NovelToon NovelToon

Ketika Cinta Harus Memilih

Terlambat bangun

Pagi ini, Ayra terlambat bangun karena semalam tidur terlalu larut. Setelah mengerjakan tugas sekolah dia tidak langsung tidur, sebab dirinya harus masih menyelesaikan pekerjaan yang di berikan saudari tirinya. Yaitu, mencuci gaun pesta Tasya yang sengaja di lemparkan ke wajahnya.

"Capek banget, sih! Aku mau langsung tidur ah, udah gak kuat ini mata." Di regangkan kedua tangannya ke samping.

Tiba-tiba, Tasya datang setelah menggebrak pintu.

Brakk

"Cuciin baju aku sekarang juga! Besok mau aku pake ke pesta ulang tahun Kendra." Tasya tiba-tiba datang sambil melemparkan gaun pesta ke wajah Ayra.

"Tapi, Sya. Ini kan sudah malam, aku capek banget. Gimana kalau besok saja, oke!" Ucapan Ayra dengan cepat di bantah Tasya.

"Kamu tidak mau melakukan perintahku, heh!" Tasya berkacak pinggang di hadapan Ayra.

Dengan cepat Ayra menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu, Sya. Tapi, saat ini aku sudah ngantuk dan capek sekali. Lagi pula acaranya kan malam, jadi aku bisa mencucinya di pagi hari sebelum berangkat sekolah." Ucap Ayra menawar.

Tasya langsung menyentak. "Tidak. Aku mau sekarang juga kau mencucinya dan segera menjemurnya biar cepat kering." Kata Tasya keukeuh. "Besok tinggal kamu setrika biar rapi. Tapi awas, jangan sampai gaunku ini rusak. Jika gaun ini rusak, kau akan tahu akibatnya!" Ancam Tasya dan ia pun berlalu meninggalkan kamar Ayra.

Sedangkan Ayra sendiri hanya menatap lesu sampai punggung Tasya hilang seiring tertutupnya pintu kamar yang di banting dengan keras.

Brakk

Ayra sampai terkejut karena suara pintu yang di banting terdengar nyaring. Dia sampai mengelus dada karena merasa syok.

"Kenapa dia selalu membuatku kesusahan?" Gerutu kesal Ayra yang tak bisa diungkapkan depan Tasya.

Tasya selalu memperlakukan Ayra dengan buruk. Ia mengolok-olok dan menyiksa Ayra jika dia melakukan kesalahan sedikit saja. Bukannya Ayra tak pernah melawan perlakuan Tasya kepadanya. Namun, saat itu ia malah dihukum oleh ayah tirinya dengan dilarang tidak boleh keluar rumah walaupun itu ke sekolah. Ia di kurung di dalam kamarnya selama berhari-hari tanpa di biarkan keluar walau hanya ke dapur saja.

Ayah tirinya selalu membeda-bedakan kedua gadis itu. Berbeda dengan ibunya yang memperlakukan mereka secara adil dengan kasih sayang yang sama. Sehingga Ayra tak bisa berbuat apapun karena ayah tirinya selalu membela Tasya.

Malam itu juga Ayra mencuci gaun pesta Tasya dengan hati-hati. Ia takut merusak gaun itu. Selesai mencuci, Ayra bergegas ke kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Rasa penat, lelah, bercampur rasa kantuk menghinggapinya. Tak lama kemudian, ia pun terlelap menuju alam mimpi. Sampai pagi harinya, ia malah terlambat bangun dan lagi-lagi harus kena omelan Tasya.

"Woi pembokat, bangun kamu. Jam berapa ini? Dasar pemalas." Teriak Tasya yang sudah berdiri di depan Ayra.

Ayra mengerjapkan matanya sambil berkata lirih. "Jam berapa ini, Sya?" Tanya Ayra sedikit bergumam.

"Jam tujuh lewat lima belas menit." Ketus Tasya yang sontak membuat Ayra terkejut.

Mata Ayra membulat sempurna dengan diikuti tubuhnya yang beranjak dari tempat tidur. "Apa? Jam tujuh lewat. Oh ya ampun." Ayra bergegas melompat dari kasurnya menuju kamar mandi.

Melihat Ayra berlari,Tasya kembali berteriak. "Kamu itu sekarang jadi pemalas, ya. Mentang-mentang ayah gak ada di rumah." Lanjut Tasya dengan nada cibiran nya. Ayra sendiri tak menghiraukan cibiran Tasya. Ia mandi tanpa mendengar ocehan saudara tirinya itu. "Hei pembokat, tugas aku belom kelar. Kerjain semuanya dan bawa ke sekolah sekarang. Awas kalau enggak di kerjain!" Ancamnya yang kemudian melanjutkan ucapannya lagi. "Aku taruh di meja bukunya." Kemudian Tasya pergi setelah menaruh bukunya di meja.

Dia berangkat lebih dulu ke sekolah meninggalkan Ayra yang masih mandi. Selesai mandi, Ayra langsung berpakaian rapi dan bersiap berangkat ke sekolah. Semua buku pelajaran hari ini tak lupa ia bawa, termasuk buku tugasnya. Diliriknya buku Tasya yang tergeletak di meja belajarnya.

"Haish, Tasya selalu seperti ini. Mana ini sudah jam setengah delapan." Dia pun menyambar buku tugas Tasya dan memasukannya kedalam tas miliknya. "Aku bakal terlambat ini." Ia celingukan mencari angkot yang biasa lewat depan rumahnya namun tak ada satu pun yang lewat. Ayra pun berlari menuju sekolah yang jaraknya lumayan cukup jauh. "Hah ... hah!" Nafasnya terengah-engah karena ia terus berlari kencang tanpa berhenti sebentar saja.

Teeeeeetttt.

Bel tanda masuk berbunyi nyaring, tepat saat dia sampai di pintu gerbang.

"Syukurlah!" Ia pun buru-buru masuk kedalam sekolah setelah tersenyum kepada satpam. "Pagi, pak." Sapa Ayra kepada satpam.

"Pagi juga neng Ayra." Satpam membalas sapaan Ayra dengan ramah.

Ia berlalu masuk kedalam kelas setelah melewati satpam dan tentunya beberapa kelas lainnya. Sesampainya di dalam kelas, Tasya bergegas menghampirinya untuk meminta buku tugas yang di berikan kepada Ayra untuk di kerjakan

"Mana buku aku?" Tasya menengadahkan tangan meminta buku tugasnya.

"Belum sempat, Sya. Aku berangkat sekolah dengan berlari, karena tak ada angkot yang lewat satu pun." Ujar Ayra malas yang sedang kelelahan.

"Bodoh. Cepat kerjakan. Guru sebentar lagi datang." Hardik Tasya langsung sambil berbisik.

Saat Ayra akan mengerjakan tugas Tasya, bu guru masuk ke dalam kelas dan meminta semua muridnya untuk mengumpulkan tugas.

"Selamat pagi semua. Ayo, kumpulkan semua buku tugas yang kemarin ibu berikan kepada kalian!" Perintah ibu guru kepada muridnya.

Tasya langsung panik. Ia menatap tajam kepada Ayra yang duduk di belakang sendiri. "Awas kau, Ayra. Kalau sampai aku di hukum bu Ambar, kamu yang bakal aku salahin." Sorot mata Tasya menggambarkan kekesalan pada saudari tirinya itu.

Sedangkan Ayra, dia bingung harus berbuat apa. Bukan salahnya juga jika Tasya terkena hukuman karena tak mengerjakan tugas. Itu kesalahan dia sendiri, kenapa tak mengerjakan tugas yang diberikan guru. Padahal, dia tak mengerjakan pekerjaan lain di rumah. Semua pekerjaan rumah di kerjakan Ayra mulai dari memasak sampai beres-beres rumah. Semenjak ibunya meninggal dua tahun lalu, Ayra terpaksa tinggal bersama ayah tirinya dan juga Tasya.

Mengapa ayah tirinya dan Tasya mau menampung Ayra di rumah. Itu karena rumah yang di tempati mereka adalah rumah milik ayah kandung Ayra. Maka, mereka mau tinggal bersama Ayra dan menumpang di rumah itu.

Randi sebagai ketua murid pun bertugas mengumpulkan semua tugas dari murid yang lain. Ia berkeliling mengambil semua buku dari teman-temannya. Saat sampai di bangku Tasya, ia bingung karena Tasya tak memberikan buku tugasnya.

"Sya, mana bukunya?" Tanya Randi berbisik.

"Belum kelar. Buku aku ada di Ayra. Dia minjem buku tugasku." Alibinya membuat Randi menoleh ke belakang.

"Dia bangun kesiangan dan berangkat kesini juga dengan berlari karena gak ada angkot. Kamu tega biarin dia di hukum?" Alasan Tasya supaya Randi maklum.

Ayra memang anak baik. Sehingga semua temannya sayang dan bersimpati padanya. Mereka tahu jika Ayra tak mempunyai orang tua dan dia hidup sendiri. Karena itu Ayra, jadi Randi melewatinya dan membiarkan Ayra mengerjakan tugas yang padahal itu tugas milik Tasya. Dia memberikan waktu pada Ayra untuk mengerjakan tugasnya. Ayra bingung kenapa Randi tak menghampiri bangkunya. Saat ia akan berdiri dan hendak memanggil Randi, bu guru meliriknya.

"Apa semua bukunya sudah di kumpulkan?" Tanya bu guru.

"Sudah bu." Jawab mereka serempak.

"Baiklah, simpan di depan dan sekarang buka buku paket halaman 87 sampai 92. Kerjakan soalnya di depan!" Kata bu guru.

Tasya menoleh ke belakang. "Cepat kerjakan supaya kita selamat." Arti dari tatapan mata yang di tunjukan Tasya kepada Ayra.

Ayra langsung menyalin semua tugasnya di buku tugas Tasya. Setelah selesai, ia memberikan kode kepada Tasya bahwa tugasnya sudah selesai. Tasya mencari cara supaya bisa menaruh buku mereka di depan. Caranya yaitu meminta bantuan Randi.

"Psssttt, udah kelar. Gimana caranya biar bisa di taruh di meja bu Ambar?" Tanya Tasya yang berbisik.

Randi menoleh ke belakang dengan Ayra yang mengangguk. Dia pun mencari cara untuk menaruhnya. Saat mereka bingung, bu Ambar tiba-tiba di panggil ke ruang guru.

"Baiklah, tulis semuanya di buku catatan dan kerjakan tugasnya di depan kelas setelah ibu kembali." Bu Ambar keluar dari ruang kelas.

Ini kesempatan mereka untuk menaruh tugas di meja tanpa di ketahui guru kalau mereka baru menaruhnya.

"Eh Ay, kamu belum menaruh tugasmu di depan?" Tanya mereka saat Ayra menaruh buku tugas di meja.

"Belum. Tadi aku ...!"

"Tumben bener Ayra terlambat mengerjakan tugas. Biasanya kan paling awal." Mereka terheran.

"Dia terlambat bangun." Jelas Tasya yang duduk di depan.

"Oohhh." Mereka pun hanya ber oh saja dan tidak mempermasalahkannya.

Tasya tersenyum penuh kemenangan. Dia tertawa dalam hati sambil mengelus dada karena merasa lega. "Untung itu Ayra. Coba kalau aku yang telat, mungkin mereka bakal mencibir aku. Huuuh, selamat deh aku." Batin Tasya memekik kegirangan.

Bersambung ...

Denda untuk Ayra

Bel istirahat berbunyi dan semua siswa-siswi bubar. Ada yang pergi ke kantin, ke lapangan, atau bahkan duduk diam di kelas.

Seperti Ayra sekarang. Dia memilih diam di kelas merasakan keletihannya. Kakinya terasa pegal dan ia sangat mengantuk sekali.

"Ay, kamu gak ke kantin?" Desti menyenggol lengannya.

"Aku males banget, Des. Rasanya aku capek banget nih." Ucapnya malas.

"Emang kamu gak laper gitu?" Tanya Desti lagi.

"Perut aku laper banget ini. Tapi, kalah sama kakiku yang sakit. Gara-gara gak ada angkot yang lewat, aku harus lari dari rumah." Jelasnya lesu.

"Astaga, kamu lari dari rumah ke sekolah? Bukannya ada motor dirumah?" Desti penasaran dengan jawaban sahabatnya.

"Motornya sudah di pakai Tasya. Jadinya aku lari deh!" Ucapnya tanpa sadar.

"Tasya? Kenapa dia pakai motor kamu?" Pertanyaan Desti menyadarkannya kalau dia salah bicara. Semua orang tak tahu jika mereka satu rumah.

"Ah, iya. Apa tadi kamu bilang, Des? Aku gak ngeh. Hehehe!" Ayra jadi salah tingkah karena panik.

Gawat kalau sampai mereka tahu bahwa kita satu rumah dan kami adalah saudara tiri. Bisa-bisa Tasya marah.

"Tadi kamu bilang motor kamu di pake Tasya." Tanya Desti lagi.

"Kamu salah denger kali. Karena perut yang laper, aku jadi ngelantur. Udah ah, aku mau tidur dulu. Bangunin aku kalau guru sudah masuk kelas." Perlahan mata Ayra terpejam.

Desti yang akan bertanya pun tak jadi setelah melihat mata Ayra terpejam. "Haish, dia ini." Ia pun melangkah meninggalkan Ayra yang tertidur di meja dengan tangan yang menelungkup sebagai bantalan.

Keadaan menjadi sepi. Tak ada suara yang terdengar lagi membuat Ayra semakin nyenyak tertidur. Tiba-tiba seseorang duduk di samping Ayra. Ia sempat tersenyum melihat wajah Ayra yang sedang tertidur. Dengan satu tangannya memangku dagu dan satu tangan lagi terulur menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Ayra. Ia terus menatap wajah teduh Ayra dengan senyuman yang tak hilang.

"Cantik." Satu kata yang keluar dari bibirnya.

Ayra merasakan suatu pergerakan yang mengusik tidurnya sampai ia mengerjapkan mata. Betapa terkejutnya ia setelah melihat wajah seseorang tepat depan matanya sampai matanya membulat sempurna. "Astaga!" Pekik Ayra.

Tanpa sadar Ayra mendorong tubuh orang yang ada di hadapannya sampai terjungkal ke belakang. "Whoooaaaa!" Tubuhnya terjungkal dan bokongnya mendarat di lantai diikuti jatuhnya bangku.

Brakk

"Aduh." Ia mengaduh seketika saat bokongnya mencium kerasnya lantai dan kakinya ketindihan bangku "Kaki gue!" Rengeknya.

Melihat itu, Ayra lekas meminta maaf. "Oh ya ampun. Maafin aku, Ken. Aku gak sengaja." Dengan cepat Ayra berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Kendra.

Uluran tangan Ayra tak disambut oleh Kendra namun ia mendengus kesal. "Lu itu kasar banget sih, Ay!" Ketus Kendra.

"Aaa-aku gak sengaja. Lagian, sedang apa kamu disini? Aku kan jadi terkejut." Ayra membela diri dengan rasa panik.

"Duduk lah, lu kira gue lagi joged?" Ketus Kendra.

"Tadi kan kamu gak masuk kelas. Kenapa tiba-tiba nongol depan aku sih?" Kata Ayra.

"Suka-suka gue lah. Mau masuk jam berapapun itu urusan gue." Ucap Kendra. "Dasar, Markonah. Segitu bencinya sama gue sampai elu dorong gue kebelakang?" Hardik Kendra terus.

"Apa? Markonah? Hei, Markoho. Kamu yang dateng tiba-tiba malah nyalahin aku lagi." Ayra terus membela dirinya. "Salah sendiri, kenapa wajah jelek kamu nongol depan wajahku?" Lanjutnya kemudian.

"Apa? Hei, mata lu picek ya. Semua gadis ngejar-ngejar gue karena ketampanan gue, lah elu malah bilang kalau gue jelek." Cerca Kendra dengan rasa bangga karena memiliki wajah tampan. "Dan ... Markoho? Siapa itu Markoho?" Suara Kendra meninggi mendengar nama yang asing di telinganya.

"Kamu tadi manggil aku Markonah, ya aku juga panggil kamu Markoho lah. Kenapa? Mau protes, hehh?" Nada bicara Ayra tak kalah tinggi.

"Ya iya lah gue protes. Nama gue keren gini elu panggil asal-asalan. Dasar Markonah." Ken tetap tak mau mengalah.

"Hei tuan tampan. Kamu juga panggil aku Markonah. Dasar Markoho."

Mereka terus ribut dengan nama panggilan masing-masing yang saling menjelekan. Namun, Ayra yang tak mau kalah membuat Kendra mengalah. Ken yang terpojok langsung merubah mimik wajahnya.

"Aaa-aduuhhh, bokong gue sakit banget. Kayaknya pinggang gue patah tulang nih." Ayra membelalakan mata mendengar perkataan Kendra. "Kaki gue juga sakit ini." Ia terus berpura-pura supaya Ayra merasa bersalah.

"A-apa? Pa-patah tulang?" Wajahnya menjadi pucat pasi.

Gawat, kalau tulang pinggangnya patah, dia bisa nuntut aku ke jalur hukum. Ayahnya kan jaksa terkenal. Oh ya tuhan, selamatkan lah aku darinya.

"Iya. Tulang pinggang gue kayaknya patah. Sakit banget!" Rengek Kendra dengan memelas.

"Oh ya tuhan, maafin aku Ken. Apa yang harus aku lakuin supaya pinggang kamu sembuh?" Ayra yang panik malah membuat senyum Ken mengembang. Namun, ia tak memperlihatkan senyum manisnya di depan gadis itu.

"Bantu gue duduk!" Pinta Kendra ketus dengan mengulurkan tangannya. Ayra langsung membantu Ken berdiri namun ia tak bisa mengangkat tubuh Ken yang lebih tinggi darinya.

Kita lihat saja, seberapa merasa bersalahnya elu sama gue. Dasar gadis jelek.

"Aduh, badan kamu berat banget sih kayak gajah." Ayra berusaha mengangkat tubuh Ken yang sengaja tak mau bangun.

"Apa? Gajah? Lu pikir gue gendut, hehh? Kurang ajar sekali lu jelek." Hardik Kendra.

"Kalau lu gak mau bantu gue, gue bakal lapor sama guru kalau lu sudah menganiaya gue!" Ancam Kendra.

"Ah, hehehe. Maaf!" Ayra malah cengengesan.

Sial, dia bisanya ngancem doang!

"Ayo, aku bantu kamu duduk!" Ayra terus berusaha dan Kendra tertawa jahat. Dia sengaja melingkarkan tangannya di leher Ayra supaya gadis itu bisa mengangkat tubuhnya. Dengan susah payah akhirnya Ayra bisa mengangkat tubuh Ken dan mendudukkannya di bangku tempat Ayra.

Sial banget sih aku hari ini. Tadi pagi udah lari-lari'an, sekarang harus ngangkat tubuh si gajah, eh bukan. Dia si jerapah. Dia gak gendut, tapi dia hanya tinggi kaya jerapah. Huuh, menyebalkan. Gerutu kesal Ayra sambil memijit tangan dan kakinya yang terasa pegal.

Kendra melirik gadis disampingnya.

"Kenapa kaki sama tangan lu?"

"Bukan urusan kamu." Ketus Ayra.

"Cih. Dasar Markonah. Elu itu ...!" Sebelum Kendra menuntaskan ucapannya suara lain menghentikannya.

Krucuukkk

Perut Ayra berbunyi di waktu yang tak tepat. Mereka saling pandang dengan pikiran masing-masing.

Ya tuhan, kenapa cacingnya malah konser di depan si jerapah?

Wajah Ayra memerah menahan malu. Sedangkan Kendra menahan tawanya. Dia pun tak bisa menahan tawanya saat melihat Ayra memalingkan wajahnya ke samping.

"Hahaha! Ya tuhan, Markonah. Makanya jangan suka marah, perut lu jadi ikutan marah bukan?" Dia terpingkal menertawakan Ayra.

"Ish, dasar jerapah. Senengnya ngeledekin terus!" Tangan Ayra memukul lengan Kendra yang terus tertawa. "Hahaha."

Ayra memegangi perutnya yang sedang kelaparan. Kendra tersenyum sambil menyodorkan makanan yang diambil dari tasnya. Roti selai coklat dan teh kotak di taruh'nya di meja. "Makanlah!" Ucapnya singkat.

"Hahh?" Ayra tak mengerti maksud dari perkataan Kendra.

"Kalau tak mau memakannya lu bisa membuangnya." Ucap Ken cuek tanpa menoleh ke arahnya.

"Dibuang? Sayang sekali. Lebih baik buat aku saja ya." Ayra langsung membuka plastik bungkusan roti dan memakannya.

"Enak?" Ayra mengangguk dengan pertanyaan Kendra.

"Ya, ini sangat enak Ken. Dari pagi aku belum makan apapun. Makasih ya." Ia tersenyum senang.

"Itu gak gratis lho!" Penuturan Ken memancing tenggorakan Ayra menjadi gatal.

"Ukhuk ... ukhuk! Maksud kamu?" Tatapan tajam Ayra menusuk mata Kendra sambil ter'batuk.

"Woi, tuh mata mau gue congkel apa ya?" Ayra mengerjap-kan matanya berulang. "Elu cacingan? Pake kedip-kedip mata gitu." Cibir Kendra.

Ayra menggelengkan kepala.

"Ish, dasar si Markoho. Maksud kamu apa dengan bilang makanannya gak gratis?" Tanya Ayra penasaran.

"Iya itu gak gratis. Elu harus bayar roti sama minuman ini, di tambah pinggang gue yang sakit. Jadi, elu harus dateng ke pesta ulang tahun gue dan membantu melancarkan acaranya. Gimana?" Kendra menaik turunkan alisnya memberi tawaran pada Ayra.

"Maksud kamu, aku jadi pelayan di sana?" Ken mengangguk pasti. "Kalau aku gak mau?" Ketus Ayra kemudian.

"Gue tinggal bilang ke guru kalau lu kekerasan fisik sama gue biar pihak sekolah yang memutuskan denda buat lu. Gampang, kan!"

Sialan emang si jerapah Markoho ini. Kurang ajar pokoknya. Dia pake ngancem aku lagi.

Ayra terdiam sejenak berpikir untuk memutuskan sesuatu sebelum dia menyanggupi permintaan Kendra. "Oke, tapi ada syaratnya!" Dia mencoba memberikan penawaran pada Kendra.

Pemuda itu menautkan alisnya. Berani benar dia memberikan syarat sama gue. Pikir Kendra. "Apa syaratnya?" Tanya Kendra dengan ketus.

Ayra tersenyum karena ternyata Kendra bertanya.

Hahaha.

"Syaratnya yaitu ....!"

"Apa??????"

Jeng jeng jeng,

Bersambung gaess

Syarat untuk Ken

Bel pulang berbunyi kencang dan semua siswa siswi pun berhamburan keluar untuk pulang ke rumah masing-masing. Terlihat, Ayra berlari mengejar Tasya yang sudah keluar lebih dulu.

"Sya, tunggu!" Ayra terus berlari dan memanggil Tasya, membuatnya menoleh ke arah Ayra yang berlari mengejarnya di belakang.

"Ada apa sih kamu manggil-manggil aku?" Ketusnya di depan orang-orang.

"Aku ...!" Lirikan mata Ayra berkelana kesana kemari melirik temannya yang lain. "Ekhem, aku ikut pulang bareng kamu." Bisik'nya tepat di telinga Tasya.

"Gak bisa. Aku sudah ada janji sama Lita kalau mau ke mall dulu buat nyari kado untuk Ken. Sebaiknya kamu naik angkot saja." Tolaknya langsung.

"Tapi Sya, itu kan motor aku. Kenapa kamu yang nge~hak itu motor?" Emosi Ayra meningkat karena Tasya tak mengizinkannya pulang bareng. Belum sempat Tasya membuka mulutnya, suara seseorang memanggil Ayra.

"Hei Markonah. Kita masih ada urusan. Ayo ikut gue!" Kerah baju Ayra di tarik dari belakang dan ia pun berjalan mundur mengikuti tarikan tangan panjang itu.

"Ehh ... ehhh ... eeehhh!" Dia terus berjalan mundur dengan di semua mata menatap ke arahnya termasuk Tasya.

"Elu mau kemana? Kita masih ada urusan yang belom kelar tadi." Kendra melepaskan kaitan tangannya di kerah baju Ayra.

"Ish, kurang ajar kamu Ken. Dasar Markoho, jerapah, idiot." Ayra kesal menatap tajam ke arah Kendra.

Ken yang mendengar umpatan Ayra sampai membulatkan matanya sempurna. "Apa lu bilang? Gue idiot?" Sementara Ayra cengengesan menyadari dirinya salah bicara.

"Ah, hahaha. Maafkan saya tuan muda Ken, saya salah." Ayra segera meralat ucapannya.

"Bagus. Itu yang harus elu katakan kalau di depan gue."Kata Kendra.

Ayra memutar bola matanya malas. Bibirnya sampai mencong-mencong, namun saat Kendra menoleh padanya ia tersenyum manis.

Cih, gak sudi aku harus manggil kamu tuan muda kalau bukan terpaksa. Dasar si jerapah gila.

"Ayo, ikut gue sekarang!" Tangan Kendra kembali menarik Ayra. Namun sekarang yang di tarik bukan kerah bajunya lagi, melainkan tangan gadis itu.

Semua pasang mata menatap Ken yang menggandeng tangan Ayra dan membawanya ke motor sport merahnya.

"Kita kemana?" Tanya Ayra saat Ken menyuruhnya memakai helm.

"Banyak tanya mulu, gue batalin perjanjiannya!" Kendra mengancamnya lagi.

Cih, dia itu cewek apa cowok sih? Mainnya ancaman mulu. Ambekan emang si jerapah ini.

"Naik!" Titah yang mulia. Dengan malas, Ayra naik ke motor yang tingginya susah ia naiki selain berpegangan di pundak Kendra. "Elu bisa enggak sih?" Kendra kesal karena Ayra belum naik.

"Hahh, bisa ... bisa." Ia berusaha naik kembali namun tetap tak bisa.

Kendra menoleh ke belakang dan ia pun menarik tangan Ayra lalu menaruhnya di pundaknya sendiri. "Naik!" Tanpa diminta dua kali, Ayra langsung berpegangan di pundak Kendra dan naik di jok belakang.

"Sudah." Ucapnya setelah naik.

"Gitu saja repot. Dasar Markonah." Cibir Kendra sedangkan Ayra berdecih malas dengan memalingkan wajahnya ke samping. "Cih."

Perlahan motor sport merah itu meluncur di jalan beraspal. Awalnya laju motor itu biasa saja. Namun saat Kendra melirik wajah Ayra di spion yang berpaling ke samping, ide jahil muncul di pikirannya. Ditambah tangan Ayra hanya berpegangan di jok belakang.

Kecepatan motor sport merah itu sengaja Kendra tambah karena ingin menjahili Ayra. Benar saja, gadis itu protes sambil melingkarkan tangan di perutnya yang rata.

"Haaaaaa, dasar Markoho sialan. Aku bisa mati ini." Pelukan tangan Ayra sangat erat di perut Kendra dengan wajahnya menempel du bahu Ken.

Kendra tertawa puas dalam hati karena bisa mengerjai gadis brisik ini. Namun, seketika wajahnya berubah tegang saat merasakan sesuatu yang menonjol dan menempel di punggungnya.

Deg

Benda kenyal yang menempel di punggungnya terasa sangat mengganggu di hati dan pikiran Kendra. "Astaga, cukup besar." Gumamnya tanpa sadar yang untungnya tak di dengar Ayra. Ia kemudian menggelengkan kepalanya tak mau membayangkan yang tidak-tidak.

"Ken, bisa kurangi kecepatannya gak sih? Aku takut banget ini." Rengek Ayra berteriak masih menempel di punggung Kendra.

"Biar cepet sampainya." Bohong jika dia tak suka kalau dada Ayra menempel di punggungnya.

Senyum Kendra tak pernah luntur dari bibirnya. Dia sangat menikmati walaupun di depan Ayra dia selalu marah. Motor sport merah itu terparkir di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Mereka turun dari motor dan mulai berjalan masuk ke dalamnya.

"Mau ngapain kita kesini?" Tanya Ayra dengan polosnya.

"Periksa pinggang gue." Ucap Kendra asal.

Ayra memicingkan mata menatap Kendra. "Ini kan mall. Ngapain kamu periksa disini? Bukannya ke dokter."

"Sudah tahu ini mall. Kenapa elu masih tanya, Markonah?" Ia berjalan lebih dulu kemudian menoleh lagi ke belakang karena Ayra tak mengikutinya. "Woi, elu mau jadi manekin diem mulu disitu? Buruan, nanti kita terlambat!" Ayra langsung menoleh dan berlari mengekor langkah Kendra yang panjang.

Mereka berjalan menuju lantai atas dan memilih barang yang biasa untuk hiasan di acara ulang tahun. Kendra membayar semua barang belanjaan dengan kartu kreditnya.

Ayra menatap black card di tangan Kendra.

Buset, si jerapah banyak duit rupanya. Pantas saja dia menerima syarat dari aku dengan mudahnya.

Lamunan Ayra terbuyarkan saat Kendra menepuk jidatnya dengan tepat.

"Napa lu? Ada barang yang mau di beli?" Tanya Kendra dan Ayra mengangguk setelah mengaduh. "Aduh." Ia mengelus keningnya yang di tepuk Kendra. "Apa?" Tanya Kendra lagi.

"Daleman." Jawaban asal Ayra membuat Kendra teringat kejadian saat dada Ayra menempel di punggungnya.

"Se-serius?" Kendra menjadi gugup.

"Iya lah aku serius. Gimana jadinya pesta kamu tanpa semua itu." Kendra semakin tak karuan mendengar ucapan Ayra.

Maksudnya, dia mau memakai daleman doang di acara ulang tahun gue? Oh ya ampun, gadis bodoh ini. Apa jadinya kalau sampai yang lain melihat tubuh seksi si bodoh dan itunya yang besar.

Ayra menatap heran kepada Kendra. "Kenapa kamu ngelamun? Cepetan keburu kesorean, dodol." Ayra menarik tangan Kendra yang masih berkeliaran dengan pikirannya.

Kendra mengikuti tarikan tangan Ayra dengan pasrah.

Ya tuhan, ini pertama kalinya gue di ajak belanja daleman sama cewek. Kuatkanlah hati hambamu ini, tuhan. Amiin.

Dia terus berdo'a dalam hati sambil mengikuti tarikan tangan Ayra sampai ke tempat daleman yang di maksud Ayra.

"Ayo pilih. Kamu mau beli apa saja?" Tanya Ayra.

"Terserah lu aja." Jawaban Kendra membuat Ayra terbengong.

"Ini kan pesta kamu, Ken. Kenapa jadi aku yang milih?"

"Elu kan yang mau bantuin gue. Jadi, elu saja yang milih." Jawaban Kendra lagi-lagi membuat Ayra tak mengerti.

Iya kaleee gue milihin daleman buat elu. Malu dong gue.

Wajah Kendra memerah karena memikirkannya saja. Apalagi kalau menyentuhnya? Haish, gak kebayang. pikir Kendra.

"Kamu mau yang gede apa yang kecil?" Pertanyaan Ayra membuat Kendra tersentak.

"Yang gede." Jawabnya cepat.

"Mau ambil berapa?" Tanya Ayra lagi.

"Terserah lu. Sepuluh juga boleh." Kata Kendra tanpa menoleh ke arahnya.

"Sepuluh? Banyak amat. Emangnya tamu undangan kamu berapa orang sih?"

"Satu kelas di tambah teman-temannya si Edrik dan si Deo lima orang." Jawab Kendra.

Ayra berpikir sejenak sebelum mengambilnya. "Satu kelas tiga puluh orang di tambah temennya si Edrik dan si Deo lima orang. Hemm, Satu bungkus dua belas biji. Empat saja cukup biar gak mubajir."

Ayra mengambilnya dan menaruh di troli belanjaannya. Kemudian ia mendorong kembali trolinya dan Kendra pasrah mengikuti. Ayra melirik ke sana sini dan matanya tertuju ke stand di sebelah. "Ken, kamu suka yang warna merah apa hijau?"

"Hitam." Lagi-lagi Kendra menjawab asal pertanyaan tanpa meliriknya.

"Gak ada yang hitam, Ken. Adanya yang merah sama yang hijau." Kata Ayra kesal karena Kendra dari tadi memberikan jawaban yang asal.

"Terserah lu aja. Mungkin merah juga lucu, lebih berani." Ucapnya malas.

"Lucu? Lebih berani? Dia ngomong apaan sih? Apel merah aja dibilang lucu dan lebih berani. Aneh." Ayra megambil beberapa dan menaruhnya di troli.

Karena Ayra kesal pada Kendra yang selalu menjawab asal-asalan, akhirnya dia memutuskan sendiri apa aja yang mau di beli. Kendra terus mengekor tanpa melirik apapun di sekitarnya.

Belanjaan yang menggunung di meja kasir satu persatu di masukkan ke kantong kresek berlogo khusus. Para kasir yang berjejer melihat ke arah mereka, terutama wanita.

Si cowok ganteng bingit cuy. Keren abis, iiihhhh ... gumush. Pengen deh cubit pipinya.

Waaah, mereka ini belanja buat sebulan apa ya. Tapi tunggu, mereka memakai seragam sekolah. Apa mungkin kakak beradik, ataukah pacaran, atau jangan-jangan korban pernikahan dini. Oh ya ampun.

Ungkapan hati mbak kasir perempuan melihat Kendra yang tampan dan dengan pikiran masing-masing.

"Ken, bayar!" Ucapnya setelah sampai di kasir.

"Nih." Black cardnya di berikan kepada Ayra. Ayra menatap kartu limited itu. Kemudian ia mengambilnya dan memberikan kepada kasir.

Cowoknya tajir banget sih.

"Silahkan masukan pinnya!" Pinta si mbak kasir.

"Ken, pinnya berapa?" Tanya Ayra. Kendra langsung menekan nomor enam digit disana.

"Terima kasih. Semoga harinya menyenangkan kakak!" Ucap mbak kasir sopan.

Ayra mengangguk setelah mengucapkan "Sama-sama." Kemudian dia mendorong lagi troli untuk membawa barang belanjaannya. "Kemana lagi kita?" Tanya Ayra selanjutnya.

"Sudah semua dalemannya?" Kendra balik bertanya.

"Sudah, nih!" Kendra menatap barang yang ada di troli.

"Sejak kapan lu beli ini semua?" Ayra mengernyitkan dahinya. "Dan ... mana bungkusan daleman lu itu? Jangan di satukan sama belanjaan yang lain. Awas ya, entar gue salah ngambil lagi." Peringatan Kendra semakin membuat Ayra bingung.

"Ini semua daleman buat kamu." Jelas Ayra meembuat alis Kendra terangkat sebelah.

Kendra kebingungan maksud dari ucapan Ayra barusan. "Maksud lu?"

"Ini semua daleman buat kulkas kamu. Kan kamu mau ngadain acara ulang tahun yang otomatis kan kita makan-makan. Jadi, aku beli deh semua ini. Keren kan aku?" Kendra menepuk jidatnya mendengar penjelasan Ayra yang polos.

Gue kira daleman yang dia maksud itu daleman buat si besar itu, ehhh. Dia jadi inget lagi kan. Haish, Ayra.

"Gue kira daleman apaan?" Kendra menggelengkan tak percaya.

"Bilang saja makanan. Kenapa elu bilangnya daleman? Orang lain kan akan berpikir macem-macem. Dasar Markonah." Kata Kendra sebelum ucapan selanjutnya hanya bergumam. "Termasuk gue."

"Isi kulkas kan sama-sama daleman juga, Markoho." Ucapnya tak mau di salahkan.

"Ckk, dasar lu. Gadis bodoh tetap saja dodol." Cibir Kendra sedangkan Ayra hanya mendelik malas.

"Lalu, ini barang gimana bawanya?" Kendra menatap Ayra yang sibuk sendiri.

"Kenapa elu berbelanja banyak kalau tak tahu gimana cara bawanya?" Kendra kesal sekali. Bagaimana bisa jika Ayra berbelanja banyak untuk mempersiapkan pesta ulang tahunnya.

"Kan kamu yang minta aku buat bantuin."

"Kan bisa pesan makanan jadi, markonah. Dasar, bikin gue kesel saja." Entahlah. Kendra bingung harus ngomong apa lagi. Sedangkan Ayra terdiam menunduk dan tak tahu harus berbuat apa.

Dia yang minta aku buat bantuin, sekarang dia yang marah sendiri. Huuh, menyebalkan.

Melihat Ayra melamun, Ken melengos kesal. "Dorong troli ke luar dan tunggu gue di depan!" Perintah Kendra yang langsung di turuti Ayra.

Sementara Kendra berlari lagi ke dalam dan membeli sesuatu. Ia kembali setelah menemukan barang yang di carinya. "Ayo, kita pulang!" Ajaknya pada Ayra kemudian.

Mendengar ajakan Ken, Ayra melotot. "Kita? Aku harus balik ke rumah dulu dong, Ken. Masa iya aku pake baju seragam. Setidaknya aku bisa mandi dan berganti pakaian rumahan." Ujarnya kesal. Namun Kendra tak memperdulikannya.

"Taksi." Ia menghentikan taksi yang lewat di depan. "Tolong antarkan semua barang ini ke alamat ini." Ia pun menyerahkan secarik kertas bertuliskan alamat dan namanya.

"Titip di satpam penjaga dan bilang kalau ini barang punya Kendra Pradhana."

Supir taksi mengangguk dan menerima kertas dan tak lupa uang sebagai ongkosnya.

"Beres. Tinggal elu yang gue urus. Ayo, kita balik!" Tangan Ayra di tarik hingga parkiran dan memberika helm padanya.

"Tapi ... tapi." Ayra tak bisa protes saat helm di masukan ke kepalanya oleh Kendra.

"Huucchh!" Dengusan kesal terdengar.

"Kalau lu nolak, syarat yang di ajukan akan batal." Ayra semakin cemberut dengan perkataan Kendra.

Kalau bukan demi itu, aku gak mau ngikutin semua kemauan kamu. Ditambah, ancaman kamu yang padahal kamu itu gak kenapa-napa. Dasar si jerapah jelek.

Rutuk Ayra kesal kepada Kendra.

Epilog

"Apa syaratnya?" Tanya Kendra.

"Aku akan bantuin kamu di pesta ulang tahun, tapi kamu harus bayar aku pake duit." Tawar Ayra dengan senyum licik.

Tentu permintaan Ayra membuat Kendra membelalakan mata. "Elu minta bayaran? Hei, Markonah. Gue itu minta lu ganti rugi bukan mau nyewa lu sebagai pelayan sehari. Dasar lu, mata duitan." Cibir Kendra.

"Bodo amat. Aku gak mau rugi dong. Lagian, aku yakin pinggang kamu gak kenapa-napa." Kendra gelagapan dengan perkataan Ayra.

"Gu-gue ...!"

"Aku bakal laporin kamu balik ke pihak sekolah kalau kamu sewenang-wenang sama aku!" Ancamnya balik.

Dari pada ribet urusannya, tanpa pikir panjang Kendra langsung menyetujuinya.

Namun Ayra tak menyangka, jika syarat yang di tawarkannya di terima Kendra begitu saja. Dia berharap Kendra menolaknya, bukan malah menerimanya.

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!