Dengan hati berdebar, aku mengintip dari tirai kamar, suara-suara bising terdengar sampai ruangan kamarku. Hari ini adalah hari pernikahanku. Entah bagaimana ceritanya, sampai akhirnya aku terjebak di sini, sebagai pengantin wanita.
Nanti yah, aku ceritain detailnya.
Lagi deg-degan jadi pengantin, suamiku itu ganteng, kata mamaku. Oh iya? Abidzar yang dulu itu khan!
Suasana hening seketika. Teras rumahku sudah dihias dengan dekorasi khas pengantin serba putih, serasi dengan gaun yang ku kenakan saat ini.
Aku jadi pusat perhatian. Serasa kikuk, rasanya badanku berat sekali padahal hanya gaun pengantin dan lagi juga nggak pakai mahkota, tapi jilbab yang tiba-tiba menutupi rambutku yang indah dan cantik ini, kalau kata teman-temanku.
Pengen sih nengok ke kanan ke kiri tapi aku urungkan, malu.
Aku jadi pusat perhatin hari ini, sudah pasti!
Penasaran seperti apa calon suamiku setelah hampir 7 tahun kita nggak ketemu, aku melirik ke samping kanan.
Abidzar, lelaki yang baru saja menikahi aku ini, kenapa berbeda?
Beneran ini Abi yang dulu sering berantem sama aku?
Tapi, kenapa dia sama sekali nggak melihatku?
Sementara semua orang perhatiannya tertuju padaku.
Ah, baru saja akad nikah, aku udah dilecehin seperti ini.
Jangan-jangan dia juga sama seperti aku, terpaksa menerima pernikahan ini.
Lalu ... pernikahan ini.
Duh, beneran nggak sih aku jadi istrinya dia sekarang. Semoga aja ini hanya mimpi.
Aku menggerutu dalam hati.
Asli!
Dia sama sekali nggak memandangku sejak akad nikah tadi.
Lalu tiba-tiba suara dari pengeras microfone membuyarkan pikiranku yang, au ah! Kacau.
"Kedua mempelai dipersilahkan untuk saling berhadapan, bersalaman." kata si pembawa acara.
Aku berdiri menghadap lelaki yang kini resmi jadi suamiku ini. Dia pun menghadapku.
Aku menatapnya, eh dia menatapku tajam.
Dus!
Duh, rasa apa ini?
Hei ... Hani plis, konsentrasilah.
Tadi minta dilihat, udah dilihat jadi salah tingkah.
Sambil menahan jantungku yang seperti lagi zumba di dada, yang rasanya mau meledak, aku mencium tangannya yang hangat, bukti kalau aku sudah resmi jadi istrinya. Dan ... memastikan kalau aku sedang tidak lagi bermimpi, khan!
"Pengantin laki-laki dipersilahkan mencium pengantin wanita," kata pembawa acara selanjutnya.
Saat dia hendak maju, aku secara reflek mundur satu langkah.
Eh ... apa yang aku lakukan?
Aku menatapnya, dia tertegun, kedua alis matanya berkerut.
Ini reflek tubuhku, jadi jangan salahin aku dong, gerutuku dalam hati.
Lalu sentuhan di pundakku menyadarkan aku. Mamaku tersenyum mengangguk, itu perintah Ibu Suri harus ditaati kalau nggak, sudah lama aku dipecat jadi anak kandungnya.
Ah, iya. Aku harus menghormati dia sekarang jadi suamiku. Akhirnya aku memutuskan diam saat dia maju selangkah. Keningku terasa dingin, eh hangat, eh apa yah.. nggak tau ah!
Seumur hidup baru kali aku dicium cowok, di depan banyak orang lagi. Dan yang nyium aku itu ... Abi musuhku dulu, tapi sekarang dia jadi suamiku.
Ya Allah ... aku dikutuk apa yah.
Padahal aku selalu berdoa bisa menikah setidaknya sama cowok selevel gantengnya mirip Cha Un Woo gitu, eh tapi suamiku juga ganteng, kata mamaku.
***
Semua tamu undangan sudah pulang termasuk keluarga besar suamiku, eh Abi.
Iya bukan karena aku sekarang jadi istrinya terus sok romantis manggil dia Abi ya, No!
Dari dulu dia memang dipanggil Abi sama semua teman sekolah.
Rasanya lega sekali, semua runutan proses pernikahan berjalan sesuai rencana mamaku dan uminya Abi.
Sedari tadi aku sudah kegerahan, ingin melepas semua atribut pengantin yang menempel di tubuhku, gaun pengantin yang panas dan sesak, belum lagi sandal berhak tinggi yang membuat betis kakiku terasa dipukulin.
Bayangin aja, berdiri bersalaman dengan semua tamu undangan, untung saja hanya beberapa jam, coba kalau sehari semalam, atau tujuh hari tujuh malam, kebayang nggak sih, betis kakiku seperti apa jadinya.
Kamarku, dihias dengan bunga-bunga hidup yang aromanya sudah mirip toko bunga yang pernah aku kunjungi di kawasan Blok M. Wangi sih ... tapi aku nggak suka.
Tempat tidur berubah drastis, sprei warna pink dan ditaburi bunga mawar di atasnya.
Duh, ini apa juga.. kelakuannya siapa sih ini.
Saat aku ingin melepaskan gaun pengantin, tiba-tiba suara ketukan dari luar, belum juga aku jawab, beberapa kepala nongol di balik pintu dan ....
"Wiiihhhh ... pengantin ... cieee ... cakep juga Hoon" kata Momon langsung masuk mendekatiku, diikuti kedua temanku, Rara dan Hera.
Mereka bertiga adalah sahabatku sejak kita kuliah dulu, jauh-jauh mereka datang ke sini hanya ingin melihatku menikah.
"Injek kakinya dulu ah!'" Rara sudah menginjak kakiku, "Adoooww ... nggak gituh juga kali Ra ..." aku meringis, asli sakit tauk!
"Biar ketularan." jawab Rara meringis.
Dih, apa sih Ra! Gue nikahan bukan lagi tujuh bulanan.
Hera membantuku melepas satu persatu atribut pengantin yang menempel di kepalaku, dia hanya senyum-senyum. Hera paling dewasa di antara kita berempat. Momon seumuran dengan Rara, dan aku jadi magnae di geng ini.
Tau magnae khan?
Itu yang suka kpop pasti tau dah!
Member paling mudah gituh loh.
"Gue pikir lo nikah belakangan Hoon, eh malah duluin kita." Rara membuka resleting bajuku, dengan sangat keras.
"Hei ... pelan-pelan ntar robek tuh baju." Momon memperingati.
"Iya, samawa ya Hoon ... " kata Hera masih sibuk kedua tangannya membantuku.
"Tunggu! Kita photo dulu yuk! Di sini ..." Rara menunjuk tempat tidurku yang sungguh memang so sweet banget sih.
Kita menoleh ke belakang, lalu mengangguk bersamaan.
Jadilah tempat tidurku berantakan kita berempat cekikikan berswa photo berbagai macam gaya.
"Mumpung dia masih perawan." seloroh Momon.
"Iya, kita perawanin dulu nih kasurnya ... hahahaha ..." celetuk Rara.
Kampr*t memang sahabatku ini, mereka selalu jadi hiburan sih di saat waktu yang menegangkan kayak gini.
Lalu tiba-tiba suara pintu di buka, "Assalamualaikum ..."
Abi... Abidzar sudah berdiri di pintu kamar. Memergoki kita berempat yang entah gimana pose kita kali ini, kedua matanya melebar saat bertatapan denganku, aku langsung beringsut. Menepuk paha Momon memberinya kode cepat turun dari tempat tidurku.
"Maaf! Lanjutin aja acaranya." kata Abi, dia langsung balik badan keluar kamar.
Eh ... kok dia baik banget, lembut lagi suaranya.
Dulu khan ... itu benaran Abidzar khan?
Bukan kloningnya ...
"Serius ... ganteng banget Hoon laki lo ..." kata Rara ekspresi wajahnya terlihat lucu, bengong nggak jelas.
"Eh inget, noh si Jungkook mau lo tinggalin katanya cinta mati." Momon memukul kepala Rara pelan, kita tertawa bersamaan.
"Udah yuk! Kasihan suaminya si Hoon ..."
Hera berdiri sambil merapikan ujung sprei yang terangkat dan berantakan sama tingkah laku kita berempat.
"Kalian jadi staycation di hotel kota?" tanyaku pada ketiga sahabatku ini.
"Iya." Momon mengangguk.
Lalu selanjutnya adegan penuh drama, kita saling berpelukan.
Hwaaa... rasanya baru kemarin aku bertemu dengan mereka dan sekarang aku harus berpisah dengan mereka semua.
"Aku sedih ..." kataku sambil terisak di antara pelukan mereka bertiga.
"Khan kita bisa janjian nanti, eh ... sekarang khan ada yayang Abi ... " Momon mengerling meledekku.
Aku tersenyum simpul, yayang ... ih rasanya gimana gituh dengernya.
"Anggap aja dia Un Woo ..." kata Rara mengerling.
"Hus.. nggak boleh gituh!" Hera menimpali lalu melanjutkan kalimatnya, "Kamu baik-baik yah jadi istri, kalau ada apa-apa telepon kita aja, siap 24 jam."
"Hansip kaliiii 24 jam siap jaga." seloroh Rara, Hera memukul pundak Rara, tersenyum.
"Okiee ..." aku mengangguk.
Setelah berpamitan mereka akhirnya keluar dari kamarku.
"Woi Hoon.. jangan lupa berdoa yah ..." Rara berteriak dari balik pintu sambil mengerling.
Ah, sialan tuh anak. Pasti suaranya terdengar seisi rumah gue.
Dan selanjunya ... gue harus ngapain yah.
***
Abi masuk dengan suara lembutnya mengucapkan salam. "Assalamualaikum.." sapanya.
Aku bengong, masih terkesima dengan suara lembutnya itu, saking grogi dan terpesonanya, aku menjawab dengan suara lembut juga, "Annyoeng Oppa."
Dia mendelik seketika mendengar jawabanku.
Itu ... dia ... Abi yang selama ini aku cari ...
Tatapan mata yang dulu membuatku merutukinya setiap hari.
Bersambung ...
Terima kasih buat semua reader yang sudah mampir membaca novel saya, jangan segan kasih Like, komen, hadiah dan bintangnya.
Love you all, guys senusantara indah ...
.
.
.
.
.
.
Abi masuk dengan suara lembutnya mengucapkan salam.
"Assalamualaikum ..." sapanya.
Aku bengong, masih terkesima dengan suara lembutnya itu,
saking grogi dan terpesona aku menjawabnya dengan lembut juga, "Annyoeng
Oppa."
Dia mendelik seketika mendengar jawabanku.
Itu ... dia ... Abi yang selama ini aku cari ...
Tatapan mata yang dulu membuatku merutukinya setiap hari.
---- aku ceritain satu bulan sebelum hari ini yah ---
***
Sebulan yang lalu..
Tepatnya malam di perayaan ulang tahun Indonesia yang ke-72,
itu sama bertepatan juga dengan usiaku yang ke-27 tahun.
Huh, asli mamaku sungguh kreatif sekali, datang ke kosan
tanpa kasih kabar lalu menculik aku yang notebene anaknya sendiri dari geng
kampr*t-ku malam itu.
Mama membawaku ke sebuah hotel bintang lima di Kawasan Kota
Tua, mau ngapain juga nih si mama, saat aku dengan menurut saja apa yang
diperintahkan mama saat itu.
Hayo Han ganti baju.
Hayo Han cepetan kita pergi.
Hayo Han, mama udah booking kamar hotel buat ultah kamu.
Hayo Han, udah tinggalin aja temen-temen kamu sekarang,
sini biar mama yang nelpon ke mereka, perayaan ultah kamu malam ini dibatalkan,
karena harus menghadap Ibu Suri.
Begitulah kira-kira kalimat yang aku hafal saat mamaku
merancau di kamar kosan saat detik-detik malam proklamasi akan dikumandangkan
lagi setelah 75 tahun.
Dan, sekarang gue jadi tahanan mamaku sendiri.
Isshh ... Hoon dasar lo, nggak berperi persahabatan sama
sekali, temen-temen lo uda jauh-jauh hari repot nyiapin buat surprise party lo malam ini. Aku berbicara dengan diriku sendiri.
Yah mau gimana ... Ibu Suri titahnya nggak dibantah coy ... mau,
gue dikutuk jadi batu kayak si malin kundang noh.
Gue sih ogah!
Belum kawin gue.
Sepanjang perjalanan ramai sekali beberapa ruas jalan
ditutup, kami sempat harus berputar-putar keliling Jakarta sekedar mencari
jalan untuk menghindari beberapa titik keramaian.
Kabarnya malam ini akan digelar konser dangdut di Monas,
yang itu berarti jalanan otomatis sepanjang jalan arah Monas ke Kota Tua sudah
pasti macet.
Harusnya sih, butuh sekitar 30 menit dari kosan aku di
Pondok Indah ke Kota Tua, tapi malam ini sudah hampir satu jam, sampai akhirnya
mobil online yang dipesan si mama berhenti tepat di depan halaman lobby hotel
bernuansa oriental.
Duh, ini khan hotel yang pernah gue posting di Instagram gue
sebulan yang lalu dengan caption, Kapan yah aku bisa menginap di sini.
Aku menoleh ke mama saat mobil perlahan memasuki halaman
hotel. Si mama meringis, kedua tangannya di angkat, ibu jari dan telunjuknya bertautan membentuk hati,
mirip seperti para Oppa yang suka kasih php ke fans cewek, saranghae.
Rasanya pengen muntah, mah!
Ya Alloh mama …
Fixed!
Kamar hotel pilihan mama emang Daebak sih.
Kamar besar dengan view pemandangan kota Jakarta membuat
hatiku yang kesal tiba-tiba melemah. Yee elah Hoon, cepet banget sih kamu luluh
gegara beginian aja.
Aku kira papa juga ikutan ternyata, enggak!
Kata mama, papa ada acara sama rekan kerjanya di Bandung
selama satu minggu dan kedua adikku beralasan lagi sibuk dengan persiapan
lomba.
Yah udahlah yah, kita cuma berdua.
Serius aku rada curiga sama perbuatan mama malam ini,
jauh-jauh dari Surabaya naik pesawat dibela-belain terbang ke sini cuma demi
ngerayain ultah aku, nggak mungkin.
Sejak kapan mamaku ini super peduli sama anak pertamanya
yang katanya sama sekali enggak ada miripnya sama mama. Beneran! Mamaku tuh
cantik, tinggi, kurus, nggak keliatan usianya sudah lima puluh tahun.
Sementara aku, tinggi badan aku aja hanya 155 cm, belum kulitku yang kecoklatan
dan badanku yaaaanng … ah udah ah. Pokoknya aku suka berpikir, apa benar dia
mamaku?
BUK!
Wajahku terhantam bantal besar bersarung bantal warna putih
bersih, duh untung nggak kena lipstik aku, kalau iya, bakalan ganti rugi deh.
“Mah. apaan sih! Sakit tauk!” aku cemberut sambil memegang
pipi kananku, dan melempar bantal ke sembarang tempat.
“Lagian bengong muluk, kalau kata orang tua pamali.”
Sambil mengoceh mama meraih goodie bag warna coklat
yang ia tenteng sedari tadi.
Sekilas aku melirik ke mama. Mamaku bawa apaan yah. Kado
buat aku kali ya.
Aku tersenyum senang saat membayangkan hadiahnya.
“Mah, adek-adek gimana kabarnya?”
“Adekmu, hmm nggak usah dipikirin, Dini sama Dino mah bisa
urus diri mereka sendiri, emangnya kamu.”
Tuh kan! Mama mulai lagi.
Itu kenapa aku beralasan minta kuliah di Jakarta dan
melarikan diri dari Ibu Suri.
Kalau dalam sejarah memang Ratu dan Ibu Suri itu enggak
pernah akur khan. Itu drama yang sering aku tonton di streaming, drama Korea.
Iya khan, aku calon Ratu di kerajaan papaku sendiri hehehe ....
Aku beringsut, menenggelamkan wajahku ke dalam bantal. Ih
pengen deh ngomel gituh tapi.. dia mamaku.
“Happy Birthday Haneeeeeyyy Baniiiii-nya Mama Cayaaaang ...”
Mama sudah berdiri dengan kedua tangan memegang sekotak kue
ultah saat aku mengangkat kepala dan menengok ke arahnya, eh bukan lebih
tepatnya kue ultah berukuran mini dengan lilin warna merah menyala yang
tertancap di sana.
Aku segera maju, membenarkan dudukku di tepi tempat tidur,
meringis, terpaksa. Lalu aku membayangkan hal lain setelah ini. Aku sangat
paham mamaku, dia memberikan sesuatu ke anak-anaknya maka dia pun akan meminta
sesuatu yang lebih juga pada anaknya.
Saat aku meniup lilin berdoa, semoga pikiranku salah dan
mama benaran hari ini hanya ingin merayakan ultah aku karena kesepian di rumah
sendirian. Semoga ya!
Adegan tiup lilin dan berdoa selesai bersamaan dengan suara
kembang api dan petasan saling bersahutan di luar gedung hotel, tak mau kalah
suara terompet terdengar keras. Iya perayaan ulang tahun negeri ini selalu
meriah, sementara ultahku, biasa aja setiap tahunnya.
Mama duduk di sisi kananku, saat kita sudah membersihkan
badan, rasanya segar sekali setelah mandi dengan air hangat. Coba mah, kosan
aku kayak gini, Hoon pasti seneng deh, bathinku.
Rambutku basah karena aku siram, mama membantu mengeringkan
dengan hair driyer, saat itu juga drama dimulai.
Simak ya, Ibu Suri mau kasih titah.
“Haneeyy, jadi gini.” Suara mama tenggelam kalah dari suara
bising hair driyer.
Baru aja mama membuka percakapan aku sudah jantungan duluan.
Ini pasti perjodohan, iya sudah beberapa kali mama
memberikan calon suami ke aku, dan selalu aku tolak dengan mantab tanpa alasan
yang jelas.
Memang usiaku sudah 27 tahun, sudah waktunya menikah. Orang
tua mana pun pasti galau kalau anak gadisnya belum menikah apalagi usianya
sudah di atas 25 tahun, kayak aku aja contohnya.
“Honeeyy, tahu khan anak Pak Yai Jamal, itu yang punya yayasan
waktu kamu sekolah dulu.”
“Hmm ...” jawabku enggan.
“Kemarin keluarganya datang ke rumah.”
“Ngapain Mah?” aku reflek mendongak, tapi mama menekan
kepalaku agar tetap menunduk, ku ikuti perintah mama, diiringi masih dengan
suara hair driyer.
Bising!
“Mereka minta anak Mama menikah sama salah satu putranya.”
Deg!
Aku langsung terdiam, ah jantungku berdebar kencang. Siapa?
Putranya? Nggak mungkin dia khan.
“Terus Mama jawab apa?”
“Iya Mama terimalah.”
“Eh ... Mah ... kok gituh.” Kali ini aku berusaha mendongak,
mengibas hair driyer dari tangan mama.
“Mah?” aku menggelengkan kepala, melotot, entah aku
kok berani bertingkah seperti ini sama mama.
“Hmmm … gimana yah, kamu nggak punya pacar khan, kamu juga udah
siap menikah, mang ada alasan lain kita mau nolak lamaran itu.”
“Mah ...”
“Iya.. Mama tahu kamu sama dia ... eeehh ... tapi dia udah
berubah kok. Suer! Ganteng kayak Oppa-oppa Korea. Kata Dini pas lihat dia, kamu
pasti setujuh, jadi yah udah Mama sama Papa udah mengiyakan dan sudah
menentukan tanggal pernikahan kalian.”
Ya Alloh ... rasanya gue mau pingsan mendengar semua
penjelasan si mama.
Khan gue makin yakin kalau sebenernya gue bukan anak kandung mama!
Mama langsung berdiri meraih tas miliknya di atas meja
nakas, tangan kanannya merogoh bagian dalam tas itu, sesuatu.. amplop berwarna
putih bersih di tangan mama.
Saat tangan mama menyodorkan kertas itu tanganku gemetar,
undangan pernikahan yang sudah dicetak dan tertulis jelas namaku dan nama cowok
itu, Abidzar Alghifari.
Tuhan ... kenapa hidup gue kayak gini amat yak!
Lalu aku teringat Dini, adik perempuanku, dia telah
berkhianat.
Awas aja kalau ketemu.
“Sayang, Mama tahu kamu sibuk nggak bakalan bisa urus
beginian jadi, Mama sama Uminya Abi yang ngurus semuanya dan kata Dini, kamu
pasti setujuh kok.”
“Mah, kenapa nggak nanya aku dulu sih, Mama khan bisa
telpon apalah.”
“Kamu mana ada waktu, Mama suka lihat medsos kamu, sibuk ke
sana ke sini, bikin itu, bikin itu, pokoknya Mama nggak mau tahu. Sebelum
tanggal pernihakan, kamu harus sudah di rumah, dan mulai Senin besok kamu ajuin
cuti nikah di kantor kamu dan bawa bukti undangan ini.”
Itu mamaku, Ibu Suri yang selalu mengatur hidupku.
Tapi diam-diam aku merenung, Abidzar ... kenapa dia mau menikah
sama aku, bukannya dia ditaksir banyak cewek cantik.
Kenapa?
“Ih, ngelamun terus nih anak. Udah sana gih sholat dulu,
Mama mau nelpon Uminya Abi kasih kabar kalau kamu sudah ready di hari
pernikahan nanti.”
Aku hanya bisa mendengus lirih berjalan ke arah kamar mandi.
Rasanya ingin menangis, menangis senang atau sedih, karena terpaksa menikah.
Nah, itu cerita sebelum hari H pernikahanku.
***
Di dalam kamarku saat Abi masuk dengan sudut bibirnya naik
ke atas, menyeringai lebih tepatnya saat aku membalas salamnya ketika ia masuk.
Aku berdiri menghentakkan kakiku saat dia menatapku, aku
terkejut jadi aku reflek, aku punya kebiasan buruk seperti itu, eh senyumannya itu lebih tepatnya dia mencibirku, iya senyuman itu
Meremehkan aku, kan.
Dia berjalan ke arahku berdiri sambil membuka stelan jas
pengantinnya, lalu melempar ke arahku.
“Ini tolong beresin yah, itu juga sprei diganti, aku nggak
mau tidur bekas diinjak-injak orang.”
Setelah berkata seperti itu Abi menuju ke kamar mandi.
Ya Alloh ... ini malam pertamaku.
Ternyata dia nggak berubah sama sekali, lalu ... Mama ...
Dini ... kalian berdua mengkhianati aku.
Hwaaa ... rasanya aku ingin kabur saja, saat aku lihat
handphone milikku tergeletak di atas tempat tidur.
Dengan cepat aku meraihnya lalu membuka WAG teman-temanku,
iya mereka pasti masih di sini kan, belum jalan ke hotel. Di sini lama kalau
pesan mobil online.
Aku bergegas mengetik di layar ponsel, lalu terhenti ...
Eh teringat ciuman hangatnya si Abi tadi saat selesai akad nikah.
Hoon ... sadar!
Enggak mungkin, barusan saja dia bersikap begituh.
Duh jantungku berdebar kencang, tapi ini malam pertama aku.
Gimana dong.
Cepat aku hapus pesan itu di WAG sebelum terkirim oleh
jari-jari tanganku.
Kuletakkan handphone itu di atas meja nakas, lalu aku
mengambil sprei di dalam almari pakaian, ada sprei putih, yah hanya warna itu
yang aku punya.
Pliis ... Hani.
Jangan berpikir macam-macam.
Kutarik sprei warna pink di atas tempat tidurku, lalu
kulipat merapikannya, kuletakkan di sembarang tempat. Memasang sprei baru
sesuai perintah Abi, tapi kalau dipikir-pikir kenapa aku melakukan semua
perintahnya ini.
Duh, auh ah!
Kret!
Suara pintu kamar mandi terbuka, aku langsung menoleh.
Oh … aku menekan dadaku kuat-kuat, sungguh maha sempurna
makhluk ciptaan Tuhan di depanku ini.
Abi hanya mengenakan kaos warna putih
berleher v sedikit menerawang, terlihat bagian tubuhnya yang aduh gimana yah. Mirip adegan tokoh utama cowok di drama Korea itu, berasa lagi shooting dan aku peran utama wanitanya.
Aku pikir hanya ada di drama Korea saja cowok bertype
seperti ini, ternyata Abi sudah begituh berubah. Rambutnya yang basah, wajahnya
yang putih masih tersisa air dan lehernya yang jenjang, ada jakun yang naik
turun.
Aku mengerjapkan mataku segera, lalu merapikan seprei.
“Kamu belum mandi?” suara Abi membuat badanku bergeming
sesaat, lalu aku hanya meringis masih posisi merangkak lurus menatapnya.
Yang diperhatiin justru acuh tak acuh sementara aku ...
Aku hanya menggeleng, lalu cepat-cepat bangun melarikan diri
darinya, mau masuk ke kamar mandi. Satu-satunya tempat yang aman untuk melarikan
diri, nggak mungkin keluar kamar, ada banyak orang yang masih bantu beberes,
apa kata mereka kalau aku tiba-tiba keluar ninggalin suamiku sendirian.
Iihhh ...
Hoon.
Aku berhenti saat lengan tanganku ada yang menahan. Abi
memegang lengan tangan kananku dengan erat, matanya penuh selidik, menelusuri wajahku,
lalu ke bawah, eh apa yang mau dia lakukan padaku?
Untuk pertama kalinya aku mengenakan pakaian tidur super
tipis, celana di atas lutut, dan ini semua gara-gara Rara yang sialan katanya
baju tidur ini cocok buat pengantin baru.
Bersambung…
Untuk pertama kalinya aku mengenakan pakaian tidur super tipis, celana di atas lutut, dan ini semua gara-gara Rara yang sialan katanya baju tidur ini cocok buat pengantin baru.
Duh, rasanya aku seperti ditelanjangi ditatap seperti itu.
Eh tapi dia suamiku sendiri.
Ah, dengan gagap aku memegang dadaku sendiri, lalu berganti ke bagian tubuh
lainnya, paha, lalu ke perut, salah tingkah kan gue jadinya.
Diih ...
Hani, lo ngapain sih jadi salah tingkah sendiri.
Mah ...
Hani tidur sama mama aja yah!
“Kamu jangan mandi dulu.” Suara Abi bikin tekuk leher bagian belakang aku seketika
merinding.
Ah, kebanyakan nonton drakor sih gue nih jadi ngebayangin macam-macam.
Hus ... Hus ... sana pergi dong.
Mata mengerjap berkali-kali masih bengong menatap Abi, mata tajam itu berubah teduh. Lalu aku tersenyum, membayangkan adegan selanjutnya.
Berharap banget!
“Ini ... beresin gih! Sama itu juga." Aku langsung menoleh mengikuti gerakan telunjuk tangan Abi.
Oh ... sprei yang tadi aku ganti masih tergeletak di lantai. Mulutku membentuk huruf O lalu aku menutupinya dengan kedua tanganku, bersamaan dengan itu Abi menutup wajahku dengan handuk kecil yang sudah selesai ia pakai.
Ah, sialan!
Gerutuku dalam hati. Kirain mah mau diapain ...
Aku menarik handuk yang sedikit basah dari wajahku, memasang muka kesal danmelotot. Tapi yang aku pelototin sudah berpindah posisi, dia duduk di meja membuka laptop. Tinggal aku berdiri termangu, mendesah pelan.
Punggungnya yang lebar itu menarik perhatianku. Lengan tangannya ... aish ... Hani, lo mikirin apa lagi sih, sana gih cepetan beresin dulu.
Saat Abi menoleh, aku sudah melangkah ke samping tempat tidur, meraih sprei warna pink entah milik siapa. Mana mungkin aku suka warna itu, yang jelas pasti ini perbuatan Dini sama mamaku.
Merasa kesal aku memasukkan sprei dan handuk ke dalam keranjang pakaian kotor, lalu menendangnya dengan keras.
Buk!
Duh.
Sakit!
Aku masuk ke kamar mandi dengan meringis kaki kananku sakit habis menendang keranjang pakaian kotor.
Di kamar mandi sengaja aku berlama-lama, suara merdu BTS menemani aku mandi. Iih malu kalau beneran mereka ada di sini mah. Senyum-senyum aku mengikuti suara merdu ke tujuh namja gantengnya luar biasa itu.
Oh my my my oh my my my
I've waited all my life
Ne jeonbuleul hamkkehago sip-eo
Oh my my my
oh my my my
Looking for something right
Ije jogeum-eun na algess-eo
I want something stronger
Than a moment, than a moment, love
I have waited longer
For a boy with
For a boy with luv
Sambil keramas aku sesekali mengikuti dance mereka yang seingatnya aku aja. Duh rasanya nggak bisa dijelasin deh, kok aku bahagia banget yah. Lalu teringat lagi sama adegan cium kening itu.
Aku meringis, geli sendiri, di depan cermin kamar mandi, rasanya kayak gituh yah dicium sama cowok. Kacau deh aku nih sambil mengelus keningku yang penuh dengan busa shampoo.
Pikiran itu bergelayut di kepalaku sekarang, tentang Abi yang memilihku untuk jadi istrinya. Kalau aku ingat-ingat nggak ada satu pun kemiripan baik karakter, hobby, masa depan dan yang jelas kelihatan itu fisik. Asli, jauuuuhh banget. Antara aku sama Abi. Lantas apanya yang sama? Katanya kalau jodoh itu serupa.
Aku mencoba mengingat kembal… apanya yang sama ya? Ah.. mikirin itu semua kok aku jadi pusing sendiri yah.
Apa jangan-jangan tuh anak kejedot kepalanya jadi lupa ingatan makanyan mau menikah sama aku.
Ingat banget dulu gimana dia memperlakukan aku sewaktu masih di SMA. Beuh jangankan ngobrol, ngelirik aja nggak!
Sekalinya ketemu berantem, masalah sepele aja ributnya setengah mati.
“Haneeeeyyy ...”
Seketika aku menoleh, mendengar suara yang jelas banget terasa dekat.
Abisudah berdiri di dalam kamar mandi dengan wajah panik, sementara aku masih bermain busa di kepalaku dan lagu dari BTS itu jadi pengiring selama aku mandi.
“Aku khawatir kirain kamu pingsan di dalam kamar mandi ternyata mainan sabun.”
Dadanya Abi naik turun, napasnya terdengar jelas di telingaku, saat aku tersadar ada hawa dingin menyusup ke seluruh tubuhku, saat itu juga aku menjerit keras.
“ANDWEEEEEE ….”
Abi melihat semua bagian tubuhku tanpa sehelai pun kain yang menempel.
Jahat kamu!
Apa pun yang ada didekatku, ku lempar ke arahnya. Dia kabur secepat kilat saat menyadari semuanya.
“PINTU KAMAR MANDINYA NGGAK DIKUNCI MAKANYA AKU MASUK KIRAIN KAMU PINGSAN.”
Teriak Abi dari balik pintu, sementara aku terduduk jongkok dengan kedua tangan mendekap dada.
Sial banget hidup gue!
***
Setelah mengeringkan rambut di kamar mandi aku keluar, masih dengan malu yang teramat sangat, mau nggak mau aku harus keluar kamar mandi, yah kali masa semalaman akutidur di sana. Aku terbiasa membiarkan pintu kamar mandi tidak terkunci saat mandi, salahku juga sih mandi kelamaan, bikin orang khawatir.
Masih mengenakan pakaian tidur yang tadi, baru juga ganti masak mau ganti lagi kan sayang. Aku berjalan dengan berjinjit. Jangan sampai Abi terbangun mendengar langkah kakiku,
Abi sudah terbaring di tempat tidur, dengan posisi menyamping ke arah kanan.
Masa sih cepat banget tidurnya.
Pukul sepuluh malam saat aku melihat jam dinding di kamar. suara televisi dari ruang tengah sudah tidak terdengar lagi dan suara-suara berisik si mbak juga sudah senyap, biasanya jam segini si Mbak masih beberes rumah, kecapean kalik.
Di atas meja ada makanan yang sudah siap disantap, nasi goreng plus telur ceplok. Iya aku belum makan, pasti mamah yang bawain. Duh kalau seperti ini, memang mama tuh juara deh.
Tanpa banyak berpikir aku melahap nasi goreng itu dengan sangat cepat sesekali melirik ke arah tempat tidur, mengunyah dengan maha lembut agar suara kunyahanku tidak terdengar oleh Abi.
Kalau masalah makan mah, aku bisa super cepat menghabiskannya kebetulan aku belum makan dari siang tadi, males.
Tidak ada satu pun yang tersisa pokoknya, bersih tuh piring. Duh perutku rasanya enak sekali. Lalu aku kembali lagi ke toilet, untuk gosok gigi.
Pelan-pelan aku membuka pintu membawa piring bekas aku makan, sampai di luar sudah gelap hanya lampu temaram di dapur. Sampai di dapur secepat mungkin aku mencuci piring, saat itu juga aku lihat ada banyak kotak dan beberapa barang yang belum dirapikan sisa acara tadi siang di atas meja dan di lantai.
Cepat-cepat aku kembali ke kamar, ingin segera rebahan rasanya seluruh badanku sudah tidak tahan lagi.
Pelan aku membuka grendel pintu kamar, kalau dipikir-pikir ini kamar gue sendiri ngapain juga gue kayak maling yah.
Sampai di kamar, aku menutup pintu kamar perlahan.
Bingung ...
Aku berdiri sejenak menatap ke arah tempat tidurku, yang kini sudah ada sosok laki-laki yang terbaring di sana. Berjalan merangkak pelan-pelan aku merebahkan badanku ke atas tempat tidur lalu menarik selimut dengan pelan sekali.
Mirip adegan slowmotion kalau di film mah. Saking gue takut si Abi bangun.
Akhirnyabisa rebahan juga gue, ya Allah.
Punggungku baru berasa pegal sekali, ditambah betis dan mataku yang sepetnya minta ampun. Saat aku berbaring ke samping kiri, berlawanan dengan Abi. Ada yang bergerak-gerak di dalam selimut.
Aku bergeming.
Lalu ... tiba-tiba pinggangku seperti ada yang menyentuh, sebuah tangan dimasukkan ke dalam pinggangku yang ramping. Tekuk leherku terasa hangat, seperti ada hawa panas yang berhembus.
Ah, itu tangan Abi, memelukku.
Saat aku ingin bergerak, tangan Abi makin erat memeluk pinggangku.
“Jangan gerak-gerak! Kita tidur gini dulu aja yah. Aku capek!” kata Abi lirih di telingaku.
Mamaaaaa ….
Eotteoke!
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!