Kamis (23.28), 13 Februari 2020
Salah satu cerita kesayanganku ♥.♥
Selamat membaca dan semoga suka. Jangan lupa tinggalkan jejak!
-------------------------
Tidak ada yang aneh pada lalu lintas di hari yang cerah itu. Jalanan ramai seperti biasa. Orang-orang lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.
Yang berbeda hanya keberadaan pria paruh baya itu. Berdiri di tepi jalan dengan lesu dan kesedihan mendalam yang tidak bisa ditutupi dari raut wajahnya. Tubuh tegapnya menunjukkan usia awal lima puluhan. Tapi kerutan yang menggores wajahnya, lingkaran di bawah matanya, serta kulit wajahnya yang mengendur membuatnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Tapi bukan karena pertambahan usia yang membuat lelaki itu tampak begitu lunglai dan lemah. Melainkan penderitaan yang menggores di mata merahnya. Mata yang tak henti-hentinya menitikkan air yang membasahi papan putih dalam pelukannya.
Beberapa pengemudi dan penumpangnya tampak mengelus dada melihat lelaki itu, tapi tetap melaju pergi. Yang lain bahkan tidak sempat memperhatikan. Pejalan kaki yang tidak terlalu sibuk berhenti sejenak untuk mencerna kalimat di papan itu, tapi lalu menggeleng seraya pergi dengan iba.
Hanya pemuda itu yang memperhatikan.
Permohonan pria itu yang tertulis jelas di atas papan putih dalam dekapannya terasa menggores hati kecil sang pemuda. Perlahan pemuda itu mendekat.
Selama beberapa saat si pemuda hanya diam mematung menatap pria paruh baya itu. Hingga akhirnya si pria menoleh karena merasa diperhatikan. Si pemuda tersenyum lalu menyodorkan tas kresek berisi soda dingin yang hendak dinikmatinya sendiri di rumah.
“Untuk anda. Anda pasti haus,” ucap si pemuda dengan sopan.
Pria itu hanya menatap si pemuda selama beberapa saat lalu menerima tas kresek itu dengan rasa syukur. Seulas senyum menghiasi bibir keringnya.
“Terima kasih.”
Pemuda itu mengangguk sebagai jawaban. “Sebaiknya kita duduk. Anda pasti sudah cukup lama berdiri di sini.” Pemuda itu menawarkan.
Sedikit keraguan menyelimuti mata si pria. Dia menatap papan dalam dekapannya, tidak rela beranjak dari tempatnya. Dia sudah bertekad berdiri sepanjang hari hingga ada orang yang mau mengulurkan tangan mendengar jeritan hatinya.
Seolah dapat mendengar pikiran si pria, sang pemuda tersenyum lembut lalu merangkul bahu si pria dengan bersahabat. Tangannya yang lain mengambil alih papan putih itu. Dengan lembut si pemuda mengarahkan pria itu menuju halte bis tak jauh dari situ.
Setelah duduk, si pemuda membukakan botol minuman dalam tas kresek lalu kembali menyerahkan minuman itu. Kali ini tanpa keraguan si pria meneguk soda tersebut.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan putri anda?” tanya si pemuda beberapa saat kemudian.
Mata si pria mulai berkaca-kaca ketika teringat nasib putrinya. “Dia menderita gagal ginjal. Kedua ginjalnya rusak.” Pria itu terhenti sejenak untuk mengusap matanya yang basah. “Dia membutuhkan donor ginjal. Aku dan istriku sudah menawarkan diri tapi ginjal kami tidak cocok. Aku tidak tahu kenapa padahal dia putri kandung kami.”
Pria itu tidak lagi melanjutkan ceritanya karena wajahnya tertunduk menahan tangis. Si pemuda hanya bisa mengusap punggung pria itu.
Betapa beruntungnya putri pria ini, pikir si pemuda. Gadis itu memiliki orang tua yang begitu mencintainya dan begitu mengharapkan kesembuhannya. Sedangkan dirinya, sudah lama kehilangan sosok ayahnya. Bahkan ibunya lebih buruk lagi. Dia adalah iblis wanita yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Tidak ada seorangpun yang mencintainya. Tidak ada yang peduli dengan kesehatannya. Jadi untuk apa dirinya hidup? Bukankah hanya untuk menunggu malaikat maut menjemputnya?
Hidupnya sama sekali tidak berharga. Berbeda dengan hidup putri pria di sebelahnya. Mungkinkah Tuhan memberinya kesempatan untuk melakukan kebaikan setelah bertahun-tahun hidup bergelimang dosa?
“Bolehkah saya menawarkan diri untuk menjadi pendonornya?”
Pertanyaan itu membuat si pria mendongak tiba-tiba. Ditatapnya pemuda tampan itu dengan ekspresi tidak percaya.
“Kau benar-benar mau mendonorkan ginjalmu pada putriku?” nadanya penuh keraguan. “Tapi kenapa? Kau masih begitu muda.”
Si pemuda tersenyum melihat raut wajah pria itu. “Haruskah saya memberi alasan?”
Si pria ingat bahwa memang inilah yang diharapkannya. Seseorang berhati malaikat yang mau menolong putrinya. Seharusnya ia tidak perlu menanyakan alasannya. Dan dirinya akan memberi hadiah sesuai janji yang tertulis di atas papan putih itu.
“Tidak. Kau tidak perlu memberi alasan.” Tiba-tiba si pria berlutut di hadapan si pemuda. “Aku hanya perlu berterima kasih padamu.”
Si pemuda segera meraih kedua bahu pria itu lalu membantunya berdiri. Dia sungguh merasa tidak nyaman dengan sikap pria itu. Orang sebaik pria ini yang rela mengorbankan segalanya demi putrinya, tidak pantas berlutut di depan orang sehina dirinya.
“Anda tidak perlu melakukannya. Kita bahkan belum tahu apakah ginjal saya akan cocok untuk putri anda.”
Si pria tersenyum. “Aku tahu. Aku tahu bahwa kaulah orangnya. Aku bisa merasakannya. Kaulah malaikat penyelamat putriku.”
Si pemuda hanya tersenyum miris mendengar ucapan si pria.
Pria itu salah. Dirinya bukan malaikat, melainkan iblis yang begitu kotor dan hina.
----------------------
♥ Aya Emily ♥
Kamis (23.38), 13 Februari 2020
----------------------------
Rena duduk menatap lantai dansa sambil menggigit bibir. Perasaan aneh menjalari dadanya. Jantungnya serasa diremas. Paru-parunya seperti tersumbat hingga bernafas terasa berat.
Rena ingin sekali mengamuk. Mungkin melempar gelas wine di hadapannya bisa mengurangi rasa sakitnya. Atau mungkin mencakar sesuatu. Lebih tepatnya mencakar wanita-wanita yang sedang berdansa sambil menggerayangi tubuh lelaki yang telah merenggut hatinya. Satu-satunya pria yang sanggup menimbulkan perasaan aneh ini hanya dengan memikirkannya.
“Nona Rena!” Rena menoleh ke arah suara. Seorang wanita dengan penampilan glamor dan seksi menghampirinya. Sekilas wanita itu seperti wanita berusia dua puluhan. Tapi jika diperhatikan lebih seksama, usianya pasti sudah di atas empat puluh lima tahun.
Rena mengangguk karena tidak sanggup berbicara nyaring untuk mengalahkan suara musik disko yang berdentam-dentam. Wanita itu duduk dihadapannya. Rena mengamatinya di antara cahaya yang temaram dan merasa yakin belum pernah bertemu wanita itu sebelumnya.
“Aku Maya, pemilik tempat ini.” Wanita itu berbicara sambil mengulurkan tangannya yang terawat. Dia pasti telah menghabiskan banyak uang untuk perawatan tubuhnya.
Rena menjabat tangan Maya sambil tersenyum. “Senang bertemu dengan Anda.” Tentu saja itu basa-basi. Rena tidak senang bertemu wanita ini. Kalau dia pemilik tempat ini, tentu saja dia juga seorang mucikari. Selain itu, dilihat sekilas saja Maya jelas wanita yang kejam.
Maya menyulut sebatang rokok lalu menghisapnya dengan nikmat. Dia menghembuskan asap rokoknya di udara hingga membaur dengan asap rokok yang lain dan bau alkohol. Rena harus berjuang keras agar tidak terbatuk karena aroma sekitarnya yang menyengat.
“Kau tidak menyentuh minumanmu.” Maya mengedikkan kepalanya ke arah gelas minuman Rena yang masih penuh. “Mau aku pesankan minuman lain?”
“Tidak, terima kasih!” ucap Rena tegas.
Maya mengangkat bahu dengan gaya tak peduli. “Baiklah. Kalau begitu apa yang kau inginkan. Atau lebih tepatnya, siapa yang kau inginkan?”
Rena menoleh kembali ke arah lantai dansa. Dirinya bisa dengan leluasa mengamati orang-orang yang ada disana karena tempatnya duduk berada satu lantai di atas lantai dansa yang ada di tengah ruangan dan tepat di sisi pagar pembatas setinggi pinggang.
Lelaki itu masih disana. Mudah dikenali seperti malaikat di antara para iblis. Rena menggertakkan gigi dengan geram melihat seorang wanita menempelkan tubuhnya pada tubuh lelaki itu sambil bergoyang mengikuti irama musik. Lelaki itu hanya tersenyum menggoda meladeni wanita itu.
“Rafka.”
Rena menoleh ke arah Maya. Wanita itu juga sedang menatap lantai dansa tempat lelaki itu berada.
“Maaf, kau tadi mengatakan sesuatu?” Rena menatap Maya menunggu penjelasan.
Maya menoleh sambil tersenyum. “Lelaki itu Rafka.” Kilatan licik melintas di matanya. “Bisa dibilang, dia bocah kesayanganku. Kau harus membayar mahal untuk mendapat servisnya.”
Dasar mucikari! Umpat Rena dalam hati.
Rena mengeluarkan cek dari tasnya lalu menyodorkannya ke hadapan Maya. “Aku hanya minta ditemani setiap malam minggu hingga hari minggunya. Bulan depan aku akan memberikan cek lagi. Apa itu cukup?”
Maya tersenyum senang sambil mengamati cek itu. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam lalu mematikannya di asbak. Wanita itu berdiri sambil mengulurkan tangan. “Senang berbisnis dengan Anda. Dan selamat datang di Fly Club,” ucapnya sok formal.
Rena meraih tangannya sambil mengangguk singkat.
Maya berjalan dengan gaya menggoda yang seolah sudah menjadi ciri khasnya. Rena memperhatikan wanita itu menyeruak kerumunan orang-orang di lantai dansa dengan tenang. Jelas sekali Maya sudah terbiasa melakukannya. Dalam sekejap Maya sudah berdiri di samping lelaki itu.
Rafka menoleh ketika merasakan seseorang menarik lengannya dengan lembut.
Maya mendekatkan bibir di telinga Rafka. “Klien baru untukmu,” bisiknya.
“Berapa jam?”
Maya menyeringai. “Sampai besok sore. Dia membayar cukup mahal. Tapi jam tujuh malam kau harus bekerja seperti biasa.”
Perasaan kesal mulai menyelimuti Rafka. Lelaki itu berkacak pinggang dan menatap Maya dengan menantang, sama sekali tidak menyembunyikan kekesalannya. “Astaga, Maya! Jangan bilang kau lupa perjanjian kita, bahwa aku tidak akan melayani siapapun begitu matahari terbit.”
“Aku tidak lupa, Sayang.” Maya menyentuhkan telapak tangannya di pipi Rafka. “Tapi wanita ini sudah membayar mahal. Bahkan dia akan menjadi pelanggan tetap di sini. Aku tidak ingin mengecewakan pelanggan. Lagipula dia sangat cantik dan menarik. Aku yakin kau pasti menyukainya.”
“Maya...”
“Kumohon, cobalah.” Maya berpikir sejenak. Dia tidak mau kehilangan pelanggan seperti Rena sekaligus tidak ingin membuat Rafka semakin kesal. “Atau begini saja. Lakukan dulu untuk kali ini. Kalau ternyata kau tidak menyukainya, lain kali aku akan menolaknya.”
Rafka mendesah. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Maya. “Baiklah. Dimana dia?”
Maya menyeringai sambil menunjuk tempat Rena. “Dia di atas. Wanita bergaun biru langit yang sedang menatap ke sini. Namanya Rena.”
Rafka menoleh untuk melihat tempat yang ditunjuk Maya. Sangat sulit menemukan seseorang di tengah cahaya yang temaram. Namun Rafka bisa menemukan wanita itu dengan mudah. Mungkin karena pakaian yang dikenakan wanita itu membuatnya tampak bercahaya.
Oh, astaga. Bukan cuma sudah mencuri waktu liburnya, wanita itu juga akan merusak mata Rafka dengan penampilannya yang berkilauan.
Rafka mendesah sekali lagi lalu berjalan menuju wanita itu. Hatinya semakin kesal karena beberapa pengunjung berusaha menarik perhatiannya sehingga dirinya harus berhenti beberapa kali. Dia hanya meladeni mereka dengan senyuman terpaksa.
Setelah sampai di depan wanita itu Rafka langsung menghempaskan diri di kursi di hadapannya. Rafka menolak menatap wanita di depannya, dengan sengaja menunjukkan suasana hatinya yang buruk.
Rena menatap Rafka dengan gugup. Dia bisa merasakan bahwa lelaki itu sedang kesal. Rena berusaha merangkai kata di kepalanya untuk mencairkan suasana.
Mendadak Rafka menoleh menatap Rena dan membuat wanita itu tersentak kaget. Satu menit yang terasa seperti berjam-jam berlalu ketika Rafka mengamati Rena, membuat wanita itu semakin gugup.
Sebaliknya, Rafka mulai diliputi rasa penasaran. Wanita di hadapannya sangat cantik, dan—Rafka yakin—masih sangat muda.
Rafka duduk lebih tegak. Jemari panjangnya diusapkan pada bibir bawahnya. Rasa penasaran berubah menjadi ketertarikan ketika merasakan kegugupan Rena.
“Kau Rena, kan?”
Rena mengangguk singkat lalu kembali menunduk.
Seulas senyum menghias bibir Rafka. Wanita ini sangat menarik. Bukan hanya penampilannya tapi juga sikapnya yang tampak malu-malu dan gugup seperti seorang remaja di depan kekasih pertamanya.
Wanita macam apa yang berani datang ke klub malam, menyewa salah satu gigolonya, tapi bersikap gugup dan malu-malu?
Rafka mendekatkan bibirnya ke telinga Rena, dengan sengaja menyentuhkan pipi mereka. “Apakah ini pertama kalinya kau datang ke tempat seperti ini?”
Rena kembali mengangguk sambil menjauhkan diri dari Rafka.
Senyum Rafka semakin lebar. Wanita ini menjauhinya.
Klien Rafka selama ini adalah wanita nakal yang selalu terang-terangan menunjukkan ketertarikan seksualnya terhadap Rafka. Bahkan biasanya merekalah yang menggerayangi Rafka.
Yah, mungkin saja wanita ini takut ketahuan suaminya. Tapi tetap saja Rena menggelitik rasa ingin tahu Rafka, dan tiba-tiba Rafka ingin mencoba sesuatu.
“Suasana hatiku sedang buruk. Bisakah kita keluar untuk jalan-jalan?”
“Tentu,” sahut Rena lirih sambil meraih tasnya dan berdiri menunggu Rafka.
Astaga, wanita ini penurut.
Rafka masih tersenyum ketika ia berdiri lalu menggenggam tangan Rena, menggandeng wanita itu keluar Fly Club.
--------------------------
♥ Aya Emily ♥
Senin (21.08), 17 Februari 2020
--------------------------
“Kenapa kau tersenyum seperti itu? Apa ada yang lucu?”
Rafka menyandarkan tubuh di jok mobil Rena dengan nyaman. “Konsentrasi saja ke jalan. Aku tidak mau kita kecelakaan karena kau terlalu terpesona padaku.”
Bibir Rena merengut kesal. “Percaya diri sekali.”
Rafka hanya terkekeh lalu lelaki itu memejamkan mata.
Rena tidak berani melirik lagi. Bukan hanya karena ucapan Rafka, tapi juga karena jalanan cukup licin akibat hujan yang mengguyur sore tadi.
Rena mengemudikan mobilnya memasuki area pantai. Dia tidak tahu harus kemana ketika Rafka mengatakan ingin jalan-jalan. Lalu Rena teringat ucapan salah satu temannya bahwa di pantai ini sangat indah di malam minggu. Tempat yang biasa dikunjungi sepasang kekasih.
Sepasang kekasih!
Pipi Rena memerah memikirkan kata itu. Perasaan gugup yang mulai menghilang sejak ia mengemudi keluar pintu gerbang Fly Club, kini kembali menyerang. Rena menarik nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri sambil memarkir mobilnya. Setelah mesin dimatikan, Rena menoleh menatap Rafka.
Lelaki itu benar-benar terlelap. Bibirnya sedikit terbuka. Wajah tampannya terlihat tenang.
Rena melipat kedua tangannya di atas kemudi, lalu merebahkan kepalanya menyamping, mencari posisi yang nyaman untuk bisa mengamati Rafka.
Rafka tidak ingat pada dirinya. Sebaliknya, Rena tidak bisa melupakan wajah itu. Malaikat penyelamatnya.
Enam tahun yang lalu, Rena pikir sudah tidak memiliki harapan lagi untuk hidup. Dia bahkan sudah pamit pada kedua orang tuanya agar mereka merelakan dirinya pergi. Rena tidak tega melihat wajah mamanya yang semakin tirus dengan mata merah membengkak dan papanya yang semakin kurus.
Lalu lelaki itu datang. Berdiri menjulang di samping ranjang rumah sakit tempat Rena terbaring. Seulas senyum menghiasi bibir tipisnya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Rena sejak ia divonis mengidap gagal ginjal, Rena percaya bahwa dirinya akan selamat.
“Apa yang kau lihat?”
Rena mengerjapkan mata beberapa kali. Mata hitam pekat itu sedang menatap dirinya dengan kening berkerut.
“Atau memang seperti itukah kalau kau tidur? Dengan mata terbuka lebar dan pandangan kosong?” Rafka menggeliat untuk meregangkan tubuhnya yang terasa kaku.
“Um, tidak. Aku hanya sedang berpikir.”
Rafka tersenyum sinis menatap Rena. “Kenapa? Mulai merasa bersalah pada suamimu?”
Rena menatap jemarinya di atas kemudi. “Aku belum pernah menikah.”
Rafka terperangah mendengar jawaban Rena. Mereka yang biasa menyewa dirinya adalah wanita yang kesepian karena ditinggal suami. Kalau Rena belum pernah menikah, untuk apa wanita itu menyewa dirinya?
“Jujur, Rena. Sejak pertama kali kau membuatku penasaran. Berapa usiamu?”
“Dua puluh tiga.”
Rafka melongo. “Apa maksudmu? Kau masih kuliah? Apa ini kegiatan anak kuliahan jaman sekarang?” ketika melihat wajah Rena yang tampak ketakutan, Rafka baru sadar bahwa dia telah membentak wanita itu. Bahkan Rena lebih pantas disebut gadis. Rafka memijat pelipisnya yang mulai berdenyut.
“Aku sudah lulus kuliah beberapa bulan yang laluz,” jawab Rena pelan, khawatir dengan reaksi Rafka.
Rafka mendesah keras lalu menatap Rena tajam. “Katakan padaku, apa kau sadar apa yang sedang kau lakukan? Gadis kecil sepertimu datang ke sebuah klub malam lalu menyewa pekerjanya?”
Rena tahu yang dilakukannya beresiko. Karena itu Rena tidak berani memberitahu rencananya pada orang tuanya. Tapi Rena tidak suka Rafka memarahinya seolah dirinya anak kecil. Rena tidak mau Rafka menganggapnya anak kecil.
Kali ini Rena membalas tatapan Rafka dengan menantang. “Kau tidak perlu memarahiku seperti itu. Kau bukan ayahku dan aku bukan gadis kecil.”
Tanpa menunggu jawaban, Rena keluar dari mobil. Gadis itu bergidik ketika angin dingin menerpa tubuhnya. Ia berjalan menuju bagian depan mobil lalu bersandar di kap mobil. Ia memeluk kedua lengannya yang terbuka untuk menghangatkan diri.
Setelah mengacak rambutnya dengan frustasi, Rafka mengikuti Rena keluar. Lelaki itu bersandar di sebelah Rena sambil menyalakan sebatang rokok, lalu menghisapnya dalam-dalam.
“Kenapa kita ke sini?” Rafka yang lebih dulu memecah keheningan.
“Kau bilang ingin jalan-jalan.”
Rafka mendesah. “Kenapa kau datang ke Fly Club?”
Rena melirik Rafka sekilas untuk mengukur reaksinya. Kelihatannya Rafka sudah mulai tenang. “Aku ingin memiliki kekasih yang akan menemaniku tiap akhir pekan.”
Rafka terkekeh. “Rena, apa kau tidak memiliki cermin di rumah? Kau sangat cantik dan menarik. Kau bisa mendapatkan lelaki manapun yang kau inginkan. Bahkan bukan hanya akhir pekan. Kau bisa memiliki kekasih yang baik, yang akan menemanimu setiap hari.”
Rena menatap Rafka dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. “Benarkah itu? Aku bisa mendapatkan lelaki manapun yang kuinginkan?”
“Tentu saja.”
“Dan menurutmu aku cantik?”
“Ya, sangat cantik.” Rafka mengerutkan kening melihat mata Rena yang berbinar. “Apa kau sedang menyukai seseorang?”
Rena mengangguk dengan gembira.
Entah kenapa, rasa kecewa mencekam dada Rafka. Mungkin karena Rafka ingin mengetahui bagaimana rasanya bersama wanita yang tidak hanya menganggap dirinya pemuas nafsu. “Kalau begitu kau harus mengejar orang itu.”
“Aku memang sedang mengejarnya.”
“Lalu apa yang kau lakukan di sini? Membuang waktumu bersamaku.”
Senyum Rena semakin lebar. “Ini salah satu caraku untuk mendapatkan lelaki itu.”
Rafka menginjak puntung rokoknya lalu menghadap Rena sambil berkacak pinggang. Sepertinya Rafka mulai menangkap maksud Rena. “Dan lelaki itu adalah...”
“Kau.” Ucap Rena berbisik.
Suatu perasaan aneh mengembang di dada Rafka hingga membuat kerongkongannya tercekat. Rafka menelan ludah sebelum berkata, “Jadi, kau ingin menjadi kekasihku?”
Rena mengangguk tanpa melepaskan tatapan mereka.
Pikiran Rafka melayang. Dirinya tidak pernah memiliki kekasih. Gadis aneh ini memberinya kesempatan. Kenapa tidak dia coba saja. “Baiklah, kau akan menjadi kekasihku. Tapi pertama, aku tidak mau kau mengenakan pakaian norak semacam ini lagi. Kau bawa jaket?”
Rena meringis sambil menggeleng. “Aku membeli baju ini khusus untuk datang ke Fly Club. Aku pikir pakaian semacam ini akan cocok disana.”
Rafka melepaskan jaketnya lalu membantu Rena mengenakan jaket itu. “Bukan norak, tapi seksi.”
“Akan kuingat itu.”
“Tidak. Kau tidak perlu mengingatnya. Aku tidak mau kau memamerkan tubuhmu pada semua orang.”
Rena terkekeh geli. “Kau mulai bersikap seperti kekasih.”
“Benarkah? Apa kekasihmu sebelumnya selalu bersikap seperti ini?” Rafka menggenggam jemari Rena lalu mengajaknya menyusuri pantai.
“Kau adalah kekasih pertamaku.”
Rafka mengangkat alis dengan heran. “Aku jadi penasaran bagaimana kau menghabiskan masa remajamu.”
Dengan berbaring di rumah sakit, desis Rena dalam hati. “Kau sendiri? Berapa banyak wanita yang pernah menjadi kekasihmu? Selain klien, tentu saja.”
“Kau juga adalah kekasih pertamaku.”
Mereka berjalan dalam keheningan malam, menikmati debur ombak. Sesekali mereka berpapasan dengan pasangan lain yang tampak sangat mesra. Rena menatap penasaran pada sepasang kekasih yang tanpa malu-malu berciuman di tepi pantai.
Rafka merangkulkan lengannya di pundak Rena seraya memalingkan wajah gadis itu. “Kau sedang apa gadis kecil? Pemandangan seperti itu tidak pantas untukmu.”
Rena cemberut. “Kau memperlakukanku seperti anak kecil lagi.”
Rafka menyeringai. “Ah, tunggu dulu. Kenapa tiba-tiba kau memilihku menjadi kekasihmu? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Iya.”
“Benarkah? Kapan?”
“Kau bahkan tidak ingat padaku. Kau pasti juga tidak ingat kejadian itu.”
Rafka berhenti. Jemarinya mengangkat dagu Rena agar menatapnya. “Kejadian apa? Ceritakan padaku!”
“Sudahlah, lupakan saja.” Rena menatap sekeliling untuk mencari pengalih perhatian. “Lihat! Warung bakso. Aku lapar sekali. Ayo!” Rena langsung merangkul lengan Rafka sekaligus sedikit menarik tubuh Rafka agar mengikutinya.
Rafka hanya diam saja mengikuti kemauan Rena sambil berusaha mengingat. Tapi dirinya tetap tidak bisa mengingat pertemuannya dengan Rena.
Akhirnya mereka makan dalam diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Sudah selesai?” tanya Rena setelah melihat Rafka menghabiskan teh hangatnya.
“Ya, aku sudah selesai. Tapi kau belum menghabiskan makananmu. Bukankah kau yang lapar?”
Rena menyeringai. “Seorang wanita tidak boleh makan terlalu banyak di malam hari.”
“Tapi wanita yang baik tidak akan menyia-nyiakan makanan.” balas Rafka.
“Terserahlah. Sekarang sana bayar!”
Rafka menatap Rena tidak percaya. “Kau menyuruhku membayar?” Rafka menatap Rena seperti menasehati anak kecil. “Rena, tidak satupun klienku yang pernah menyuruhku membayar. Merekalah yang seharusnya membiayai pengeluaranku selama aku bersamanya.”
Rena merengut kesal. “Aku bukan klienmu. Aku kekasihmu.” Gadis itu langsung bangkit dan keluar dari warung kecil itu, meninggalkan Rafka yang melongo menatap kepergiannya.
Rena berjalan sambil menghentakkan kaki dengan kesal. Seharusnya dia tidak menyalahkan Rafka. Mereka berdua masih baru dengan hubungan ini. Namun Rena sungguh tidak suka jika Rafka menganggap dirinya klien lelaki itu.
Suara langkah mengejar terdengar di belakang Rena. Gadis itu mengabaikannya dan tetap berjalan kembali ke tempat mobilnya diparkir.
Rafka sendiri hanya mengikuti Rena dari belakang. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Haruskah ia meminta maaf? Tapi untuk apa? Walaupun Rena menganggap dirinya kekasih, itu tidak bisa menutupi kenyataan bahwa Rena membayar sejumlah uang kepada Maya demi bisa bersama dirinya.
Rafka menarik lengan atas Rena untuk menghentikan langkah gadis itu. Begitu Rena menatap matanya, Rafka berkata, “Aku akan mengganti uang yang kau berikan pada Maya.”
Mata Rena membelalak. “Kenapa?” kepanikan terdengar jelas dalam suara Rena. “Kau masih marah padaku? Apa kau tidak mau bertemu denganku lagi?”
Rafka bisa merasakan kepanikan Rena dan perasaan bangga menyeruak di dadanya. Mungkinkah gadis kecil ini takut kehilangan dirinya? “Rena, dengar dulu.” Rafka memegang wajah Rena di antara jemarinya. “Kalau kau sungguh ingin menjadi kekasihku, kau tidak boleh mengeluarkan satu sen pun hanya untuk bisa bersamaku. Kalau kau tetap melakukannya percuma saja, karena kau tetaplah klienku. Kau mengerti maksudku?”
Rena mengangguk perlahan.
“Bagus.” Rafka mundur, menjauhkan tangannya dari wajah Rena, dan anehnya merasa kehilangan. “Sekarang serahkan kunci mobilmu. Aku yang menyetir dan kau yang menunjukkan arahnya.”
Rena menyerahkan kunci mobilnya dan sebelum Rafka berbalik, Rena berjinjit lalu mengecup pipi Rafka hingga membuat lelaki itu terperangah. Senyum Rena merekah ketika ia berjalan mundur lalu berbalik menjauhi Rafka.
Akhirnya Rafka tidak bisa menahan seringai kegembiraan yang muncul di bibirnya. Ya Tuhan, perbuatan baik apa yang pernah dilakukannya hingga bidadari kecil ini jatuh di hadapannya?
***
Rafka mengganti-ganti saluran televisi tanpa semangat. Sudah enam belas tahun berlalu sejak ia terakhir kali menonton televisi. Sekarang tidak satupun acara omong kosong itu yang menarik perhatiannya.
Rafka menoleh ketika sebuah bantal jatuh di sampingnya di atas kasur lantai tempat Rafka berbaring sambil menghadap televisi layar datar. Lelaki itu menatap heran pada Rena yang membetulkan letak bantal lalu berbaring tepat di sebelah Rafka. Gaun biru langitnya sudah digantikan piama lengan panjang. Sekarang gadis itu menarik setengah selimut yang digunakan Rafka. Rafka segera duduk sambil menarik selimut itu.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak tidur di kamarmu?”
Rena tersenyum malu. “Waktu kita sampai besok. Setelah itu aku harus menunggu selama satu minggu untuk bisa bertemu denganmu lagi. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktu.”
Rafka menyusurkan jemari di antara helai rambutnya. “Rena sayang,” ucapnya lembut seperti berbicara dengan anak kecil. “kau wanita dan aku pria. Kalau tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kita tidak boleh tidur satu selimut.”
“Kalau begitu aku akan mengambil selimut yang lain.” Jawab Rena dengan polos.
“Rena...”
“Rafka, kau mulai memperlakukanku seperti anak kecil lagi.”
“Tentu saja aku pantas melakukannya. Kau tahu berapa tahun perbedaan usia kita? Sepuluh tahun. Aku bahkan cukup pantas menjadi pamanmu.”
“Terserahlah, aku tidak peduli.” Rena berbalik membelakangi Rafka. “Matikan televisinya!” tambah gadis itu.
Rafka mendesah. Gadis ini keras kepala.
Rafka bangkit untuk mematikan televisi dan lampu lalu ia kembali berbaring.
“Kenapa lampunya dimatikan? Aku takut tidur dalam gelap.” Bisik Rena.
Rafka menghamparkan selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua lalu melingkarkan lengannya di tubuh Rena. “Pejamkan saja matamu. Ada aku di sini.”
***
“Rena, siapa pria itu?”
Rena menoleh menatap tetangganya yang sedang menatap curiga dari pagar pembatas rumah mereka. “Ah, tante Yuni. Dia tunangan Rena.”
Rafka yang sedang membuka bagasi mobil menatap Rena dengan bibir terbuka. Apa yang baru saja dikatakan gadis itu?
“Astaga, Rena. Kapan acaranya? Kenapa tante tidak diundang?”
“Cuma acara keluarga, tante. Jadi tidak ada undangan.”
Rafka mengelurkan barang belanjaan mereka lalu membawanya ke dalam rumah. Dia sama sekali tidak tertarik mendengarkan gosip para wanita itu. Sesampainya di dapur, Rafka mengeluarkan kopi bubuk lalu memasukkannya ke mesin pembuat kopi.
Ketika Rena datang, Rafka sedang menuang kopi yang mengepul ke dalam cangkir dan sedang menambahkan gula. “Apa gosipnya sudah selesai?”
Rena menyeringai menatap Rafka yang terlihat kesal. “Aku hanya bersikap sopan pada tetangga.”
“Sopan? Kau berbohong pada tetanggamu.”
“Tidak akan merugikan siapapun.”
“Kau pasti sudah biasa berbohong.” Tuduh Rafka sambil menyesap kopinya.
“Tidak. Tapi aku sudah bersiap-siap untuk yang satu ini.” Rena menyeringai.
“Oh, jadi itu sebabnya kau memaksaku menjelajah seluruh kompleks pertokoan di daerah ini sejak pagi untuk membelikanmu cincin. Untuk melengkapi sandiwaramu?”
Rena mengangguk gembira sambil mencium cincin di jari manisnya dengan mata berbinar. Perasaan aneh kembali menyelimuti dada Rafka melihat Rena begitu menghargai barang pemberiannya.
Lelaki itu tersenyum melihat Rena mengeluarkan barang belanjaan sambil bersenandung riang.
Rafka meletakkan cangkir kopinya lalu menyandarkan pinggul di meja dapur. “Rena, kemarilah!” Rena menoleh dan melihat Rafka merentangkan tangannya, mengundang dirinya ke dalam pelukan lelaki itu.
Sejenak Rena terdiam lalu melangkah ragu mendekati Rafka. Begitu berada dalam jangkauannya, Rafka mendekap Rena erat. Selang beberapa detik Rena mulai rileks, dengan perlahan melingkarkan lengannya di pinggang Rafka.
Mereka terdiam cukup lama dalam posisi itu. Menikmati perasaan nyaman dalam dekapan satu sama lain.
Setelah Rafka menjauhkan diri ia berkata, “Lihat aku!”
Rena mendongak menatap Rafka, sedikit terkejut ketika Rafka menyatukan bibir mereka. Bibir Rafka menyentuh lembut, berhati-hati menunggu reaksi Rena. Gadis itu hanya terdiam dengan bibir terkatup rapat. Jantungnya berdebar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tiba-tiba Rafka menjauh. Senyum geli tersungging di bibirnya.
Rena mengernyit menatap Rafka. “Apa ada yang lucu?”
“Kau, gadisku. Sangat lucu.” Senyum Rafka semakin lebar melihat Rena cemberut.
Dengan sayang dikecupnya ujung hidung Rena. Ada kalanya Rafka merasa mereka sudah tinggal serumah selama bertahun-tahun, bukannya baru semalam. Rafka melirik jam tangannya sekilas lalu kembali menatap Rena.
“Waktuku di sini tinggal satu jam. Apa ada sesuatu yang ingin kau lakukan sebelum aku pergi?”
Mata Rena yang semula berbinar kini meredup. “Sejak kita bertemu aku yang selalu memaksamu melakukan sesuatu. Sekarang giliranmu. Apa yang ingin kau lakukan?”
Mata Rafka berkilat geli. “Kau serius mau melakukan keinginanku?”
“Tentu.”
Senyum nakal tersungging di bibir Rafka. “Ciumanmu payah. Kau mau kuajari berciuman?”
Pipi Rena bersemu merah lalu gadis itu mengangguk malu-malu.
Rafka terkekeh lalu kembali mendekap Rena.
-------------------------------
♥ Aya Emily ♥
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!