Kutengadahkan kepalaku menatap langit, berusaha untuk menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
Tangan kananku masih menggenggam ponsel yang menempel ditelingaku.
" Jadi benar yang kudengar..." kalimat itu kuucapkan dengan nada sedatar mungkin.
" Maaf, Nin...aku tak bisa mengorbankan kesehatan ibuku..." suara Wildan begitu dalam.
" Tentu saja, jangan sampai menjadi anak durhaka ...Dinda wanita yang baik, jadi selamat ya...semoga kalian bahagia..." aku berusaha diplomatis dengan akhir kisahku bersama Wildan.
Wildan, mantan tetangga sekaligus kakak kelasku yang lima tahun lalu menyatakan cintanya padaku, sebelum kepindahan seluruh keluarganya di Bali.
Sejak saat itu kami menjalani LDR yang sangat manis.
Namun bulan lalu kudengar dia harus menikah dengan wanita yang tak lain teman sekolahku waktu di sekolah menengah yang bernama Adinda.
Terakhir kami bertemu waktu acara reuni setahun yang lalu. Sebelumnya aku bahkan tak pernah datang ke acara tersebut, tapi karena Wildan memaksa jadi kami menghadirinya bersama. Dan saat itu Dinda juga berpasangan dengan pria lain.
Sebenarnya Wildan menceritakan semua kisah dari awal hingga dia memutuskan bersedia menikah dengan Dinda agar penyakit jantung yang diderita ibunya tidak kambuh lagi.
Aku hanya bisa mengambil hikmahnya, Wildan seorang pria mapan dari keluarga kaya, mana mungkin bisa disandingkan denganku, seorang gadis yatim piatu yang harus bekerja sangat keras untuk bertahan hidup.
" Nindi..kamu juga wanita yang baik, aku yakin kamu akan dipertemukan dengan pria baik juga.."
" Ya...ya...tentu saja aku akan menemukannya, jangan kira aku akan gagal move on gara-gara kamu ya...."meski terasa perih aku akan menghibur diriku sendiri.
Suara tawa kecil terdengar diujung sana.
" Tapi maaf ya Wil, aku nggak bisa hadir pada pernikahanmu nanti...soalnya jauh, hanya buang-buang duit aja kan..."
" Hmm...kamu ini, untukmu pasti akan kusiapkan akomodasi kelas VVIP kalau kamu bersedia hadir, hanya saja aku tak mau membuatmu menangis karena melihatku..."
" Idiiih...aku sih anti baper...mending kamu hapus semua memori tentangku, Dinda pasti akan mencakarmu kalau kamu masih punya fotoku diponselmu itu.." sahutku tak mau kalah.
Begitulah kami, hubungan yang selama ini kami jalani sangat ringan, karena memang komitmen kami untuk menjaga diri hingga jodoh benar-benar mempersatukan kami.
Dan ternyata bukan dia jodoh yang telah disiapkan Tuhan untukku. Dengan helaan nafas, aku berusaha ikhlas melepasnya.
Bagaimanapun dia adalah bagian dari kenangan manis dalam hidupku. Kini tinggallah aku sendiri.
Sendiri dalam arti sebenarnya. Nenek satu-satunya keluarga terdekatku telah meninggal dua bulan yang lalu karena sakit.
Setelah sambungan telepon dengan Wildan, kutatap kedai kopi peninggalan orang tuaku.
Sebuah bangunan kecil yang sudah termakan usia, menjadi rumah dan sumber kehidupanku, setelah rumah yang kutempati dulu harus terjual untuk menyambung hidup dan biaya pengobatan nenek selama dua tahun terakhir.
Aku harus mempertahankan tempat yang telah dibangun oleh ayahku ini dan pernah berjaya dimasanya untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga kami secara layak.
Kini, kedai ini mulai sepi pembeli sejak perkembangan kota yang begitu pesat, terutama setelah pembukaan sebuah Mall terbesar dikota ini yang tempatnya tak lebih dari lima puluh meter dari tempat ini.
Dalam mall tersebut banyak sekali gerai-gerai aneka makanan dan minuman dengan desain tempat yang kekinian, jadi memang tempat yang menyenangkan dan nyaman dibanding dengan kedai sederhana yang menyediakan kue dan minuman dengan variasi tak begitu banyak.
Beruntung kami mempunyai beberapa pelanggan yang masih setia dengan hidangan yang kami tawarkan. Dan sebagian besar mereka telah berumur setara dengan kedua orang tuaku.
" Hai...paman Jo, silahkan dicoba kue baru yang fresh from the oven..."
" Hei... lagi-lagi kau manfaatkan aku untuk bahan uji cobamu..." ucap paman Johan, salah satu pelanggan setia kedai ini.
Aku hanya terkekeh mendengar penuturan pria baruh baya bertubuh jangkung itu.
" Bagaimana paman...apa sesuai dengan seleramu?" kulipat kedua tanganku didada.
"Nindi.... sepertinya kamu ingin aku cepat mati ya, kenapa kue ini begitu manis, bukankah kamu tau aku sedang diet gula.." sahut pria dengan penyakit diabetes mellitus yang menemani hidupnya selama bertahun-tahun itu.
"Hmm...begitu ya!!! kenapa kuenya cepat habis kalau tak ingin cepat mati..!"
Pria itu meringis karena aku yakin kue talam resep dari nenek yang sudah kumodifikasi itu memang sangat pas manis dan gurihnya.
" Jangan khawatir paman ...hari ini aku membuat beberapa kue dengan gula DM, jadi tak perlu berharap cepat mati karena makan kue dariku ya..."
" Wah...benarkah? Kamu benar-benar perhatian pada kaum penyakitan sepertiku Nindi..." pria itu terlihat lebih bahagia menikmati kue dihadapannya.
Kulihat Bu Cicik yang selama ini membantuku dikedai ini melayani pembeli, jadi aku menyempatkan diri ikut duduk didepan paman Johan.
" Kalian kaum tua adalah sumber pendapatan ku, jadi tak akan kubiarkan kalian cepat mati ...he..he.." aku tersenyum kecil seperti melihat ayahku sendiri yang juga menyukai makanan manis itu.
" Ya..ya..tolong hapus kata mati dari semua ucapanmu itu, aku mulai ngeri juga..!" pria itu menerawang menatap jendela.
" Lha yang mulai kan paman duluan..." ucapku sambil mengikuti pandangan pria tua itu keluar jendela.
" Nindi ....apa kamu pernah ke Mall itu?"
" Tentu saja paman, siapapun pasti sangat tergoda untuk mengunjunginya...meskipun aku hanya melihat-lihat saja, tanpa membeli apapun.."aku menahan tawa mengenang saat aku memutuskan mengunjungi mall itu, karena menghindari cuaca panas yang begitu menyengat.
Didalam gedung itu begitu sejuk dan nyaman, padahal aku harus berbagi udara dengan banyak orang yang sedang sibuk menghabiskan uang mereka. Sempat kulihat harga-harga yang tertera membuat kepalaku pening.
" Hmm ....baguslah, kukira kamu akan terus bersembunyi digua milikmu ini..ha..ha" ucap paman seraya menyesap kopi hitamnya.
" Wah penghinaan kelas kakap nih..." sahutku sambil beranjak meninggalkan paman yang mulai terbahak saat ada pengunjung lain baru datang.
Kulihat seorang pemuda baru saja masuk dan duduk disalah satu sudut ruangan, tentu saja tempat favoritnya adalah disamping jendela kaca yang menampilkan kesibukan kota ini.
" Selamat pagi...mau pesan apa?" ucapku saat mendekati pria yang seingatku sudah beberapa kali berkunjung kesini.
Kuletakkan kertas berisi menu yang aku punya.
" Teh hangat dengan daun mint dan kue serabi dengan gula merah.."
" Maaf..hari ini aku tak membuat kue serabi.."
" Hmm...beri kue basah apapun ..." sahut pemuda itu dengan ekspresi begitu datar.
" Okey ...tunggu sebentar...."
Kulangkahkan kakiku kearah belakang, tempatku menyiapkan pesanan.
" Nin...cowok sedingin salju itu kembali lagi ya..."Bu Cicik menghampiriku yang sedang menyiapkan pesanan.
Akupun mengangguk padanya.
" Mungkin dia masih penasaran dengan kue serabi buatan kita, Bu..."
"Hei..aku hanya membantumu menghidangkannya, jadi hanya kamu yang bisa meramu resepnya dengan pas hingga membuat cowok itu kembali lagi.."
" Kurasa kita perlu memberinya piagam karena menjadi pengunjung termuda disini..he..he..."aku tertawa kecil sambil mengangkat baki yang berisi pesanan pengunjung termuda ku itu.
" Tapi sepertinya aku pernah melihatnya deh, tapi dimana ya..."
Kutinggalkan Bu Cicik dengan pertanyaannya itu dan berjalan mendekati pria yang sepertinya serius memperhatikan jalanan itu.
Memang apa yang menarik dengan rutinitas orang-orang yang sedang memeras keringat demi berlembar kertas bernama uang itu.
" Silahkan menikmati..."
Pria berwajah semi oriental itu menoleh kearahku tanpa senyum sedikitpun.
" Apa kamu sudah benar-benar putus dengan pacarmu?"dengan santai dia mengambil secangkir teh yang kuhilangkan untuknya itu.
Tentu saja aku tersentak dengan pertanyaan itu....
Aku menatap heran, pemuda bertubuh tinggi dengan jaket Hoodie warna abu-abu gelap dan celana jeans yang sedang santainya mencampuri urusan pribadiku.
Detik kemudian aku mulai tertawa mendengar pertanyaan yang menurutku sok kenal sok dekat itu. Aku sama sekali tak mengenalnya dan dia bertanya tentang kisah cintaku yang tak pernah kuekspos sebelumnya, hmmm....apa dia seorang cenayang?
" Boleh aku duduk...?" bagaimana pun dia adalah pengunjung yang memberiku pendapatan jadi aku harus ramah dan membuatnya nyaman.
" Tentu saja.." ucapnya menatapku sekilas seraya makan kue putri mandi yang kuhidangkan untuknya tadi.
"Apa kau sedang meramalku? Pertanyaan mu itu membuatku merasa diperhatikan..."
Pria itu menarik sudut bibirnya lalu menatapku lebih lama.
" Tak perlu meramal jika kemarin kamu duduk disini dan mendengar percakapan seseorang dari luar jendela yang terbuka itu..."
Eh...aku baru menyadari bahwa kemarin aku menerima telepon dari Wildan tepat dibalik tembok tempatku berada sekarang.
" Ah iya kamu benar juga he..he.." aku merasa senang tidak penasaran lagi darimana dia tau tentangku.
" Baru sekarang aku tau orang putus cinta sebahagia kamu..." ucapnya datar.
" Ya kalau nggak jodoh mau gimana lagi..." aku mengerdikkan kedua bahuku, lalu beranjak dari dudukku.
" Silahkan menikmati..." aku akan berbalik pergi namun terhenti oleh pertanyaannya lagi.
" Kapan ada kue serabi? aku akan datang lagi..."
Aku berfikir sejenak lalu, dengan yakin aku menjawabnya.
" Besok akan kubuatkan...beneran datang Lo ya..."
" Hmm ...baiklah" dia mengangguk sebelum menyesap teh dicangkirnya.
Akupun meninggalkannya berjalan kebelakang untuk membersihkan dapur. Diperjalanan menuju dapur, Bu Cicik yang sedang menata kue yang ada di display menghentikan langkahku.
" Nindi ... apa yang kalian bicarakan tadi, sepertinya dia ingin mengenalmu deh..." goda Bu Cicik padaku.
" Oh...ya? sayang sekali pria mulus sepertinya , bukan tipeku dong..." aku mengedipkan mataku padanya.
" Hei....dasar tukang halu, masih saja mengidolakan pria timur tengah heh..." Bu Cicik melipat kedua tangannya di dada sambil geleng-geleng kepala.
Aku tertawa lebar, dan meninggalkannya melayani pembeli.
Bu Cicik memang sudah seperti sahabatku sendiri, meski usia kami seperti ibu dan anak. Dia seorang janda yang diceraikan karena terbukti tak bisa memberikan keturunan untuk suaminya.
Kami sangat dekat, hingga diapun tau aku mengidolakan pria ala timur tengah yang menurutku terlihat lebih gentleman...
Wildan...
Tentu saja dia rela memelihara kumis dan cambangnya, demi mewujudkan halusinasiku itu...he..he...
Kalau dibilang belum move on, ya kan belum ada seminggu kami harus mengakhiri hubungan kami...haiss...bohong kalau aku bilang tidak apa-apa, masih perih rasa dihati ini...
Pukul tiga menjelang sore, Bu Cicik pamit pulang karena kedai kami sudah tutup sejak satu jam yang lalu.
Dan kesibukanku selanjutnya adalah membeli bahan-bahan untuk bahan kue basah dan cake untuk esok hari.
Setelah membersihkan diri, kupastikan semua pintu dan jendela tertutup karena aku akan belanja dipasar sore.
Dengan naik ojek aku membelah jalanan. Sebenarnya aku memang tak bisa naik motor sendiri, ada rasa trauma sejak kematian kedua orang tuaku enam tahun yang lalu karena kecelakaan motor, tepat sehari sebelum ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun.
Ulang tahun yang seharusnya menjadi momen berharga bagi para gadis sepertiku, saat itu menjadi pukulan telak pada hidupku. Sejak saat itu kehidupanku bersama nenek jadi penuh perjuangan.
Mungkin tak bisa naik motor sendiri memang agak merepotkan, tapi karena sudah lama menjalaninya aku sudah terbiasa. Untungnya aku memang tak bersosialisasi dengan teman sebayaku yang kebanyakan sering hangout bareng, menurutku hal itu hanyalah membuang uang dan waktu saja.
Aku mulai memisahkan diri dari teman-teman ku ...eh...salah...merekalah yang memang tak mau mendekat denganku sejak aku mengalami masalah keuangan dan tak jadi meneruskan kuliah karena harus berjuang hidup tanpa kedua orang tuaku.
Bagiku itu semua bukanlah masalah, apalagi saat itu ada Wildan yang selalu memberiku semangat.
Hhh...kenapa masih saja nama Wildan terselip diantara waktu yang harus kujalani?
Ayolah Nindi, jangan menoleh lagi, dia bukan milikmu lagi....
Anindita Putri, bulan depan umurmu sudah dua puluh tiga tahun, please deh, jangan kekanakan lagi...bajumu bukan putih abu-abu lagi, saatnya kembali pada realita hidup.
Saat ini harus fokus berpikir bagaimana harus mempertahankan kedai milik ayahmu itu..
Akhir-akhir ini, berulang kali mendapatkan penawaran dengan harga tinggi agar aku melepaskannya. Seandainya saja tempat ini bukan tempat yang sangat bersejarah bagiku, aku akan melepaskannya dan membeli perumahan agar tak terganggu dengan orang-orang yang menginginkan tempat ini karena posisinya memang sangat strategis.
" Berapa pak?"
" Dua belas ribu ,Nin...mau buat serabi lagi ya, bukannya besok bukan jadwalnya...." ucap pak Joko penjual nangka dipasar sore itu.
" Iya nih pak, ada yang ngefans sama serabi ..."
" Oh...pasti itu orang sudah uzur kan? Dia sedang kangen dengan kue jadul seperti pada masanya.." pria paruh baya itu terkekeh setelah menerima uang dariku.
Namun aku jadi tertawa lebar mendengar asumsinya itu.
" Ah iya juga pak, mungkin tu orang jadul banget..." kubiarkan pria itu dengan pendapatnya yang jelas sangat salah itu.
Kira-kira apa yang akan dia katakan saat tau orang yang menyukai kue ini adalah seorang pemuda dengan penampilan kekinian.
Sore itu, suasana pasar begitu ramai pembeli, hingga aku harus berdesakan saat membeli udang untuk bahan isian lumpia basah.
" Neng tolong bilang minta kuwek setengah kilo ya ..." seorang nenek di belakangku menarik-narik lenganku agar aku bisa membantunya karena pembeli yang berdesakan.
" Iya nek..." akupun segera meminta penjual itu membungkusnya.
Setelah urusan desak-desakan selesai aku mundur dan memberikan pesanan nenek dengan penampilan bersih dan modis itu.
Sepertinya dia orang kaya deh, ngapain kesasar sampai sini...
" Wah terima kasih ya...ini uangnya, kembaliannya nggak usah deh, buat kamu beli es ..."nenek itu menatapku ramah saat aku menerima uang lembaran seratus ribu itu dengan mengerutkan dahi.
" Tapi nek....ini aku ada kembalian kok..."aku mengambil dompetku.
" Udah nggak papa, nenek pergi dulu ya... terimakasih..." wanita tua itu tersenyum puas dan melenggang pergi dari hadapanku.
Dasar rejeki nggak pernah tertukar he...he..
Setelah kusimpan uang itu, akupun mencari ojek karena tas belanjaku sudah penuh berisi bahan-bahan untuk kusiapkan nanti malam.
Dari awal kedai milikku itu buka jam enam pagi dengan berbagai kue basah dan cake untuk pengganjal perut dipagi hari.
Semula konsep dari ayah hanya menjual kue-kue basah dari pagi hingga sore hari. Namun setelah mengikuti perjalanan waktu, menu yang kuhidangkan beberapa sudah kuubah.
Saat siang menjelang, kusiapkan berbagai pencuci mulut yang ringan menyegarkan seperti puding dan salad buah.
" Banyak banget belanjanya?"
Aku menoleh saat mendengar suara itu. Dan orang yang menyapaku membuat dahiku mengerut karena heran.
" Oh hai...!! wajar dong dipasar harusnya emang belanja kan..., lha kamu ngapain disini?" ternyata orang itu, pria serabi yang berdiri bersandar disebuah toko yang masih tutup, saat aku sedang menunggu ojol pesananku.
Habisnya aku nggak tau siapa namanya, jadilah pria serabi sebutan paling tepat untuknya.
" Aku lagi kerja..."
" Kerja?" kuperhatikan penampilannya yang terlihat bersih dengan kaos dan celana pendek yang kelihatannya bermerk itu.
Kerja apaan dia ditempat seperti ini? Pikirku setelah sekilas memperhatikan penampilannya.
" Kenapa? Sepertinya kamu nggak percaya, kalau aku sedang kerja?" pria itu menaikkan alisnya.
" Hmm...aku hanya sedang berpikir keras pekerjaan apa yang kamu lakukan ditempat ini?"
" Tak perlu berpikir, kamu bisa menanyakannya langsung padaku..."sahutnya datar.
" Well.....jadi apa pekerjaanmu....?" daripada aku penasaran akhirnya aku bertanya juga.
" Jadi sopir..."jawabnya sambil memandang kearah lain.
Hhh...bukan membuatku lega, malah membuatku berpikir lagi...hanya seorang sopir tapi penampilannya seperti turis, bukankah dia lebih pantas jadi majikan...
" Ooh ...baiklah kalau begitu aku pergi dulu, jangan lupa besok kamu harus datang karena aku sudah membeli bahan-bahan untuk membuat serabi..." aku mengingatkan pria itu.
" Tentu, sekalian pesan lima puluh buah dalam lima bungkus untuk kubawa pulang...."
Mataku terbelalak mendengarnya, ngapain dia membungkus sebanyak itu, apa ada acara arisan dirumahnya.
" Ah baiklah...sampai jumpa besok ...."akupun meninggalkannya saat seorang ojek online datang menghampiriku.
Kulihat dia masih menatapku tanpa ekspresi.
Lima belas menit kemudian aku sudah sampai didepan kedai yang merangkap sebagai rumahku itu.
Setelah membayar ojol aku bergegas mencari kunci pintu yang tadi kuselipkan disaku tas slepang yang kupakai.
" Saudara Anindita...." suara seorang pria bertubuh tinggi dengan setelan jas hitam dan kacamata hitam disampingku membuatku menoleh.
Wow...ada Man In Black
" Ya...saya sendiri, ada yang bisa saya bantu?" sebagai wanita yang hidup sendiri aku berusaha ramah pada siapapun berharap agar orang lain juga berlaku baik padaku.
" Mohon ikut saya, majikan saya ingin bertemu dengan anda dikantor..."ucap pria itu dengan suara tegas.
" Mohon maaf tuan, siapa majikan anda, apa saya mengenalnya?"
" Nyonya Elisa, pemilik mall yang disana..."
Aku menghembuskan nafas karena kesal, sudah beberapa orang atas nama Nyonya Elisa membujukku untuk menjual kedai milikku.
" Maaf tuan, saya harus menyiapkan pesanan untuk besok, jadi tolong sampaikan maaf saya untuk nyonya Elisa...." aku menunduk dan berucap seramah mungkin padanya.
" Sudah beberapa kali anda menolak, jika kali ini anda bersikeras, saya akan menggunakan kekerasan..." suara pria itu mulai berdengung ditelingaku, rasa takut membuatku bergidik sepertinya aku harus pergi dari tempat ini.
Dengan menarik nafas panjang, perlahan aku mundur selangkah.
" Mm...baiklah..." dengan detak jantung beraturan aku waspada, setelah pria itu lengah kutendang bagian masa depannya, semoga tak terlalu membuatnya terluka.
Secepatnya kuambil langkah seribu, untuk melarikan diri dari pria yang meringis kesakitan karena tendangan ku tadi.
Namun sepertinya ada temannya mengejarku, meski baru beberapa meter nafasku mulai tersengal karena lelah berlari kencang.
Mendadak seseorang menyergapku tanpa aku menyadarinya.
" Lepaskan!!!!" aku meronta-ronta karena dia memojokkan tubuhku ditembok.
" Sstt...diam!!! apa kau ingin mati ditangan mereka!!!"
Suara itu sepertinya aku pernah mendengarnya.
" Tenang , aku akan melepaskanmu...okey..."
Akupun mengangguk, mungkin dia bukan sekutu dari Man In Black yang mengejarku tadi.
Setelah tenang dia melepaskanku yang terjepit antara tembok dan tubuhnya.
Saat membalikkan badan, dahiku berkerut melihat orang itu.
"Kamu....!!!" suaraku tertahan oleh kedua tangannya yang kembali membekap mulutku.
Matanya menatapku tajam, seperti memberi kode agar aku tak berisik. Akupun mengangguk sebagai janjiku bahwa aku benar-benar patuh padanya.
Kami bersembunyi sampai beberapa saat orang-orang yang mengejarku itu pergi.
" Mereka pergi..." bisiknya.
Aku segera keluar dari persembunyian kami, dan menepuk-nepuk bajuku yang kotor karena menempel ditembok.
"Bagaimana kamu bisa ada disini...jangan bilang kebetulan ya!!" ucapku pada si pria serabi.
"Setelah mengantarkan majikanku pulang, aku bermaksud memberimu DP untuk pesananku besok, takutnya kamu tak jadi membuatnya karena nggak ada tanda jadi...."
" Hmm...begitu? oke, terima kasih telah membantuku..akan kuberi diskon deh..."
Wajah datarnya menyeringai.
"Apa kamu yakin orang-orang tadi tidak menunggu mu dikedai?"
Aku mulai berpikir bahwa ucapannya itu benar juga, lalu apa yang harus kulakukan sekarang.
" Kalau gitu aku akan lapor polisi..." gumanku sambil menatapnya.
" Apa bukti yang kau punya...?"
Aku mulai pusing dengan masalah ini. Bagaimana bisa terus menghindar sedangkan aku harus buka kedai untuk menyambung hidupku.
" Apa kau tau, siapa yang sedang kau hadapi sekarang?"
" Aku nggak peduli siapa dia, tapi aku tak akan melepaskan kedai milikku itu meski dia menggantinya dengan gunung emas...!!" sahutku dengan nada tinggi.
Pria serabi itu menghela nafas, dan menggelengkan kepalanya.
" Lalu apa rencanamu?"
"Sudahlah, kamu tak perlu ikut berpikir, aku pasti bisa mengatasinya..." ucapku seraya melangkah pergi menjauh darinya.
Setelah beberapa langkah, aku kembali menoleh pada pria serabi yang masih tenang ditempatnya itu.
" Tenang saja, besok jam sepuluh semua pesanan mu bisa kau ambil..."
Dia tak bergeming dan akupun segera melewati jalan pintas menuju kedai melalui jalan belakang bangunan yang letaknya berhimpitan dengan kedai milikku.
Dalam perjalanan itu, aku merasa lebih baik berdamai dengan keadaan. Apakah aku harus menemui wanita yang bernama Nyonya Elisa itu. Barangkali dia bisa memahami posisiku yang harus mempertahankan warisan kedua orang tuaku itu...
Semoga itu adalah jalan terbaik daripada harus selalu menghindar dan membuatku merasa diteror.
Namun aku harus menyiapkan cerita yang dramatis agar Nyonya besar itu tersentuh dan tak mengganggu ketenangan ku lagi..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!