Sebelum membaca cerita ini, harap baca kisah sebelumnya yang berjudul My Rich Husband. Karena ini sequel dari novel tersebut. Tapi, jika mau langsung membaca ini juga boleh.
Peringatan : Siapkan tisu karena akan ada banjir air mata diklimaks ceritanya.
...Cerita ini hanya fiksi belaka, yang author tulis di sini semuanya halu....
...Selamat membaca dan semoga suka. 50 bab awal mungkin akan membosankan karena monoton, bisa langsung skip ke episode 50 ke atas kalau gregetan dan ga sabar sama alurnya....
...*****...
Gabby Gabriella selalu menutup dirinya dari namanya pria dan cinta. Selama ini ia tak pernah membuka hatinya untuk pria manapun. Selain papanya, ia hanya mencintai satu orang yang bertemu dengannya ketika umurnya lima tahun. Artinya itu adalah empat belas tahun yang lalu.
Kejadian empat belas tahun silam membuatnya seolah merasa terikat dengan pria itu. Padahal banyak pria yang berbondong-bondong mendekatinya, meskipun penampilannya selalu tomboi, tapi paras wajahnya yang cantik begitu mudah memikat kaum pria. Namun semuanya mundur tak berani mendekatinya akibat kegalakan dan kearoganannya.
Janji yang ia buat dengan pria masa lalunya selalu terngiang dalam ingatannya hingga ia begitu ingin cepat dewasa dan mencari pria itu. Ia masih ingat betul wajahnya.
Namun suatu ketika, secara tak sengaja ia bertemu dengan pria yang selalu ia nantikan. Seolah hancur penantiannya selama ini saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri pria itu tengah berjalan berdua begitu mesra dengan seorang perempuan yang ia yakini adalah kekasihnya. Ditambah beberapa minggu kemudian ia melihat pria itu lagi tengah membeli cincin khusus untuk melamar seorang wanita. Ia meyakininya setelah bertanya kepada karyawan penjaga toko perhiasan. Ia menyimpulkan bahwa pria itu sudah melupakan janjinya, buktinya sudah sangat kuat ia lihat.
Mulai saat itu, Gabby memutuskan untuk berhenti mencintai pria itu. Ia memutuskan akan menyendiri seumur hidupnya, lagi pula selama ini ia juga tak pernah bergantung kepada lelaki manapun. Ia meyakini dirinya bisa berdiri di atas kaki sendiri.
“Aku bersumpah membencimu seumur hidupku dan aku mengutuk yang namanya cinta dalam diriku! Aku tak akan pernah mencintai pria manapun lagi!” Sumpahnya, entah dengan siapa ia bersumpah. Yang pasti, hatinya begitu sakit karena pernah mencintai seseorang begitu dalam bahkan kurun waktu yang lama.
Gabby sudah merasa cukup memiliki sahabat dan papanya saja. Dua orang itu pasti tak akan mengecewakannya. Mungkin.
Hari ini ia mendapatkan undangan pernikahan sahabatnya secara dadakan. Padahal sahabatnya memiliki pendirian yang selalu dipegang untuk tak menikah sebelum lulus kuliah, apa lagi sahabatnya itu baru saja memutuskan hubungan dengan sang kekasih. Meskipun sedikit kecewa, karena waktu mereka bersama tak akan seperti dulu lagi setelah ia ditinggal menikah. Tapi ia tetap ingin menghadiri acara bersejarah bagi sahabatnya—Diora.
Helsinki Cathedral, disinilah Gabby saat ini. Ia mencari-cari dimana ruangan pengantin wanita. Mengedarkan pandangannya seraya kakinya terus menyusuri setiap lorong disana.
Deg!
Langkahnya terhenti ketika ia melihat pria yang sangat tak ingin ia temui lagi. Pria yang sama dengan empat belas tahun silam. Jantungnya mendadak berdesir, melihat wajah itu mengingatkannya pada rasa sakit hatinya dan rasa cintanya. Semua seolah berkecamuk bersamaan dalam dirinya saat ini.
“Kau Gabby? Sahabat Diora?” Dingin sekali pria itu berucap. Bahkan tak bisa dibedakan ia tengah mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Ekspresinya pun begitu datar.
Gabby mencoba menguasai dirinya, ia harus ingat bahwa pria yang ada di hadapannya itu bukanlah pria yang ia cintai lagi. Ia menanamkan dalam dirinya bahwa pria itu adalah pria yang ia benci di dunia ini!
“Ya!” Gabby menjawab dengan ketus dan wajah yang tak bersahabat.
“Diora berada di lorong ketiga sebelah kanan, pintu pertama.” Setelah mengucapkan itu, George langsung pergi begitu saja.
Gabby menatap kepergian George, meskipun hanya punggungnya saja. Dalam hatinya, ia begitu kesal dengan pria itu. Terlihat jelas bahwa tak mengenali wajahnya yang menurutnya tak pernah berubah sedari kecil, hanya bertambah besar saja tubuh dan wajahnya.
Gabby langsung melangkahkan kakinya menuju ruangan yang diberitahukan oleh George. Ia menemui sahabatnya yang sudah cantik dengan gaun dan make up tipis. Ia mengulas senyum menawannya untuk menutupi hatinya yang masih berkecamuk dan seperti diremas.
...***...
...Untuk visual tokoh bisa dilihat ke highlight instagram aku @heynukha...
George Gabriel Giorgio, meskipun terlahir dari keluarga yang kaya raya, pengusaha kedua di Eropa. Ia tak pernah mau menjalankan perusahaan milik keluarganya. Ia memilih menjadi asisten sahabatnya—Davis. Ada alasan tersendiri mengapa dirinya tak mau menjadi penerus papanya.
Setelah memergoki kekasihnya berselingkuh di apartemen yang diberikan olehnya, bertepatan dengan niatnya ingin melamar sang kekasih yang sudah lima tahun terjalin, membuatnya menjadi pria yang sangat dingin dan menutup rapat hatinya dengan wanita manapun.
Setelah kejadian itu, ia merasa bahwa ini adalah balasan karena melupakan janjinya dengan bocah kecil yang bertemu dengannya empat belas tahun silam. Ia menganggap janjinya dengan bocah itu hanya sebuah angin lalu saja. Namun kenyataannya, ia sungguh terikat dengan janjinya sendiri. Ia terus memikirkan apakah bocah itu masih hidup atau tidak, dan mencoba mencari keberadaannya.
Setelah memberitahukan ruangan pengantin wanita pada Gabby. George langsung mengecek kembali seluruh persiapan pernikahan Davis dan Diora. Ia tak mengenali wajah Gabby, yang tak lain adalah gadis kecil yang ia cari. Sebab wanita itu lebih cantik dibandingkan saat kecil.
“Ada keributan apa itu?” gumam Geroge saat dirinya berada di dekat ruangan pengantin wanita.
George langsung membuka pintu yang sedikit terbuka itu, terlihat di depan matanya jika sahabatnya sedang berdebat dengan seorang pria yang tak lain adalah Danzel—mantan kekasih Diora.
“Keluar kau!” raung George dengan wajahnya yang tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia langsung menyeret paksa Danzel untuk keluar ruangan. Rasa setia kawannya yang begitu besar dengan sahabatnya membuatnya bertekad untuk menyingkirkan siapa saja yang menggangu kebahagiaan Davis.
George kembali masuk ke dalam ruangan, dengan santai dan tak memperdulikan Gabby, Diora, dan Davis yang sedang saling berdebat. Ia langsung menghempaskan tubuhnya di sofa dan menonton drama yang ada di depan matanya.
Mata Gabby tak pernah lepas dari gerak-gerik yang dilakukan George, bahkan ekspresi wajah pria itu pun tak luput dari pengamatannya.
“Kondisikan matamu jika kau masih ingin bisa melihat!” ancam George yang merasa diperhatikan dan tak suka dirinya menjadi objek penglihatan orang lain, terlebih itu adalah wanita. Ia berucap tanpa memandang Gabby yang hendak keluar ruangan, matanya terus menatap lurus kedepan.
“Mata-mataku, terserah aku ingin melihat siapa! Kau fikir aku akan takut dengan gertakanmu itu! Cih! Pria sepertimu tak pantas untukku takuti,” sembur Gabby dengan wajah galaknya.
George mengalihkan pandangan matanya ke arah Gabby. Kedua mata mereka saling beradu. Sorot mata George yang dingin dan tak terbaca, menangkap jelas ada kebencian yang mendalam di dalam mata Gabby. Ia tak tahu apa yang membuat wanita itu begitu menatap benci ke arahnya, tak mungkin hanya karena ancaman yang dilayangkan olehnya bisa membuat seseorang sangat membenci dirinya. Namun dia tak perduli dengan tatapan itu, ia tak ambil pusing.
“Berani sekali kau denganku!” George melipat kedua tangannya di dada seolah menunjukkan bahwa dirinya tak main-main dengan ucapannya.
“Memangnya ada alasan untukku takut denganmu? Ha! Pria sok dingin!” Gabby mengucapkannya dengan penuh penekanan, tak lupa ia tersenyum sinis menanggapinya.
Wanita yang menarik! Tak kenal takut. gumam George dalam hati.
“Kali ini, ku maafkan kau.” George mengibaskan tangannya mengusir Gabby yang sudah diambang pintu untuk segera keluar.
“Aku tak meminta pengampunanmu ataupun maafmu!” raung Gabby, giginya bergemelatuk dan matanya mendelik kesal dengan George yang sangat percaya diri itu.
“Keluarlah, sebelum aku berubah fikiran,” usir George lagi dengan sangat dingin.
“Tanpa kau suruh, aku akan keluar!” Gabby langsung melangkahkan kakinya dan menutup pintu dengan sangat kencang hingga membuat semuanya menatap ke arah suara keras itu.
Gabby kembali masuk bersama dengan papanya. Kedatangan mereka membuat George membulatkan matanya dan terkejut.
“Perkenalkan, ini papaku, Lordeus.” Gabby mengenalkan lelaki paruh baya yang ia gandeng. Matanya menelisik raut wajah yang diperlihatkan oleh George. Terlihat jelas bahwa pria itu seperti mengetahui siapa papanya.
Setelah mengenalkan papanya, Gabby ingin mengabadikan foto bertiga bersama dengan Diora dan papanya. Hanya ada dua orang yang bisa ia minta pertolongan, George dan Davis. Karena Davis sudah memegang ponsel Diora, maka ia meminta tolong dengan George. Untuk mengantisipasi jika hasil bidikan salah satu dari mereka tak bagus.
“Hei kau! Manusia yang sedari tadi diam saja!” Gabby menunjuk George yang masih setia duduk di sofa tak bergerak, tak bicara, namun masih bernafas. George tak menanggapinya, membuat dirinya kesal setengah mati karena diabaikan.
Pletak ...
Gabby melemparkan ponselnya hingga mendarat tepat pada dada bidang George.
“Tidak sopan!” ketus George, ia menatap tak suka Gabby yang menurutnya terlalu kasar untuk kalangan wanita. Tangannya mengambil ponsel yang jatuh di pangkuannya.
“Kau tuli! Ku panggil hanya diam saja!” balas Gabby tak kalah ketus. “Tolong, kau fotokan aku menggunakan ponselku itu,” pintanya dengan nada penuh paksaan.
“Memangnya aku budakmu! Bisa kau suruh seenaknya!” berang George dengan wajah tanpa ekspresinya.
“Ehem ...!” Lordeus berdehem dan menatap tajam George yang berani berbicara dengan nada tinggi pada anaknya.
Mendengar suara yang terdengar seperti sindiran itu, tanpa banyak kata, George pun ikut memposisikan diri di samping Davis untuk memotret tiga orang yang saat ini sudah siap berpose layaknya sebuah keluarga.
“Pria dingin itu ternyata takut dengan papamu,” bisik Diora tepat di telinga Gabby.
Gabby hanya membalas dengan senyuman dan anggukan saja. Ia tahu betul mengapa George takut dan tak berani membantah seorang Lordeus.
Rupanya kau tahu latar belakang papaku hingga kau tak berkutik. gumam Gabby dalam hati. Ia menyunggingkan sedikit senyum sinisnya, meskipun tak terlihat oleh orang lain.
“Ayo mulai!” titah Gabby.
Mereka pun langsung berpose, berganti-ganti gaya ketika George dan Davis mulai membidik.
Mata Gabby tak pernah lepas dari George. Entah mengapa ia selalu saja menatap pria itu, menambah kebencian dalam hatinya. Apa lagi saat ini ia melihat George tak fokus memotretnya, pria itu malah mengobrol dengan Davis. Meskipun mata George terus tertuju ke ponsel yang dipegang.
Sesi foto berhenti, ketika Diora menegur George dan Davis yang terus berbincang. Diora mengambil ponsel yang dipegang oleh kedua pria itu untuk dilihat hasilnya.
“Ini.” Ponsel keluaran terbaru milik Gabby disodorkan oleh Diora.
“Terima kasih.” Gabby mengambil ponselnya.
“Bagaimana?” tanya Diora memperlihatkan hasil foto di ponselnya.
“Tidak buruk,” jawab Gabby. “Coba kau geser dan lihat semua hasilnya, mungkin ada yang lebih bagus lagi,” usulnya.
Sepasang sahabat itu melihat beberapa hasil jepretan Davis secara perlahan, mereka mengamati satu persatu tanpa terlewat sedikitpun.
“Ini paling bagus,” tutur Gabby memberhentikan kegiatan jari Diora menggeser layar ponsel.
“Coba kau lihat hasil foto di ponselmu, mungkin lebih bagus,” pinta Diora menunjuk dengan dagu ke arah ponsel di tangan Gabby.
“Ini bagaimana?” Gabby memperlihatkan foto dari ponselnya. Dalam hatinya begitu dongkol melihat hasil jepretan George.
“Jelek sekali, kenapa kita sedang menganga mulutnya malah di foto,” gerutu Diora. “Coba geser, lihat foto yang lainnya,” pintanya lagi.
Gabby pun menggeser ke kanan layar ponselnya. Ia mendengus sebal ketika melihat tak ada foto lain lagi, hanya satu foto saja yang dibidik oleh George.
“Kau tidak ikhlas ya!” tuduh Gabby dengan nada ketusnya dan mata mendelik. Menunjuk dengan jarinya ke arah George yang sudah asik duduk santai di sofa.
“Sudah dibantu, bukannya berterimakasih malah menuduh,” sindir George tak kalah ketus dengan wajah datarnya.
Kebencian Gabby semakin menggunung dengan George. Hatinya semakin seperti diremas saat ini. Sorot matanya seolah ingin menelan hidup-hidup pria yang berkata ketus dengannya itu.
Entah mengapa Gabby jadi mengingat kejadian saat dirinya tak sengaja melihat George dan kekasihnya kencan. Betapa mesra dan perhatiannya George dengan kekasih wanitanya itu yang Gabby tak tahu jika hubungan antara George dan wanita itu sudah berakhir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!