kakak bawa aku ke alamat yang kakak bilang?" tanya Somsi.

"Boleh dek."

"Makasih ya kak," ucap Somsi begitu senang melihat Ka uba yang tulus ingin menolongnya.

"Iya dek. Kakak ingin katakan sesuatu yang harus kau ingat. Kalau kau nanti sudah memiliki penghasilan yang banyak. Jangan melupakan kakak itu. setidaknya kau bisa memberi sedikit sebagai upah. Dan kakak harap kau jangan sombong," jelasnya lagi.

Ka uba itu selalu mengatakan kata-kata yang baik. Dia mengatakan itu bukan unsur paksaan. Memang benar dirinya sangat penyayang dan tulus. Dia juga suka menolong.

"Iya kak, aku akan mengingat kakak itu."

Somsi berjanji tidak akan melupakan siapa pun yang ia kenal. Dia juga tau kalau seseorang sudah melihat banyak uang, maka dia akan melupakan janjinya. Bukan sekali, memang kebanyakan orang memiliki sifat seperti itu.

"Eh,kakak boleh tanya dek?" Ka uba balik bertanya pada Somsi.

"Iya kak boleh. Kenapa kak?" tanya Somsi melotot. Ia sendiri sudah tau yang ingin di tanyakan oleh Ka uba. Somsi sangat ingin Ka uba menutup mulutnya. Tapi ia juga harus mendengarnya.

"Kamu kenapa ingin sekali bekerja kesitu dek?" tanya Ka uba.

"Aku ingin mengubah masa depan kak dan mengubah ekonomi dalam keluarga. Aku juga punya adek, kami hanya bisa makan jika orang-orang memperkerjakan papa. Tapi akhir-akhir ini papa jarang ditawar, sehingga kebutuhan keluarga sangat kurang," jelasnya.

Somsi menjelaskan semua yang menjadi dasar awal mengapa ia memilih bekerja di sana.

"Wah... kamu memang anak yang baik dek. Kamu bahkan rela habisin masa muda kamu hanya untuk keluarga kamu. Hebat dek," puji Ka uba.

Ka uba terharu dari penuturan Somsi. Dia tidak mengira orang yang menemuinya itu punya tekad yang sangat tinggi untuk bekerja. Padahal dirinya pergi merantau bekerja di Malaysia hanya ingin merasakan dunia luar saja. Tapi beda dengan orang yang menemuinya itu, dia bekerja hanya demi ayah, ibu dan juga adek nya.

"Gak juga kak. Adek aku masih SMP kak. Aku gak mau adek aku putus sekolah kak.

Kalau kakak kenapa mau bekerja kesitu kak?" Somsi bertanya balik, dari tadi ia saja yang bicara, sekarang kakak itu lah yang harus menjawab pertanyaan nya.

"Kalau kakak dek hanya ingin bersenang-senang saja dek, tidak ada yang lain."

Dia mengatakannya tanpa rasa malu. Mendengar perkataan Ka uba itu, ia menjadi takut. Di mana suatu hari nanti ia berubah. Somsi mengingat janjinya yang sudah ia tekad kan dalam hati. Jika nanti ia sukses ia ingin dirinya tetap menjadi menjadi wanita yang baik dan rendah hati. Dia takut kalau diri nya akan berubah. Siapa pun akan berubah jika imannya tidak kuat.

"Eh, kita mau sampai kapan disini. Bukan nya kamu ingin menemui kakak itu," ucap Ka uba menyadarkan Somsi yang sedang melamun dari tadi.

"Eh,iya kak...heheheh." Somsi sadar dari lamunan nya lalu fokus dengan tujuannya sekarang.

"Ayok dek," ajak Ka uba.

"Iya kak."

Mereka akhirnya pergi. Ia kasihan melihat Somsi. Baru tamat sekolah harus punya tanggung jawab yang besar. Ia tidak mengira Somsi bisa sekuat itu. Biasanya anak-anak jaman sekarang hanya mementingkan diri nya sendiri.

Mereka juga tidak pernah membalas jasa orang tua nya. Meski jasa orang tua itu tidak akan pernah bisa terbalaskan, setidaknya kita bisa menolong mereka dan membahagiakan mereka.

Beberapa menit kemudian mereka sampai ditempat tujuan.

"Kak, aku mau tanya kak. Apa masih ada lowongan untuk adek aku ini untuk bekerja di Malaysia kak?" tanyanya.

"Dia siapa kamu dek," tanyanya heran. Yang ia tau kalau Ka uba tidak punya adek lagi. " Emang dia sudah tamat sekolah dek. Kalau lowongan ada sih dek. kebetulan ada yang minta kakak untuk penambahan orang untuk bekerja di PT dek."

"Ini adek aku kak, dia putri dari teman papa aku. Dia ingin bekerja di Malaysia karna ingin membatu orang tua nya kak. Orang tuanya tidak mampu lagi menyekolahkan adek nya kak. Adek nya itu masih smp," tutur Ka uba memperkenalkan Somsi kepada Ka borusaragih.

"Owh begitu yah dek. Kasihan sekali dek. Kau bisa kok kakak masukkan. Kau tidak perlu khawatir ya dek," ucap Ka borusaragih.

"Iya kak."

Somsi menyunggingkan senyum tipis. Dia akan melakukan segala upaya agar bisa membahagiakan orang tua dan juga adek yang sangat ia sayangi.

"Dek, Kakak hanya perlu berkas-berkas kamu dek. Mulai dari ijasah sma, ktp, kk dan surat pengalaman kerja kamu dek," ucapnya dengan meminta surat pengalaman kerja akan lebih mudah untuk masuk.

"Kak, aku tidak punya surat pengalaman kerja kak. Baru ini aku melamar pekerjaan kak. Selama ini aku habis kan tenaga aku hanya membantu papa dan mama aku di sawah kak," lirih Somsi. Memang benar selama ini memang ia belum pernah bekerja di luar selain dengan keluarganya sendiri.

"Owh begitu ya dek, gak papa kok. Yang penting ijasah, ktp dan kk dek," ucapnya.

Ka borusaragih berusaha memakluminya. Ia juga kasihan padanya. Hanya untuk membahagiakan orang yang dia cintai, dia rela melakukan apa saja itu.

"Oke baik kak, aku akan mengurus semua berkas-berkas yang kakak maksud." Dengan mengangguk iya berarti dia sudah mengerti.

"Semua yang asli ya dek. Kalau sudah siap memeriksa data kamu, mereka pasti mengembalikannya," jelas Ka borusaragih memberitahu secara detail tanpa ada yang harus di sembunyikan. Mereka hanya perlu itu.

"Iya kak." Somsi sangat senang. Akhirnya dia akan melamar pekerjaan yang di suruh oleh ayah nya itu. Meski ia harus menghabiskan masa hidupnya bekerja ditempat yang jauh,

ia tidak akan pernah menyerah. Ini juga untuk keluarga yang ingin ia bahagiakan.

Meski ini adalah pengalaman pertama baginya, tapi ia tidak akan begitu gampangnya menyerah. Sekali dapat pekerjaan langsung di tempat yang jauh. Tapi ia tidak mungkin menyesalinya. Menyesalinya juga tidak akan bisa berubah. Toh juga akan terjadi. Mungkin ini adalah nasib yang harus ia kejar dan di ubah suatu hari nanti.

Bersambung....

Tbc

Dukung Author dengan vote, like dan juga komen.

Bab 2

Somsi telah menjumpai orang yang akan memasukkan dia. Dengan melakukan segalanya untuk bisa masuk kesana. Somsi pulang, dan memasuki rumah. Disana bu Wati sudah memperhatikan kedatangannya. "Eh, kamu sudah pulang nak?" tanya bu Wati.

"Iya ma. Somsi sudah pulang," jawab Somsi.

Sebenarnya Somsi ingin menghindar tapi tidak bisa ia lakukan. Ia tidak mungkin meninggalkan ibunya pergi begitu saja. Setidaknya ia membalas pertanyaan ibunya itu.

Usai menjawab ia segera pergi.

Ia ingin segera mandi. Dari tadi ia sibuk dengan urusannya. Kakinya juga sudah sangat pegal dan terasa sakit. Setelah pulang ke rumah kakinya masih terasa sakit. Ia meluruskan kakinya sebentar. Mungkin karena seharian berjalan menyusuri tiap-tiap jalan.

Bu Wati melotot melihat Somsi yang ingin pergi. "Hei, kamu langsung pergi sih nak. Gimana kamu dapat kerja yang bagus gak. Terus kerja nya dimana," tanyanya dengan senyum bahagia.

Bu Wati penasaran dengan pekerjaan yang di lamar Somsi. Apa kah putrinya masuk atau tidak.

"Ma, Somsi lelah ma. Dari tadi aku mondar-mandir cari pekerjaan tapi gak ada yang mau menerima," kesal Somsi pura-pura.

"Kok bisa, siapa yang gak mau menerima putri mama. Apa sih kekurangan kamu nak. Kamu itu cantik, pintar, dan mama yakin kamu punya skill dalam bekerja," umpat bu Wati sangat kesal. Dengan perasaan tidak suka dan

ia terus berceloteh. Sampai Somsi tidak bisa melawannya bicara dan terpaksa mendengar suara ibunya terus bergeming di telinganya.

"Mama...... Itu menurut mama sih. Kalau menurut mereka Somsi jelek, dekil, hitam, hidup lagi," lirih Somsi.

Somsi membuat alasan agar ibunya tidak usah membanggakan nya terlalu berlebihan. Dia juga tidak sepandai yang ibunya bilang. Itu lah yang ada di pikirannya saat ini. Kalau ia pintar dan punya skill, mungkin tamat sekolah ia langsung di tawar bekerja di mana pun ia suka. Ini tidak ada, yang pasti Somsi bukan seperti yang bu Wati pikirkan.

Bu Wati melongo heran. " Siapa nih orang yang mengatakan kamu jelek, dekil, hitam apa lagi.... biar mama kasih sambal cabe rawit ke mata nya. Biar dia bisa buka mata lebar-lebar. Berani sekali bilang putri mama begitu," kesalnya ingin berceloteh kesana sini.

Somsi mendelik mendengarnya. "Wah mama ajarin Somsi berbuat jahat ya ma."

"Eh bukan itu kok maksud mama. Mama bukan mau ajarin putri mama yang cantik ini berbuat jahat. Mama hanya ingin memberitahu kamu saja, kalau kau tidak usah kuatir. Toh kau akan dapat pekerjaan nanti," jelas bu Wati. "Mama hanya marah kepada mereka. Meski kita tidak sekaya mereka, bukan berarti kita tidak bisa atau tidak mempunyai skill sama sekali. Mama melihat mereka seperti menghina putri mama yang super cantik ini."

Bu Wati selalu memuji Somsi, dengan perasaan bosan mendengar mamanya terus berceloteh. Ia tidak bisa mengatakan sesuatu. Somsi menahan tawa karena sikap ibunya. Orang yang super rewel dan plus cerewet. Ia juga tidak mengira kalau ibunya akan mengatakan itu.

"Karena mama dari tadi sangat cerewet. Mama harus memasak makanan kesukaan aku hari ini," sergah Somsi.

Bu Wati melongo heran. "memang nya apa salah mama... mama kok seperti dikasih hukuman."

"Hahahaha. Itu memang hukuman buat mama." Somsi tertawa melihat mama nya seperti patung tak bernyawa. Dia mengatakan hal itu, agar ibunya berhenti bicara. Dia sudah capek mendengar ibunya dari tadi asik bicara.Dengan mengatakan itu, dia bisa menutup mulut ibunya tanpa harus membentak apalagi untuk menyakiti hati ibunya. Mendengar perkataan Somsi membuat bu Wati tidak bisa berkutik lagi.

Bu Wati dari tadi sudah siap memasak. Semua makanan sudah dihidangkan di lantai. Mereka tidak punya meja makan untuk mereka duduki bersama saat makan. Merek hanya bisa makan seperti itu. Dia juga kesal kepada putrinya. Dengan menyuruhnya memasak lagi berarti akan ada satu pekerjaan lagi yang harus dia lakukan. Putrinya menyuruhnya lagi untuk memasak. Sebenarnya Bu Wati mengijinkan Somsi untuk mencari pekerjaan bukan karena ia dari dulu ingin putrinya bekerja, tapi karena kepedulian Somsi kepada keluarga lah yang membuat bu Wati bangga.

Huu dari tadi aku sudah siap memasak. Karena anak ini, aku harus memasak lagi. Kalau saja kamu bukan putriku. Akan kupanggabg kau habis-habisan.

Bu Wati berkutat dengan bahan-bahan masakan. Dia tampak fokus dengan setiap pekerjaan yang ia lakukan. Dia akan memasak makanan yang di sukai oleh putrinya. Bilang saja itu kata semangat buat putrinya agar tidak gampang menyerah.

Bu Wati juga membuat secangkir kopi untuk pak Nius dan dua cangkir susu untuk putri kesayangannya. Persediaan untuk satu minggu ini masih ada. Untuk minggu berikutnya bu Wati bingung, dia sudah tidak tau lagi dari mana mereka akan mendapatkan uang nanti. Bu Wati ingin Minggu berikutnya bisa membeli persediaan rumah.

...****************...

Dikamar, Somsi sudah menyiapkan berkas-berkas yang akan dia berikan nanti kepada Ka borusaragih. Dia melihat lembaran nilainya. Ternyata aku pandai juga, ini buktinya nilai aku lumayan bagus.

Somsi memang anak yang pintar. Dia selalu mendapat juara dikelas. Juara olimpiade juga dia dapat. Banyak sertifikat dari hasil juaranya. Tetapi sayangnya ia bukan terlahir dari keluarga yang kaya. Dia tidak bisa mengembangkan skill yang ia punya selama ini. Setelah menyiapkan berkas-berkas itu, ia pergi ke kamar mandi.

Di rumahnya, Mereka hanya punya satu kamar mandi. Dari dulu mereka mandi di sungai. Mereka bisa memiliki kamar mandi itu karena dari bantuan pemerintah. Mereka memberikan bantuan kepada setiap orang yang tergolong sangat rentan miskin. Mereka adalah salah satunya. Dengan bantuan itu, mereka tidak perlu lagi pergi ke sungai untuk mandi, cuci piring dan lain sebagainya.

Tidak lupa Somsi mencuci piring dan mencuci kain mereka semua. Jika dibiarkan beberapa hari, kain itu akan menumpuk.

Somsi melongo heran. Wah...banyak juga nya piring-piring kotor. Mana air mati lagi. Gimana nih.

Somsi merasa bingung harus kemana. Jalan satu-satunya adalah pergi pergi ke sungai untuk mengerjakan semua itu.

"Ma, Somsi pergi ke sungai. Persediaan air sudah sedikit. Kalau papa pulang bekerja, papa bisa memakai air itu," teriak Somsi. Dia tidak ingin ayahnya harus pergi lagi ke sungai untuk mandi. Apa lagi ayahnya pulang saat sudah gelap sekali.

"Iya nak." Ibunya mengijinkannya pergi. Dia juga tidak ingin kalau suaminya pergi ke sungai.

Somsi membawa piring dan juga kain kotor. Dia meletakkan piring kotor di atas baju kotor. Tidak lupa ia memisahkan baju dan piring

Dengan menempatkan dalam ember yang berbeda ukuran.

Dua junjungan ember sudah di kepala dengan di pegang satu tangan Sedangkan tangan yang lain memegang ember sabun.

Beberapa menit perjalanan harus di lalui dari rumah ke sungai.

Somsi akhirnya sampai. Kira-kira jarak nya hanya 10 meter. Bagi orang kota, itu sudah termasuk jauh. Somsi menurunkan junjungan ember ke bawah tempat ia akan mencuci kain dan piring. Meletakkan dibagian kayu yang sudah siap untuk mencuci kain. Tidak lupa ia memberi deterjen untuk baju yang sudah ia rendam. Dia mencuci piring pertama dari pada mencuci kain.

Sup.....

Suara lemparan batu ke sungai. Somsi melihat ke arah sumber air yang bergerak. Ia mulai takut dan cepat-cepat melakukan pekerjaan nya.

Ba............

Somsi terlonjak kaget mendengar seseorang yang memegang punggung nya tiba-tiba. Somsi berbalik dan menjatuhkan orang yang telah berani memegang punggung nya itu.

Sur....

Suara tubuh manusia terjatuh ke sungai.

"Siapa kamu?" Somsi bertanya pada seseorang yang masih tercebur ke sungai.Tiba-tiba orang itu menaikkan kepalanya diatas air. Somsi sudah siap ingin melemparnya dengan semua sisa makanan yang ia kumpulkan saat mencuci piring. Tapi ia terkejut melihat siapa orang itu.

"Kamu, kenapa kamu ada di sini. Buat aku takut saja."

Dasar orang tidak punya pekerjaan. Datang hanya menggangu orang saja. Kalau tadi aku melemparnya pakai air cabe dari sisa makanan ini, sudah pasti matanya akan perih.

"Hahahha maaf, saya buat kamu kaget." Dia adalah Bram. Dari dulu dia suka usil kepada Somsi. Dia selalu melakukan berbagai cara untuk mengusili Somsi.

Kenapa sih dia asik mengganggu aku. Dari dulu sifatnya tidak bisa hilang. Sudah besar masih saja punya sifat seperti anak-anak.

"Kamu kenapa diam. kamu suka ya sama aku?" Bram melempar pertanyaan konyol yang membuat Somsi merasa jijik.

Ini anak tingkat kepedean ya tinggi juga.

"Suka samamu, ogah banget. Jangan geer. Aku diam bukan berarti tanda suka samamu!" bentak Somsi.

"Hahahah muka kamu merona tuh." Bram selalu saja punya akal dalam berbicara. Dia tetap tidak mau berhenti mengusili Somsi sebelum Somsi sendiri menyerah.

Somsi yang mendengarnya mulai panas. Dia kehilangan kendali. Dia membentak Bram lagi.

"Kalau kamu gak punya kerjaan, pulang saja. Jangan suka usilin orang!"

"hehehhe kamu kok marah sih, aku mau bantu kamu saja. Sini berikan aku sabun mu. Kamu cuci kain itu," ucap Bram lalu menarik piring itu dari tangan Somsi.

Bram sendiri kaget dengan Somsi yang sudah membentaknya. Dia mengira kalau Somsi masih seperti dulu, yang hanya diam tanpa melawan. Tanpa berpikir panjang Somsi langsung memberikan sabun itu. Hal itu tidak merugikannya sama sekali. Malahan itu adalah keberuntungan baginya.

"Kamu tambah hitam, hehehhe." Bram masih sempat-sempatnya berbicara. Dia tidak takut apa kalau dia sudah membangkitkan harimau yang sedang tidur.

"Masalah mu apa?" Somsi ingin melayangkan tinju nya pada orang yang bersama nya saat itu. Tetapi dia mengurungkan niat nya.

"Gak, tapi kamu tambah cantik," ucap Bram menggoda Somsi. Bram dari tadi tidak mau diam. Dia selalu saja buat cara untuk membuat Somsi tidak diam saja.

Somsi melongo heran. "Apaan sih dari tadi gombal. Gak lucu tahu."

Somsi sangat kesal dan ingin segera pergi meninggalkan orang yang sudah mengganggunya dari tadi.

Di tengah keasikan mereka dalam berbicara, Siti teman Somsi datang menghampiri mereka. "Hei, kalian sedang apa? romantis bangat," ucapnya. Sama halnya dengan Bram. Siti juga suka usil pada Somsi. Siti mengeledek dua orang yang ia hampiri, Bram dan Somsi.

"Iya, aku kan pacar nya," ucap Bram. Tanpa rasa malu ia mengatakannya.

Somsi yang mendengar ucapan Bram melemparkan baju yang ia cuci tepat pada wajahnya. "Kamu bisa jaga omongan mu gak? kalau gak bisa jaga mulutmu lebih baik pulang saja atau kau mau mulutmu itu dilem. Supaya tidak ribut."

Apakah dia sudah punya kebiasaan buruk ya... dari tadi gak mau diam atau jangan-jangan dia kurang kasih sayang dari orang tuanya lagi.

"Hahahaha, kamu dari tadi marah saja. Gak bagus loh, nanti cepat tua," ngeledek Bram. Bram masih lagi dan lagi mengeledek Somsi.

Somsi tidak menjawab. Dia fokus pada kain yang sedang ia brush. Dia ingin segera pergi meninggalkan teman masa kecil nya yang super usil itu.

"Aku bantu yah Som. Bosan gak ada kerjaan. Masa hanya lihat kalian adu mulut gitu," lirih Siti menawarkan bantuannya. Dari tadi memang ia sudah ingin sekali membantu Somsi. Apa lagi ini adalah pertama kalinya ia mencuci kain. Di rumahnya sendiri mereka punya pembantu.

Siti membantu Somsi mencuci kain. Dia mengucek kain itu seperti yang di lakukan oleh Somsi.

Semenjak kedatangan mereka. Pekerjaan itu sudah mulai terasa ringan baginya dan akan cepat selesai. Bram selalu melirik ke arah Somsi diam diam.

Somsi yang melihatnya pura-pura tidak tahu saha. Dia tidak ingin mencari masalah lagi. Dia ingin pekerjaannya cepat selesai lalu meninggalkan mereka disana.

Piring dan baju Somsi yang ia bawa semua sudah bersih. Kemudian ia menyuruh Bram untuk mengangkat ember itu pada kepalanya. Junjungan baju dan piring itu sudah bertambah berat dari sebelumnya.

Somsi mengucap terimakasih kepada Bram dan juga Siti. Siti juga ikut pulang bersama dengan Somsi. Lain dengan Bram yang masih tinggal di pinggiran sungai memperhatikan Somsi dari belakang.

Dia tambah cantik.

Di tengah perjalanan Somsi dan Siti berjalan bersama ke rumah masing-masing. Ada nenek tua yang sedang berjalan membawa kayu bakar. Somsi yang melihat nya merasa kasihan lalu menurunkan junjungan ember diatas kepala nya dibantu oleh Siti.

"Sit, aku minta tolong samamu. Tolong tunggu disini. Jaga baju dan piring ku agar tidak kotor. Aku mau membantu nenek itu membawa kayu bakar nya," jelasnya.

Siti menganguk. Iya Som."

Somsi menghampiri nenek tua itu dan membawa kayu bakar milik nenek, kerumah nenek tua itu. Sebuah gubuk yang sangat kecil tempat dimana nenek itu tinggal.

"Makasih ya cucuku. kamu sangat baik. Semoga suatu hari nanti kau menjadi orang yang sukses dan jika kau sudah sukses jangan pernah sombong," ucap Nenek tua itu. Nenek tua itu hanya memberikan doa saja. Da tidak punya uang atau yang lain yang bisa ia berikan selain doa.

Kata-kata yang di ucapkan oleh nenek tua itu sangat menyentuh hati Somsi. Somsi sangat senang sekali bisa mendapatkan doa dari sang nenek.

"Terimakasih banyak nek. Doa nenek selalu yang terbaik buat aku."

Somsi menyunggingkan senyum tulusnya. Kemudian meninggalkan nenek tua itu lalu pergi. Dia melihat Siti masih menunggunya. Siti membantu Somsi mengangkat ember itu keatas kepalanya. Somsi menceritakan apa yang di ucapkan oleh nenek padanya.

"Sit, aku senang sekali. Baru kali ini aku mendapat doa dari sekian banyak orang-orang yang aku temui. Biasanya orang-orang hanya mengucapkan terimakasih. Tapi nenek ini bukan hanya mengucapkan terimakasih saja, dia juga memberikan aku sebuah doa yang tulus," ucapnya senang.

"Wah bagus dong. Semoga doa nenek itu terkabulkan. Amin." Siti senang mendengarnya. Dia juga berharap semoga Somsi mendapat perubahan nanti.

Somsi dan Siti melanjutkan perjalanan mereka ke rumah masing-masing. Somsi belum lupa dengan apa yang sudah ia dengar dari mulut si nenek yang telah ia bantu. Dia berharap semoga doa si nenek suatu hari nanti memang kenyataan. Dia juga ingin sukses dalam karir, membahagiakan orang tuanya dan memenuhi kebutuhan adeknya.

Bersambung......

Tbc

Dukung Author dengan vote, like dan juga komen.

Bab 3

Sesampainya di rumah, Somsi segera menaruh piring-piring itu ke rak piring. Sedangkan kain yang ia bawa tadi, ia biarkan dulu tetap di ember itu. Besok ia akan menjemurnya.

Somsi pergi ke kamarnya. Dia ingin memakai pakaiannya. Dari tadi ia sudah menahan hawa dingin yang menyelusup di bagian tubuhnya.

"Kamu sudah pulang nak?" tanya Bu Watu. Bu Wati melihat putrinya itu sudah ada di rumah. Berarti Somsi telah menyelesaikan pekerjaannya.

"Iya ma."

Somsi menjawab sesingkat mungkin. Dia tidak ingin berbicara dengan embel-embel kata yang berlebihan.

Bu Wati yang melihat Somsi menggigil, menyuruh Somsi untuk memakai pakaiannya. "Ya sudah, kamu cepat pakai pakaianmu. Segera datang ke depan. Mama sudah siapkan semua."

Bu Wati kembali ke kamar. Dia sudah sangat lelah sekali. Pekerjaan yang sudah lama siap harus melakukannya lagi. Itu karena ia terlalu berbicara berlebihan atau karena ia sangat menyayangi putrinya.

"Iya ma, Somsi akan cepat memakai pakaian dan segera datang untuk makan."

Somsi lalu meninggalkan ibu nya pergi memasuki kamar. Di dalam kamar, ia menemui adeknya menyelundup di bawah kasur. Dia pura-pura tidak melihatnya.

Hi hi hi hi hi........

Suara dibuat-buat seperti hantu.

Friska yang gak tahu kalau kakaknya dari tadi sudah mengetahui dirinya di bawah kasur. Masih terus mengganggu kakaknya dengan suara yang ia buat mirip seperti suara hantu.

Tolong....

Suara teriakan Somsi lebih keras mengisi ruangan dari pada suara adeknya.

heheheh, rasain kakak. Kakak takut kan.

Friska mengeledek kakaknya dalam hati. Dia berpikir kalau kakaknya berteriak memang karena merasa takut dengan suara yang ia keluarkan.

Somsi melihat adeknya tertawa seorang diri. Mungkin berpikir kalau ia ketakutan dengan suara Friska. "Dek, kamu ngapain disitu sih?" tanya Somsi.

Friska melongo heran. "Kok kakak tahu saya

disini."

"Ya tau lah dek, kau kan sembunyi di tempat kakak biasa sembunyi. Kakak sudah hapal dengan semua isi kamar ini," ucap Somsi menahan tawanya saat melihat wajah adeknya berubah. Sepertinya Friska kesal dengan apa yang ia ucapkan.

"Kakak curang nih."

Friska meninggalkan kakaknya di dalam kamar dengan memasang wajah kesal lalu pergi kedepan. Ruang yang bisa dilakukan untuk makan, untuk belajar, untuk bercerita.

Seperti biasa, selesai makan mereka akan duduk sebentar saling bercerita. Ada yang menjadi pendengar dan ada yang akan bercerita. Setelah itu mereka akan mengambil kesibukan masing-masing. Somsi dan adeknya akan belajar jika mereka memiliki PR. Tempat itu banyak sejarahnya. Tempat yang lumayan lebih besar dari kamar Somsi dan Friska.

Rumah itu lumayan untuk di tempati. Setidaknya mereka tidak perlu di kolom jembatan atau di jalan sekali pun. Keluarga yang tetap bersyukur meski tidak seenak kehidupan orang lain. Mereka tidak pernah menyerah dengan yang namanya hidup. Prinsip mereka selama ini, uang masih bisa dicari dan kebahagiaan yang paling penting. Tanpa kebahagiaan semua tidak akan bisa di lakukan kalau hati terus-menerus bersungut-sungut dan menyerah begitu saja.

"Eh, kamu sudah keluar nak. Kakakmu dimana kok hanya datang sendiri?" tanya bu Wati. Bu Wati melihat putrinya itu seperti wajah yang sedang kesal.

Pak Nius juga memperhatikannya.

"Iya nak, kakak kamu mana? papa sudah sangat lapar," tanya pak Nius heran.

"Gak tau," ketus Friska.

Friska masih merasa kesal. Dia tidak bisa menahan kekesalannya itu sendiri. Paling tidak ia menunjukkan nya pada orang lain agar orang yang melihatnya tau kalau ia sedang kesal.

Pak Nius dan bu Wati melongo heran dengan sikap putrinya itu. Seperti tidak biasanya putri nya menampakkan wajah murung dan cemberut.

Hahahahah hahahahha ....

Mereka tertawa sama sama.

Friska kaget dengan suara tawa orang tuanya. Dia tambah kesal saat melihat mereka tertawa terbahak-bahak.

Bukannya menghibur malah tertawa.

Somsi keluar dari kamar lalu datang ke depan lalu duduk di sebelah Friska.

Hahahahahahah....

Somsi ikut tertawa melanjutkan tawa orang tua nya.

Ini lagi kok ikutan. Orang lagi kesal malah tambah di ketawakan. Bikin tambah kesal orang saja.

"Mama, papa kalau ikutan ngeledek aku. Aku gak mau makan," ancamnya. Friska sedikit mengancam. Alasan agar mereka membelanya.

"Nyundek nya. hahahhaha." Somsi makin menertawakan adeknya itu. Apa lagi ia merasa lucu sekali saat melihat wajah adeknya sedang murung dan cemberut.

Bukan nya menenangkan adek nya malah dia semakin tertawa.

"Sudah,sudah cukup ketawanya. Mari kita lanjut kan makan," ucap pak Nius. Pak Nius ingin semua berhenti, ia sudah lapar sekali. Ingin rasanya makan.

Semua kembali hening. Sebelum mereka makan, mereka berdoa dulu. Usai berdoa mereka melahap makanan mereka masing-masing.

Selesai makan, Somsi dan Friska mengantarkan piring-piring kotor ke dapur. Mereka kembali lagi ke depan. Mereka melihat orang tuanya sudah membaringkan tubuh.

Mereka juga ikut membaringkan tubuh mereka dengan memberi jarak dari orang tuanya.

"Kali ini siapa yang akan bercerita?" tanya pak Nius melihat mereka satu per satu. Pak Nius melihat ke arah mereka yang akan memulai cerita. Pak Nius sudah tidak sabar lagi. Dia ingin cepat tidur. Besok ia akan menguras tenaganya untuk bekerja.

Friska menunjuk kakaknya. "Kakak pa."

Dengan perasaan senang ia menunjuk kakaknya itu. Dia ingin memberi pelajaran pada kakaknya karena sudah membuatnya kesal tadi.

"Lah kok aku sih, lebih baik kau dek." Somsi balek menunjuk Friska.

Ih kakak ini malah menunjuk Friska, Friska kan sengaja menunjuk kakak.

"Gak, kakak yang pertama aku tunjuk," ucap Friska yang tidak ingin bercerita.

Somsi sebenarnya ingin sekali menceritakan kejadian saat ia membatu sang nenek di jalan tadi. Nenek yang telah ditemuinya dan memberikan sebuah doa untuknya.

Papanya juga mendukung apa yang dikatakan oleh Friska. "Iya, papa setuju dengan Friska."

Bu Wati mengacungkan tangan nya keatas dalam posisi terbaring. "Iya mama juga setuju."

"Iya nih, Somsi akan cerita. Lagian dari tadi Somsi juga mau cerita," ucap Somsi.

Somsi tertawa geli melihat tangan ibunya yang mengacung ke atas.

Somsi melempar senyum pada adeknya itu, yang membuat Friska tambah dan tambah lebih kesal lagi.

Friska yang mendengarnya kakaknya ingin bercerita heran. Sebenarnya ia menunjuk kakaknya agar kakaknya dapat pelajaran karena sudah mempermainkannya dan membuat kesal.

"Ihk, kakak mana bisa bercerita. Palingan ceritanya membosankan," ucapnya melirik dengan mata melotot.

Somsi kembali melempar senyumnya pada adeknya itu hingga kekesalan Friska semakin bertambah.

Ihk malah senyum, gak lucu kali.

Somsi memulai ceritanya.

"Pa,ma aku ingin menceritakan pengalaman ku semenjak aku lahir ke dunia dan mendapati kalian adalah mama papa aku. Banyak sekali yang kita hadapi ma,pa dan juga adek saat-saat kita menempuh kehidupan ini.

Aku dan Friska bukan terlahir dari keluarga yang kaya. Dan bukan juga anak yang seberuntung teman-teman aku dan Friska.

Tetapi kami senang dan bangga pa,ma.... kami bisa di didik oleh orang tua seperti kalian," ucapnya melirik pada ayah dan ibunya. Somsi melanjutkan perkataannya lagi.

"Kalian mengajarkan kami untuk tetap bertahan. Meski kehidupan yang kita lalui sangat berat. Kalian juga tidak lupa memberikan kami nasehat yang baik. Bahkan kami tidak pernah melupakan diri kami bahwa kami adalah ciptaan Tuhan yang harus tetap bersyukur. Kalian selalu mengajari kami sopan santun dan cara berdoa kepada Tuhan. Kalian selalu mengingatkan kami untuk beribadah agar kami selalu diberkati.

Kini kami tumbuh besar ma,pa...terimakasih untuk semuanya."

Bu Wati dan pak Nius tidak berkutik sedikit pun. Mereka terharu dengan penuturan putri nya itu.

Friska juga meneteskan air mata. Dia juga terharu dan tersentuh dengan cerita kakaknya itu. Apalagi ceritanya menyangkut kehidupan mereka.

"Nak, kamu tidak perlu berterima kasih. Itu memang sudah kewajiban kami. Kalian menjadi tanggung jawab kami saat kau dan adek mu lahir ke dunia ini," lirih bu Wati menahan air matanya.

Bu Wati sedih mendengar ceritanya. Ingin menyuruh berhenti tapi penasaran dengan kelanjutannya. Ingin menyuruh lanjut tapi ceritanya sangat menyentuh hati. Sangat sulit menentukan apa yang harus di pilih.

"Iya nak, kami sangat terharu dengan ceritamu itu," lanjut pak Nius. Pak Nius juga merasa kalau cerita Somsi sangat menyentuh hatinya. Dia tidak mengira kalau cerita itu akan menyangkut kehidupan mereka.

"Oh ya pak, ma. Tadi kan Somsi bertemu nenek tua di jalan sedang membawa kayu bakar. Terus Somsi bantu nenek itu. Selesai mambantu, nenek itu mengucapkan terimakasih dan kasih doa sama aku pa ma," ucapnya dengan menyunggingkan senyum. Somsi menceritakan apa yang telah ia dengar dari doa si nenek saat ia selesai membantunya.

"Lalu nak?" tanya bu Wati penasaran. Dia ingin putrinya melanjutkan ceritanya lagi.

"Ya baru kali ini loh ma, Somsi dapat doa. Dari sekian banyak yang Somsi bantu. Mereka hanya mengucapkan terimakasih saja tapi nenek ini beda ma," ucapnya senang.

Bu Wati ingin tau apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya itu.

"Wah, bagus itu nak. Semoga doa nenek itu terkabulkan. memangnya dari doa nenek itu apa yang akan kamu simpulkan dan apa yang kamu harapkan?"

"Ma,pa. Aku ingin sekali merubah kehidupan keluarga kita. Aku tidak tega melihat kalian selalu bekerja diladang orang. Apalagi usia kalian akan bertambah. Jika kalian tidak kuat lagi, orang-orang tidak akan memakai tenaga papa dan mama lagi," ucapnya dan tetap melanjutkan ceritanya, "Maka dari doa nenek itu, aku ingin doa itu menjadi kenyataan. Aku akan berjuang ma pa. Berjuang merubah nasib kita. Siapa tau Somsi bisa membahagiakan kalian."

Somsi meneteskan air matanya. Air mata tanda bukti dari janjinya, kalau ia akan menepati janjinya itu.

Bu Wati dan pak Nius sangat terharu dengan kegigihan putrinya yang ingin membahagiakan mereka. Mereka selama ini hanya ingin putri mereka bahagia dan tidak mengharapkan imbalan apapun.

Dia melihat kearah adeknya. Dia tersenyum meski diwajahnya menggambarkan kesedihan.

"Aku juga tidak mau adek sampai putus sekolah. Aku akan buat kehidupan adek berbeda dengan kisah pahit hidupku yang pernah aku lalui saat masa masih kecil hingga besar. Saat-saat kalian kesusahan membayar uang sekolahku ma,pa."

Friska kembali meneteskan air matanya. Dia tidak mengira kalau kakaknya begitu menginginkan kehidupannya lebih baik. Dia juga sangat bersyukur bisa memiliki kakak sebaik Somsi.

"Kak, terimakasih. semoga semua mimpi kakak tercapai."

"Ya dek. Doakan kakak. Percaya sama kakak, kakak akan membahagiakan kalian," ucap Somsi. Somsi terus memegang janjinya itu. Dia tidak ingin sedikit pun berubah.

Friska menghapus air mata yang baru menetes di wajah kakaknya.

"Kesimpulan dari nenek itu yang aku ambil. Kita tidak bisa sukses hanya dengan berdoa saja. Tetapi kita harus berusaha sambil berdoa," ucapnya. Somsi dengan semangat mengatakan kalimat yang baru ia katakan.

"Itu betul nak, semangat ya nak. Doa papa dan mama selalu bersamamu."

Pak Nius juga memberikan semangat pada putrinya itu. Dia juga selalu berdoa agar anak mereka tidak seperti yang mereka alami nantinya. Berharap kalau hidup itu bisa berubah. Roda akan tetap berputar dan tidak selamanya mereka hidup di bawah. Ada kalanya mereka akan hidup di atas juga.

Bersambung......

Tbc

Dukung Author dengan vote, like dan juga komen.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!