NovelToon NovelToon

My Sexy Old Man

Episode 1

'BRUG!'

'BRUG!'

Miranda melemparkan barang-barang Jeff dari dalam lemarinya. Dengan deraian air mata dan maskara yang luntur, hatinya hancur berkeping-keping setelah memata-matai kekasihnya, Jeff yang telah berubah akhir-akhir ini.

Sampai pada puncaknya, Miranda memergoki Jeff masuk ke dalam kamar hotel bersama Jenifer yang tak lain adalah temannya sendiri saat kuliah.

Jeff masuk ke dalam apartemen dan melihat barang-barangnya berserakan di lantai. Menyadari sesuatu yang buruk telah tercium oleh kekasihnya, dia langsung berlari masuk ke dalam kamar dan melihat keadaan kamar yang lebih kacau dari ruang depan.

Kaca-kaca berserakan dan Miranda duduk di lantai sambil menangis. Jeff segera memeluk Miranda.

"Apa yang terjadi?!" teriak Jeff yang pelukannya segera dihardik Miranda.

"Pergi sana baji**an!" teriak Miranda.

"Kenapa kau seperti ini?!"

"Aku sudah tau permainan busukmu dengan Jenifer di belakangku!"

Akhirnya permainan kotor yang dia sembunyikan selama ini dengan rapi terbongkar juga. Tapi dia sama sekali tidak ingin kehilangan Miranda dari hidupnya. Segera dia menunduk setengah bersujud pada wanita di hadapannya.

"Maafkan aku sayang! Aku tidak akan melakukannya lagi! Aku sudah selesai dengan Jenifer! Tolong maafkan aku!"

"Persetan dengan itu! Pergi! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"

Miranda berdiri dan hendak pergi karena tidak tahan melihat wajah lelaki yang dulu amat dia cintai ini.

Jeff memeluk tubuh Miranda dari belakang dan mulai menangis. "Kumohon sayang! Aku tidak ingin kehilanganmu! Maafkan aku!"

Miranda meronta. "Lepaskan! Aku tidak ingin melihatmu lagi! Pergi! Ambil barang-barangmu!"

Miranda berhasil lepas dari rangkulan Jeff. Dia mengusap wajahnya kasar.

"We're done, Jeff!" kata Miranda tegas.

***

Sore itu hujan rintik-rintik. Langit bahkan seperti ikut menangisi kepergian malaikat yang jatuh ke bumi. Kini malaikat itu harus terbang lagi ke langit.

Rick terduduk di atas pusara istri yang diacintai. Pemakaman telah selesai setengah jam yang lalu, tapi dia masih terkulai lemas di sana. Menatap foto istrinya yang tersenyum cantik.

"Istriku," hatinya pilu, ada sesak di dada tapi air mata tak bisa dia keluarkan.

Dia sudah lama sekali melatih dirinya agar tak mudah menangis karena dia seorang atlet yang harus memiliki jiwa yang tangguh. Tapi kali ini, dia ingin menangis.

Hujan semakin deras. Rambut abu-abu panjangnya mulai basah. Rick berdiri dan pergi dari tempat itu. Lelaki itu terus berjalan mengikuti jalanan, dia tinggalkan mobilnya di area parkir pemakaman. Rick berjalan terus sampai akhirnya melihat sebuah jembatan besar.

Sampai di tengah jembatan, dia berdiri menghadap sungai besar yang langsung bermuara ke lautan lepas. Mobil berkecepatan tinggi terus berlalu-lalang menghiraukan lelaki itu.

"AKU MEMBENCIMUUU JEEFFFF!!!!"

Suara teriakan yang melengking membuat lelaki itu menoleh ke arah kanan. Dari kejauhan dia melihat sosok seorang wanita muda yang naik ke atas pembatas jembatan, layaknya seseorang yang hendak terjun bunuh diri.

Sebenarnya, Rick siap berlari dan mencegah wanita itu untuk terjun. Tapi dia hanya terus menatap, seolah percaya pada wanita itu bahwa dia tidak akan bunuh diri.

Benar saja, setelah berteriak dengan kata yang sama berulang-ulang, wanita muda itu turun dari pembatas jembatan lalu pergi.

Entah apa yang ada dalam pikirannya, tapi lelaki itu mengikuti apa yang wanita tadi lakukan. Dia naik ke pembatas jembatan dan berteriak sekuat-kuatnya.

"AKU MENCINTAIMUUU RACHEEEEL!!!!"

***

Apartemennya kini sudah kembali rapi. Miranda mengecek lemarinya dan benar saja, barang-barang mantan kekasihnya sudah tidak ada. Plus Jeff merapikan kembali apartemen yang sudah dia porak-porandakan.

Malam ini jiwa dan raganya lelah. Dia pun tertidur di kasurnya yang dingin, tanpa adanya Jeff di sampingnya. Dia sangat mencintai Jeff tapi pengkhianatannya tidak termaafkan. Dia sangat membenci pengkhianatan. Lagi, dia menangis sampai terlelap.

Matahari pagi menyapa. Tapi Miranda sangat malas memulai hari ini. Semalam adalah hari yang sangat berat.

'Ting Tong'

Bel apartemennya berbunyi. Lama bel itu berbunyi, akhirnya Miranda membuka pintu dengan malas. Dia menatap wanita berambut pirang yang tinggi semampai seperti model. Jenifer.

"Miranda. Aku..." kata Jenifer yang langsung dipotong oleh kibasan tangan Miranda.

"Aku tak ingin mendengar apapun lagi. Aku ingin kau pergi, aku sudah selesai dengan Jeff. Kini kau bisa pergi dengan bebas bersamanya."

Wajah Jenifer kini tidak terlihat meminta maaf.

"Kedatanganku ke sini hanya ingin berterima kasih padamu. Berkatmu, semalam Jeff pulang ke apartemenku. Kini aku dapat memilikinya seutuhnya tanpa ada penghalang di antara kami!" katanya, sinis.

Emosinya kembali naik, tapi tubuhnya lelah. "Enyahlah kau!"

'BRAK!'

Miranda membanting pintu di depan muka Jenifer yang tidak tahu diri. Membuat Jenifer semakin berteriak kesal yang tak lagi terdengar oleh Miranda yang melengos ke kamar mandi.

Di bawah kucuran shower, Miranda menutup matanya dan kenangan akan kehadiran Jeff kembali terngiang. Biasanya Jeff memeluknya dari belakang sambil mandi bersama, membuatnya betah berlama-lama di kamar mandi.

Tapi kini, Miranda segera membuka mata dan mematikan shower lalu keluar dari sana begitu wajah Jenifer terlintas di benaknya.

Setelah bersiap di dengan kaos oblong dan celana jeans sobek-sobek dan sepatu ketsnya, dia keluar dari apartemen lalu memacu mobilnya ke area perkantoran di kota Toronto.

Dia berhenti di sebuah gedung bertuliskan Rabbit. Sebuah kantor penerbitan sekaligus rubrik majalah sport di Kanada. Perusahaan itu memang tidak terlalu besar, tetapi selalu konsisten dalam menyuguhkan berita berbobot dan mempunyai pembaca tersendiri di kalangan pecinta olahraga.

Miranda mengalungkan id card-nya sebagai tanda bahwa dia adalah karyawan di tempat itu. Dia duduk di kubikel milikinya dan melihat foto dirinya bersama Jeff di meja kerja, di samping monitor komputer. Dengan segera dia membuang foto itu ke tempat sampah di bawahnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Clara begitu dia melihat Miranda yang membuang fotonya bersama sang kekasih.

Clara yang merupakan rekan sesama jurnalis sekaligus sahabatnya, keluar dari kubikel miliknya dan masuk ke dalam kubikel Miranda.

"Aku sudah selesai dengannya. Dia selingkuh dengan teman kuliahku. Mungkin sekarang dia bukan temanku lagi," kata Miranda yang tidak bisa menutup-nutupi apapun dari sahabatnya ini.

Clara memeluk sahabatnya dan memberikan transfer energi, meski dia tahu bahwa pelukan itu tidak dapat mengubah apapun.

"Dasar lelaki hidung belang! Bisa-bisanya dia menyakiti hati sahabatku! Awas saja kalau ketemu!" kata Clara ikut kesal pada Jeff.

"Sudahlah! Aku bahkan tidak ingin bertemu dia lagi," kata Miranda melepaskan pelukannya. "Ayo kembali bekerja!"

Mereka berdua kembali ke pekerjaannya. Miranda membuka emailnya dan mendapatkan kabar dari mata-matanya. Sebagai seorang jurnalis yang harus up to date, Miranda sengaja membayar beberapa pencari berita bayangan yang khusus memberinya info terhangat mengenai para atlet nasional. Bayarannya hanya berdasarkan seberapa bagus berita itu.

Dan mata Miranda terbelalak mendapatkan berita duka yang dikirimkan mata-matanya.

♤♤♤

Episode 2

Rick Foley Mantan Atlet Rugby Nasional Kehilangan Cintanya

Tajuk berita di majalah Rabbit kali ini adalah berita duka dari sosok mantan atlet rugby nasional yang kini menjadi pelatih timnas Kanada. Istrinya, Rachel Foley meninggal karena kanker getah bening.

Pernikahan yang berlangsung selama 20 tahun kini terpisahkan oleh maut. Selama pernikahan Rick dan Rachel tidak dikaruniai anak. Tapi pernikahan mereka jauh dari gosip miring karena kesetiaan Rick dan Rachel.

Miranda menulis berita itu dan lolos terbit. Karena menulis tentang mantan atlet itu, Miranda melakukan research mengenai Rick. Lelaki berusia 51 tahun itu masih terlihat muda di berbagai foto di media sosialnya.

Hanya rambut yang berubah warna, bahkan Rick sengaja tidak mengecatnya dan memperlihatkan warna alaminya, putih ke abu-abuan sebagai tanda bahwa dia telah banyak makan asam garam dunia ini.

Sementara tubuhnya masih terlihat bugar dan berotot. Miranda menatap foto Rick yang tengah berada di kolam renang. Badan besar dan berototnya membuat siapa saja tidak akan percaya bahwa pria itu berusia setengah abad. Tak ada kerutan sama sekali, dia tampak sexy.

"Damn it!" umpatnya sambil terus men-scroll up foto Rick.

"Hei! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Bryan, editor di Rabbit Magazines.

Miranda kaget dan langsung mengeluarkan media sosialnya. "Tidak."

"Kau pasti sedang main game!" balas lelaki berkacamata itu dengan tatapan skeptis.

"Sungguh! Kemarilah kalau tidak percaya!" tantang Miranda.

Bryan tertawa. "Hahaha! Ayo kita makan siang! Aku akan menraktirmu di Subway!" katanya sambil berjalan menuju keluar.

Mendengar kata traktir, Miranda tak banyak berfikir. Dia langsung mengekor di belakang Bryan. Bryan ini adalah editor senior di Rabbit. Kedekatan mereka sudah seperti adik-kakak meski hanya teman sekantor.

Miranda menghentikan langkahnya begitu melihat Jeff keluar dari mobilnya dan berjalan ke arahnya. Bryan menoleh dan melihat ekspresi Miranda yang tidak ramah terhadap Jeff.

Wanita itu langsung menarik lengan Bryan dan memintanya untuk melanjutkan langkahnya dengan cepat. "Ayo cepat!"

"Miranda! Tunggu!" teriak Jeff yang berhasil menyusul Miranda.

Wanita itu malas dan tak menghentikan langkahnya, membuat Bryan kebingungan dan hanya diam serta menurut.

"Miranda!" Jeff menarik lengan Miranda, membuat wanita itu terlepas dari Bryan.

"Apa lagi hah?!" teriak Miranda, kesal.

"Dengarkan aku, kumohon beri aku kesempatan sekali saja untuk memperbaiki semua. Aku tidak sanggup kehilanganmu! Aku ingin kau menikah denganku!"

"Bullshit! Aku tidak mau dengar lagi kata-kata manismu! Semuanya terdengar busuk!" balas Miranda dengan emosi yang terus menanjak.

Jeff berlutut di depan Miranda dengan disaksikan Bryan dan orang-orang sekitarnya. Tapi wanita di hadapannya tak peduli. "Kumohon sayang! Aku sudah memutuskan Jenifer!"

"Hah? Memutuskan?" Miranda tersenyum sinis, nada bicaranya sudah menurun tapi tetap tajam. "Bukankah kau pergi ke apartemennya setelah aku usir?"

Jeff membelalak, sudah dia duga. Jenifer pasti sudah mendatangi Miranda. Di dalam hati kecilnya, Jeff tidak ingin kehilangan Miranda karena hanya dialah yang pantas untuk masa depannya. Jenifer hanya sebagai selingan.

"Sudahlah Jeff! Aku sudah tidak mau lagi melihatmu!" akhir Miranda lalu pergi dari sana.

Bryan yang tertinggal oleh Miranda kebingungan harus bagaimana, apakah membantu Jeff berdiri atau mengikuti Miranda. Yang dia pilih akhirnya menyusul Miranda yang sudah jauh.

Jeff yang ditinggal keduanya meremas rambutnya dengan kasar lalu berdiri dan masuk kembali ke mobilnya.

Dia memacu mobil itu sampai ke apartemen Jenifer.

"Hai sayang! Dari mana saja?" tanya Jenifer dengan nada yang menggoda.

Jeff mencengkram kedua pipi Jenifer dengan satu telapak tangan. Wajahnya tidak ramah sama sekali. "Kau datang menemui Miranda?"

"Jeff.. kenapa kau..."

"Jangan pernah kau mendekati Miranda! Jangan campuri urusanku dengannya!" ancam Jeff.

Mendengar itu Jenifer melawan, dia menghempaskan cengkrama Jeff. "Kenapa hah? Kau masih mencintainya?!"

"Bukan urusanmu!"

"Kalau begitu untuk apa kau datang ke sini?! Jika kau mencintainya lalu bagaimana perasaanmu padaku selama ini?! Apa aku ini hanya ****** di matamu?!" Jenifer mulai berkaca-kaca.

"Jangan pernah masuk ke duniaku bersama Miranda!"

"Aku tidak pernah mengganggunya! Dia saja yang mencari-cari tahu! Sadarlah Jeff, dia sudah tidak mempercayaimu lagi hingga dia memergoki kita!"

Kenyataannya, Jenifer sendirilah yang membongkar perselingkuhannya. Dia mengirim email dengan nama samaran pada Miranda dan mengirimkan beberapa foto mesranya bersama Jeff.

Jeff berbalik membelakangi Jenifer. Dirinya masih kesal. Jenifer kemudian memeluk Jeff dari belakang dan merayunya.

"Sudahlah.. Lupakan Miranda. Aku siap menggantikan posisinya. Bahkan aku sudah menggantikan posisinya jauh sebelum kalian berpisah.." bisik Jenifer sambil memeluk Jeff.

"Huaaaa..." Miranda menangis dengan mulut penuh sandwich.

Bryan menyeka air mata Miranda sambil memakan sandwichnya. "Sudahlah.. Makan dulu baru lanjutkan menangis!"

"Huaaaa.." Miranda menangis lebih keras.

Orang-orang di kedai sandwich dan burger itu menatap heran Miranda. Orang yang jadi pusat perhatian sama sekali tidak terganggu. Malah Bryan yang kalang kabut.

"Sudah! Sudah!" kata Bryan sambil memberikan senyuman pada orang-orang yang menatapnya dengan tatapan tuduhan telah membuat teman wanitanya menangis.

Miranda menghabiskan sandwichnya dan minum cola di hadapannya. Kini dia sudah semakin tenang meski air mata masing mengalir.

"Jadi kalian putus?" tanya Bryan.

Miranda mengangguk, ekspresinya kembali menyedihkan. "Dia selingkuh. Dan ternyata itu sudah setahun mereka berselingkuh. Kenapa aku sangat bodoh tidak menyadari itu sedari dulu??"

"Ya, kamu memang bodoh!" Bryan menatap Miranda tegas.

"Ak... aku..."

"Sekarang kau akan menangisi kebodohanmu itu?"

Miranda menatap kosong.

"Kau harus bangkit! Jeff tidak berhak untuk ditangisi! Kau masih bisa mendapatkan seseorang yang lebih dari Jeff!"

Miranda menyeka air matanya dan berhenti menangis. "Kau benar. Aku harus bangkit dan melupakan Jeff. Dia tidak pantas ku tangisi!"

***

"Ayo cepat! Lari seakan kalian akan diterkam harimau!" teriak Rick pada para atlet yang sedang berlatih di lapangan.

"Rick, sudah berapa lama kau melatihnya? Mereka butuh istirahat!" seru seorang wanita berambut hitam di sampingnya. Wanita itu adalah manajer timnas Rugby Kanada.

"Kita tidak akan memenangkan pertandingan kalau lunak pada mereka Nat," ucap Rick dingin.

Natasha melihat Rick dengan tatapan khawatir. Semenjak dia kembali dari masa berkabung sepeninggal istrinya dia berubah 180 derajat. Dia sudah tidak seramah biasanya. Dan dia lebih terobsesi untuk memenangkan pertandingan dengan melatih para atlet lebih keras.

Para atlet yang tengah berlari di lapangan terlihat begitu kewalahan.

"Rick!" teriak Natasha yang biasa dipanggil Nat.

"Istirahat!" teriak Rick akhirnya lalu pergi dari lapangan.

Seketika para atlet itu berhenti dan ambruk di lapangan. Hari ini adalah hari yang berat bagi mereka. Mendapati pelatihnya berubah menjadi sekeras ini, mereka tak dapat melakukan apapun selain menurut.

Episode 3

Rick berubah menjadi lelaki yang dingin dan kejam pada para atlet yang dia latih. Pelatihan kini semakin keras. Bagi yang tidak mampu dan protes, Rick malah memberikannya surat pengunduran diri menjadi atlet. Tak ada hal lain di pikirannya selain kemenangan.

Hari ini adalah hari pertandingan yang dinanti-nantikan. Semua channel televisi dan media cetak olahraga tengah meliput pertandingan rugby. Tim yang dilatih oleh Rick maju ke perempat final. Semua media menyoroti Rick yang telah mampu membawa timnya menuju final.

Pertandingan selesai. Babak selanjutnya akan dilanjutnya minggu depan. Saat keluar dari stadion, Rick langsung diserbu para wartawan yang ingin mewawancarainya. Miranda salah satunya. Tubuh lincahnya berhasil membuatnya sampai di area paling dekat dengan Rick.

Miranda terpesona dengan karisma yang dibawa Rick. Para wartawan mulai bertanya dan dijawab Rick tanpa basa-basi.

"Setelah istri Anda meninggal, apakah benar Anda memperkeras cara Anda melatih tim?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Miranda yang langsung disetujui oleh wartawan lain yang ingin mendapatkan jawaban.

Tapi berbeda dengan Rick. Dia terdiam dan menatap Miranda tajam, membuat nyali orang yang ditatapnya menciut seketika.

"Istriku tidak ada hubungannya dengan cara saya bekerja," ucapnya tegas kemudian berjalan menuju mobilnya.

Mobil Rubicon hitam itu kini melaju menjauhi kerumunan wartawan. Rick menatap kaca spionnya dan terlihat pantulan Miranda di sana.

"Shit!" umpatnya. "Wartawan menyebalkan!"

Natasha, manajer yang sedari tadi mendampingi Rick menatap Miranda lekat. "Hey kau! Kemari!"

Miranda yang merasa terpanggil menepuk dadanya. "Aku?"

"Ya. Kemarilah!" balas wanita tomboy berambut cepak itu.

Miranda mendekat. Natasha langsung meraih kalung identitas pers yang dipakai Miranda. "Kau dari majalah Rabbit?"

Miranda mulai merasakan ada yang salah dengan ini. Dia tahu Natasha adalah manajer tim sekaligus sahabat Rick. Apakah ini ada hubungannya dengan pertanyaannya barusan?

"I...iya.. Apakah saya berbuat salah?" tanya Miranda.

Nat hanya tersenyum miring lalu pergi dengan mobil sportnya.

Perasaan tidak enak langsung menyelusup ke dalam hati Miranda.

***

Ide brilian ini muncul begitu saja. Nat memacu mobilnya menuju kantor Rabbit Magazines. Sesampainya di sana dia langsung menuju ruangan direkturnya. Dia mengenali direktur itu. Beberapa kali dia telah melakukan kerja sama.

"Halo Mister Laurence!" sapa Nat saat diperbolehkan masuk ke dalam ruangan direktur Rabbit Magazines.

Lelaki bertubuh gempal itu langsung menyambut Nat dengan hangat. "Halo Nat. Sudah lama kita tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?"

"Yah, aku baik."

"Kemarilah, silahkan duduk."

Nat duduk di hadapan Laurance yang hanya terhalang meja kerja.

"Apa yang membawamu kemari?"

"Aku ingin mengkonfirmasi apakah benar di sini ada wartawan yang bernama Miranda Khiel?"

Raut wajah Laurence langsung menegang. "Ya, apa yang dia perbuat? Apakah dia telah mencoreng nama baikmu?"

Nat terkekeh. "No. No. Aku ingin mengajukan kerja sama."

Laurence kembali santai. "Kerja sama apa?"

"Aku ingin perusahaanmu menuliskan sebuah buku biografi. Dan aku ingin Miranda yang menulisnya."

"Hahaha... kau ingin orang-orang mengenalmu?"

"Oh tidak. Aku bukan ingin kau menulis buku tentang diriku. Tapi tentang Rick."

"Rick Foley? Pelatih timnas rugby?"

"Ya. Dia kini sedang berada di puncak karirnya. Aku ingin namanya membekas di masyarakat. Buatkan aku buku biografi tentangnya. Kurasa itu akan membuat perusahaanmu menghasilkan keuntungan yang banyak."

Mata Laurence berbinar mendengar hal itu. "Baiklah aku setuju. Tapi apakah kau sudah sepakat dengan Rick soal ini?"

"Tenang, dia akan kuurus. Dia pasti setuju. Ingat, aku ingin wartawan itu yang menulisnya. Siapa namanya tadi? Mira..Miranda?"

"Ya tentu. Sesuai dengan keinginanmu." Laurence berdiri dan menjabat tangan Nat sebagai tanda deal.

***

"Miranda!" seru Bryan yang muncul dari balik kubikelnya.

Miranda berdiri. "Ada apa?"

"Kau dipanggil Tuan Laurence ke ruangannya," jawab Bryan. "Cepat!"

Suasana hati Miranda mulai tak karuan. Apakah ini gara-gara wawancara tadi siang dengan Rick? Setelah merapikan pakaiannya dia berjalan menuju ruangan atasannya.

Di dalam ruangan, dia langsung disambut wajah serius Laurence yang sedang membaca curiculum vitae milik Miranda.

"Kau dulu pernah menulis buku?" tanya Laurence tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas di tangannya.

"Ya tuan. Tapi itu sudah lama, saat aku masih kuliah."

"Apakah kau tidak kehilangan bakat menulismu?"

"Dengan menjadi jurnalis di sini, aku semakin terampil dalam menulis Tuan."

Laurence tersenyum lalu menyimpan kertas ke atas meja. "Aku ingin kau menulis lagi. "

Mendengar hal itu membuat Miranda kembali bersemangat. "Apa yang harus aku tulis Tuan?"

"Aku ingin kau menulis sebuah biografi."

Mendengar biografi, Miranda semakin bersemangat. Dengan kata lain dia akan menjadi dekat dengan salah satu tokoh penting di negeri ini. "Siapa yang harus kutulis biografinya tuan?"

"Aku ingin kau menulis biografi Rick Foley. Pelatih timnas rugby kita."

Glek!

Pelatih dingin dan pemilik tatapan tajam setajam silet itu? Oh Tuhan! Apakah ini buntut dari pertanyaanku yang menyinggung soal mendiang istrinya?

"Kau masih mendengarku?" tanya Laurance membuyarkan lamunan Miranda.

"Ya. Tentu Tuan. Akan aku lakukan sesuai dengan keinginanmu."

"Aku ingin buku ini rampung selama tiga atau empat bulan. Kau bisa melakukannya?"

Miranda mengernyitkan dahinya. "Yah itu bisa diusahakan, tapi bagaimana dengan pekerjaanku sebagai jurnalis Tuan?"

"Aku bebaskan kau dari tugas itu. Sekarang fokusmu adalah menulis biografi itu. Mengerti?"

Miranda mengangguk. "Baik Tuan."

"Kau boleh pergi."

Miranda keluar dari ruangan direkturnya dengan tatapan hampa. Bryan menatap Miranda dengan tatapan penasarannya. Bryan mengikuti temannya itu sampai di kubikelnya.

"Apa yang terjadi? Kau tidak dipecat kan?" tanya Bryan.

Miranda menggeleng. "Tuan Laurence ingin aku menulis buku."

Bryan mulai ceria. "Baguslah! Bukankah itu impianmu selama ini? Menjadi seorang penulis?"

"Aku disuruh menulis buku biografi."

"It's oke. Anggap itu sebagai permulaan. Lalu, siapa yang akan kau buatkan biografinya?"

"Tuan Laurance memintaku menulis biografi Rick Foley."

"Wah! Kenapa kebetulan sekali? Bukankah beberapa minggu lalu kau menuliskan artikel mengenai dia yang kehilangam cintanya?"

Miranda mengangguk. Bryan tidak memahami perasaannya saat ini. Takut dan tegang ditambah dengan perasaan antusias di saat yang bersamaan. Selama empat bulan ke depan dia akan selalu berada dekat dengan Si Pelatih Kejam itu.

***

"Are you crazy? Apa yang ada di pikiranmu?" teriak Rick pada Nat yang murka setelah Nat membicarakan soal biografi.

"Rick. Tenanglah! Ini bagian dari strategi pemasaran agar lebih banyak perusahaan yang akan menjadi sponsor timnas," jelas Nat berusaha menenangkan Rick.

"Apakah sponsor kita saat ini tidak cukup? Kenapa harus aku yang dikorbankan?" Rick masih tidak menerima.

Nat terkekeh. "Siapa yang mengorbankanmu? Sekarang kau sedang berada di puncak karirmu sebagai pelatih. Kau harus mengukir namamu sebagai bagian dalam sejarah!"

"Aku tidak peduli."

"I'm so sorry Rick. Tapi aku sudah menandatangani kontraknya dengan perusahaan penerbitannya."

"Shit!"

Selalu seperti ini. Pada akhirnya Rick tidak bisa membantah Nat. Meski Nat usianya lebih muda, tapi Nat sudah dia anggap sebagai kerabatnya sendiri.

'Ding Dong'

Bel rumah Rick berbunyi. Nat duduk di sofa sambil menunggu Rick membuka pintu rumahnya. Saat dia membuka pintu, terlihat wanita berambut ikal pirang kecokelatan berdiri di sana. Wajahnya tampak familiar. Hingga akhirnya Rick menyadari bahwa wanita itu adalah wartawan menyebalkan yang menyinggung mendiang istrinya tempo hari.

Rick berpaling menatap Nat dengan wajah malasnya. "Are you kidding me?"

Nat berdiri dan wajahnya sumringah melihat kedatangan Miranda. Dia segera menyambut Miranda.

"Halo. Kau wartawan yang waktu itu?" sapa Nat.

Miranda mengulurkan tangannya. "Ya. Hai. Aku Miranda."

Nat membalas jabatan tangan Miranda. "Natasha. Kau boleh memanggilku Nat. Ini Rick. Kau pasti sudah kenal."

Rick menatap kedua wanita menyebalkan di hadapannya. Lalu dia berjalan dan duduk di sofa tanpa membalas jabatan tangan Miranda.

"Kemarilah." Nat mempersilahkan Miranda duduk di sofa di hadapan Rick.

"Jadi kau yang akan menulis buku biografi Rick?" tanya Nat mengkonfirmasi.

"Ya. Tuan Laurence memintaku begitu. Selama empat bulan ke depan, aku akan mengikuti keseharianmu.. Tuan Rick?" jelas Miranda.

Rick memutar bola matanya pada Nat dan meleparkan isyarat tak terima. Tapi Nat hanya membalasnya dengan senyuman.

"Lakukanlah apapun yang dapat membantumu untuk menulis biografi itu. Bila perlu kau boleh tinggal di sini. Kamar tamu di sebelah sana kosong. Bukankah itu akan membantumu untuk menuliskan kebiasaan Rick sewaktu malam?" ucap Nat tanpa kendali.

"Jika itu boleh akan mempermudah pekerjaanku," kata Miranda sambil memandang Rick meminta persetujuan.

Nat dan Miranda menatap Rick. Lagi-lagi Rick tidak dapat membantah.

"Lakukanlah apa yang kau inginkan. Tapi ingat aturannya. Jangan pernah berisik di rumah ini. Aku tidak suka. Jangan berkomunikasi denganku jika tidak ada hal yang tidak perlu," jelas Rick seolah tengah mendirikan benteng tinggi diantara keduanya.

Baiklah. Aku setuju! Untuk apa berinteraksi dengan lelaki tua dingin seperti dia?

"Setuju." Miranda mengangguk.

♤♤♤

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!