Jill gelisah. Mukanya memucat. Ia berjalan hilir-mudik kayak setrikaan di kamarnya. Tak berselang lama, ia menghambur meraih tas besar yang tergantung di sisi dinding. Lalu memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalamnya, serta ijazah dan laptop. Tak lupa ia menyumbat tas merah yang menggantung di bahu kanannya ke dalam tas besar itu. Segera ia menuju ke jendela dan membuka kacanya.
Benar-benar menguji adrenalin saat ia menatap ke luar, lantai luar lebih rendah hingga membuat Jill harus melompat dengan hati-hati.
Hup! Lompatannya berhasil meski pergelangan kakinya sempat nyeri sebentar.
Ojek membawanya pergi menjauh dari rumah sederhananya. Cepat-cepat ia mematikan ponsel agar tidak seorang pun bisa menghubunginya.
Setengah jam lamanya ia berputar-putar naik ojek yang melaju karena tidak tahu arah tujuan. Pikirannya kacau-balau, kemana ia akan membawa nasib? Apakah benar ia akan kabur?
Ah, untuk apa ia bertahan di rumah jika akhirnya kebahagiaannya menjadi taruhan. Oke, Jill memantapkan hati melanjutkan niatnya. Kabur dari rumah.
Satu-satunya alasannya kabur karena menghindari perjodohan. Ya, seluruh keluarganya baru saja membicarakan pernikahannya. Ia belum ingin menikah, apa lagi dengan pria yang baru sekali ia jumpai.
Dia bergidik mengenang kejadian di restoran saat pertemuan pertamanya dengan pria yang dinobatkan sebagai calon suaminya, hanya berdua sebelum hari pernikahan ditentukan. Saat itu, Jill meminta tempat privasi untuk bertatap muka dengan calon suaminya hingga ia diberi waktu bertemu empat mata. Pria itu sangat jauh dari tipe yang Jill sukai. Kumisnya tebal, memiliki poni, ada tompel di pipinya. Parahnya, pria itu hobi ngupil. Astaga. Di depan calon istrinya pun tidak sungkan menyumbatkan ujung jari ke lubang hidung. Yieeek... jorok!
Jika dulu Bundanya menkah di usia yang masih sangat muda, bukan berarti hal itu diterapkan kepadanya. Ini jaman modern, nggak etis ngomongin perjodohan. Cukuplah Siti Nurbaya yang mengalami itu.
“Mbak, ini mau kemana, ya? Dari tadi muter-muter terus nggak nyampe-nyampe!” tanya tukang ojek yang membawa Jill berkendara.
“Mm… ya udahlah Bang berenti sini aja,” pinta Jill agak bingung menentukan tempat tujuan. Dari ada si abang ojek marah karena diajak muter-muter terus, mendingan Jill turun saja.
Tukang ojek berlalu pergi meninggalkan Jill setelah menerima upah.
Pandangan Jill mengedar ke sekitar.
Haduh, kenapa ia malah berhenti di jalan sepi itu? Tidak ada penginapan atau hotel di sekitarnya sana. Lalu dia akan tidur di mana malam ini? Sepertinya ia salah tempat. Ia menelan saliva dengan sulit. Namun ia pasrah, mengangkat tas besar dan menggantungkannya ke pundak.
Tiba-tiba sebuah tangan menarik lengannya.
“Aaaaa…” Jill berteriak merasakan tubuhnya terhuyung ke arah samping.
Dua lengan besar melingkar di perutnya dan menggeretnya.
Bruk!
Tubuhnya terhempas ke tanah, sesaat setelah ditarik beberapa meter, kini tubuh Jill tersungkur tepat di balik bunga bonsai, sekelilingnya semak, sepi. Tasnya terlempar beberapa meter dari tubuhnya.
Ia mengangkat wajah dan menatap sosok tinggi besar yang berdiri di hadapannya, sementara kedua tangannya kini dibekuk ke belakang oleh satu tangan pria asing lainnya. Sementara mulutnya juga dibekap hingga ia kesulitan menjerit untuk meminta pertolongan.
Mata Jill membelalak menatap pria tinggi yang berdiri dengan kaki mengangkang di hadapannya, pria itu melepas ikat pinggangnya sembari menatap Jill dengan dengan senyum licik dan tatapan memburu.
Tubuh Jill memberontak, berusaha minta dilepaskan. Kakinya menerjang-nerjang namun tidak menghasilkan apa-apa. Mulutnya menjerit dalam bekapan hingga tidak menghasilkan suara yang keras.
“Diam! Kau akan merasakan yang enak!” bentak pria yang memegangi kedua lengan Jill.
Punggung Jill kini tepat menempel di dada pria di belakangnya.
“Buruan, bro! kita giliran!” ucap pria di belakang Jill.
Pria di depan Jill memelorotkan celananya kemudian berlutut untuk melucuti celana Jill. “Ha haaa… Jangan menangis, setelah ini kau akan merasakan bagaimana nikmatnya surga dunia.” Pria itu tertawa menatap air mata Jill yang meleleh.
Kemudian tanpa aba-aba, pria di belakang Jill merebahkan tubuh Jill. Dan kini posisi kedua tangan Jill dipegangi erat-erat dan disatukan di atas kepala.
Jill mencium aroma menyengat saat wajah dua pria itu berada di dekat wajahnya, tak lain aroma minuman beralkohol.
Pada saat pria di depan Jill menimpa tubuh mungil Jill sembari menyentuh celana di pinggang Jill untuk melucutinya, tiba-tiba tubuh pria itu melayang di udara dan berakhir terlempar ke tanah.
Pria berbadan besar itu menatap tajam ke arah sosok pria berkemeja cokelat yang baru saja muncul dan mendaratkan tendangan berkekuatan super kepadanya.
“Shit! Baj*ngan lo! Jangan ikut campur urusan gue!” gertak pria berbadan besar dengan mata merah menyala, menunjukkan kemurkaan.
Pria berkemeja cokelat yang tadinya hendak buang air kecil di tepai jalan itu tampak tenang menatap satu per satu wajah pria yang hampir saja menodai Jill. Pria berbadan besar bangkit bangun lalu mengerahkan tenaga untuk memberi pelajaran pada pria berkemeja cokelat hingga perkelahian pun tak dapat dielakkan. Beberapa kali pria berbadan besar jatuh tersungkur setelah mendapat hadiah berupa tendangan dan pukulan bertubi-tubi dari pria berkemeja cokelat.
Akhirnya kedua preman itu lari ngibrit setelah salah satunya sempat mendapat tendangan dahsyat.
Pria berkemeja cokelat menatap Jill yang terduduk lemas sambil menangis.
“Pulanglah! Tidak baik seorang gadis keluyuran sendirian malam-malam begini!” ucap pria tampan bertubuh tinggi itu.
Jill bangkit berdiri sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan. Ia berjalan mendekati pria itu, ia ingin mengucapkan terima kasih. Namun baru saja mulutnya terbuka hendak bicara, tubuhnya yang lemas akibat syok itu pun terhuyung dan tumbang.
“Oh..My God! Gadis ini!” protes pria berkemeja cokelat sesaat setelah reflek lengannya menangkap tubuh Jill sebelum tubuh mungil itu menyentuh tanah.
***
TBC
Jill menggeliat. Matanya kemudian membelalak menatap alas kasur yang ia tiduri. Tidak pernah ia melihat alas kasur seperti yang sekarang ia tempati. Aromanya juga berbeda.
“Tidaaak!” Jill berteriak dan spontan terbangun. Kepalanya menunduk menatap baju bagian dadanya yang robek. Astaga, apa yang telah terjadi dengannya? Jill ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Ia melompat turun dari ranjang. “Dimana ini?” Pandangan Jill mengedar ke seisi kamar yang terasa asing di matanya.
Pletak.
Jill menoleh ke sumber suara. Suara knop pintu diputar dari luar. Degupan jantungnya langsung mengeras dan organ tubuhnya spontan merasa waspada.
Ia berlari menuju meja sesaat setelah mengedarkan pandangan mencari benda yang bisa dipergunakan untuk memukul. Tangannya menyambar botol kaca berisi sirup, lalu dengan kecepatan kilat, ia berlari menuju pintu. Tepat saat pintu terbuka, botol kaca melayang dan mendarat di jidat sosok si pembuka pintu. Tak hanya sekali saja pukulan mendarat, kedua kalinya botol mengenai pipi pria yang berdiri di pintu.
Detik berikutnya, botol telah berpindah tangan saat pria yang memiliki gerakan gesit itu dengan cepat menangkis ayunan tangan Jill dan berhasil membekuk tangan gadis itu ke belakang.
“Apa yang kau lakukan, gadis *****?” Pria itu menekan tubuh Jill ke dinding hingga pundak Jill menempel sangat kuat di dinding.
“Justru aku yang bertanya, apa yang kau lakukan padaku tadi malam sampai aku bisa berada di tempat ini? Kenapa bajuku bisa robek?” jerit Jill dengan nafas terengah akibat merasa diperdaya. Setengah hatinya merasa ketakutan pada pria di sampingnya itu.
“Lihat aku baik-baik, apa kau lupa denganku?”
Spontan mata Jill bergerak demi memenuhi permintaan pria itu. ia menatap wajah tampan di sisinya dan mengamati beberapa detik lamanya. Ahaaa.... Ia baru ingat, pria itu adalah orang yang menyelamatkannya dari dua pria yang hampir melecehkannya tadi malam. Ah, tapi Jill lupa kejadian itu terjadi tadi malam atau kapan? Dan ia juga ingat, bajunya robek pada saat dua preman itu hendak melecehkannya. Ya ampun, ia sudah melakukan kesalahan besar dengan memukul pria tampan itu dengan botol. Lihatlah, kening dan pipi pria itu kini berubah benjol hanya dalam hitungan detik. Pasti rasanya sakit sekali.
Pria itu melepas pegangannya lalu menyeret Jill keluar kamar. “Dasar gadis nggak tahu berterima kasih. Pergi kau!” Pria itu kemudian kembali masuk kamar dengan wajah merah padam.
Detik berikutnya, Jill dikejutkan dengan tas besarnya yang melayang keluar dari pintu kamar dan mendarat di depan kakinya. Jill pun meraih tas itu seperti anak yang sedang diusir ibu tirinya. Menyedihkan.
“Angkat kakimu dari sini! pergi sana!” Pria itu memegangi keningnya sambil meringis menahan sakit. Ia kemudian mendorong tubuh Jill melewati beberapa ruangan hingga sampai keluar rumah.
Brak!
Pintu ditutup keras-keras membuat Jill terlonjak kaget.
“Ya Tuhan, dasar wanita nggak tau berterima kasih. Petaka apa ini? benar-benar sial!”
Jill masih mendengar suara pria itu menggerutu. Jill ingin mengucapkan kata maaf, tapi sepertinya percuma. Pria itu terlihat sangat marah dan jelas saja tidak akan menerima permintaan maafnya. Ya sudahlah, Jill meminta maaf dari dalam hati saja.
TBC
**Hai ketemu lagi sama aku Emma Shu, ini cerita terbaruku, silahkan vote untuk kasih dukungan. tengkyuh..
Setelah novel yg kuposting di mangatoon dengan judul :
Holy Marriage
Pacarku Dosen
I am a virgin
Salah Nikah
Suami Sensasional
Cahaya Cinta Dari Surga
sekarang aku bawa cerita terbaru. siapa yg belum baca lima ceritaku di atas, monggo dibaca satu per satu**.
love,
Emma Shu
Ah ya ampun, kini Jill resmi seperti gelandangan. Berjalan sendirian menenteng tas besar dan tak tahu arah tujuan. Setelah berpikir cukup panjang, ia memutuskan naik ojek. Kali ini entah kemana lagi ia akan memawa diri. Semoga saja tidak bertemu para preman lagi. Malang sekali nasibnya.
Saat ojek melintasi terminal, sepintas Jill melihat gadis jangkung berjalan membawa koper memasuki terminal. Tak lain Veny, cewek yang beberapa kali terlihat ngopi di kafe favorit Jill. Veny dan Jill pernah bertabrakan dan mereka saling minta maaf dan berkenalan. Setelah itu, mereka sering bertegur sapa saat bertemu di kafe. Itu saja, tidak lebih.
Melihat Veny memasuki terminal, terbesit di benak Jill rasa ingin mengikuti Veny. Jill turun dari ojek, ia mendekati Veny yang sedang berbicara dengan penjaga loket.
Veny tersenyum menyapa ketika mendapati Jill. Mereka duduk di kursi panjang. Veny menawarkan minuman kaleng, ia mengajak ngobrol sembari menunggu keberangkatan. Veny bercerita banyak hal, mulai dari pekerjaan sampai makanan kesukaan. Gadis anggun berwajah manis itu sangat interaktif dan ramah sekali. Saat itulah Jill tahu bahwa Veny adalah seorang karyawan di perusahaan swasta. Ia tengah menjalankan masa cuti tahunan, dan sekarang masa cutinya sudah habis, ia harus meninggalkan orang tua yang brau saja dijenguk dan segera kembali ke lokasi kerja untuk melanjutkan rutinitas sehari-hari.
Jill akhirnya mengikuti ide buruk di kepalanya. Ia harus ikut Veny.
“Kamu sendiri mau kemana?” tanya Veny memperhatikan tas besar yang menemani Jill.
Jill berpikir sejenak. Ia tidak tahu entah mau kemana. Yang jelas ingin pergi jauh meninggalkan kota terkutuk. Baginya, lebih baik hidup melarat dari pada menyerahkan segenap jiwa raga dan sisa umurnya pada lelaki yang sama sekali tidak ia kenal.
“Kita satu tujuan,” jawab Jill berusaha membuat dirinya seolah telah kenal dekat dengan Veny menggunakan kalimat hangat dan sikap yang hangat. Semoga Veny akan berpikir bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, bukan hanya selera kopi yang sama, tapi juga tujuan hidup dan tempat yang sama.
“Berarti kita bisa berangkat bareng. Udah pesan tiket belum? Gue mah pesen tiket via telepon kemarin. Sekarang cuma tinggal nunggu jam keberangkatan.”
“Tolong pesenin buat gue, dong,” pinta Jill penuh permohonan. Ia tidak mengerti tata cara naik bus. Sebab ia tidak pernah bepergian jauh.
“Loh, kenapa nggak pesen dari tadi? Ya udah biar kupesenin. Mudah-mudahan masih ada kursi kosong.” Veny menarik tangan Jill mengajak ke lubang loket, memesan tiket.
Setelah cukup lama Veny berunding dengan penjaga loket, akhirnya Jill mendapatkan tiket yang diinginkan.
Tepat pukul tujuh malam, travel yang mereka naiki berangkat meninggalkan kota. Perjalanan memakan waktu yang sangat lama. Jill harus bertahan duduk dengan keadaan tubuh yang amat letih. Hanya bahu Veny yang sesekali menjadi tempat sandaran kepala saat tertidur. Situasi travel benar-benar membuat kepalanya pusing. Belum lagi teriakan wuek wuek orang mabuk. Beberapa kali ia mengeluh, namun hanya ditanggapi dengan senyum oleh Veny. Jika diijinkan, Jill lebih memilih berada di atap mobil saja, sehingga ia bisa berbaring sepuasnya. Walaupun sebelum berbaring, ia tentunya sudah menggelinding duluan lalu kepentok aspal dan mukanya rata.
Sesampainya di sebuah tempat, Jill tertegun. Ia nyaris tak percaya dan berberapa kali mengucek mata. Kini ia sudah berada di belahan bumi yang sangat asing. Jill ingin menangis. Tapi andai ia menjerit meluapkan tangis, tentu mulutnya mangap lebar, kecantikannya pun hilang. Lebih baik diam meski hampir stres melihat kota kecil yang jauh dari keramaian.
Jill mengusap wajahnya yang memucat. Wajah yang andai kata semua penat tak menyumpal, tentu akan lebih cantik dengan hiasan senyum.
Matahari pagi menyemburat, hangat menyentuh kulit. Lampu-lampu di depan ruko masih menyala. Pemiliknya mulai membuka partisi depan. Pintu alumunium yang didorong berderit.
Itulah awal mula kejadian yang membawa Jill terdampar di sebuah tempat terpencil. Setelah Jill mengaku tersasar, Veny dengan besar hati bersedia mengajak Jill menumpang di tempat tinggalnya, tak lain di sebuah mes perusahaan.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!