NovelToon NovelToon

Melawan Restu

B'tari Ayunda Pasha

Pada zaman sekarang ini, memang susah mencari pekerjaan. Terlebih jika kita tidak memiliki keahlian khusus, yang bisa membuat diri kita lebih di pertimbangkan.

Hal ini yang di rasakan gadis berusia dua puluh tahun, B'tari Ayunda Pasha. Di umurnya yang sekarang ini, bukan hanya jati diri yang ia cari, namun perihal karir juga tak kalah menjadi prioritas utamanya.

Hari ini Tari, begitulah orang-orang terdekat memanggilnya. Ia tengah bersiap untuk mencari pekerjaan, Tari sudah rapih dengan pakaian hitam putihnya.

"Tar, sarapan dulu!" Teriak ibu Tari dari arah dapur.

Tari mempercepat kegiatannya, ia segera keluar dari kamar dan menemui ibunya.

"Mau ngelamar kerja lagi, Tar?" Tanya ibu Nita, ibunya Tari.

"Iya, Bu." Tari menjawab sembari melahap menu sarapannya.

"Yang sebelumnya gak ada yang nyahut, Tar?" Tanya ibu Tari lagi dengan nada menyindir.

Tari menghentikan kunyahannya, "belum, Bu. Namanya juga lulusan SMA, Bu. Wajar kalau susah cari kerja," sahut Tari dengan malas.

"Yang nentuin itu bukan cuma lulusan apa-apanya, keberuntungan juga punya peran penting, Tar." Ibu Tari menuturkan.

"Lihat tuh si Lulu, anak Pak Budi tetangga sebelah." Ibu Tari menambahkan.

"Kenapa memangnya si Lulu?" Tanya Tari.

"Iya kamu lihat sendiri sekarang, cuma lulusan sekolah dasar, tapi karena dia mau merubah penampilannya bisa kerja jadi SPG. Kamu juga, makannya rubah penampilan kamu, biar menarik!" Cetus ibu Tari.

Tari terdiam, ucapan ibunya sedikit mengusik pikirannya. Pasalnya ia memang tidak terlalu memperhatikan penampilan, selama ini Tari nyaman dengan setelan jeans, kaos panjang, dan kerudung instannya.

Tari memiliki postur tubuh yang terbilang ideal, ia memiliki kulit sawo matang khas mojang Bandung. Tari juga memiliki wajah yang masuk ke dalam kategori cantik, hidung mancungnya menjadi daya tarik tersendiri ketika orang memandangnya.

Tari adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dia anak perempuan satu-satunya dari pasangan Nita dan Doni.

Meskipun Tari anak bungsu dan perempuan satu-satunya, tapi kedua orangtuanya tidak terlalu memanjakannya.

"Bu, Tari berangkat, yah. Bapak mana?" Tanya Tari sembari mencium punggung tangan kanan ibunya.

"Bapak di depan, lagi mandiin burung." Ibu Tari menjawab dengan kesal, pasalnya suaminya terlalu asik dengan hobinya memelihara burung.

Tari menghela nafasnya, setiap hari ia di suguhkan dengan drama antara ibu dan bapaknya.

"Pak, Tari pergi dulu." Tari menyodorkan tangannya.

"Oh, iya. Ngelamar kerja lagi?" Tanya bapak Tari.

"Sudah berapa puluh lembar surat lamaran yang kamu bikin, Tar? Gak ada panggilan satu pun, ngabisin uang saja," ucap bapak Tari sembari fokus memandingan burung peliharaannya.

"Namanya juga usaha, Pak. Kalau habis kan ada Bapak," Tari menjawab seadanya.

"Loh kok Bapak?" Tanya bapak Tari.

"Iya, jual saja burung Bapak. Buat bekal Tari ngelamar kerja!" Seru Tari sambil melengos pergi meninggalkan papaknya yang terkejut mendengar candaannya.

"Enak saja kamu! Ini burung Bapak satu-satunya!" Sewot bapak Tari.

Tari terkekeh, "Mbak Vina aku berangkat, yah. Maaf gak bisa bantu bikin adonan dulu," teriak Tari pada kakak iparnya yang kebetulan tengah menjemur pakaian di depan rumah.

"Iya, hati-hati. Mbak do'akan lancar yah," jawan Mbak Vina.

Tari dan kedua orangtuanya tinggal di sebuah rumah kontarakan, bersebelahan dengan kakaknya. Hubungan antara mereka sampai sekarang ini bisa di bilang cukup akur, mereka juga memiliki usaha kecil-kecilan dibidang makanan yang di kelola secara gotong royong.

Orangtua dan kakak kedua Tari memiliki usaha berdagang gorengan di pinggir jalan, sedangkan kakak pertama Tari tinggal di kota berbeda dengan mereka.

Sampai sekarang usaha gorengan mereka cukup ramai, keuntungan yang didapat juga cukup membantu kelangsungan hidup mereka.

Tari terlahir dari keluarga sederhana, tentunya hal itu membuat Tari harus menyesuaikan gaya hidupnya.

***

Tak terasa hari menjelang siang, surat lamaran yang Tari bawa baru terpakai dua buah.

Tari melepas penatnya sejenak, dengan menegak minuman kaleng yang ia beli di warung pinggir jalan.

"Panas sekali," ucapnya.

"Tari!" Sapa seseorang yang tak lain adalah teman sekolah Tari dulu.

"Nina, apa kabar?" Tanya Tari.

"Baik. Kamu? Lagi apa disini?" Tanya Nina.

"Baik. Aku lagi nyari kerja," jawab Tari.

"Oh, sudah dapat kerjaannya?" Tanya Nina yang kini duduk di sebelah Tari.

Tari menggelengkan kepalanya, "susah, Nin." Tari menjawab dengan lesu.

Nina terlihat menganggukkan kepalanya, "kalau kerja di Mall, mau?" Tanya Nina.

Tari tampak merubah ekspresi wajahnya, "mau, Nin. Kerja apa?" Tanya Tari dengan antusias.

"Kerja jadi SPG," jawab Nina.

Tari sejenak terdiam, namun ia dengan cepat menjawab tawaran Nina.

"Mau, Nin. Kerja apa saja aku mau, yang penting halal."

Nina tersenyum, lalu ia menghela nafasnya pelan.

"Tapi kalau mau jadi SPG, harus ada yang dirubah dari kamu, Tar." Nina menuturkan.

Tari mengerutkan keningnya, "dirubah? Apanya?" Tanya Tari.

"Emm, penampilannya." Nina menjawab dengan ragu.

Tari tampak kembali terdiam, ia tengah mencerna perkataan temannya itu.

"Kalau cuma make up, terus ganti model baju sama kerudung, aku bisa kok, Nin." Tari menjawab.

Nina terlihat menatap Tari dengan serius, "di sana kamu gak bisa pakai kerudung, nanti ada seragam, terus roknya pendek." Nina menjelaskan.

Lag-lagi Tari di buat bungkam oleh penuturan Nina, ia tengah memikirkan dengan matang tawaran temannya itu.

"Aku mau, Nin."

Entah apa yang membuat Tari mau menerima tawaran Nina, untuk saat ini Tari hanya ingin segera mendapat pekerjaan.

"Ya sudah, kalau begitu nanti aku telepon kamu. Nanti aku kasih kabar kapan kamu bisa mulai kerja," ucap Nina.

Tari mengangguk, "makasih, Nin."

"Sama-sama. Kalau gitu aku pamit yah, sampai nanti."

Nina pergi meninggalkan Tari yang masih belum beranjak dari tempatnya.

Tak lama Tari pun memutuskan untuk segera pulang, mempersiapkan apa yang ia butuhkan untuk merubah penampilannya.

***

"Tari pulang," ucap Tari sembari melepas sepatunya di ambang pintu.

"Gimana, Tar? Dapat kerjaannya?" Tanya Mbak Vina yang baru selesai menyiapkan adonan gorengan untuk dijual sore nanti.

"Dapat, Mbak." Tari menjawab sambil merebahkan tubuhnya di atas tikar yang kebetulan tengah digelar di ruang tamu.

"Alhamdulillah, kerja dimana? Jadi apa?" Tanya ibu Tari yang baru kembali dari warung dan tak sengaja mendengar ucapan anaknya.

Tari menoleh, dan bangun dari tidurnya.

"Kerja di Mall, jadi SPG." Tari menatap ibunya dengan serius.

Ibu Tari pun melakukan hal yang sama, "oh iya tidak apa-apa, yang penting kan dapat kerjaan. Kapan mulai kerjanya?" Tanya ibu Tari.

"Nanti di kabari lagi, Tari cape mau tidur dulu."

Tari beranjak menuju kamarnya, ia ingin segera melepas penatnya dengan tidur siang.

"Si Tari jadi SPG apa, Bu? Terus bukannya kalau SPG itu harus bisa dandan yah, Bu?" Tanya Mbak Vina pada ibu mertuanya.

Ibu Tari mengangkat bahunya, "gak tahu Ibu juga. Tapi kalau Tari nerima, berarti dia sanggup sama resikonya." Ibu Tari menjelaskan.

Mbak Vina menganggukkan kepalanya, ia lalu melanjutkan pekerjaannya kembali.

Di dalam kamar, Tari tengah menatap kosong langit-langit kamarnya.

"Apa gak apa-apa kalau nanti aku lepas kerudung? Pakai rok pendek juga. Orang rumah protes gak yah?"

Tari menutup wajahnya, ia juga membalikkan tubuhnya seakan dibuat pusing dengan keputusannya.

Hari Pertama Bekerja

Hari ini Tari sudah siap dengan pakaiannya, ia sedikit tergesa karena pagi itu Tari terlambat bangun.

"Bu, sepatu Tari dimana?" Teriak Tari sembari mencari sepatunya.

"Kenapa kamu tanya Ibu? Kan kamu yang pake, kamu juga yang lepas." Bu Nita menimpali sembari menyiapkan sarapan pagi.

Tari masih mencari, ia berdecak ketika menemukan sepatunya yang tertindih tas belanjaan ibunya.

"Tari berangkat!" Seru Tari dengan kesal.

"Sarapan dulu, Tar. Sepatunya udah ketemu?" Tanya bu Nita pada anaknya itu.

"Udah. Nanti saja sarapannya, gak keburu. Tari berangkat, assalamu'allaikum." Tari pergi tanpa menyalami ibunya, ia tak ingin terlambat di hari pertamanya bekerja.

"Tari mau kemana, Bu?" Tanya pak Doni yang baru keluar dari kamar mandi.

"Panggilan kerja katanya," jawab bu Nita pada suaminya.

"Kerja? Dimana? Kerja apa?" Tanya pak Doni yang memang belum tahu pekerjaan apa yang di dapat sang anak.

"Di Mall, katanya jadi SPG." Bu Nita menjawab pertanyaan sang suami seadanya.

"Oh," sahut pak Doni asal.

"Kemana?" Tanya bu Nita yang melihat suaminya berjalan keluar rumah dengan mengenakan selembar handuk yang melilit pinggang hingga lututnya.

"Mandiin burung!" Seru pak Doni.

"Burung terus yang di urusin! Pakai baju dulu!" Cetus bu Nita.

Pak Doni tak banyak menimpali, ia dengan pasrah menuruti perkataan istrinya. Pak Doni memang bisa di bilang suami takut istri, hal itu mungkin di karenakan beliau yang tak memiliki pekerjaan lain selain berdagang. Sehari-hari keluarga Tari hanya mengandalkan keuntungan dari hasil dagang, mungkin hal itu juga yang membuat bu Nita sedikit jengkel melihat keseharian suaminya yang tak menghasilkan pemasukan tambahan.

Tari sudah berada di Mall yang di sebutkan oleh Nina, sebelumnya Nina juga sudah berkomunikasi dengan Tari perihal kegiatan apa saja yang akan dilakukan hari itu.

"Tar, kamu di panggil Bu Farida. Interview dulu," ucap Nina pada Tari.

Tari mengangguk, ia menarik nafasnya terlebih dulu. Jujur saat itu Tari sangat gugup, ini kali pertamanya ia melakukan interview pekerjaan.

Setelah setengah jam lamanya, Tari sudah selesai interview. Ia berjalan mendekati Nina yang tengah berdiri ditempatnya.

"Sudah?" Tanya Nina.

Tari mengangguk, ditangannya kini ada sebuah bungkusan berisi seragam kerja.

"Kalau mau ganti pakaian, ke toilet sebelah sana saja. Kalau sudah, nanti aku ajarin cara kerjanya." Nina menuturkan.

Tari mengangguk, ia kini berjalan menuju toilet untuk ganti baju.

Keputusannya menerima pekerjaan sebagai SPG salah satu produk kecantikan belum sepenuhnya dari hati, kalau bukan sindiran pengangguran yang didapatnya dari keluarga, mungkin Tari akan menimbang kembali tawaran temannya itu.

Tari menatap pantulan dirinya di cermin, balutan pakaian minim seketika memperlihatkan lekuk tubuhnya.

"Ya ampun, pendek sekali."

Beberapa kali Tari membenarkan roknya yang berada diatas lutut.

Tari mulai berjalan menemui Nina, tampak jelas raut wajah canggungnya.

"Nin," panggil Tari.

Nina menoleh dan tersenyum pada Tari, ia segera menjelaskan aturan dan cara kerja menjadi SPG alat-alat kecantikan.

Kali ini, saatnya Tari memperaktekkan apa yang diajari Nina tadi. Masih dengan perasaan canggung, Tari mulai melakukan tugasnya.

Terlihat jelas perbedaan pada diri Tari saat ini, polesan riasan pada wajahnya membuat perubahan yang signifikan. Pakaian kerja Tari memiliki daya tarik tersendiri, Tari terlihat lebih cantik dari biasanya.

Sudah hampir setengah hari Tari bekerja, waktu istirahat pun tiba. Nina mengajak Tari untuk makan siang, ia mengajak Tari ke salah satu food court yang ada di Mall itu.

Setelah memesan makanan, Nina dan Tari mengedar mencari tempat duduk. Meja-meja hampir penuh, hanya tinggal tersisa satu meja saja. Nina dan Tari bergegas menuju meja tersebut, namun hal yang tak terduga pun terjadi.

Nina dan Tari memandang seseorang yang kini berada di depan mereka, orang itu sama dengan mereka tengah membawa makanan dan juga minuman.

"Ini meja kalian?" Tanya seseorang itu.

Tari melirik sekilas ke arah Nina, meminta temannya itu untuk menjawab.

"Emm, sebenarnya kita juga baru mau duduk. Tapi kalau mau gabung boleh, belum ada meja kosong juga."

Nina memberi tawaran.

"Tidak apa-apa memangnya?" Tanya seseorang itu.

Nina menggeleng, "tidak apa-apa. Ayo duduk," ajak Nina.

Mereka pun duduk bertiga, menyantap makan siang yang sudah dipesan sedari tadi.

"Kalian kerja di Mall ini?" Tanya orang asing itu.

Nina menghentikan aktifitas makannya sejenak, "iya. Kita SPG produk kecantikan, kamu sendiri?" Tanya balik Nina.

"Aku kebetulan sedang main saja," jawab orang itu.

"Oh iya, aku Jerry." Orang itu memperkenalkan diri lebih dulu.

Dengan senang hati, Nina menyambut uluran tangan Jerry dengan ramah. Begitupula dengan Tari, mereka kini saling berkenalan satu sama lain.

"Sudah lama kerja jadi SPG?" Tanya Jerry pada keduanya.

"Aku sudah lumayan lama, dari lulus sekolah. Sampai sekarang sudah mau nikah saja." Nina menjawab seadanya.

Tari menoleh ketika mendengar ucapan Nina, pasalnya ia baru tahu kalau temannya itu sebentar lagi akan menikah.

"Kamu mau nikah, Nin?" Tanya Tari.

Nina mengangguk, "bulan depan, datang yah." Nina sekalian mengundang Tari untuk hadir di perta pernikahannya nanti.

"Loh aku pikir kalian teman dekat," ujar Jerry.

Nina tersenyum, "kita teman satu sekolah, sudah lama gak ketemu. Kebetulan waktu itu ketemu Tari di jalan, lagi cari kerja. Sekalian saja aku tawari kerja di sini, jadi wajar kalau Tari gak tahu." Nina menjelaskan.

"Oh gitu, jadi kamu belum lama kerja di sini?" Tanya Jerry pada Tari.

"Baru mulai kerja hari ini," jawab Tari seadanya.

Jerry mengangguk, entah kenapa sedari awal Jerry tertarik pada Tari. Wajah lugu Tari membuatnya tak bisa berpaling, ada niat untuk mengenal Tari lebih jauh.

Makan siang telah selesai, Tari izin pada Nina untuk pergi ke toilet. Saat itu pula, Jerry merasa mendapat kesempatan untuk menanyakan nomor ponsel Tari pada Nina.

"Nin, kalau boleh aku ingin meminta nomor Tari." Jerry meminta dengan ragu.

Sejenak Nina terdiam, lalu ia menganggukkan kepalanya.

"Boleh. Untuk apa? Jangan-jangan..."

Jerry terkekeh, ia mengusap tengkuknya.

"Namanya juga usaha," jawab Jerry.

Nina mengerti, ia langsung memberikan nomor ponsel Tari pada Jerry. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Jerry pamit pada Nina.

Tari dan Nina kembali melanjutkan pekerjaannya, hingga sampai akhirnya waktu bekerja telah usai.

Saatnya Tari dan Nina untuk pulang, karena merasa lelah Tari ingin sekali cepat sampai ke rumah. Ia bahkan tak menyempatkan waktu untuk mengganti pakaiannya lebih dulu, Tari pulang dengan pakaian kerja yang masih membalut tubuhnya.

Sesampainya di rumah, semua keluarga Tari kebetulan sedang membuat adonan gorengan di teras rumah. Sontak ketika melihat Tari datang, mereka terkejut melihat penampilan Tari yang berubah drastis.

"Tari? Ini kamu kenapa pakai baju gini?" Tanya Mbak Vina.

Tari melirik sekilas penampilannya, "iya, aku kerjanya pakai seragam ini." Tari menjawab sembari mendudukkan tubuhnya di lantai, ia menselonjorkan kakinya yang terasa pegal.

"Terus itu, kamu make up tebal-tebal gitu biar apa?" Tanya pak Doni pada anaknya.

"Namanya juga SPG, Pak. Ya harus bisa dandan yang cantik, biar menarik pembeli!" Cetus bu Nita yang sudah paham akan tuntutan pekerjaan Tari.

"Ibu setuju Tari kerja pakai pakaian pendek gitu?" Tanya pak Doni pada istrinya.

"Kalau di larang, nanti Tari jadi pengangguran lagi. Memangnya Bapak sanggup cari uang tambahan buat kita?" Sindir bu Nita. Ya, sifat ibu Tari memang seperti itu, uang sepertinya hal yang paling penting untuknya.

Pak Doni tak dapat menimpali perkataan istrinya, ia memang merasa belum sanggup memenuhi semua kebutuhan keluarganya.

"Ya sudahlah, Pak. Kalau itu pilihan Tari, yang penting bisa jaga diri. Jangan malu-maluin keluarga," ujar Ari, kakak laki-laki Tari yang ke dua, suami Mbak Vina.

Tari terdiam, sebenarnya ia merasa senang dengan penampilannya saat ini. Terlebih sepenjang waktu bekerja, tak sedikit laki-laki yang menggodanya. Hal itu membuat Tari merasa percaya diri, karena sejak dulu tak pernah ada laki-laki yang mendekatinya, tentunya penampilannya kala itu menjadi faktor utama penyebab ia sulit mendapat pasangan.

Tak Percaya Diri

Tari masuk ke dalam kamarnya, ia langsung merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Rasa kantuk seketika menyerang matanya, perlahan mata Tari menutup. Dering ponsel membuat mata Tari kembali terbuka, ia secara spontan meraih ponselnya yang berada di dalam tas.

Kening Tari mengkerut, melihat nomor asing yang menghubunginya.

"Halo," ucap Tari dengan ragu.

"Halo, Tar." Suara diseberang sana membuat Tari kebingungan, pasalnya ia tak mengenali suara itu.

"Iya. Siapa?" Tanya Tari.

"Aku, Jerry. Masih ingat?" Tanya Jerry.

Tari mengerutkan keningnya, "Jerry? Yang tadi di Mall?" Tanya Tari.

"Hehe, iya. Apa aku mengganggu?" Tanya Jerry, basa basi.

"Emm tidak, tapi dari mana kau tahu nomor teleponku?" Tanya Tari.

"Dari, Nina." Jerry menjawab seadanya.

Tari membulatkan mulutnya tanpa mengeluarkan suara, "ada apa?" Tanya Tari.

"Tidak, cuma ingin ngobrol saja. Lagi apa?" Jerry masih berusaha mengajak Tari berbincang.

"Oh. Aku sedang tiduran saja," jawab Tari asal.

"Emm, oh iya apa gak akan ada yang marah aku telepon kamu?" Tanya Jerry. Sebenarnya Jerry tengah mencari tahu, apakah Tari sudah memiliki pasangan atau belum.

"Tidak. Kenapa memangnya?" Tari masih menjawab.

"Syukurlah kalau gitu." Suara Jerry terdengar sangat lega, hal itu membuat Tari mengernyitkan keningnya.

"Jer, kalau gak ada yang penting aku tutup, yah. Aku mau istirahat," ujar Tari.

"Tar, tunggu. Kalau ada waktu, hari minggu besok bisa ketemu?" Tanya Jerry, ia tak ingin melewatkan kesempatan apapun.

"Hemm, bisa. Ya sudah, kabari lagi aja nanti," ucap Tari.

"Beneran? Ya sudah, nanti aku kabari lagi, yah. Selamat istirahat, Tar." Jerry berucap sangat lembut pada Tari.

Mendengar suara lembut Jerry, membuat Tari membalas ucapan Jerry dengan lembut.

"Iya, makasih."

Selepas menerima telepon dari Jerry, Tari segera membersihkan dirinya dan berniat untuk istirahat.

***

Tak terasa, jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Tari melewatkan makam malamnya, ia keluar dari kamar hendak mencari sesuatu yang dapat mengisi perutnya yang keroncongan.

"Ibu kenapa gak bangunin aku, sih." Tari menggerutu disela aktifitasnya mencari makanan.

"Hah! Gak disisain makanan." Tari semakin merasa kesal, ia hendak kembali ke kamarnya namun ia dikejutkan oleh ibunya yang kini berdiri di depannya.

"Ibu! Aku kaget," ucap Tari sembari memegangi dadanya yang berdebar.

"Cari apa jam segini?" Tanya bu Nita sembari berkacak pingggang di depan anaknya.

"Kenapa Ibu gak sisain makanan buat Tari?" Tanya Tari dengan kesal.

"Sengaja! Kamu itu kerja jadi SPG, penampilan kamu itu nomor satu. Kalau kamu makan malam, terus badan kamu gendut, perut kamu buncit, nanti penampilan kamu gak menarik!" Seru bu Nita dengan jelas.

Mendengar perkataan ibunya, Tari sejujurnya merasa marah. Namun mengingat kembali pekerjaannya, ia juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Akhirnya, Tari mengalah dan memilih kembali ke kamar. Ia tidur dengan perut kosong, namun apa daya ia harus kembali tidur karena matanya sudah merasa lelah.

***

Pagi hari, Tari sudah membersihkan tubuhnya. Ia telah mendapat telepon dari Jerry, mereka berniat untuk bertemu hari itu.

Tari memandang wajahnya di cermin, ia lalu melirik berbagai alat kecantikan di hadapannya.

Tangan Tari mulai bergerak mengambil salah satu alat make up, ia mulai merias wajahnya.

Selesai dengan wajah, Tari beralih ke lemari pakaian. Ia memilih baju mana yang akan dikenakannya, ia ingin tampil beda hari itu.

Tari mengambil sebuah gaun dengan panjang selutut, ia melihat pantulan dirinya di cermin.

Tari tersenyum, penampilannya kini begitu berbeda.

Sebelum berangkat, Tari sempat melirik kerudungnya yang tergantung di pinggir lemari. Untuk pertama kalinya, Tari pergi keluar rumah tanpa mengenakan kerudung.

Melihat anaknya yang tak seperti biasanya, pak Doni sontak menghentikan langkah Tari.

"Mau kemana?" Tanya pak Doni sembari memperhatikan penampilan anaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Mau pergi," jawab Tari.

"Pergi? Pakai baju kayak gitu?" Pak Doni merasa risih melihat penampilan anaknya.

Tari melirik baju yang dipakainya, lalu kembali menatap sang ayah.

"Kenapa memangnya, Pak? Aku kan harus terbiasa tampil kayak gini," ucap Tari, ia membela diri.

"Ganti, Bapak gak suka!" Titah pak Doni.

"Kok ganti sih, Pak?" Tolak Tari.

"Bapak gak suka, itu kamu pakai baju yang kurang bahan." Pak Doni kekeuh dengan pendapatnya.

Mendengar perdebatan sang anak dengan suami, bu Nita keluar dari kamarnya.

"Ada apa, sih? Kenapa pagi-pagi udah rame?" Tanya bu Nita sembari berjalan menghampiri keduanya.

"Lihat anakmu, Bu!" Titah pak Doni pada istrinya.

Bu Nita memandang anaknya, "mau kemana?" Tanyanya.

Tari menelan salivanya, "mau pergi, Bu." Tari takut jika sang ibu juga melarangnya memakai pakaian tersebut.

"Oh, yasudah."

Mendengar istrinya yang biasa-biasa melihat penampilan sang anak, pak Doni dibuat tak habis pikir.

"Loh, Ibu gak lihat dia pakai baju kayak apa?" Sindir pak Doni.

"Kenapa? Bagus kok, kekinian. Tari juga kelihatan lebih cantik dan modis, Pak. Biar banyak laki-laki yang suka juga sama Tari," ujar bu Nita dengan santainya.

"Astagfirulloh! Ibu mau anak gadis kita di godain sama laki-laki? Bapak gak rela!" Seru Pak Doni.

"Bapak mau anak kita gak dapat jodoh?" Balas bu Nita.

Pak Doni tak dapag berkutik, ia memilih pergi meninggalkan anak juga istrinya.

Melihat kedua orangtuanya bertengkar, sedikit membuat Tari merasa bersalah.

"Bu, Tari ganti baju, deh. Bapak kayaknya marah," ucap Tari.

"Ngapain ganti baju? Sudah kalau mau pergi, pergi sana. Urusan Bapak biar Ibu yang tanganin," jawab bu Nita.

Tari menghela nafasnya, lalu ia berpamitan pada ibunya.

Di jalan, Tari masih merasa tidak enak hati.

"Bapak gimana, yah? Apa salahnya dengan penampilan aku?" Tari bertanya-tanya dalam hatinya.

***

Tari kini sudah ada di tempat dimana ia akan bertemu dengan Jerry, Tari sesekali merapihkan pakaiaannya. Dari jauh, ia melihat seorang laki-laki yang turun dari sebuah mobil.

"Itu Jerry? Dia pakai mobil?"

Tari masih memandang Jerry yang kini berjalan ke arahnya.

"Kalau Jerry pakai mobil, berarti dia orang kaya, dong. Ya ampun, aku gak percaya diri jadinya."

Tari mulai merasa malu bertemu dengan Jerry, pasalnya ia kini tengah membandingkan keadaannya dengan penampilan Jerry saat itu.

"Tapi kalau dia kaya, Ibu pasti bangga. Aku sudah rapih belum, yah?" Ucap Tari sambil merapihkan rambutnya, ia ingin terlihat cantik di depan Jerry.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!