NovelToon NovelToon

Menguji Takdir Pernikahan

Prolog

Namaku, Armala Anggun. Seorang putri dari seorang ayah bernama Hadinoto dan Ibu bernama Meutia. Orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Mala. Umurku baru 19 tahun dan baru saja lulus SMA. Dan sekarang aku sedang menempuh studi strata 1 di sebuah universitas negeri di kota yogyakarta.

Aku lahir di aceh, dan dibesarkan disana. Ayahku yang asli jawa, tepatnya madiun menikah dengan ibuku yang berdarah aceh. Ayah merupakan seorang kepala sekolah di sebuah SMA negeri di aceh. Sedangkan ibuku, hanya ibu rumah tangga biasa.

Kuberitahu, walaupun aku masih berumur 19 tahun, tapi aku sudah menyandang status sebagai seorang istri.

Kok bisa?

Ya, ayah telah menikahkanku dengan seorang pria yang entah siapa namanya, dimana tinggalnya, bagaimana rupanya, aku tidak tau semua itu. Karna aku tidak menghadiri pernikahanku sendiri.

Saat itu, aku sedang sibuk menyiapkan ujian masuk di universitas. Saat ayah memberitahuku tentang pernikahan itu, tentu saja aku menolaknya dengan tegas.

menikah masih jauh dari rencanaku. Aku ingin melanjutkan studiku. Aku ingin sekali menjadi seorang dokter. Lagipula mana mungkin aku menikah diusia ini.

Ayah tetap memaksaku dengan alasan-alasan yang sulit kumengerti.

"gak ada kata lain.! Kamu harus menikah. Titik.!" begitu kata ayah.

Aku tau, saat ayah bilang begitu, aku sudah tidak punya pilihan lain. Bahkan beribu alasan dan rayuanpun sudah tidak bisa mengubah keputusan ayah.

Ayah bilang, ijab kabul tidak perlu kehadiranku karna aku sedang melaksanakan ujian masuk. Kata ayah tidak apa-apa. Lagipula jarak Jogja- Aceh lumayan jauh. Kalau aku pulang, aku harus merelakan ujianku, dan aku tidak mau itu terjadi. Jadi kata Ayah Aku hanya perlu fokus kepada ujianku. Dan ayah akan mengurus pernikahanku.

Alasan studiku, juga umurku, tidak menyurutkan niat ayah untuk menikahkanku dengan pria itu. Aku mencoba membujuk ibu, tapi ibu juga tidak bisa menjanjikan apa-apa.

Aku menyerah. Aku mengalah.

Kata orang, tidak ada orang tua yang menang melawan anak. Tapi tidak bagiku. Aku, tidak ingin menang melawan kedua orang tuaku. Biar bagaimanapun, seorang anak tidak mungkin menang melawan kehendak orang tuanya.

Aku bisa saja sedikit mengancam Ayah. Kabur misalnya, tapi itu tidak akan kulakukan karna itu menunjukkan kekalahanku sebagai seorang anak.

Akhirnya, aku menyetujui pernikahan itu. Aku tidak mau ambil pusing. Yang harus kulakukan adalah fokus dengan ujianku.

"Ayah, jangan kirim fotonya, jangan kasih tau namanya, pokoknya jangan bicarakan hal-hal tentang pria itu. Mala akan menemuinya saat hati Mala sudah siap. Ayah harus janji."

"Mala.! Ayah mau kamu menikah itu supaya ada yang jagain kamu disana. Karna kamu jauh dari kami."

"Mala janji akan menjaga diri."

Itulah satu hal yang kutuntut dari Ayah sebelum aku sah menjadi milik pria itu. Dan Ayah terpaksa menyetujuinya.

Ijab kabul dilaksanakan bertepatan dengan ujianku. Kalau dibilang aku tidak memikirkan tentang hal itu, aku bohong. Biar bagaimanapun, tentu saja aku kefikiran. Itu pernikahanku, hal yang menyangkut kehidupanku selanjutnya. Mana mungkin aku tidak memikirkannya?

Setengah mati aku berusaha mengerjakan soal-soal ujian. 15 menit berlalu, dan aku hanya memandangi lembaran soal itu. Otakku blank. Aku tidak bisa memikirkan jawaban apapun. Padahal semalam aku sudah mempelajarinya. Tapi jawaban itu tidak mau keluar dari kepalaku.

Aku membaca sholawat didalam hati. Berusaha menyingkirkan fikiran tentang pernikahan. Dan aku memaksa diriku sepenuhnya. Aku tidak ingin gagal.

**********

'saya terima nikahnya Armala Anggun, Anak kandung bapak untuk saya dengan mahar 50 mayam emas, tunai.'

Sahhhh..!!!!!

part 1.

Pagi ini, Cuaca sedang gerimis, tapi tidak menyurutkan semangat Mala untuk berangkat ke kampus impiannya.

Di halte busway, berkali-kali Mala merapikan rambutnya yang sudah rapi. Gadis ramping berkulit kuning langsat dengan rambut sedikit bergelombang itu selalu menggerak-gerakkan jari-jari kakinya tanda dia sedang gelisah. Dia khawatir kalau sampai terlambat.

Mala tidak melepaskan tas jinjingnya yang berisi atribut perlengkapan Ospek. Dia kembali merapikan rambutnya, meraba-raba saku celananya mencari ikat rambutnya.

"nah.. ini." kata seorang pria tampan yang sedang mengulurkan ikat rambut berwarna hitam.

"oh,, trimakasih." jawab Mala mengambil ikat rambutnya. Entah kapan ikat rambut itu terjatuh dari sakunya.

Akhirnya bus yang ditunggu-tunggu datang juga, dengan segera Mala melangkahkan kakinya masuk kedalam bus.

Keadaan didalam bus sudah penuh, dengan terpaksa Mala berpegangan pada sebuah tiang dan berusaha menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh. Mengingat barang bawaannya yang sangat banyak.

Setelah hampir 20 menit, bus yang membawa Mala berhenti di halte yang berada tepat di depan kampus. Dan Mala bersiap untuk turun.

"sini, biar aku bantu,," pria tampan tadi menawarkan diri.

"oh, tidak usah mas, biar saya bawa sendiri."

Tapi pria tampan itu tidak mengindahkan penolakan dari Mala, dia merampas tas jinjing yang di bawa Mala dan keluar lebih dulu dari halte. Dengan terpaksa Mala mengikuti pria itu.

Setelah sampai di gedung fakultas, pria itu menyerahkan tas jinjing kepada Mala.

"trimakasih ma...." belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pria itu sudah pergi meninggalkan Mala yang nampak sangat sebal karna ditinggalkan begitu saja.

"wahhh... Angkuh sekali.." gumam Mala

"Mala.! Sini,, cepat.!" panggil Dewi. Teman Mala yang baru beberapa hari ini dikenalnya.

Mala langsung berlari menghampiri Dewi. Dan bergabung dengan barisan

Kegiatan ospek hari terakhir ini lumayan melelahkan. Mala dan Dewi sedang selonjoran diatas lantai didepan kantin. Keduanya menepuk-nepuk kaki mereka yang terasa pegal.

"ahhh... Akhirnya selesai juga..." kata Dewi

"iya. Mulai sekarang kita sudah bisa tenang Wi. Gak ribet lagi.. Hehe..." jawab Mala dengan tersenyum lebar.

"nanti kamu jadi mau lihat kos ku kan?" tanya Dewi mengingatkan Mala.

"jadi dong,, karna lusa udah aktif kuliah, kalo cocok besok bisa langsung cusss pindahan."

"pasti cocok La,, kos nya super nyaman kok."

"iya deh percaya."

"lihat tuh La,, siganteng lagi dikerubutin ciwi-ciwi." ujar Dewi menunjuk dengan dagunya.

Malapun melihat kearah yang ditunjuk Dewi.

"lho.? Itu kan..."

"kenapa La? Kamu kenal sama mas Micko?"

"enggak,, bukan, tadi kebetulan satu bus bareng." jelas Mala.

"satu bus bareng? Dari prambanan?" tanya Dewi heran. Karna setaunya si mas ganteng itu kosnya pas didepan kos Dewi.

"he em.." jawab Mala menganggukkan kepalanya.

"jadi namanya Micko.?" gumam Mala dalam hati.

Micko yang sedang dikerubutin nampak tidak nyaman dengan situasi itu. Pria tinggi dengan kulit putih yang nampak keren itu meraih kaleng minuman yang belum sempat diminumnya dari atas meja kantin. Dia berjalan keluar dari kantin dan menghampiri Mala dan Dewi.

"nah. Buat kamu" kata Micko melemparkan minuman kaleng itu dan terjatuh di pangkuan Mala.

"apa ini?" tanya Mala heran tidak mengerti kenapa Micko memberikannya minuman.

Micko tidak menjawab pertanyaan dari Mala. Lagi-lagi Micko langsung pergi begitu saja meninggalkan Mala dan Dewi yang saling menatap bingung.

"dasar aneh.!" gerutu Mala.

Setelah semua rangkaian acara Ospek selesai, Mala dan Dewi melangkahkan kakinya menuju ke tempat kos Dewi.

Bangunan dua lantai yang terdiri dari beberapa kamar itu nampak bersih dan terawat. Setelah menemui ibu penjaga kos, Mala diantarkan ke kamar yang masih kosong. Kamar itu berjarak dua kamar dari kamar Dewi yang berada di lantai 2.

Setelah melihat-lihat isi kamar, Mala merasa puas dengan fasilitas yang disediakan. Kamarnya juga lumayan luas dengan kamar mandi didalam. Ada tempat tidur dan juga meja beserta rak buku yang sudah tersedia.

"bagaimana Mbak?" tanya ibu kos.

"saya suka bu, besok saya langsung pindahan." jelas Mala bersemangat.

Membayangkan akan segera pindah ke tempat kos yang lebih dekat dengan kampus membuat Mala sangat bersemangat. Selama ini dia masih tinggal menumpang bersama pakdenya yang jarak rumahnya lumayan jauh dari kampus.

Dewi mengantarkan Mala sampai didepan pintu gerbang kos. Selebihnya Mala berjalan sendiri ke shealter bus karna memang jaraknya tidak terlalu jauh.

Sesampainya di shealter, mala masuk dan duduk di kursi yang masih kosong. Dia sedang asyik memainkan ponselnya sampai-sampai tidak menyadari kalau Micko tengah memperhatikannya dari samping.

Bus yang ditunggu datang juga, dan Mala segera berlari masuk kedalam bus.

Brukkk..!!

"au.!!"

Mala menabrak seorang pria paruh baya. Pria itu dan juga Mala sedang terburu-buru sehingga saling bertabrakan.

Micko yang berada tepat dibelakang Mala reflek menangkap tubuh Mala.

Dan Mala segera kembali berdiri, wajahnya memerah karna malu.

"maaf mbak." seru pria paruh baya itu.

"tidak apa-apa pak, saya juga salah.." jawab Mala, merasa tidak enak.

Setelah masuk kedalam bus, hanya ada satu kursi tersisa. Mala dan Micko saling pandang seperti akan memperebutkan kursi itu.

Ternyata tebakan Mala salah, Micko hanya berjalan santai dan meraih pegangan yang menggantung di langit-langit bus. Sementara membiarkan kursi itu kosong.

Mala bertambah malu karna mengira Micko akan duduk dikursi itu dan membiarkannya berdiri.

Dengan menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah, Mala terpaksa duduk dikursi itu.

"kenapa dia harus berdiri disitu sih? Kan masih banyak tempat.." gerutu Mala dalam hati. dia tidak berani mengangkat wajahnya karna Micko berdiri tepat didepannya.

Drttt... Drttt...

Mala mengangkat ponselnya. Telfon dari Ayah.

"iya Yah..." sapa Mala.

"bagaimana kabarmu nak?" tanya Ayah dari seberang

"Mala baik Yah, Ayah bagaimana? Ibu?"

"kami disini juga baik."

"Ayah, mala sudah dapat kos. Besok mala sudah bisa pindah. Kosnya bersih dan nyaman, juga tidak jauh dari kampus."

"syukurlah kalau begitu nak, jaga diri baik-baik disana ya, ingat kalau kamu itu sudah menikah," tegas pak Hadinoto.

"iya Yah... Mala tau.."

Mala menutup obrolan itu dengan sedih. Diam-diam Micko memperhatikan raut wajah Mala yang tertunduk lesu.

"ya,, aku sudah menikah, aku hampir melupakan itu." gumam Mala dalam hati. Dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.

Setelah sampai di shealter tujuan, Mala segera turun. Sesaat dia sempat menoleh kearah Micko yang tidak juga turun sampai bis kembali berjalan kearah kota.

"aneh,," fikir Mala. Kenapa Micko tidak turun dan malah ikut kembali ke kota? Tapi Mala tidak mau dipusingkan dengan hal itu.

Masalah pernikahannya sajapun sudah rumit dan menguras fikiran. Jujur dia sangat ingin tau seperti apa rupa suaminya. Tapi harga diri Mala tidak membiarkan hal itu terjadi.

part 2.

Jemicko Putra Nawar, menghempaskan tubuhnya diatas kasur didalam kamarnya. Dia merasa lelah, setelah beberapa minggu ini menjadi seorang penguntit.

Perutnya sudah keroncongan. Karna dia melewatkan makan malam. Micko memejamkan matanya sesaat, berusaha mengusir rasa lelahnya.

"Mas Micko, makan malam sudah siap." panggil seorang wanita dari luar kamarnya.

"iya Rin, sebentar lagi.." jawab Micko

Karin, anak tetangga rumah yang berumur 20 tahun itu kembali ke meja makan setelah mendengar jawaban dari Micko.

Karin memang lebih sering menghabiskan waktunya dirumah keluarga Micko. Bahkan tidak jarang dia menginap disana. tapi itu kalau kedua orang tua Micko berada dirumah. kalau kedua orang tua Micko kembali ke sumatra, dia bahkan tidak berani memasuki rumah itu.

Dengan rasa berat Micko memaksa kedua matanya untuk terbuka, menyeret kakinya untuk masuk kedalam kamar mandi dan berendam didalam bathtub.

Setelah selesai Mandi, Micko keluar dari kamarnya dan berjalan menuju meja makan. Dimeja makan kedua orang tua Micko sudah menyelesaikan makan malam mereka.

"kamu mau pulang ke kos?" tanya Dahniar, mama Micko.

"iya ma,, selesai makan malam Micko langsung pulang ke kos." jawab Micko seraya menyendokan makanan ke mulutnya.

"Karin ikut ya mas..." rengek karin.

"ngapain kamu mau ikut?"

"karin pengen lihat kosan nya mas Micko..."

"karin, sudah malam. tidak bagus anak gadis keluyuran malam-malam." sanggah Mama Niar.

Karin yang mendengar itu langsung manyun. tapi dia mengalah dan mendengarkan perkataan mama Niar.

selesai makan malam, Micko mengemudikan mobilnya pulang ke kos yang berada lumayan jauh dari rumahnya. dia memilih ngekos karna jarak kos dengan kampusnya dekat. jadi dia tidak perlu berkendara kalau ingin pergi ke kampus. cukup berjalan kaki saja.

sesampainya di kos-kosan, Micko segera memarkirkan mobilnya dan berencana untuk segera menutup pintu gerbang. karna dia tidak melihat bapak penjaga kos yang biasanya menutupkan gerbang untuknya.

"mas Micko.!" panggil seorang gadis dari arah seberang jalan.

"ada apa Wi?"

"baru pulang mas?" Dewi berlari kecil menghampiri Micko.

"iya,, ada apa?" Micko mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab oleh Dewi.

"ehmm,, mas Micko udah makan malam belum? kalau belum Dewi mau beli nasi goreng, barangkali mas Micko mau nitip."

"oo.. aku udah makan kok Wi,, kamu lanjut aja.."

"oh,, gitu.. yaudah Mas, maaf ganggu."

dengan tertunduk lesu, Dewi kembali masuk kedalam kos-kosannya dan tidak jadi membeli nasi goreng.

nasi goreng hanya alasan Dewi untuk bertemu dengan Micko. sebenarnya ada yang ingin ia tanyakan kepada Micko, tapi dia belum punya cukup keberanian.

...**********...

"pakde, bude, Mala sudah dapat tempat kos. rencananya besok Mala mau pindahan." pamit Mala kepada pakde dan budenya.

"kenapa harus kos sih La, kan bisa tinggal disini saja. minta ayahmu untuk membelikan sepeda motor."

"kos nya deket sama kampus kok pakde, lagipula Mala tidak bisa mengendarai sepeda motor."

"pakde agak tidak tega membiarkanmu sendirian disana. ayahmu sudah mewanti-wanti pakde."

"pakde tidak usah khawatir, Mala sudah bicara sama Ayah."

setelah selesai berbicara dengan pakde dan budenya, Mala masuk kedalam kamarnya. dia mengedarkan pandangannya kesekeliling ruangan bercat hijau itu.

kamar itu merupakan kamar bekas mbak Wati, anak Pakde yang baru saja menikah dan sekarang tinggal bersama suaminya di daerah Klaten.

Mala meraih kursi kayu yang berada di depan meja belajar dan meletakkan kursi itu di depan lemari. Mala ingin mengambil koper besar yang dia taruh diatas lemari itu.

Mala mulai mengambil satu-persatu tumpukan pakaiannya dari dalam lemari, dan memindahkannya kedalam koper. memilah barang-barang yang akan dibawanya besok. dia mengemas batang-barang yang penting saja. yang lain bisa dia cicil nanti saat ada waktu luang.

Mala berniat membersihkan tasnya dan menaruh buku-buku kedalamnya. tangannya meraba-raba bagian dalam tas itu, dan dia menemukan kaleng bekas minuman yang dilemparkan Micko tadi.

sebenarnya dia ingin membuangnya, tapi tidak menemukan tempat sampah, jadilah dia memasukkannya kedalam tas untuk dibuang nanti. tapi malah lupa.

sekilas terbayang wajah dingin Micko yang tampan. entah kenapa sikapnya seperti tidak menyukai Mala. apa pria itu bersikap seperti itu kepada semua orang? tadi waktu dikantin juga dia seperti malas meladeni para gadis itu.

"dasar sok tampan.!" Mala mengumpati kaleng bekas minuman ditangannya. dan langsung melemparkannya ke tempat sampah yang berada di belakang pintu. kemudian melanjutkan mengemas barang-barangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!