...~ 08/03 ~...
Bian berlari keluar dari kamarnya, menuju halaman depan. Ia menatap halaman sebelah, di mana ada Ayunda dan bayi mungilnya sedang berjemur di sana. Kebetulan, rumah Bian dan rumah di sebelahnya hanya dibatasi oleh pagar seadanya.
"Tante..., Tante...," Panggil Bian sambil menarik-narik baju yang Ayunda kenakan.
"Ah, ada Kak Bian, Hallo Kak Bian," ucap Ayunda sambil menggoyang-goyangkan tangan gembul putrinya. Seolah sedang menyapa Bian yang sedang mendongak memperhatikan mereka.
"Mau liat, Tante!"
Ayunda tersenyum manis pada bocah 8 tahun itu. Ia pun duduk di sebuah kursi, agar Bian bisa melihat dengan jelas wajah putri yang digendongnya. Bayi mungil bermata coklat itu adalah anak pertama Ayunda. Ayunda selaku orangtua tunggal memberinya nama Zeeviana. Sesuai dengan pesan dari Almarhum suaminya, yang harus pergi selamanya, saat usia kandungan Ayunda masih 7 bulan.
"Zee, kalau Zee udah besar nanti. Zee nikahnya sama Kak Bian, ya?" ucap Albian pada bayi mungil yang ada di dalam pangkuan sang Ibu. Seolah mengerti maksud Bian. Zeeviana kecil pun tersenyum, sambil menggerakkan tangganya. Mencoba untuk menyentuh wajah tampan Albian yang menatap ke arahnya.
"Janji, ya?" Bian memberikan jari kelingkingnya. Zeeviana kecil itu pun menggenggam jari kelingking Bian dengan erat. Membuat Ayunda tersenyum melihatnya.
Ayunda pikir, itu hanyalah janji yang dibuat oleh dua belah pihak yang tidak mengerti apa-apa. Oleh sebab itu, Ayunda tidak terlalu memikirkan tentang janji itu, saat ia memutuskan untuk pindah rumah. Meninggalkan rumah yang memiliki begitu banyak kenangan manis dengan suaminya itu. Ayunda kembali ke kota asalnya. Ia memilih untuk membesarkan Zeeviana di sana. Dan menetep untuk selamanya?
Bian yang tidak mengetahui kepergian Ayunda pun kecewa saat ia pulang sekolah. Ia melihat rumah Ayunda begitu sepi siang itu. Tidak ada lagi wanita cantik yang menyapu halaman rumah. Tidak ada lagi tangisan dari bayi cantik Zeeviana. Semuanya mulai terasa hampa bagi Bian. Bahkan bocah 8 tahun itu tidak lagi ceria seperti hari-hari sebelumnya.
...*****...
...💙 Episode - 1 💙...
Albian Wijaya Saputra, seorang pria dengan postur tinggi tegap itu berjalan memasuki sebuah kafe terbesar di kota itu, bersama dengan sekretaris pribadinya, Morgan. Mereka hendak melakukan pertemuan dengan seseorang di sana.
Seorang pelayan kafe juga muncul dari arah dapur kafe, membawa sebuah nampan yang berisikan empat gelas jus. Pelayan itu tersenyum pada setiap orang yang menatap ke arahnya. Ketika melewati sebuah meja, seorang gadis dengan segaja meletakkan kakinya di tengah jalan. Membuat sang pelayan tersandung, dengan tubuh yang menabrak seseorang.
Brakk....
Nampan yang ada di tangan pelayan itu pun jatuh, namun sebelum jatuh jadi, salah satu dari gelas jus itu tumpah dan mengotori jas orang yang ditabraknya.
"Apa ini?!" Bian menatap geram ke arah pelayan berbadan mungil yang tengah berjongkok di hadapannya. Memunguti pecahan gelas yang berserakan.
Morgan yang melihat kejadian itu pun sempat terdiam, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya. Ia membersihkan jas milik Bian dengan sekananya.
"Maaf, Tuan, saya tidak segaja," ucap pelayan itu yang tak lain adalah seorang Zeeviana.
"Kau!" Bian menunjuk kening Zeeviana.
"Jangan melamun saat berkerja!" Lanjutnya lalu melangkah meninggalkan Zeeviana yang sama sekali tidak merasa takut padanya.
Morgan melirik sekilas pelayan itu, lalu kembali mengikuti langkah Bian menuju sebuah ruangan privat.
Sementara itu, sang manajer kafe yang baru saja mendapatkan laporan atas kejadian tadi langsung panik dan mencari Zeeviana. Jabatannya akan bergeser jika dia tidak menyingkirkan Zeeviana dari kafe ini secepatnya!
"Zeeviana!" Panggilnya dengan suara yang begitu memekikan telinga. Zifana yang tidak tuli pun langsung menoleh ke arahnya. Manager itu berjalan semakin dekat ke arah Zeeviana.
"Ini gajimu bulan ini," ucapnya sambil menyerahkan sebuah amplop tebal pada Zeeviana. Gadis itu menerimanya sambil menatap bingung ke arah sang manager kafe.
"Dan saya minta maaf sebesar-besarnya padamu. Kamu tidak perlu lagi datang ke kafe ini. Saya yakin, kamu pasti tau dimana letak kesalahanmu." Manager kafe itu pun pergi meninggalkan Zeeviana yang hanya bisa tersenyum dan menertawakan nasibnya.
"Jangan menangis Zee! Kamu tidak boleh menangis !" Gumam Zeeviana sambil melangkah menuju kamar mandi. Gadis itu berniat untuk mengganti pakaian yang ia kenakan dengan pakaian biasa. Bukan pakaian pelayan kafe seperti saat ini.
Zeeviana melangkah kakinya keluar dari kafe itu. Dia sudah bekerja lebih dari 2 tahun di sana. Namun, semua kerja kerasnya selama ini tidak berarti apa-apa. Dia dipecat hanya karena mengotori jas pria itu kan? Jika memang begitu, Zeeviana merasa sedih karena seharusnya, ia tidak perlu sampai berhenti bekerja. Dia kan masih bisa minta maaf pada pria tadi.
"Loh, Zee. Tumben pulang cepet Nak?" tanya Ayunda pada putrinya yang baru saja pulang dengan wajah yang ditekuk masam.
"Zee berhenti kerja Bu." Zeeviana mengeluarkan amplop tadi dari dalam tasnya.
"Ini gaji Zee bulan ini," ucap Zeeviana lalu menyerahkan amplop itu pada sang Ibu. Ayunda menerimanya, namun dengan hati yang bersedih. Ia merasa gagal memberikan kebahagian untuk putri semata wayangnya itu.
"Ibu tenang saja, Zee akan mencari pekerjaan lagi besok. Jadi Ibu tidak perlu khawatir ataupun sedih pada keadaan Zee. Zee baik-baik saja," ucap gadis 22 tahun itu.
Ayunda memeluk tubuh putrinya. Ia mengelus lembut kepala Zeeviana sambil berkata, "Maafkan Ibu, ya Nak. Karena Ibu, kamu harus bekerja keras seperti ini."
"Ibu tidak boleh berkata seperti itu. Zee akan melakukan apapun untuk Ibu. Hanya Ibu orang yang Zee sayangi dan miliki di dunia ini." Zeeviana pun menggenggam tangan Ayunda. Ia berusaha meyakinkan Ibunya, kalau semuanya pasti akan baik-baik saja.
****
Bian dan Morgan keluar dari dalam ruangan privat itu. Bian menatap ke arah jam tangannya. Masih tersisa 20 menit lagi sebelum rapat penting dimulai di perusahaan utama.
"Aku ingin bertemu dengan manager kafe ini, panggil dia kemari!" ucap Bian pada seorang pelayan yang baru saja mengantar pesanan. Sementara Morgan sibuk menebak apa yang hendak Bian katakan pada manager kafe nanti. Apakah semua ini ada hubungannya dengan gadis pelayan tadi?
"Saya Tuan?" Sang manager kafe sudah muncul dan kini berdiri tepat di hadapan Bian.
"Mana pelayan tadi?"
"Su-sudah saya pecat, Tuan," jawab sang manager kafe ketakutan.
"Apa alasanmu memecatnya?" Bian menatap sang manager dengan sesama.
"Karena, karena dia tidak telaten dalam bekerja." Manager itu meremas jarinya. Jangan sampai dia kehilangan posisinya!
"Benarkah?" Bian menaikan satu alis, lalu menatap ke arah pelayan lain yang sedang sibuk menyusun gelas di atas nampan.
"Kau! Kemarilah!" Ucap Bian pada pelayan berhijab hitam itu. Pelayan itu pun dengan ragu melangkah ke arah Bian dan juga sang manager.
"Kau tau siapa pelayan yang menabrakku tadi?"
Pelayan itu pun mengangguk. Tentu saja dia tau, dia bahkan tau kalau Zeeviana dipecat hanya karena tidak sengaja mengotori jas Bian!
"Sudah berapa lama pelayan itu berkerja di kafe ini?" tanya Bian. Terlihat sang pelayan berhijab hitam pun melirik sekilas ke arah manajernya yang sudah menggeleng pasrah.
"Sudah 2 tahun lebih, Tuan."
Bian pun menatap sang manager. "Cih, bahkan orang yang sudah berkerja selama 2 tahun pun masih di bilang tidak telaten dalam bekerja!" Sindir Bian. Sang manager pun hanya bisa tertunduk dalam.
"Morgan! Kamu urus manager kafe ini, dan juga selidiki tentang pelayan tadi," ucap Bian lalu melangkah meninggalkan kafe, diikuti oleh langkah Morgan dan juga tatapan dari beberapa pengunjung kafe lainnya.
'Tamat sudah riwayatku...,' Batin sang manager kafe yang sudah menyiapkan dirinya untuk mendapatkan surat pemecatan.
...*****...
...💙 Episode - 2 💙...
Zeeviana bersama dengan sahabatnya berjalan di trotoar jalan. Kedua gadis itu memiliki latar belakang yang sama. Sama-sama tidak memiliki orangtua yang lengkap, dan juga hidup dengan kehidupan yang sederhana.
Tujuan hidup dua gadis itu hanya satu, yaitu bekerja dan mengumpulkan banyak uang untuk membantu kebutuhan Ibu mereka. Orang yang paling mereka cintai dan sayangi di dunia ini.
"Sabar ya, Zee. Mungkin tempatmu memang bukan di kafe itu lagi," ucap Fathia setelah mendengarkan curhatan hati Zeeviana. Zeeviana pun tersenyum menguatkan dirinya.
"Aku heran saja, Fat. Masa hanya gara-gara itu aku dipecat? Kan kayak terkesan aneh gimana..., gitu." Zeeviana berhenti lalu duduk di atas besi jembatan. Diikuti oleh Fathia.
"Yang mungkin, orang yang kamu tabrak itu orang penting. Atau mungkin dia pemilik kafe itu? Atau keluarga dari pemilik kafe itu. Kita nggak tau," ucap Fathia dan mendapatkan anggukan setuju dari Zeeviana.
"Mungkin begitu ya." Zeeviana menatap ke arah jalanan yang masih ramai. Tepat di sebarang jalan ada sebuah gerobak bakso, Zeeviana pun berniat untuk mengajak Fathia ke sana. Sudah lama mereka tidak makan bakso bersama.
"Ke sana yuk, Fat!" Ajak Zeeviana lalu menarik paksa tangan Fathia. Mau tidak mau, Fathia pun ikut bersamanya.
"Dua ya, Pak!" Ujar Zeeviana sambil menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan Fathia. Zeeviana memperhatikan sekelilingnya. Bersih dan rapi sekali.
"Oh ya, Zee. Kamu sudah cari kerjaan baru, nggak?"
Zeeviana menggelengkan kepalanya. "Belum, Fat. Aku bingung mau kerja apalagi. Jika boleh, ya. Aku ingin bekerja di sana." Zeeviana menunjuk gedung tinggi yang tidak jauh dari tempat mereka.
Fathia mengikuti arah tangan Zeeviana. "Kamu mau jadi pegawai kantoran maksudnya?"
"Emm, aku pengen banget..., Tapi, aku hanya lulusan SMA. Mana mungkin aku bisa bekerja di sana," jawab Zeeviana sambil menundukkan kepalanya.
"Tapi tidak apa, aku mungkin tidak bisa bekerja di sana sekarang. Tapi kita lihat saja, suatu saat nanti, aku akan berkerja dan memiliki jabatan tertinggi di sana!" Zeeviana menegakkan tubuhnya. Gadis itu tidak ingin menujukkan sisi lemahnya pada siapapun. Termasuk pada Fathia--sahabatnya.
Fathia pun tersenyum melihat semangat hidup yang ada pada seorang Zeeviana.
"Ini baksonya, Neng...," ucap tukang bakso itu sambil meletakkan dua mangkuk bakso di atas meja. Zeeviana ataupun Fathia tersenyum pada tukang bakso itu.
"Makasih ya Pak." Fathia menarik satu mangkuk untuknya, setelah itu mendorong satu mangkuk lagi untuk Zeeviana.
Sementara itu, tanpa kedua gadis itu sadari, ada seseorang yang sudah lama mengamati mereka. Bahkan sejak mereka keluar dari gang rumah tadi. Orang itu tidak lain dan juga tidak bukan adalah Morgan. Sekertaris yang diperintah oleh Bian untuk menyelidiki tentang pelayan tadi.
"Zeeviana, nama yang bagus," gumam Morgan. Morgan sudah memegang dua lembar kertas yang berisikan semua data pribadi Zeeviana. Mulai dari nama, tanggal lahir, nama orangtua, tempat tinggal, pendidikan dan juga pekerjaan Zeeviana.
Morgan kembali menatap ke arah Zeeviana dan juga Fathia. Sepertinya, cukup sampai di sini saja dia mengikuti Zeeviana. Toh, Bian juga belum memberikan perintah apapun selain menyelidik gadis itu.
Akhirnya, mobil Morgan pun langsung melaju ke arah perumahan dimana Bian tinggal. Morgan berniat untuk menyerahkan semua data tentang gadis itu malam ini juga. Agar semua pekerjaan selesai, dan dia bisa tidur dengan tenang.
Sesampainya di rumah Bian. Morgan mendapati Bian tengah duduk di meja makan, pria itu sedang mengupas sebuah apel merah, ada segelas susu juga di atas meja makan.
"Kak?" Sapa Morgan. Sapaan itu sudah biasa di antara dia dan juga Bian. Bahkan Bian sendiri yang meminta Morgan untuk memanggilnya dengan panggilan biasa di luar jam kerja. Bian menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Duduklah!" ucap Bian, Morgan pun menurut dan duduk di kursi samping kanan Bian.
"Ini, aku sudah merangkum semuanya, dan aku sudah mengirimkan beberapa foto gadis itu lewat WhatsApp tadi," ujar Morgan dengan tangan yang sudah menyentuh sebuah apel. Morgan mengambil dan langsung menggigitnya.
"Emmm, taruh saja dulu. Aku akan membacanya nanti," jawab Bian kemudian memasukan satu potong apel ke dalam mulutnya. Bian mengunyah apel itu sambil melirik sekilas ke arah kertas yang sudah Morgan taruh di atas meja. Mata Bian yang masih normal bisa membaca nama yang tertera di atas kertas putih itu.
"Zeeviana!" Bian segera menyambar kertas itu. Matanya membaca ulang nama Zeeviana, lalu beralih pada tanggal lahir gadis itu.
"Umurnya dua puluh dua tahun sekarang." Bian berpikir sejenak, Ia mencoba mengingat, berapa umurnya saat Zeeviana---kekasih kecilnya lahir dulu.
Mata Bian kembali mengamati setiap kata yang tertulis di kertas itu. Membuat Morgan yang duduk di sampingnya ikut penasaran.
'Perasaanku kenapa jadi tidak enak seperti ini ya?' Batin Morgan bertanya.
"Ayunda..., Tante Ayu?" Bian meletakkan kertas tadi di atas meja. Apakah pelayan kafe itu benar Zeeviana---kekasih kecilnya? Atau nama mereka hanya mirip saja. Tapi, bagaimana dengan Ayunda? Tidak mungkin nama Ibu mereka mirip juga, kan?
Bian memijat pangkal hidungnya. "Kamu bilang, kamu sudah mengirim foto kan tadi?" tanya Bian pada Morgan. Morgan pun mengangguk membenarkan pertanyaan Bian.
"Tolong ambilkan Hpku di atas meja itu!" Bian menunjuk meja Tv, dimana ada Hp dan juga kunci mobilnya di sana.
"Ini, Kak." Morgan meletakkan benda pipih itu di samping tangan Bian. Bian langsung mengambilnya. Dan memeriksa pesan masuk yang Morgan kirimkan.
"Apakah kamu sudah pastikan, kalau semua informasi yang kamu dapatkan ini benar?" tanya Bian sambil memincingkan matanya menatap Morgan.
"Sudah, Kak. Aku yakin, semua informasi ini benar."
"Zee, apakah benar ini kamu?" Gumam Bian dengan netra yang menatap foto Zeeviana yang terpampang jelas di layar Hpnya. Bian memperbesar foto itu, mengelus pipi Zeeviana dengan ibu jarinya.
"Kak Bian mengenalnya?" tanya Morgan penasaran.
"Dia Gadisku! Dia adalah Zeeviana kecilku! Dia sudah tumbuh besar dan menjadi gadis cantik sekarang!"
Zeeviana kecilku? Morgan baru sadar sekarang. Jadi gadis itulah yang Bian cari selama ini? Gadis kecil yang memiliki mata coklat ceria itu ternyata permata hati Tuannya! Kenapa Morgan baru sadar sekarang! Kenapa tidak dari tadi saja!
"Aku ingin menangih janjinya, Morgan. Aku ingin memiliki Zee kecilku!" Ujar Bian.
"Tapi, Kak. Apakah gadis kecil itu ingat padamu? Apakah kamu yakin, dia masih mengingat janji yang dia buat denganmu? Aku rasa, kamu sendiri tau jawabannya, Kak," jawab Morgan sesuai fakta.
Terdengar Bian menghembuskan napas pelan. Bian menatap ke arah Morgan. Tatapan matanya begitu menyedihkan. Membuat Morgan tak tega padanya, dan Morgan pun berniat untuk membantunya.
"Aku akan melalukan cara apapun untuk bersama gadis kecilku. Aku mencintai dan menyayanginya. Sama seperti dulu, dan tidak akan pernah berubah sampai kapan pun itu," lirih Bian.
"Aku akan mendukungmu, Kak. Aku akan melakukan semua cara yang bisa membuatmu dekat dan bersatu dengan Nona Zeeviana. Aku pasti akan melakukannya!"
"Itu yang kusuka darimu!" Bian menepuk pundak Morgan bangga. Morgan juga tersenyum bangga dengan kepercayaan dan juga posisinya di mata Bian sekarang.
Setelah itu, Morgan pamit undur diri, karena dia merasa semua tugasnya sudah selesai hari ini. Bian juga harus istirahat, karena begitu banyak agenda penting yang akan dilakukan oleh pria yang menjabat sebagai direktur utama itu.
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!