NovelToon NovelToon

Cinta Tuan Arogan

Aku Muak!

"Plaaaaakkkkkkkkk"

Tamparan itu terdengar lantang sekali ditelingaku. Aku menyaksikan satu adegan yang hampir setiap hari terjadi dirumahku. Ya, itu Papa dan Mamaku yang bertengkar.

Aku mengepalkan tanganku erat dan emosiku memuncak sampai ke ubun-ubun. Aku pun mendekati sepasang suami-istri itu, dan dengan bringas aku melakukan baku hantam terhadap pria yang umurnya setengah abad itu.

Tanpa rasa empati, aku terus melakukan pukulan itu. Sampai lelaki tua itu mengerang kesakitan.

"Sudaaaah! Hentikan Andre!" teriak Mama histeris, sembari menarik tanganku. Pasalnya ini kali pertama aku melayangkan pukulan kepada lelaki tua bangka itu.

"Arggghhhhh" Teriakku histeris.

Aku pun beranjak dari tempat itu ke kamarku. Aku menangis, tak terbayang olehku bertemu keadaan ini setiap hari.

Aku benci, Aku muak, Aku frustasi. Ku kepalkan tanganku erat. Aku beranjak dan mengambil satu foto keluarga yang terpajang di dinding.

"Prankkkkkkkkk" suara serpihan kaca itu terdengar nyaring ditelingaku. Aku memungut satu serpihan kaca, dan mulai menggunakan serpihan kaca itu untuk menyayat pergelangan tanganku.

Aku melakukan perlahan sampai tetesan cairan merah kental itu mulai berjatuhan ke lantai.

"Ahhhhhhh," Aku meringis kesakitan.

Pandanganku mulai kabur, aku melihat sekelilingku menggelap. Aku pun mulai tak berdaya dan tak sadarkan diri.

****

"Andre ... Jangan tinggalkan Mama nak,"

Sayup-sayup aku mendengar suara itu dengan diiringi isak tangis. Aku tidak tahu entah dimana aku berada saat ini. Dengan keadaan mata yang masih tertutup dan tak berdaya.

"Bagaimana dengan keadaan Anak saya Dokter," ucap Mamaku lirih.

"Keadaannya mulai membaik Ibu, untung saja kalian tidak terlambat membawa pasien kemari. Kalau tidak mungkin kalian tidak akan melihatnya lagi." ucap Dokter itu serius.

Perlahan-lahan Aku mulai mengerjap-erjapkan mataku. Jari tanganku mulai bergerak perlahan. Aku melihat sekelingku dengan pandangan yang sedikit kabur. Pasalnya darah yang keluar membuatku pingsan dan lemas.

"A- ndre ... Kamu sudah sadar nak? Apa kau ingin sesuatu?" Tanya Mama seraya mendekati ranjangku.

"Kenapa Aku masih hidup?" desisku lirih.

"Sayang ... Kau jangan berkata seperti itu?" sahut Mamaku sambil menangis.

"Untuk apa Aku hidup, jika hanya menyaksikan kalian selalu bertengkar, Pernahkah kalian menghargai perasaanku? Pernahkah kalian mengerti yang Aku mau! Teriakku histeris.

"Maafkan Mama dan Papamu nak," jawab Mamaku sembari memelukku erat.

Aku tau Mama adalah orang yang paling terluka dengan keadaan ini. Setiap hari dengan keadaan seperti itu Dia pun pasti terluka dan hatinya sakit.

Melihat Mama yang menangis memelukku, hatiku pedih. Aku semakin membenci si tua bangka itu. Aku mengepalkan tanganku.

"Jangan tinggalkan Mama nak, kamu harapan dan harta berharga Mama satu-satunya," bisik Mama ditelingaku.

Nada suaranya yang bergetar, dan manik matanya yang teduh membuatku kembali kuat.

"Kamu istirahat ya sayang," kata Mama sembari menidurkanku di ranjang pasien.

***

Setelah beberapa hari dirawat membuatku jenuh. Kamipun pulang ke rumah. Ya, kami dijemput si tua bangka itu. Membuatku muak jika terus melihatnya.

"Pelan-pelan sayang," kata Mama seraya memegang tanganku yang hendak turun dari mobil.

"Apakah kau masih ingin duduk di sofa atau langsung ke kamarmu nak?" Tanya Mama.

"Langsung ke kamar saja," Sahutku.

Aku duduk ditepi ranjangku dan memandang ke arah jendela. Aku merenungi nasib menjadi anak tunggal yang diperhadapkan dengan situasi keluarga yang rumit.

Aku memijit kepalaku perlahan sembari menghembuskan nafas kasar. Jika bukan karena Mama mungkin aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini lagi.

Selama ini aku sibuk dengan duniaku sendiri, aku melancong kesana-kemari, untuk menghilangkan kejenuhan bersama teman-temanku. Dengan jabatan yang dimiliki Papa banyak yang menjadi temanku. Ada beberapa diantaranya yang tulus ada juga yang tidak.

Aku tidak memerdulikan hal tersebut. Namun aku bersyukur ada beberapa jua temanku dari zaman sekolah dulu yang menerima dan mengerti keadaanku. Mereka sudah kuanggap saudara sendiri.

Setiap hari jika kami bertemu hanya menghabiskan waktu di diskotik langganan kami. Dengan adanya perempuan-perempuan yang seksi membuatku sedikit terhibur. Bahkan aku sering menyewa mereka untuk tidur dan bermandi keringat untuk menghabiskan malam yang panjang.

***

"Tok ... tok ... tok"

"Sayang ... Teman kamu datang, bolehkah mereka masuk?" suara Mama membuyarkan lamunanku.

"Iya Ma, suruh mereka masuk." sahutku datar.

"Heiii broo, kenape lu?" tanya Sean sembari memelukku.

"Seperti yang lu lihat" jawabku datar.

"Cemen banget lu bro," timpal Marco seraya menyeringai.

"Kalian datang ke sini hanya untuk mengejek gue?" protesku kesal.

"Hahahhahhahhahaaha," mereka terkekeh serentak.

"Puas lu berdua," Aku mendengus kesal.

"Ya gak lah bro, kamu mesti kuat. Bermain diatas ranjang saja lu kuat, masa ini doang lu nyerah," celetuk Sean sembari tertawa.

"Brengsek lu," balasku seraya melempar bantal ke arah Sean.

Kami pun bercengkrama bersama. Sean dan Marco adalah sahabat yang kuanggap saudara sendiri. Mereka tulus menerima dan bersahabat denganku bukan karena harta dan tahta yang dimiliki keluargaku.

Sean memiliki keluarga yang sederhana, dia juga menjadi tulang punggung dikeluarganya. Semenjak Papanya mengalami kebangkrutan keluarga mereka hidup pas-pasan. Sejak kejadian yang menimpa keluarga Sean, Papanya terkena penyakit stroke.

Berbeda dengan Marco, ia memiliki keluarga yang bisa terbilang kaya. Hanya saja Marco malas dalam bekerja dan sering berleha-leha. Dan ia juga bekerja di Perusahaan Papanya. Sedangkan Sean bekerja di Perusahaan keluargaku.

Tak terasa malam pun tiba, kami pun beranjak ke ruang makan.

"Kalian mau ke mana?" tanya Mama memasuki kamarku.

"Mau makan malam Tante, sudah seharian kami berkomat-kamit di kamar ini," canda Sean menjawab pertanyaan Mama, yang dibalas tawa oleh Mama.

"Ya sudah kalian di sini saja, biar Tante ambilin makan malamnya. Andre juga belum pulih betul jika harus keluar kamar," kata Mama serius.

" Tenang saja Tante, anak Tante ini mah kuat. Bisa diandalkan," timpal Marco seraya menepuk bahuku.

Sean terkekeh mendengar perkataan Marco. Ia tahu bahwa Marco mengatakan kuat untuk hal-hal yang sudah biasa kami lakukan.

"Buseeetttt lu ...." Gerutuku pada Marco.

"Hahahahahahhahaha," tawa Sean dan Marco puas.

***

Selesai Makan malam di kamarku, kami pun mengambil kegiatan masing-masing. Aku mulai berbaring diranjangku. Marco bermain dengan gawainya sambil tersenyum-senyum sendiri. Entah apa yang membuatnya tersenyum tak jelas. Sedangkan Sean menonton televisi sambil berbaring.

"Ehhh bro ... lihat deh cewek ini cantik banget," kata Marco seraya mendekatiku.

"Permainannya juga bagus," imbuhnya lagi kembali mendekat.

Marco menunjukkan satu video digawainya padaku, dan membuatku jengkel. Pasalnya video itu video adegan 21+.

"Brengsek lu Marco," kataku ketus.

"Lah lu mah lagi sakit aja gak semangat, biasanya otak lu paling encer kalau beginian," timpal Marco terkekeh.

"Kalian lihat apa sih?" tanya Sean penasaran sembari berjalan ke ranjangku.

"Waowwww amazing," sahut Sean melihat adegan 21+ itu.

"Hahhahaahhahaahaha," timpal Marco terkekeh.

"Buset lu berdua, sana lu! jangan di ranjang gue," kataku seraya mendengus kesal.

Aku mulai berbaring kembali, dan mulai memainkan gawaiku. Aku membuka aku media sosial dan WhatsAppku. Ada banyak komen dan pesan tertera di setiap akun itu.

Aku pun mulai men cek setiap pesan dan komen itu satu-persatu. Ya tiga hari yang lalu aku memosting fotoku diakun media sosial itu. Dengan genre-genre ala pantai, membuat fotoku semakin maksimal.

Sudah bosan dengan gawai, aku mengalihkan pandanganku pada Marco dan Sean yang masih melihat video itu.

"Hikmat banget lu berdua," ejekku menyeringai.

"Diam lu, gak usah bising," sahut Sean yang masih memantapkan pandangannya ke gawai itu.

"Gitu amat nyahutin gue, lu ngapain sih nonton begituan saat keadaan gue gini," ucapku kesal.

"Ya kalau lu mau, tinggal nonton aja di hape lu," ledek Marco.

"Mana bisa, dia kan lagi sakit, gak ada rasa dia," timpal Sean tertawa.

"Teman sakit bukannya dikasih semangat, malah dijadikan korban bully terus sama lu berdua," imbuhku lagi.

"Lu sakit karena kecerobohan lu. Coba lu kenapa-kenapa, apa lu tega melihat Mama lu nangisin mayat lu," ucap Sean serius sembari memidahkan pandangannya padaku.

"Lu gak usah sampe ngelakuin hal-hal beginianlah, lihat nyokap lu. Nyokap lu aja bertahan karena lu. Masa iya lu gak bisa bertahan demi nyokap." sahut Marco.

Aku merenungi kata-kata Sean dan Marco. Apa yang mereka katakan benar. Aku harus bangkit, tidak boleh melakukan hal konyol ini lagi hanya gara-gara si tua bangka itu.

Keadaan sudah seperti ini pun si tua bangka itu enggan menyapaku. Hanya sekedar basa-basi pun tidak. Tak terasa cairan bening pun mendarat di pipiku. Aku menyeka airmata itu. Aku muak!

"Tenang bro, kita akan selalu ada buat lu. Kita saudara bro, apa yang lu rasain kita juga rasa. Kita harus kuat bersama, bangkit bersama. Tertawa bareng, nangis bareng pokoknya kita padamu lah," ucap Sean menghiburku.

"Makasih bro," ucapku sembari menampilkan senyum terbaik untuk sahabatku.

Apa yang dikatakan Sean benar, mereka selalu ada buatku. Apapun yang kualami aku tak luput dari pantauan mereka. Aku bangga bisa mengenal mereka. Mereka tahu sisi luar dan dalamku. Mereka tak pernah menjadikanku alat untuk mereka.

Begitupun Aku, jika mereka membutuhkanku, baik secara materi maupun secara pikiran dan tenaga, aku tak pernah mengelak selagi aku mampu.

Menjadi Anak tunggal membuatku kesepian, ditambah lagi dengan keadaan keluargaku yang membuat aku muak. Si tua bangka itu dari dulu tak pernah berubah. Pulang dalam keadaan mabuk dan seenaknya ringan tangan terhadap Mama.

Melihat perlakuannya pada Mama, membuatku semakin menaruh dendam padanya. Pernah satu kali Papa dan Mama bertengkar sampai Papa ingin memutuskan bercerai. Namun Mama, membujuk Papa agar tak ada perceraian diantara mereka. Aku mendengar alasan Mama, itu semua supaya Aku tetap memiliki keluarga yang utuh. Pernyataan Mama kala itu, membuatku menangis dan frustasi.

Wanita yang melahirkanku rela disakiti oleh si tua bangka itu, supaya aku tak menjadi korban perceraian. Pengorbanannya begitu luar biasa. Setiap hari menahan hinaan dan cercaan dari si tua bangka itu.

Flash back on.

Siang itu aku pulang dari kampus. Saat aku melewati kamar Mama, tak sengaja indera pendengaranku mendengar suara tangisan pilu. Ternyata ada pertengkaran di dalam sana. Aku terus menguping pertengkaran mereka.

"Aku sudah muak bertahan denganmu!" kata si tua bangka itu.

"Pah ... Mama mohon jangan katakan itu lagi, itu tak baik pah," sahut Mama sesenggukan.

"Aku sudah bilang dari dulu, aku terpaksa menerima perjodohan ini, hanya karena orangtuamu mampu menyelamatkan Perusahaan keluargaku! katanya lagi dengan suara keras.

"Pokoknya Mama gak mau berpisah apa pun keadannya," kata Mama dengan isak tangis yang pilu.

"Mama tahu sampai saat ini Papa masih menjalin hubungan gelap dengan kekasih Papa dulu. Biar saja aku yang menanggung semua ini asal jangan anak kita yang menjadi korban semua ini Pah," ucap Mama terisak.

"Andre sudah dewasa suatu saat dia akan mengerti dengan jalan kehidupan keluarganya!" hardik Papa.

"Gak Pah, kita gak boleh egois. Sakit Pah tanpa keluarga yang utuh. Apa Papa mau Andre melewati hidupnya dengan benci dan trauma karena kita! Apa pernah Papa berpikir bagaimana perasaannya jika kita bercerai, bagaimana dia bergaul bersama temannya. Bagaimana keadannya, pernah gak pah! Teriak Mama lantang.

" Ingat Pah, Aku bertahan buat kehidupan Andre!" bentak Mama sembari menunjuk ke arah Papa.

Aku tertegun mendengar pengakuan Mama yang memilih bertahan karena aku. Aku melangkah ke kamarku dengan keadaan frustasi. Dikamar aku menangis seraya mengepalkan tanganku dan meninju dinding kamar.

"Aaaaaaarggghhh."

Aku berteriak histeris sambil menjambak rambutku sendiri. Aku muak!

Flashback off.

"Udah ahh, waktunya tidur. Udah ngantuk gue," ucap sean membuyarkan lamunanku.

"Lu mah, kayak anak gadis yamg dipingit aja tidurnya cepet," sahut Marco.

"Terserah lu, gue ngantuk. Lu mah enak Perusahaan punya bokap lu. Kerja gak kerja santai aja. Gaji tetap jalan. Nah gue, mesti kerja biar ada duit." kata Sean serius.

"Yahhhh ... Ceramah lu," timpal Marco.

"Iya sengaja, biar otak lu mikir. Hidup itu keras bro," sahut Sean tak kalah mantap.

Aku hanya melihat perdebatan mereka sambil terkekeh geli. Meski yang dikatakan Sean benar Adanya.

Situa bangka berulah

Setelah beberapa hari terkurung dirumah, membuatku bosan luar biasa. Aku pun mulai pulih perlahan, meski aku merasa agak sempoyongan saat berdiri lama.

Aku mulai sibuk membuka setiap akun di gawaiku, berharap jenuh ini hilang. Namun tetap saja, bukan seperti ini yang kuinginkan berada dirumah terus menerus.

"Huffffttttt ... Aku bosan," gumamku pelan.

Aku mendengar suara ketukan pintu dari luar. Aku pun beranjak dari ranjangku dan membuka kenop pintu.

"Sayang, Mama mau keluar sebentar. Jika kau butuh sesuatu kau bisa memanggil bibi dibawah untuk mengantar ke kamarmu." ucap Mama yang masih berdiri di depan pintu tanpa masuk terlebih dahulu.

"Mamaku sayang, Aku udah sehat Ma. Jadi jika aku butuh sesuatu aku bisa mengambilnya dibawah, Mama tenang saja dan jangan khawatir, aku tak akan bunuh diri lagi." imbuhku lagi seraya mengedipkan mataku pada Mama.

"Hussstt ... Kamu jangan ngomong begituan," sahut Mama sembari menepuk lenganku.

"Auwwwwww," Rengekku pada Mama.

"Aduh sayang, masih sakit ya. Maafkan Mama," tanya Mama sembari memegang bekas luka ditanganku.

"Heheehehehehe ... Gak Ma, Andre cuma bercanda doang," Balasku pada Mama sambil terkekeh.

"Kamu ini, bikin Mama takut aja. Ya udah Mama pergi dulu."

Aku suka menggoda Mama yang masih tetap cantik, meski umurnya sudah hampir setengah abad. Dia akan tertawa ataupun tersenyum indah jika aku menggodanya. Itulah yang ingin kulihat setiap hari, bukan ratapan tangis dari mata teduhnya.

Bukan seperti si tua bangka itu, bisanya hanya menyakiti terus menerus. Berulah terus menerus tanpa ada jeda sedikitpun.

Sampai saat ini aku masih menaruh dendam padanya. Kalau dihadapan Mama aku tak bisa berkutik sedikitpun. Meski Papa begitu jahat dan kejam terhadap Mama, wanita yang berumur hampir setengah abad itu, tak pernah mengajarkan kebencian padaku atas tingkah Papa.

Wanita keibuan itu akan selalu berkata, "Dia Papa kamu nak, hargai Papamu." Itu selalu terngiang ditelingaku. Sungguh beruntung si tua bangka itu mendapatkan wanita baik dan penyabar seperti Mama.

Jenuh dengan berdiam diri di kamar, aku memutuskan untuk menghirup udara segar disekitar taman belakang.

"Den perlu bibi bantu, atau mau makan sesuatu den?"

"Gak bi, Aku hanya ingin mencari udara segar ditaman belakang," sahutku seraya tersenyum indah kepada wanita tangguh yang ada dihadapanku.

Aku mulai meregangkan tanganku dan mulai melakukan pemanasan kecil untuk tubuhku. Bagaimana tidak selama berapa hari ini aku merasakan otot-ototku mulai lemah. Yang biasanya aktif berolahraga, tiba-tiba tanpa aktivitas sedikit membuat badanku mulai kaku.

"Drrtt drrrrttt drttttt" Getaran dari gawaiku menghentikan aktivitasku.

"Ya, Se ada apa?"

Baiklah akan aku usahakan," ucapku membalas obrolan dari seberang sana.

Sean mengajakku ke diskotik langganan kami untuk menghilangkan kejenuhan. Meski dalam keadan baru pulih aku tetap semangat dengan ajakan Sean.

***

Malam itu aku bergegas menuju diskotik langgananku. Tak lupa aku pamit dengan Mama, agar ia tak mengkhawatirkan anak semata wayangnya ini. Dengan bermodalkan senyum yang terbit dari bibirnya membuatku lega meninggalkannya tanpa si tua bangka itu.

Aku mengedarkan pandanganku di beberapa tempat setelah sampai di diskotik itu. Akhirnya aku melihat Sean dan Marco sedang berbincang. Aku berjalan menghampiri mereka.

"Woooyyy bahas apaan," ucapku seraya menepuk bahu Marco.

"Ehhh ... Baru nyampe Bos," sahutnya.

"Sorry telat, jalanan macet."

Kami pun memutuskan untuk masuk ruangan VIP diskotik.

Di ruangan itu aku merasakan kebebasan, aku merasa hidup. Menghabiskan malam hanya dengan menghambur-hamburkan uang untuk membeli minuman berkelas yang membuatku mabuk dan menyewa gadis-gadis untuk membuang jenuh.

"Sayang kita ke hotel yuk, aku lagi pengen nih. Udah lama banget," rayu seorang wanita padaku dengan gaya sensualnya.

Sean dan Marco tertawa geli melihat wanita perayu itu.

"Udah gas aja bro, kan dah lama juga lu puasa," timpal Sean.

"Lagi gak mood gue," sahutku ketus.

"Yaahhhhhhh," balas mereka serempak.

Jam sudah menunjukkan jam 03:00 dini hari. Kami pun bergerak untuk pulang. Dengan keadaan yang setengah sadar kami pun berjalan sempoyongan menuju parkiran.

Sesampainya di parkiran aku menatap jauh ke seseorang sepertinya tidak asing bagiku, sedang berjalan ke dalam diskotik merangkul wanita seksi.

Dengan langkai yang sempoyongan aku mendekat ke arah si tua bangka itu.

"Lu kemana hah," ujar Sean dengan setengah sadar.

Tanpa menjawab, Aku terus menguntit sepasang manusia laknat itu ke dalam diskotik.

Dengan santainya sepasang manusia itu bercengkrama layaknya sejoli yang di mabuk asmara. Aku memperhatikan gerak-gerik mereka dari meja yang lain.

Emosi ku kian memuncak, dengan langkah sempoyongan dan pandangan yang kabur aku menghampiri mereka.

"Prankkkkkkkk," Suara botol kosong yang ku jatuhkan dari meja mereka.

Sontak si tua bangka itu terkejut dan terdiam melihatku. Tanpa rasa bersalah dia semakin mengeratkan wanita itu ke dalam pelukannya, seperti ingin melindungi wanita laknat itu.

Dengan bringas aku melayangkan pukulan ke wajah si tua bangka itu. Tanpa basa-basi aku terus menghantamnya tanpa ampun. Dia meringis kesakitan, aku melihat darah segar keluar dari ujung bibirnya.

"Ahhhhhhhhhh," si tua bangka meringis kesakitan.

Aku menarik tangannya agar ia berdiri. seketika ia berdiri, aku kembali melayangkan pukulan itu tanpa jeda.

"Tolong!" si wanita laknat itu mengeluarkan suaranya untuk mencari pertolongan.

Tanpa rasa empati, aku menarik rambut wanita itu, dan menamparnya. ini kalinya aku bermain kasar terhadap wanita. meski aku sering bergonta-ganti pasangan di ranjang tapi aku tak pernah melakukan hal kasar kepada mereka.

"Plaaaaaakkkkkk," tamparan mendarat di pipinya.

"Auhhhhhhhhh," dia meringis.

Penghuni di dalam diskotik itu tak ada yang berani mendekatiku untuk melerai perkelahian itu, pasalnya mereka sangat mengenalku jika aku sudah mengamuk.

"Ingat wanita jalang, kau ingatlah wajahku! jika kau ingin selamat, jauhi si tua bangka ini!" teriakku dengan lantang sembari menunjuk si tua bangka itu yang sedang terduduk menahan sakit.

"Ternyata kelakuanmu lebih dari Hewan! Kau tak memiliki perasaan! Teganya kau melakukan ini pada Mamaku! ucapku menggeram seraya menendang si tua bangka.

Dia pun jatuh tergeletak di lantai diskotik itu. Pukulan bringasku membuatnya pingsan di tempat. ini kali kedua aku memukulnya tanpa empati. Melihat kelakuannya emosiku tak tertahan.

Jika kejadian ini di rumah aku mungkin tak sanggup melakukannya karena Mama. Wanita yang memiliki mata teduh itu tak mengizinkan aku menyentuh si tua bangka ini.

Aku pun puas dengan aksiku. Aku tak perduli apakah dia masih hidup atau tidak. aku melihat wanita itu menangisi si tua bangka. Aku Menyeringai kemudian berlalu Dari tempat itu menuju parkiran.

Aku tak menyadari entah di mana Sean dan Marco saat aku memasuki diskotik. Sesampainya di parkiran mobilku. Aku melihat Sean dan Marco terkapar di samping mobilku.

Meski dengan keadaan setengah sadar tapi aku masih sanggup membopong temanku masuk ke mobil.

Mobil yang ku kendarai membelah jalan raya yang sepi, pasalnya jam dini hari membuat manusia tak lagi beraktivitas. Dengan kecepatan sedang mobilku terus melaju.

Di pinggir jalan dekat halte, aku selalu memperhatikan seorang gadis menunggu disana. entah siapa yang ditunggu oleh gadis itu aku tak mengerti. Selama menggunakan jalan ini bila jam dini hari pandanganku tak luput dari seorang gadis yang duduk di halte itu.

Memang halte itu sering di gunakan wanita panggilan untuk mencari lelaki hidung belang. Tapi entah kenapa setiap aku melewati jalan ini gadis itu tak pernah beranjak dari sana.

pertemuan pertama

Pagi itu aku terbangun karena mendengar suara keributan di bawah. aku menutup telingaku dengan bantal. Namun suara itu makin terdengar jelas.

Dengan langkah pendek aku membuka kenop pintu, dan melihat dari tingkat atas si tua bangka itu meneriaki Mama.

"Heiiii ...!" teriakku menggema di seluruh ruangan itu.

Kedua Orang tuaku menoleh ke arah sumber suaraku. Aku pun menghampiri mereka. Aku melihat wajah lebam si tua bangka itu membiru. Mungkin ia ingin menuntut perbuatanku kepada Mama. Dia tahu Mama pasti akan membelanya dan aku akan menurut.

"Andre! apa yang kau lakukan terhadap Papamu, hah!"

"Apa Mama mengajarimu untuk selalu melakukan kekerasan? Mama kecewa sama kamu Ndre!" kata Mama marah sambil berlalu ke kamarnya.

Aku memandang si tua bangka itu dengan tatapan tak suka, dia mengatakan apa sehingga Mama percaya saja omongannya.

"Ingat tua bangka! Hari ini dan di rumah ini kau menang, tapi tidak untuk di luar!" ucapku menantang dengan wajah dan senyum menyeringai sembari berjalan ke kamarku.

Aku melihat si tua bangka itu mulai ketakutan. Aku semakin tersenyum puas melihat wajahnya yang kelabakan.

Pagi ini aku bersiap menuju kantorku. Tak lupa aku mampir ke kamar Mama, niat hati ingin membujuknya.

Aku mengetuk pintu dan Mama membuka pintu dan menyambutku dengan wajah teduhnya.

"Ma ... Aku tak akan mengizinkan si tua bangka itu menyakitimu. Maaf, aku tak bisa meredam emosiku dan melukai suamimu yang tercinta itu," godaku dengan senyuman yang lebar sambil memperhatikan Mama.

Tidak ada reaksi dan jawaban dari Mama, aku pun mulai berlutut dekat ranjangnya sembari memegang tangannya, aku menatapnya dengan tersenyum.

"Ma .... percayalah, aku melakukannya untuk Mama," ucapku serius.

Mama memegang kedua pipiku sambil menangis, kemudian memelukku erat dan menumpahkan sesak di hatinya di pundakku tanpa berkata-kata.

Aku menenangkan Mama dengan usapan lembut. Isakannya membuat hatiku pedih. Ku usap cairang bening yang memenuhi pipinya.

"Sudah Ma, jangan menangis lagi, Anakmu ini nanti terlambat ke kantor," gombalku pada wanita yang memiliki hati selembut kapas itu.

***

Mobiku melaju dengan kecepatan sedang memebelah jalan raya yang macet sana sini. seperti biasa saat melewati halte, aku selalu memperhatikan gadis yang ku lihat tempo hari. Namun tak jua kudapati gadis itu disana.

Tak ingin berpikir terlalu jauh tentang gadis itu, aku pun menaikkan kecepatan laju kendaraanku. sambil mendengar musik yang nge trend saat ini.

***

Aku pun tiba di Kantor dengan sambutan yang hangat dari bawahanku. Aku berjalan melewati meja karyawan menuju ruanganku.

"Selamat Pagi, Pak Andre." ucap Sean menyambutku.

"Selamat Pagi Sean, bagaimana tidurmu semalam? apakah nyeyak?" tanyaku tersenyum simpul.

"hehehehehe, sangat nyenyak Pak." jawabnya sembari terkekeh.

Sibuk dengan aktivitas kantor, membuatku lupa waktu. Begitu jua dengan Sean yang menjabat sebagai sekretaris pribadiku. meski berteman Aku dan Sean tak pernah mencampuri urusan pribadi dengan pekerjaan.

"Waktunya makan siang Pak," ucap Sean mengingatkan.

"Baiklah," sahutku seraya merapikan file-file yang ada di hadapanku.

"Kita makan di mana bro?" tanya Sean.

"Kafe depan Kantor aja Se," imbuhku seraya menatapnya.

Sean menelepon Marco untuk makan siang bersama. Kami bertiga tiba di kafe dan mulai memesan makanan. sambil bercengkrama aku, Sean dan Marco mulai menikmati makan siang.

***

Sore itu Aku dan Sean pulang dari kantor kami berdua berkunjung ke salah satu kafe di pertengahan jalan ke kantor dan ke rumah. sekedar untuk memesan kopi kesukaanku dan menghilangkan penat seharian bekerja.

"Se adakah rencana malam ini?"

"Ya seperti biasalah kita ke diskotik," sahut Sean sambil menyeruput minuman di tangannya.

Aku dan Sean larut dalam suasana sore itu, setelah menikmati secangkir kopi Aku dan Sean beranjak dari kafe itu.

***

Malam itu Aku, Marco dan Sean berkumpul kembali ke markas kami, diskotik bintang lima ini sudah kami anggap sebagai Markas peraduan untuk kami bertiga. di sinilah kami melepaskan semua segala kegundahan dan kesenangan kami.

"Tapi malam ini sepertinya butuh teman tidur," ucapku sembari menuang minuman ke gelasku.

"Udah mulai aja lu," timpal Marco.

"Ya dia mana bisa tahan dengan beginian," imbuh Sean sambil meneguk minumannya.

"Apa kalian tak mau bersenang-senang malam ini?" sahutku serius sambil menatap mereka.

"Aku tak menolak," jawab Marco antosias.

"Aku gak ikutan ya," protes Sean.

"Gue mau langsung pulang aja, kalian berdua anterin gue dulu, baru ke hotel." pinta Sean.

"Okey Bro." jawab Marco membalas pinta Sean.

***

Kami bertiga beranjak dari Markas bintang lima menuju kediaman Sean. Dengan kecepatan sedang aku melajukan kendaraanku membelah jalan raya. Sesampainya dekat persimpangan halte, aku melihat seorang gadis melambai-lambaikan tangannya. Ya gadis tempo hari yang kulihat.

"Ciiiiittttttt" Aku menghentikan mobil di depan gadis itu,"

Jantungku berdegup kencang saat aku langsung menatapnya dari dekat. kulit putih, bulu mata yang lentik dan mata yang teduh bersinar bak cahaya. Aku termangu melihat gadis ini dengan kecantikan yang luar biasa.

"Apa boleh aku menumpang ke mobil kalian Tuan," katanya dengan suara yang lembut.

"Oh ... silakan Nona," sahut Sean yang duduk di sampingku. sedangkan aku masih terus terpana dengan kecantikan gadis ini.

"Woooyyyyy" seru Marco sembari menepuk bahuku.

Bentakan Marco menyadarkanku. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenal gadis ini. Aku meyuruh Sean duduk di belakan bersama Marco. Sedangkan Gadis cantik itu duduk di sebelahku.

"Kau mau kemana larut malam begini?" tanyaku dengan suara Lembut.

"Aku mau ke persimpangan yang ada di depan sana," sahutnya seraya menunjuk ke arah depan.

Tanpa basa-basi aku pun langsung menawarkan pada Gadis itu untuk menemaniku malam ini. benar saja gadis lugu dan polos itu tak menolak sama sekali.

Aku heran dengan gadis ini. Jika dia gadis panggilan kenapa dari berbicara dan style fashionnya tak menunjukkan bahwa dia gadis malam. Aku semakin penasaran dibuatnya. Bahkan untuk berbicara saja gadis itu berbicara seadanya saja tak ada gombalan ataupun rayuan yang terucap dari mulutnya yang merah.

Di sepanjang jalan sesekali aku menatap wajah gadis itu. entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Mata indahnya menatap lurus ke jalan tapi aku melihat ada segurat kesedihan dibalik manik mata indah itu. Ingin sekali bertanya namun aku enggan.

"Kita akan mengantarkan Sean ke rumahnya dulu," ucapku sembari memandang gadis itu.

Gadis itu hanya membalas dengan anggukan dan senyumannya yang indah, membuatku semakin penasaran.

"Lu gimana Marco," tanyaku pada Marco sembari menatap dari kaca.

"Hmmmm ... Aku menginap di rumah Sean saja," jawabnya Singkat.

Akhirnya kami sampai di kediaman Sean. Sean dan Marco turun dari Mobil. Marco mengetuk pintu mobilku. aku pun membuka kaca, kemudian Marco berbisik di telingaku.

"Sepertinya kau telah terpesona pada Gadis itu? Sikat abis bro barang antik," bisiknya.

"udah-udah sana masuk deh kalian berdua," aku menyanggah ucapan Marco.

Mereka berdua tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat ku yang menyanggah obrolan. Aku memutar balik mobilku. Jujur saja aku tak tega membawa gadis polos ini ke hotel, akhirnya aku memutuskan membawa gadis cantik ini ke pantai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!