Selamat pagi dunia. Namaku Ayana. Sambil kubuka lebar jendela, di luar masih temaran, aku sudah hampir menyelesaikan masakanku. Tinggal menyusunnya dalam kotak bekal makan siang. Untuk sarapan sudah siap juga, aku membuat nasi goreng. Haha, jujur ya, seminggu bisa lebih dari beberapa kali menu ini jadi menu sarapan langganan. Bukan karena favorit, namun resep sederhana dan kepraktisannyalah yang menjadi alasan.
“Kakak! Di mana hp?”
Suara nyaring dari kamar. Dia bukan adikku ya. Aku langsung menghampiri kaca yang menempel di dinding. Melepaskan ikatan rambut dan memeriksa wajahku. Dia suamiku, Renan Alaska. Aku mengeryit sendiri pada bayanganku di cermin. Kusisir rambutku demi memastikan aku tidak melanggar peraturan.
“Kakak!” kembali terdengar jauh lebih keras dari sebelumnya. Oh ya, aku belum menjawab pertanyaannya tadi.
“Di laci biasanya. Dompet juga di situ, coba tarik lacinya lebih keluar.”
Tak ada sahutan, masalah selesai pikirku. Sambil menunggunya keluar, sudah kumasukan semua bekal makan siang yang tadi kusiapkan. Beres. Kuletakan di pinggir meja, berjajar. Aku berdiri di dekat meja menunggunya.
“Bukan hpku, tapi hp kakak.”
Glek! Aku menelan ludah. Merasa ada yang salah. Ekor mataku menatap benda mungil di dekat kompor. Sial. Pantas perasaan ada yang mengganjal setelah membereskan kotak bekal tadi. Ternyata benda itu. Ren mendekat ke arahku. Wajahnya tidak terlihat senang.
“Aku memakainya untuk mencari resep daging masak paprika tadi.” Aku mencium pipinya. Melunakan hatinya.
“Berikan hpmu!”
Aku tidak punya dalil menolaknya, kuserahkan benda pembawa masalah itu.
“Aku membuka pesan sambil memasak tadi.” Mengaku, karena kalau dia menemukan fakta ini sendiri, dia akan semakin kesal, jauh lebih aman kalau aku mengaku. “Sungguh, aku hanya sebentar tadi melihat pesannya.”
Kulingkarkan tanganku memeluk pinggangnya. Walaupun mudah marah, menaklukan hatinya juga tidak susah. Dia sudah tersenyum padaku. Tuhkan, aku menyeringai dalam hati.
“ Kakak benar-benar tidak patuh ya. Istri yang tidak patuh kepada suami, harus dihukum kan?” Nadanya memang bertanya. Tapi senyum jahat di wajahnya mengatakan habis kau. Membuatku merinding sekaligus kesal.
Aku melepaskan pelukan tanganku, karena tidak berhasil memperdayainya. Sudah berbalik hendak duduk menyantap sarapan. Namun belum menarik kursi, aku sudah terhimpit antara meja dan tubuhnya. Ren mendorongku sampai menyentuh meja. Anak ini. Dia sudah menggenggam rambutku, seperti saat aku mau mengikat rambut. Tubuhku semakin terdorong menempel di meja. Aku merinding karena bibirnya sudah menempel di leherku.
“ Ini hukuman untuk hp tanpa izin dariku.”
Dia sudah mencap stempel bibirnya di leherku. Aku menjerit.
“ Ini hukuman membaca pesan.”
“ Aduh!” Dia menggigit telingaku. Tidak tahu semerah apa leher dan telingaku.
“Berjanjilah tidak akan mengulangi.”
Suaranya datar. Masih memelukku dengan kuat. Dagunya menempel tepat di bahuku.
“ Baik suamiku. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang lepaskan aku.” Kugoyangkan sekuat tenaga tubuhku, agar ia melepaskan pelukannya. “ Makan sarapanmu, kita terlambat nanti.”
“ Tidak mau.”
Dasar bocah ini. Aku memutar tubuhku yang masih dalam pelukannya. Kecupan lima kali di bibirnya membuatnya patuh. Ia melepaskanku. Lalu berjalan diam seperti anak kucing manis ke meja makan, menghabiskan sarapannya.
Peraturan baru:
Hp harus disimpan di dalam laci setelah aku pulang kantor. Untuk akhir pekan toleransi diberikan sesuai izin dariku.
Apa-apaan dia ini. Aku menolak dengan tegas. No hp no live. Begitu kan semboyannya.
“ Bagaimana kalau ada telfon penting”
“ Siapa yang akan menelfon kakak malam-malam?” balik bertanya dengan nada curiga dan kesal. Aku memilih tidak menjawab daripada berbuntut panjang.
“Bagaimana kalau urusan kantormu?” kataku menemukan alasan lain.
“ Aku sudah bilang di grub kantor kalau aku tidak bisa dihubungi setelah jam kantor. Hp non aktif setelah sampai rumah.”
“ Apa!”
Bocah ini, masuk akal gak, hal seperti ini dibuat pengumuman di grub kantor.
“ Apa?” senyumnya sudah licik. Aku memutar otak mencari celah mendebatnya lagi.
“ Tapi Ren, kenapa sampai harus menyimpan hp?” baiklah, aku harus melunak. Jangan memancingnya. Karena peraturan yang sudah kami sepakati sangat mustahil dirubah lagi. Jadi aku harus membuat aturan baru ini jangan sampai diketok palu.
“Karena aku ingin bersama kakak tanpa diganggu siapa pun.”
Gila ya, alasan apa itu. Kau katakan dengan wajah sepolos itu.
“ Ini kan cuma hp Ren. Di sekolah saat bekerja aku juga gak bisa main hp. Masak di rumah juga gak boleh.” Merajuk manja. Namun ntah kenapa aku merasa jijik dengan gaya bicaraku. (Gw juga pengen nampol pas ngebayangin. Hahaha. *author)
Ren tergelak. Suara tawanya memenuhi kamar. Dia tau kalau aku sudah mengandalkan senjata mautku.
“ Kakak manisnya, bagaimana ini, aku sudah tidak kuat lagi. Jantungku mau meledak rasanya” Muah, muah. Dia menghujani wajahku dengan ciuman. Sampai aku tak bisa bergerak. “ Aku akan bermain bersama kakak selama di rumah.”
Rasa bahagia saat mengatakan itu muncul di wajahnya, membuatku takut.
“ Aku kan tidak melarang kakak main hp. Peraturan dimulai saat aku sudah pulang dari kantor, sebelum itu kakak bisa main hp sepuasnya.”
“ Baik, tapi peraturan batal kalau kau yang melanggar duluan ya” liat apa kau bisa. Haha, aku pasti bisa menang darimu.
“ Baik kakak.” Senyumnya mengatakan, berjuanglah, kau tidak akan mengalahkanku.
Dan bocah ini, sama sekali tidak pernah melanggar peraturan.
Bersambung
" Kakak dukung kami ya ^_^ @Ren"
Poke...poke.
Kesadaranku kembali menapak bumi saat jari Ren menusuk pipiku berulang kali. Eh, aku terkejut saat melihat sudah sampai di depan gerbang. Lebih-lebih saat melihat senyum dan mata mengeryitnya. Curiga. Aku dapat dengan mudah menerjemahkan senyum bocah ini, maksudnya senyum suamiku.
“Apa yang kakak pikirkan?” bertanya tapi entah kenapa aku memprediksi dia tidak akan semudah itu percaya dengan apa yang aku katakan.
“Memikirkan Ren.” Kata sok imut yang membuatku merinding sendiri. “Aku turun ya, makasih sudah diantar.”
Aku mengulurkan tangan ingin meraih jemarinya dan cium tangan. Namun ia menepis. Eh kenapa ini? Ia menaruh kedua tangannya di kemudi. Dan yang terjadi selanjutnya jauh lebih kusesali, kenapa aku tidak membuka pintu dulu tadi. Ceklik. Pintu mobil terkunci. Dia tidak melepaskanku.
“Ren nanti terlambat ke kantor bagaimana?” membujuk level satu.
“Kakak, aku kan karyawan yang disayang. Terlambat sebentar juga tidak apa-apa.” Hei, gila ya, mengatakan dengan wajah sepolos itu. Ini kan tindakan tidak terpuji. Namanya kamu diistimewakan. Kenapa? Karena wajah tampanmu itu. Karena dua bola mata benih yang bahkan selalu meluluhkan hatiku itu.
“Bukan disayang seperti hubungan laki-laki dan perempuan Kak.”
Aku tahu! Siapa juga yang tanya. Tunggu, apa dia sedang menjawab isi pikiranku.
Ren menyandarkan kepala di kemudi, memiringkan wajahnya hingga menatapku. “Apa yang Kakak pikirkan tadi?”
Masih pertanyaan itu lagi Gerrrrr. Geram sendiri aku dibuatnya.
Berusaha tersenyum walaupun kesal.
“Kan sudah dijawab tadi, memikirkan Ren. Suamiku tersayang.” Rayuan level 2 sudah keluar kata sayang.
“Apa Kakak tidak merasa bersalah padaku?”
Eh, kenapa lagi ini. Aku tidak mengatakan apa pun saat melamun tadi kan. Aku masih ingat, dia membicarakan tentang rencana kencan akhir pekan. Ingin makan es cream di toko yang baru dibuka tidak jauh dari kantornya, dan aku sudah tidak menapak bumi lagi setelahnya.
“Kakak bahkan tidak mendengarkanku bicara, bagaimana bisa bilang memikirkanku.”
Ya Tuhan, dia merajuk. Level berapa ini, sebelum jawabanku memuaskannya dia tidak akan melepaskanku.
“Maaf ya Ren, aku melamun tadi.” Rayuan level 3 sentuhan lembut di kepala.
“Apa yang Kakak pikirkan tadi?”
Ini bocah keras kepalanya.
“Beneran tadi mikirin Ren. Ingin buat peraturan baru di rumah. Kira-kira apa ya, yang bisa membuat Ren tidak sanggup melaksanakan dan sering melanggar. Ingin sesekali bisa menghukum Ren.” Aku meliriknya sambil tertawa jahat.
Dia puas dengan jawabanku, sepertinya. Tawanya sudah memenuhi udara. Ia menatapku dalam. “Kakak tahu kan, kenapa aku selalu mematuhi peraturan yang Kakak buat?”
Dia memiringkan tubuhnya. Menatapku dalam dengan bola mata bening itu. Jemarinya mengangkat daguku, mau tidak mau aku mendongakkan wajah. Menatapnya juga. Sial. Dadaku bergemuruh. Aku masih gemetaran kalau dia melakukan ini. Deg, deg. Rasanya jantungku ingin meledak. Tunggu, kenapa mataku fokus ke bibirnya sekarang. Aku ingin menciumnya. Malu sendiri dengan isi kepalaku.
“Aku selalu mematuhi aturan Kakak, karena aku mencintai Kakak.” Glek, aku menelan ludah. “Dan aku berharap kakak juga seperti itu.”
“Apa?” kujawab lirih sambil menenangkan hatiku.
“Kakak mematuhi aturanku, karena Kakak mencintaiku.”
Apa! Kenapa aku merasa bersalah. Baiklah, aku memang sering sekali melanggar peraturan. Tapi mendengarnya langsung jadi merasa menyedihkan begini.
“Baiklah. Hentikan!” kututup kedua matanya dengan tangan “Jantungku sudah mau meledak.”
“Hahaha.”
Tawanya memenuhi udara. Ren sangat mudah berganti suasana hati. Saat bersamaku dia bisa dengan gampangnya marah atau tersulut cemburu, tapi semudah itu pula ia bisa langsung memelukku, menciumku. Kadang suasana hatinya bisa dengan mudahnya berubah seperti mengedipkan mata.
“Sini cium” dia mengangkat tangan dan memajukan bibirnya. “Lima kali untuk meluluhkan hatiku.” Apa-apaan dia ini, walaupun jujur aku memang benar-benar ingin mencium bibirnya sekarang.
“Ren cium kening seperti biasanya aja ya?” kataku melihat situasi dan tempat kami sekarang.
“Tidak mau.” Cepat sekali menjawabnya.
“Baiklah sini.” Kucium tangannya. Kuraih tas untuk menutupi wajah kami sebagai jaga-jaga kalau ada yang melihat. Muah, muah, muah lima kali kecupan di bibirnya. Baiklah, dia tidak akan melepaskanku semudah itu. Muah, muah, muah. Anggap bonus. Setelah kecupan entah keberapa kali terdengar suara kunci mobil terbuka. Anak ini benar-benar.
“Hehehe.” Dia tertawa.
“ Sudah ya, aku pergi” aku sudah menggerakkan kaki dan menyentuh pegangan pintu.
“Kakak!”
Apalagi! Emosi sudah. Tapi aku tetap memasang wajah penuh senyum menoleh padanya. Tidak lupa buru-buru membuka pintu mobil sedikit, takut dia berulah lagi.
“ Kakak, berusahalah!” Sambil mengepalkan tangan ke udara.
Wajah dan senyumnya mengatakan lain. Aku tahu itu. Membuat peraturan baru yang membuatku melanggarnya. Berusahalah. Hahaha. Begitu aku menerjemahkan seringai di bibirnya.
“Kakak!”
Apalagi! Aku menempelkan tubuh di pintu mobil. Ren menjentikkan jarinya agar aku mendekatkan kepala.
“Apalagi Ren sayang?” suaraku sudah selembut mungkin.
Dia menjentikkan jarinya lagi. Membuatku memasukan kepala ke dalam mobil mendekat ke arahnya.
“Telepon aku nanti ya!”
“Telepon? Kirim chat aja ya?”
“Aku ingin mendengar suara Kakak”
Aaaaaaa! Aku menjerit dalam hati. Mengatakan dengan wajah sepolos itu membuatku geram sekaligus sayang. Bisa tidak, bersikap dewasa sedikit. Begitu kira-kira aku berteriak dalam hati.
“Atau aku yang vidio call” ancamnya.
“Baiklah, nanti aku telepon ya saat makan siang.” Menyerah dengan ancaman vidio call.
Muah. Satu kecupan menyambar bibirku. Aku terperanjat dan memundurkan kepala. Sementara Ren tertawa puas berhasil mengerjaiku.
“I love you Kak, aku berangkat ya?”
Jantungku masih berdetak kuat saat mobilnya berlalu. Aku masih berdiri, melambai pada mobilnya yang terus bergerak menjauh. Dasar bocah, dasar suamiku maksudnya. Setelah mobilnya benar-benar tidak terlihat lagi aku berjalan memasuki gerbang sekolah.
Selamat pagi sekolah
Hariku bersama anak-anak yang bahkan jauh lebih kekanakan dari Ren, kira-kira apa yang menyambutku hari ini ya.
Bersambung
" Kakak sudah dukung kami kan? 😍 @REN"
“Pagi Bu Ayana!”
Aku menghentikan langkah dan berbalik. Yaaa, Ren versi anak SMU ada di hadapanku sekarang. Kelakuannya sama-sama bocah. Kalau Ren, aku masih bisa berlapang dada dan mengalah karena dia adalah suamiku, karena aku memang mencintai Ren yang seperti itu. Tapi kalau dia?
“Pagi Andrian.”
Aku sudah akan berlalu setelah menjawab sapaannya dengan sopan. Tapi tentu saja bocah yang benar-benar bocah ini, tidak akan melepaskanku dengan mudah.
“Hari ini lebih lama dari biasanya ya?”
“Apa?” Anak ini sedang bicara tentang apa?
“Tapi apa tidak apa-apa berciuman di depan gerbang sekolah seperti itu?”
“Apa!” Wajahku pasti merah padam sekarang. Aku seperti ingin tenggelam ke dasar bumi. Kepergok murid sendiri. Seperti maling yang ketahuan mencuri oleh saudaranya yang polisi. Malunya berkali lipat. “Hahaha, Andrian sedang bicara apa ya?” cari celah meloloskan diri dari murid sendiri.
“Walaupun ibu menutupinya dengan tas, tapi siapa pun yang melihat pasti tahu kalian sedang berciuman.”
“Tunggu, itu karena kalau aku tidak menciumnya dia tidak mau membuka kunci mobil.”
Aku semakin ingin tenggelam ke dasar bumi. Malunya berkali lipat. Tapi apa perlunya menjelaskan alasannya pada bocah ini. Semuanya terucap spontan.
“Ibu tidak perlu menjelaskannya, karena mendengar alasannya semakin membuatku kesal.”
Apa! Ada apa dengannya.
“Sampai bertemu di kelas Bu.”
Dan dia pergi berlalu begitu saja meninggalkanku yang membeku diselimuti malu. Aaaa, kenapa dengan pagi ini. Aku bahkan sudah merasa kelelahan sebelum mulai kelas pagi.
...***...
Aku benar-benar kehabisan energi hari ini. Ada apa juga dengan tatapan keras kepalanya itu. Ingin aku memanggilnya dan memarahinya. Tapi alasannya apa. Karena dia memelototiku sepanjang pelajaran. Apa itu bisa kupakai sebagai alasan. Aku benar-benar ingin menjitak kepala Andrian.
Akhirnya selesai, waktunya makan siang. Kubawa bekal menuju tempat biasanya aku makan siang dengan guru lainnya.
“Bu Aya sini!”
Mereka sudah terlihat makan, aku berjalan cepat menuju kursi taman di depan lab Kimia. Tempat yang sudah seperti kami sewa setiap siang untuk makan.
“Hari ini menunya daging paprika dan tumis timun telur ya Bu?”
“Lho kok tahu?” aku bahkan belum duduk, apalagi membuka kotak bekal makan siang.
“Hehehe, suami Ibu sudah update postingan. Captionnya sambil menunggu my baby @Ayana_wijaya telepon. Makan siang dulu ya. Muah, muah, muah. Gambar bibir dan hati lima kali. Haha, suami Ibu manis sekali ya.”
“Hahaha” Aku harus menjawab apa coba, tertawa saja, biar mereka berhenti meledek.
“Sudah menelpon suaminya belum Bu? Ditungguin lho”
Aku langsung lemas karena ingat belum menelepon.
“Sebentar ya Bu, saya telepon dulu.” Sambil tersenyum malu aku berjalan menjauh. Duduk di depan lab. Menjauhkan jangkauan suara yang bisa mereka dengar. Kalau suaraku pelan mereka tidak akan bisa mendengar walaupun niat ingin menguping sekali pun.
Sudah selesai menelepon akhirnya. Aku bernafas lega. Sambil kulihat hp di tanganku. Anak ini benar-benar ya, kapan dia dewasanya. Buat malu saja.
“Ternyata ibu bisa bersikap seperti itu ya.”
Eh, siapa? Suara ini. Aku terperanjat, bahkan hampir tersungkur. Andrian duduk sambil meluruskan kaki. Di tangannya dia memegang hp. Di dekat kakinya ada kotak bekal. Sudah rapi, sepertinya sudah selesai makan siang. Tapi tunggu! Kenapa bocah sepertinya makan siang di tempat seperti ini. Sendirian. Parahnya lagi, kenapa aku tidak menyadari ada mahluk hidup bernafas dari jarak sekitar tiga meter ini. Sorot matanya sudah terlihat melunak dibanding sepanjang pelajaran tadi.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” masih menahan malu dan canggung.
“Makan,” jawabnya singkat. Aku sadar menatapnya tajam, tapi memang aku harus percaya kalau dia sedang duduk makan siang. Andrian bergerak dari duduk, ia menjangkau kotak makan siang di dekat kakinya. Membukanya, menunjukan padaku. Kosong. Baiklah dia memang makan siang. Sorot mataku melunak.
“Sejak kapan kamu di sini?”
“Sebelum Ibu Guru datang.”
“Baiklah Andrian kenapa kamu makan siang di sini?” kata-kataku sudah lembut, seperti saat membujuk Ren, rayuan level 2.
“Memang saya tidak boleh makan di sini?” Tunggu, bocah ini, kenapa tidak menjawab malah balik bertanya. Aku musti jawab apa coba. Memang tidak ada larangan juga, tapi kenapa duduk sendirian di tempat seperti ini. Sedangkan aku tahu dia termasuk siswa yang sangat populer di sekolah. Baik itu di antara sesama siswa laki-laki atau lebih-lebih dengan siswa perempuan. Tapi kenapa dia malah duduk di sini sendirian. Ah sudahlah, aku tau dia tidak akan menjawab sekarang.
“Apa kamu mendengar semuanya?” Telepon tadi, dan tingkahku serta kata-kataku yang memalukan tadi.
“Apa?” Dia tersenyum. Agak sinis menurutku. Bocah ini sedang mempermainkanku.
“Ibu Aya sudah selesai belum, istirahat siang sudah mau selesai.” Aku menoleh saat Ibu Ari setengah berteriak memanggilku. Benar, aku juga belum makan siang. Kutatap muridku sekali lagi, dia tidak bergeming malah ikut menatapku.
“Ibu belum makan kan? Istirahat sudah mau berakhir”
Baiklah, aku harus menyerah sekarang, bicara sekarang tidak akan membuatku menang darinya. Aku meninggalkannya, masih menyimpan seribu tanya. Sekarang saat aku sudah duduk di kursi taman, aku melihat tubuhnya. Samar tertutup pagar. Tapi, jelas-jelas dia ada di sana. Tunggu, jangan-jangan selama ini selama istirahat dia selalu ada di sana. Sambil memakan makan siangku, apa aku coba bertanya dengan dua guru ini saja. Mereka sama-sama mengajar di kelasku.
“Bu Ari dan bu Maya ingat nggak? Di kelas saya ada murid namanya Andrian Winata.” Ragu-ragu akhirnya kutanyakan juga.
“Tentu ingat bu, diakan masuk top five siswa tertampan di sekolah. Hehe”
Wajah Bu Ari dan tawanya terlihat tidak becanda. Tunggu memang di sekolah ada pemilihan siswa tertampan apa?
“Kalo pelajaran Ibu gimana?”
“Pintar” Bu Ari
“Ia dia cerdas anaknya” Bu Maya
Nah, aku juga menganggap Andrian itu anak yang cerdas. Jawaban itu sudah menjawab bahwa tidak ada yang aneh dengan Andrian.
“Dibandingkan dengan anak-anak populer seperti Hanan dan Jaya dia itu gak hanya tampangnya yang oke, kecerdasannya juga luar biasa. Sumber keributan di kelas ibu dua anak populer yang banyak gaya itu kan. Hehe.”
Aku menyeringai membenarkan.
Hanan : seorang selebgram populer. Pusing kepalaku kalau sudah membahasnya, lewatkan.
Jayastan : seunik namanya, lewati juga dia, aku sudah merinding karena kesal.
“Bu Aya tahu kan di sekolah ada fansclubnya Andrian juga? Macam artis korea gitu, mereka jual-jual foto-foto dan barang-barang Andrian.”
“Apa! Tunggu becanda kan Bu?”
“Lho Ibu gak tau ya, anak-anak seni merangkap jadi fansclubnya Andrian kan.”
Dan cerita ala fandom korea yang sering aku baca di internet dijelaskan panjang lebar oleh bu Ari. Eh, ibu guru yang satu ini memang masih single, apa dia punya banyak waktu dan energi untuk hal seperti ini ya. Top five siswa tampan di sekolah. Anak-anak seni yang bahkan merangkap menjadi fansclubnya. Kalian pasti tidak akan percaya, kalau bocah yang sedang kita bicarakan itu sedang duduk tidak jauh dari sini. Makan siang dengan bekal makan siangnya sendirian.
Sepertinya aku harus bicara dengan Andrian. Memangilnya sehabis sekolah mungkin bisa juga. Tapi alasannya apa. Tentu saja karena aku cemas sebagai gurunya. Apalagi coba. Murid populer di kelas bahkan di sekolah, makan siang sendirian di depan lab Kimia.
Apa dia sedang di bully. Hei mana mungkin. Dengan wajah seperti itu. Dia bahkan punya fansclub, fotonya bahkan laku dijual. Apa dia sedang depresi. Hei, kotak makan siangnya saja kosong. Apa ada anak depresi yang doyan makan begitu. Eh sosial medianya apa ya, tunggu apa perlu aku sampai sejauh ini. Kalau Ren sampai tahu aku bersikap seperti ini sama laki-laki lain bisa mati aku. Walaupun dia muridku sendiri. Aku pernah berantem karena chat salah satu muridku yang konsultasi masalah sekolah waktu itu.
Alasannya apalagi.
“Sama aja, dia kan laki-laki, mau dia muridmu dia juga laki-laki. Titik. Aku tidak suka. Aku benci. Aku cemburu.“
Haaah! Membayangkan pertengkaran itu membuatku kesal sendiri. Menjelaskan pada Ren hanya akan menghabiskan energi. Alhasil akulah yang harus menahan diri terlibat lebih jauh dengan urusan muridku. Khususnya murid laki-laki. Besok saja coba bicara dengan ketua kelas dulu. Baiklah sudah waktunya pulang.
Bu maya sudah menunggu di dekat gerbang saat aku muncul dari gerbang kecil di samping. Aku melambai padanya dan setengah berlari mendekat.
“Maaf Bu agak lama, membereskan berkas buat besok dulu.”
“Nggak papa Bu, saya lagi balasin komen juga. Hehe.”
Tanyakan apapun pada Bu Ari, yang sedang update, gosip yang lagi hits, dia akan menjawab dengan gamblang dan jelas. Aku cuma bak remahan rengginang di belantara sosial media yang mendunia. Hahaha. Tentu saja itu berkat suamiku, aturan larangan hp di rumah benar-benar mengubah hidupku.
Bersambung
"Hentikan Ren, aku sedang minta dukungan pembaca. Hallo, aku Ayana, dukung kami ya. Terimakasih. @Ayana"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!