NovelToon NovelToon

ALYA, Seraut Wajah Yang Ku Kenal

BAB 1 Mengikuti

Alya tengah berdiri di halte. Ia bersama orang-orang yang baru pulang dari bekerja sedang menunggu kedatangan bus. Gadis berhijab hijau dengan bentuk mata yang indah asyik mengobrol dengan Reni. Tawa renyah menghiasi wajahnya menambah cantik parasnya tatkala mendengar gurauan teman perempuannya itu.

Embusan angin sore menggoyangkan kerudung panjang yang membalut kepalanya.

Suara bising kendaraan bermotor yang berlalu lalang membuat lelaki yang sudah beberapa hari ini mengikutinya, tidak dapat mendengar apa yang sedang dibicarakan gadis itu bersama temannya.

Tak lama, bus pun datang. Alya dan Reni, juga para penumpang lain masuk menaiki bus. Bus hampir penuh.

Lelaki yang sejak tadi memperhatikan kedua gadis itupun ikut masuk ke dalam bus. Ia berjalan melewati keduanya, lalu duduk di kursi paling belakang. Selama perjalanan, lelaki itu terus memperhatikan Alya dan Reni yang masih asyik mengobrol di dalam bus

Tiga puluh menit kemudian, Alya menekan tombol agar bus berhenti. Tujuannya sudah sampai. Ia harus turun.

“Aku duluan ya, Ren,” ucapnya pada Reni.

“Iya, Al, hati-hati,” sahut Reni.

Alya segera turun dari bus. Lelaki itupun ikut turun menyusulnya.

Saat bus sudah melaju, Reni baru tersadar akan lelaki yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam yang ikut turun bersama Alya. Reni juga sejak tadi memperhatikan lelaki itu saat di halte dan menaruh curiga padanya. Apakah lelaki itu mengikuti Alya? Karena khawatir pada temannya itu, Reni segera menelpon Alya untuk memberitahukannya bahwa ada seorang lelaki yang mengikutinya.

Drrtt…drrtt…

Ponsel Alya bergetar. Ia pun menghentikan langkahnya untuk mengambil ponsel dalam tas.

Melihat Alya berhenti dan menerima panggilan telepon, lelaki itu bersembunyi di balik pohon.

“Reni? Kenapa dia menelponku?” tanyanya sendiri dengan dahi mengerut.

“Ya, Ren, ada apa kamu meneleponku?”

“Al, ada cowo yang ngikutin Lo,” ucap Reni to the point.

“Hah, cowo?” Alya menoleh ke belakang dan celingukan, tapi tidak menemukan sosok laki-laki yang dimaksud Reni.

“Gak ada siapa-siapa, Ren,” sahut Alya.

“Gue yakin tadi tuh cowo ngikutin lo. Sewaktu lo turun, dia ada di belakang lo,” kata Reni lagi. Kali ini nadanya semakin khawatir.

“Ah, gak ada, gak ada siapa-siapa di sini. Ya sudah, sebentar lagi juga aku sampai rumah!” Alya menutup telponnya dan melanjutkan perjalanannya kembali menuju rumah.

Keadaan gang memang sepi karena hari hampir mendekati malam. Di sebelah kanan gang itu terbentang tembok pembatas sedangkan di sisi kirinya ada kebun kosong. Hanya Alya dan sosok lelaki misterius yang berjalan di sana. Waktu sudah hampir maghrib, langit pun mulai gelap.

Alya baru merasa ada seseorang yang mengikutinya, saat ia berada di belokan gang. Ia mempercepat langkahnya sambil memeluk tas dengan kencang. Alya berlari, lelaki itu pun mengejarnya. Hampir sampai di ujung gang, Alya terjatuh.

“Aww! Aduh, kakiku!” Alya meringis kesakitan sambil memegangi kakinya.

Lelaki misterius itu berjalan perlahan mendekatinya.

Alya berusaha berdiri. Namun, kembali terjatuh. Kakinya terkilir dan tak bisa digerakkan. Ia mengaduh kesakitan. Alya ingin berteriak, tetapi seakan tenggorokannya tercekat.

Alya terlalu fokus pada kakinya yang kesakitan, hingga seseorang mendekatinya. Tangan lelaki itu mencengkram pergelangan tangan Alya. Ia begitu dekat. Netra mereka saling menatap. Aroma tubuh lelaki itu menusuk indera penciuman Alya.

Gadis itu ketakutan. Badannya gemetar. Buliran keringat membasahi wajahnya. Kakinya lemas begitu juga tubuhnya. Tak mampu ia melihat wajah lelaki itu. Pandangannya kabur dan akhirnya Alya pun tak sadarkan diri.

***

Rendi Prayoga Atmaja, nama lengkapnya. Lelaki berusia 27 tahun itu tengah duduk seorang diri di ruangannya. Kaki kanannya menyilang dengan kaki kiri dijadikan tumpuan. Jari-jari tangannya bertaut satu sama lain, dan punggungnya bersandar di sandaran kursi.

Rendi merasa bersalah karena telah membuat gadis yang disukainya ketakutan. Ia tidak bermaksud membuat Alya takut. Ia hanya ingin menolong gadis itu dari seseorang yang mengikutinya.

Alya adalah tipe gadis pilihannya. Gadis manis yang selalu hadir dalam pikirannya itu pernah menolongnya. Bahkan gadis itu mampu membuat hati Rendi bergetar hebat sejak melihatnya.

Menatap mata jernih dan senyuman manis itu, membuat Rendi merasakan kembali jatuh cinta, setelah lama ia memendam kecewa pada gadis masa lalunya. Namun, ada hal yang aneh ketika ia mendekati gadis itu.

\=\=\=

Malam itu, saat Rendi ingin menolongnya, gadis itu tidak sadarkan diri.

“Nona….nona!!!” Rendi panik melihat Alya pingsan. Ia menepuk-nepuk pipi gadis itu agar terbangun namun Alya tidak merespon.

Rendi pun memanggil Mang Sukri, sopirnya yang sengaja ia ajak untuk mengikuti gadis itu. Mang Sukri turun dari mobil sedan hitam dan menghampiri tuannya.

“Apa yang terjadi, Den?” tanya Mang Sukri khawatir.

“Bantu saya dulu, Mang. Ayo kita bawa ke rumah sakit!” pinta Rendi.

Mang Sukri membantu Rendi mengangkat gadis itu masuk ke dalam mobil. Mereka segera membawa Alya ke rumah sakit. Beruntung ada sebuah klinik di sekitar daerah itu.

Lama Rendi menunggu gadis itu siuman. Sambil menunggu, ia menghubungi seseorang di luar. Karena sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, ia tidak menyadari bahwa Alya melarikan diri. Saat Rendi ingin menemui gadis itu, Alya sudah tidak ada di ruang rawat.

Rendi panik dan berlari keluar untuk mencari Alya. Ia bertanya suster dan orang-orang yang ada di klinik tentang gadis itu. Namun, tidak ada yang melihat Alya.

Akhirnya, Rendi memutuskan meninggalkan klinik. Ia kembali kehilangan jejak gadis itu.

\=\=\=\=

“Mengapa ia tidak mengenaliku?” sesal Rendi. Wajahnya tampak frustasi.

“Padahal dia pernah menolongku. Ada apa dengannya? Kenapa dia aneh sekali?” ucapnya lagi.

“Apanya yang aneh, Ren?” Seorang lelaki yang entah sejak kapan berdiri di hadapan Rendi, bertanya.

“Eh, lo, Den. Sejak kapan lo masuk ke ruangan gue? Ketok pintu dulu sebelum masuk!” gerutu Rendi kesal, karena merasa terganggu dengan kedatangan Dena di ruangannya.

Dena yang merasa tidak bersalah, tidak menghiraukan kekesalan Rendi dan malah membalik badan untuk duduk di sofa. Pasalnya ia sudah mengetuk pintu beberapa kali namun tidak ada sahutan dari orang yang berada di dalamnya. Sehingga ia harus masuk sendiri untuk memastikan atasannya baik-baik saja.

“Gue udah ketok beberapa kali, lo yang gak denger. Ternyata lo asyik ngelamun. Apa lo masih mikirin gadis itu?” tanya Dena.

Rendi bangkit dari kursi kebesarannya, lalu melangkah dan duduk di sofa tunggal dekat Dena.

Asisten sekaligus temannya itu selalu bisa menebak apa yang sedang Rendi pikirkan. Rendi menceritakan apa yang terjadi kepada gadis yang bernama lengkap Alya Wulandari, semalam.

“Maksud, lo, lo nguikutin dia? Gadis yang tiap sore nunggu bis di halte?” tanya Dena tidak percaya.

Rendi mengangguk. Ia menyadari perbuatannya itu memang salah.

“Ya ampun, Rendi Prayoga Atmaja. Pewaris ATMA JAYA Grup. Lo udah gak waras bikin anak orang ketakutan sampai pingsan? Wah, nekat lo, Ren ... Ren.” Dena tampak kecewa dengan kenekatan temannya itu.

“Lo gak berbuat macam-macam kan ke gadis itu? Apa dia baik-baik aja? Terus lo bawa ke mana dia? Apa ada yang ngeliat lo di sana?” Rentetan pertanyaan dilontarkan Dena.

“Kenapa jadi lo yang khawatir?” Rendi balik bertanya.

Dena bersandar di sofa. Sesantai itu bosnya.

“Rendi, gue serius!” bentak Dena.

“Lo tenang aja. Gue juga masih punya iman. Gadis itu baik-baik aja. Gue bawa dia ke klinik,” jawab Rendi.

Dena bersyukur dalam hati. Ia merasa lega, apa yang dilakukan bosnya tidak seperti apa yang ada dalam pikirannya. Bukan soal gadis itu, tapi ini tentang reputasi sang pewaris AJ Grup. Dena sangat khawatir Rendi berbuat yang tidak-tidak pada gadis itu.

Selanjutnya, Rendi meminta Dena untuk melakukan sesuatu. Ia harus mendapatkan informasi lengkap tentang gadis itu.

Dena berdiri dari duduknya. Ia tampak berpikir sambil berjalan bolak-balik di depan Rendi.

“Ah, gue ada ide!” Dena menjentikkan jari dan duduk kembali di tempatnya. Ia membisikkan sesuatu di telinga Rendi. Rendi pun manggut-manggut mengerti.

Apa yang akan dilakukan Dena untuk membantu Rendi? Ikuti kisah selanjutnya.

***

Mohon dukungannya ya, jangan lupa vote, like, and komen pada karya pertamaku. Jangan lupa tambahkan favorit🙏

Moga suka dengan kisah Alya dan Rendi🤗🥰

Happy reading, guys!!

BAB 2 Boss Cafe

Pagi ini, Alya sudah bersiap untuk pergi ke café tempatnya bekerja.

Sebenarnya, ia tidak ingin masuk bekerja karena masih merasakan nyeri di pergelangan kakinya akibat kejadian semalam. Ia ingin rehat barang sehari saja. Namun, ternyata bos pemilik café menelepon dan menyuruhnya datang ke cafe hari ini. Alya tidak bisa menolak, karena ia hanya bawahan. Lagipula, Alya itu seorang yang sangat profesional.

“Alya, kamu mau berangkat kerja? Ayu bilang, semalam kamu pulang terlambat ya?” tanya Bu Rina, ibunya. Saat Alya keluar dari kamar, wanita paruh baya itu sedang menata makanan di meja.

Saat Alya pulang, ibunya memang sudah tidur. Bu Rina mengetahui Alya pulang terlambat dari Ayu, pegawainya.

Alya hanya tersenyum. Ia tidak menceritakan kejadian saat ia pulang kerja. Alya pun meminta Ayu tutup mulut, karena tidak ingin membuat ibunya khawatir.

“Kaki kamu kenapa, Alya?” tanya Bu Rina lagi saat melihat Alya berjalan pincang. Terlihat kaki sebelah kanannya dibebat. Dengan cepat Alya menyembunyikan kakinya yang terluka di balik rok panjang yang dikenakannya.

“Ah, gak pa-pa, Bu. Hanya keseleo semalam pas pulang kerja,” jawab Alya berbohong. Bergegas ia duduk untuk menikmati sarapannya. Ibu tampak khawatir dan segera berjongkok untuk mengecek keadaan kaki putrinya.

“Ini hanya luka kecil, Bu. Ibu gak usah khawatir,” ucap Alya mencoba menenangkan ibunya.

Sesaat ia teringat dengan kejadian mengerikan semalam.

\=\=\=

Saat Alya pulang dari cafe, ada seorang lelaki yang mengikutinya dari belakang. Alya tidak bisa melihat wajahnya, walau si penguntit berada sangat dekat dengannya.

Semakin laki-laki itu mendekat, Alya semakin ketakutan. Hingga akhirnya, ia tidak sadarkan diri. Saat terbangun, Alya menyadari bahwa dirinya sudah berada di klinik.

Setelah kesadarannya terkumpul, Alya mengitari ruangan yang tampak tidak asing baginya. Itu adalah klinik milik seorang teman. Sayang, malam itu bukan jadwal dokter kenalannya. Sehingga, ia tidak bisa meminta tolong pada dokter itu.

Alya melirik jam yang menempel di dinding ruang rawat klinik tersebut. Saat ia bangun, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia pun bergegas turun dari ranjang dan melepas jarum infus di tangannya. Tanpa banyak berpikir, Alya segera pergi meninggalkan klinik, khawatir lelaki misterius yang mengikutinya itu ada di klinik.

\=\=\=

"Kok kamu melamun, Al? Cepat makan sarapan kamu," suara ibu menginterupsi Alya.

"Ah, iya, Bu!" sahut Alya.

Alya menyuapkan nasi goreng yang sudah disiapkan ibu. Ia makan dengan lahap hingga makanan itu tidak bersisa.

“Aku berangkat, ya, Bu,” pamit Alya setelah menghabiskan sarapannya.

“Loh, tapi kakimu kan lagi sakit, Al? Apa tidak sebaiknya kamu izin dulu?” tanya Ibu dengan pandangan ke arah kaki Alya.

“Gak apa-apa, Bu. Nanti aku naik ojeg aja, biar gak banyak jalan. Ini Mbak Dewi nelpon terus dan meminta aku untuk datang ke café. Penting katanya,” jawab Alya.

“Ya sudah, kamu hati-hati ya, Al,” pesan Ibu.

Alya mengangguk seraya mencium punggung tangan ibunya lalu bergegas pergi.

***

Alya Wulandari. Gadis itu berusia 25 tahun. Ia bekerja di sebuah café di kawasan pusat perbelanjaan mewah di Cibubur. Sudah setahun ia bekerja di sana sebagai pembuat kue. Karena Dewi, si pemilik café sangat suka dengan kue yang dibuat Alya sehingga gadis itu ditawari untuk bekerja di cafenya.

Alya gadis yang sangat rajin dan baik hati. Ia tidak pernah sungkan untuk membantu para karyawan lain dalam bekerja, padahal itu bukan tugasnya. Bahkan ia membantu membereskan meja dan kursi ketika café tutup.

Alya sudah sampai di tempat kerjanya. Ia bergegas masuk, karena si pemilik café sudah menunggunya.

Saat dalam perjalanan menuju cafe, Dewi menelepon Alya kembali. Ia harus segera berangkat ke bandara dan terbang ke Malaysia untuk mengurus bisnisnya yang ada di sana.

“Ya ampun, Mbak Dewi, kenapa ngedadak begini sih? Mau pergi ke Malaysia, kok, gak bilang-bilang?” tanya Alya sembari berjalan terseok menghampiri Dewi, atasannya.

“Loh, Al, kaki kamu kenapa?” Bukannya menjawab, Dewi malah bertanya balik soal kaki Alya.

Alya terkekeh.

“Hehe, keseleo, Mbak, semalem pas pulang dari café,” jawab Alya.

Alya masih berbohong perihal kakinya yang sakit. Ia tidak ingin membuat orang-orang yang menyayanginya terlihat khawatir. Dewi sudah seperti kakaknya sendiri. Ya, Dewi pun menganggap Alya sebagai adik.

“Sudah, kamu duduk saja di kursi kerjaku,” suruh Dewi sambil menunjuk meja kerjanya.

“Sementara aku mengurus bisnisku di Malaysia, kamu yang menggantikan aku di sini. Pekerjaan kamu biar Reni dan lainnya yang selesaikan. Kamu cukup pantau perkembangan café dan karyawan kita, dan Mbak tunggu laporannya tiga bulan mendatang setelah Mbak kembali. Oke?!” titah Dewi tanpa tawar menawar.

“Loh, kenapa mesti aku, Mbak?” Alya coba menolak.

“Aku percayakan cafe ini sama kamu. Sekarang, kamu duduk saja di kursi Mbak, tidak usah kerja. Kalau tau kamu sakit, Mbak gak bakal nyuruh kamu ke sini, Al. Kenapa kamu gak bilang sewaktu mbak telpon tadi?” tanya Dewi meminta penjelasan.

“Gak apa-apa, mbak … besok juga sembuh, kok. Biar aku bekerja seperti biasa saja. Aku gak betah juga kalo harus diam dan gak ngelakuin apa-apa,” rengek Alya. Ia mencoba bangkit dari duduknya, tapi kakinya terasa sakit.

“Ah, aww … sssh!” Alya meringis.

“Tuh, kan bandel, sih!” ucap Dewi sambil membantu Alya duduk kembali. “Sudah ya, Mbak pergi dulu. Kamu gak usah ngapa-ngapain. Hari ini kamu bosnya!” sambungnya.

“Ya, Mbak, hati-hati! Aku laksanakan perintah, Mbak,” sahut Alya.

Dewi pergi keluar café setelah memeluk Alya dan berpamitan kepada Reni dan karyawannya yang lain. Ia lalu bergegas masuk ke dalam taksi yang dipesannya untuk berangkat menuju bandara.

Alya menyesal tidak bisa mengantar kepergian Dewi ke bandara, karena cedera kakinya. Namun, tidak masalah bagi Dewi.

***

“Sudah diurut belum, Al?” tanya Reni sambil tangannya sibuk mengelap dan menyusun gelas-gelas di konteiner.

Alya menggeleng sambil memijat-mijat kainnya. Ia tengah duduk di kursi yang berada di depan meja pemesanan.

“Lagian lo minta naik bis, padahal udah gelap. Eh, tapi lo gak diapa-apain kan ama tuh cowo?” tanya Reni lagi.

“Aku gak tau, Ren. Aku pingsan. Saat aku bangun, aku sudah berada di klinik depan gang. Aku rasa, aku baik-baik saja, cuma kakiku saja yang sakit karena terkilir,” jawab Alya.

“Siapa yang bawa lo ke klinik? Apa cowo itu? Lo ingat wajahnya?”

“Aku gak tau pasti siapa yang bawa aku ke klinik. Aku juga ingat wajahnya. Waktu itu aku sangat ketakutan. Karena khawatir cowo itu muncul lagi, aku buru-buru kabur dari klinik. Mungkin itu juga yang bikin cedera kakiku parah,” terang Alya. Ia mencoba mengingat kembali yang terjadi semalam. Alya yakin tidak ada hal yang buruk terjadi pada dirinya.

Reni menghentikan aktivitasnya lalu melangkah mencari minyak urut di kotak obat. Setelah dapat, ia kembali menghampiri Alya dan mengurut pergelangan kaki Alya yang sebelumnya dibebat kain.

“Aww … pelan-pelan dong, Ren. Sakit tau,” omel Alya.

“Yee … bawel banget, sih, tahan sebentar!”

Alya menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit.

“Coba sekarang belajar jalan, pelan-pelan aja!” suruh Reni setelah menunjukkan keahlian mengurutnya.

Alya berdiri dan berjalan perlahan. Selangkah demi selangkah Alya berjalan sambil merentangkan kedua tangannya untuk menjaga keseimbangan. Seperti balita yang baru belajar jalan.

Setelah beberapa langkah, ia merasa kakinya sedikit lebih baik. Tidak seperti sebelum diurut.

“Wah, Ren, kakiku merasa lebih baik setelah kamu urut,” seru Alya sembari berbalik menghampiri Reni dan memeluk sahabatnya itu. “Makasih ya, Ren, kamu memang hebat!” tambahnya lagi.

Reni mengurai pelukannya.

“Tapi lo tetap jangan banyak jalan dulu! Seperti perintah Mbak Dewi, lo duduk aja!” suruh Reni. Ia memapah Alya untuk duduk di kursi.

“Oke, untuk hari ini mungkin aku kerja di sini, sampai kakiku sembuh,” tawar Alya.

“Terserah.” jawab Reni singkat lalu berlalu ke dapur.

Sedangkan Alya duduk di kursi yang biasa diduduki bosnya. Sekarang dia adalah bos cafenya.

***

Mohon dukungannya ya, jangan lupa vote, like, and komen untuk karya pertamaku. Jangan lupa tambahkan favorit🙏

Moga suka dengan kisah Alya dan Rendi🤗🥰

Happy reading, guys!!

BAB 3 Mencari Informasi tentang Alya

Alya dipercaya untuk meng-handle café oleh atasannya. Saat ini ia tengah berada di dalam ruangan Dewi, sedang duduk tanpa melakukan apa-apa. Sesekali pandangan ia alihkan keluar melalui dinding kaca ruangan. Tampak cafe mulai ramai. Di sana Reni sedang melayani pelanggan yang memesan makanan. Di depan meja tersebut dipasang penyekat transparan yang memisahkan antara pengunjung dan pegawai, karena sekarang sedang musim pandemi covid-19.

Protokol kesehatan juga sudah diterapkan di café itu sejak pemerintah memberikan himbauan. Biasanya café beroperasi hingga jam 10 malam, tetapi sekarang jadwal bukanya diatur lebih lambat dan harus tutup lebih awal. Café yang berada di kawasan perbelanjaan elit di Cibubur itu harus mengurangi jam operasional mereka.

Setelah merasa kakinya lebih baik dan karena ia juga tidak betah berada di ruang kerjanya seorang diri, Alya memutuskan untuk ikut membantu Reni melayani pengunjung café.

“Selamat menikmati!” ucap Alya sambil menyodorkan baki berisi makanan pada pelanggan. Pelanggan itu menyambutnya seraya mengucapkan terima kasih. Alya membalasnya dan memasang senyum ramah. Interaksi gadis itu sangat baik terhadap para pengunjung yang datang, walau sebenarnya ia tidak tahu, bagaimana wajah pengunjung-pengunjung itu.

“Lo, beneran gak apa-apa, Al? Gak terjadi sesuatu gitu ama diri lo?” tanya Reni setelah tidak ada yang memesan makanan.

“Aku baik-baik aja, Ren,” jawab Alya memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.

“Beneran cowo itu gak ngapa-ngapain lo?” tanya Reni lagi.

“Reni, ngapain juga cowo itu bawa aku ke klinik, kalo dia mau berniat jahat?”

“Beneran gak terjadi apa-apa?”

“Nggak,” jawab Alya singkat.

“Syukur deh, lo masih perawan,” goda Reni kemudian melanjutkan pekerjaannya.

Alya memberengut. Ia membayangkan jika malam itu terjadi sesuatu yang buruk padanya.

“Ah, tidaaaak!!!” teriak Alya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Sontak semua pengunjung yang sedang makan menoleh ke arah mereka berdua.

“Alya, ssst!” Reni menempelkan telunjuknya ke bibir. Tatapannya ia arahkan pada Alya. Spontan Alya membekap mulutnya sendiri.

Reni menarik kursi dan menyuruh Alya duduk. Ia mulai menenangkan temannya itu.

“Udah, gak usah dibayangin. Gue bersyukur, lo baik-baik aja!” ucap Reni.

Alya mengangguk.

Percakapan mereka terhenti karena ada pelanggan yang memesan makanan.

***

Sementara itu, Dena mulai mencari informasi tentang gadis yang ditolong Rendi, atasannya. Pencarian dimulai dari klinik tempat Rendi membawa Alya untuk mendapat penanganan medis malam itu. Siapa tahu dengan mendatangi klinik itu, ia bisa mendapatkan sedikit informasi tentang Alya.

Dena menghampiri seorang wanita berseragam putih lengkap dengan penutup kepala khas suster. Di tangannya memegang map yang bertuliskan rekam medis pasien.

“Permisi, suster," sapanya.

“Ya, Mas, ada yang bisa saya bantu?” tanya suster itu.

“Suster kenal dengan gadis ini?" tanya Dena sambil menunjukkan foto Alya dari layar ponselnya. "Dia gadis yang kemarin malam diantar oleh seorang pria muda dan lelaki agak tua ke klinik ini,” lanjut Dena.

"Mbak Alya?" ucap suster itu.

"Suster mengenalnya?" tanya Dena lagi. Ia merasa senang akhirnya bisa menemukan titik terang tentang gadis yang ia cari.

"Dia memang sering ke sini, Mas. Ada apa ya?" jawab suster itu diakhiri pertanyaan.

“Namanya Alya, sus?”

“Iya, Mas.”

“Suster tahu alamatnya di mana?”

Suasana klinik yang sepi, membuat suster itu bersikap waspada. Ia melihat Dena penuh curiga sambil memperhatikan lelaki itu dari ujung kaki hingga kepala. Ganteng, pakaiannya juga rapi, tapi suster itu tidak mau tertipu penampilan Dena. Zaman sekarang banyak yang berpenampilan rapi, tetapi berniat jahat.

“Wah, maaf, Mas. Kalau itu saya tidak bisa memberikan informasinya. Apalagi saya gak kenal siapa Mas. Maaf ya, Mas, saya permisi!” Suster itu pun berlalu dari hadapan Dena.

"Sus... Suster," panggil Dena. Namun, tidak mendapat respon dari suster itu.

Dena menghela napas frustasi. Ia tampak kecewa karena gagal mendapatkan alamat gadis itu. Ia lalu merogoh ponselnya di dalam saku celana kemudian menelpon seseorang lalu mengirimkan foto Alya yang ia dapat dari Rendi.

“Cepat kerjakan!” perintahnya pada orang yang berada di seberang telepon.

Setelah menutup sambungan telepon, Dena bergegas pergi dari klinik.

Saat di tengah perjalanan, hari mulai panas dan ia merasa haus juga lapar. Dena melirik jam di pergelangan tangannya.

“Baru jam sebelas, tapi perutku sudah menagih untuk diisi. Lebih baik aku cari café saja,” gumamnya sendiri sambil melajukan mobilnya menuju sebuah mall elit. Ia berniat untuk mencari café atau resto. Ya ... sekedar minum atau makan makanan ringan pengganjal perut. Ia pun berhenti di sebuah café. Entah mengapa cafe itu seolah menarik dirinya untuk singgah ke sana.

Café itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung saja. Karena di masa pandemi ini, kebanyakan pelanggan café memilih untuk memesan secara online.

Setelah memarkirkan mobilnya, ia berjalan menuju café. Saat akan memasukinya, Dena disambut seorang waiters muda yang tersenyum padanya. Waiters itu mempersilakannya masuk, tetapi Dena masih mematung di depan.

“Silakan, Pak!” ucap Reni sekali lagi.

Dena masih bergeming di tempatnya.

“Pak … Pak… Anda tidak apa-apa?” tanya Reni memastikan keadaan lelaki itu.

Dena tersadar dari lamunannya. “Ah, ya!” Lelaki itu tersenyum kemudian masuk ke café.

Reni tampak bingung dengan sikap lelaki itu. Kemudian ia menghampiri Dena yang sudah duduk di kursi kosong untuk memberikan buku menu.

“Mau pesan apa, Pak?” tanyanya formal.

“Pak?! Apa saya setua itu, sehingga kamu panggil saya ‘pak’? Saya belum nikah, masih single,” dengus Dena kesal.

“Oh, maafkan saya, Pak. Eh, Mas,” ucap Reni gugup.

“Nah, gitu dong, kan lebih enak didengarnya.”

Reni tersenyum, tetapi senyum yang dipaksakan. Ia harus tetap menampakkan wajah ramah di hadapan pengunjung.

“Baiklah, sekarang Mas mau pesan apa?” tanya Reni sambil bersiap mencatat pasanan di buku catatan yang dipegangnya.

Dena tampak berpikir. Ia sengaja melihat-lihat buku menu agak lama, agar Reni berdiri lebih lama di hadapannya. Sepertinya dia sudah jatuh hati pada gadis itu.

Reni menunggu Dena memesan makanan. Ia pun mulai merasa kesal.

"Mau pesan apa, Mas?" tanyanya sekali lagi

“Oh ya, maaf. Kelamaan ya?" goda Dena.

Reni hanya menghela napas, mencoba bersabar menghadapi pelanggan baru yang sudah membuatnya kesal.

"Berikan saya kopi espresso,” pinta Dena akhirnya.

“Itu saja, Mas? Tidak mau mencoba kue-kue kami? Saya yakin Mas pasti ketagihan setelah memakannya,” tawar Reni setelah mencatat pesanan Dena.

Dena kembali melihat-lihat buku menu yang berisi gambar makanan, minuman dan cake yang menggugah selera. Lama. Reni menyesal telah menawarinya cake. Dengan begitu ia harus menunggu lelaki itu memesan makanan.

“Cake apa yang menjadi favorit pelanggan di sini?”

Dengan sabar Reni menyebutkan cake favorit pelanggan. Hampir semua cake pelanggan suka. Cake dengan berbagai varian rasa, mulai dari rasa yang paling umum yaitu coklat, ada juga rasa stroberi, keju, peanut, atau perpaduan semua rasa.

Dena memperhatikan gerak bibir gadis yang ada di hadapannya saat menjelaskan menu favorit pelanggan. Hingga Reni selesai, ia masih belum memesan makanannya.

“Dan yang paling favorit adalah red velvet,” ucap Reni.

Dena terpesona pada gadis yang berdiri di dekatnya.

“Jadi, Mas ini mau pesan apa?” Reni masih coba bersabar menghadapi pelanggan yang menyebalkan itu.

“Karena saya suka yang manis seperti kamu, dan berbau coklat, saya pesan Lava Cake saja.”

“Sudah, itu saja? Baik, segera saya antar pesanan Anda," ucap Reni lalu bergegas pergi dari hadapan Dena dengan kesal.

Dena senyum-senyum sendiri melihat tingkah gadis yang baru ditemuinya. “Siapa namamu, cantik? Sepertinya aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama," gumam Dena.

Tak lama pesanan pun datang. Namun bukan Reni yang mengantarkan makanan dan minumannya.

“Loh, pelayan yang tadi ke mana?” tanya Dena pada pelayan yang mengantarkan pesanan untuknya.

“Pelayan yang mana ya, Mas?” Pelayan itu balik bertanya.

“Pelayan cantik namun sedikit jutek yang tadi menyambut saya saat saya masuk café ini.”

Pelayan itu mengerti orang yang dimaksud.

“Ohh, Mbak Reni. Dia lagi sibuk di dalam, Mas. Tuh, dia,” jawab pelayan itu sambil menunjuk ke arah meja pemesanan di mana Reni sedang melayani pelanggan yang lain. Café terlihat semakin ramai saat siang hari.

“Reni. Sesuai dengan namanya. Jutek tapi manis. Reni, kita pasti akan terus bertemu,” ucapnya sendiri dengan seringainya. Bibirnya lalu menyesap kopi yang dipesannya. Sorot mata mengarah pada Reni. Sepertinya Dena akan sering melipir ke café ini.

****

Selamat mengikuti kisah selanjutnya....

Jangan lupa tambahkan favorit 🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!