Rumah bergaya minimalis milik orang tua Allethea kini tengah ramai, karena kedatangan sanak saudara dari sang bunda. Mulai dari nenek, paman, bibi dan juga keponakan serta sepupu. Mereka tengah berkumpul di taman belakang, menyiapkan panggangan dan kawan-kawannya untuk ber-barbeque.
Allethea duduk di tikar yang sengaja digelar oleh bundanya itu untuk berkumpul dan bercengkerama. Ketika sedang memakan cemilannya, Allethea terpaksa harus berhenti saat mendapatkan pertanyaan dari sang Nenek yang langsung menghancurkan mood-nya. Bagaimana tidak, jika sang Nenek kembali melayangkan pertanyaan perihal kapan ia akan menikah. Pertanyaan ini-lah yang Allethea takutkan dan sangat ingin ia hindari jika berkumpul dengan keluarga besarnya itu, karena pasti dirinyalah yang akan menjadi topik pembicaraan semuanya.
“Bibi dulu waktu seumuran kamu malah sudah mau punya anak dua loh, Al,” timpal sang bibi, yang baru saja datang dengan membawa sepiring kue. Piring kue itu diletakkan di atas meja pendek yang sengaja di tempatkan ayahnya di tengah-tengah.
“Apa sih sebenarnya yang kamu tunggu-tunggu, Al? Calon sudah punya, pekerjaan sudah mapan, umur kamu juga sudah cukup matang. Dan bukannya keluarga pacarmu itu juga sudah mengenal kamu dengan baik? Dan begitupun sebaliknya?” tanya sang Nenek. Allethea mengembuskan napasnya lelah, lalu menatap satu per satu orang yang berada di dekatnya.
“Aku nunggu dilamar.” Jawaban Allethea sontak membuat semua orang yang berada di sana tertawa.
“Ya, kamu suruh lah pacarmu itu melamar kamu, Al,” kata sang paman di tengah tawanya.
“Aku bahkan sudah sering nyuruh Gilang buat lamar aku. Bahkan, dari tiga tahun yang lalu. Tapi dia selalu jawab gini, ‘Lett yang sabar ya, aku pasti akan lamar dan nikahin kamu secepatnya'. Dan sampai sekarang, selalu itu jawaban dia saat aku minta dinikahin,” ucap Allethea seraya membuang napasnya kasar.
“Berarti kamu yang harus lebih tegas, Al. Kamu tanya sama pacarmu itu, berapa lama lagi kamu harus nunggu. Atau, bilang kalau dia gak juga ngelamar kamu dalam waktu sebulan ini kamu mau nyari laki-laki lain yang akan memberimu kepastian.” Usul sang ayah.
Allethea mencerna setiap ucapan ayahnya itu, lalu menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan usul tersebut.
“Tapi, kalau Gilang gak lamar-lamar aku juga dalam waktu yang aku kasih, berarti aku putus dong sama Gilang? Aku gak mau, Yah, aku sayang sama Gilang. Lagi pula lama lagi kalau harus nyari calon baru. Untung-untung kalau baik seperti Gilang, nah, kalau enggak?” Allethea bergidik ngeri.
“Itu kan cuma gertakan doang, Al, biar kamu tau seberapa seriusnya Gilang sama kamu,” ucap sang Ayah lagi.
“Kalau seandainya putus juga gak perlu khawatir, Al, setelah itu pasti akan mudah, kok, asal kamu yakin dan terus berdoa kepada yang maha jodoh. Berdoa pada Allah s.w.t agar senantiasa dimudahkan dan didekatkan jodohmu.” Nasehat sang Nenek menutup topik pembahasan mengenai Allethea, dan dilanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan lainnya yang menjadikan hari ini penuh dengan tawa bersama keluarga besarnya.
Sejak tadi Allethea terus memikirkan ucapan sang ayah, dan menurutnya tidak ada salahnya melaksanakan usulan beliau. Lagi pula, Allethea juga butuh kejelasan tentang hubungannya yang entah akan di bawa ke mana oleh kekasihnya itu, entah ke pelaminan, atau malah berakhir di tengah jalan. Namun, Allethea sangat berharap bahwa Gilang membawanya kejenjang yang lebih tinggi, yaitu pernikahan. Jika pun tidak, Allethea berharap, dirinya bisa ikhlas menerima.
Pagi ini Allethea sudah rapi dengan setelan kerjanya sebagai guru di salah satu SMA favorit di Sukabumi. Selesai sarapan, Allethea pamit pada kedua orang tua dan kakaknya, kemudian bergegas pergi menuju garasi, dimana mobilnya di simpan.
Jam baru menunjukan pukul 06.30, itu berarti masih ada waktu sekitar satu jam untuk Allethea datang tepat waktu ke sekolah tempatnya mengajar.
Tiga puluh menit, waktu yang dihabiskan Allethea menempuh perjalanan hingga tiba di parkiran khusus untuk guru. Selesai memarkirkan kendaraannya, Allethea terlebih dulu merapikan penampilannya, sebelum kemudian keluar dan tidak lupa untuk mengunci kembali mobilnya.
Berjalan tenang, Allethea melewati koridor untuk menuju ke ruang guru. Sesekali langkah guru cantik itu terhenti saat berpapasan dengan beberapa murid yang ingin menyalami tangannya.
“Bu Allethea!” panggil salah satu murid laki-laki dari lorong sebelah kirinya sedikit berteriak. Allethea menoleh, senyumnya terukir begitu melihat siapa yang datang menghampiri.
“Ada apa, Adrian?” tanya Allethea dengan nada lembut.
“Gak apa-apa kok, Bu, cuma pengen nyapa ibu sekaligus bilang, kalau hari ini Ibu cantik banget. Adrian kangen karena gak bisa ketemu bu cantik seharian kemarin,” ucapnya cengengesan dan mengerlingkan sebelah matanya genit, lalu meraih tangan sang guru untuk dia salami.
Allethea menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dari muridnya yang satu ini, kemudian tersenyum manis sebelum pamit untuk ke ruangannya tanpa menanggapi ucapan muridnya itu.
“Selamat pagi, Bu Allethea.”
Mendengar sapaan tersebut Allethea segera membalikan badannya menghadap orang yang baru saja menyapanya. Senyum ramah Allethea berikan. "Selamat pagi juga, Pak Bowo.”
Pak Bowo adalah guru senior yang paling ramah di sekolah. Umurnya pun sudah hampir lima puluh tahun, dan Allethea sangat menghargai laki-laki paruh baya tersebut yang sudah Allethea anggap seperti ayahnya sendiri.
Allethea kembali melanjutkan langkahnya semakin masuk ke dalam ruangan itu, menuju meja tempatnya mengerjakan pekerjaannya, seperti mengoreksi nilai siswa-siswanya.
“Selamat pagi, Bu Siska,” sapa Allethea saat dirinya baru saja duduk di kursinya.
“Pagi juga, Bu Allethea.” Balas Siska yang duduk di kursi sebelah Allethea, karena memang kebetulan meja kerja mereka bersebelahan.
Siska adalah sahabat Allethea sejak sekolah dulu, dan sekarang bekerja di tempat yang sama. Siska disini sebagai guru bahasa Indonesia, sedangkan Allethea sendiri merangkap sebagai guru Matematika.
Usia Siska sendiri tidak jauh berbeda dengan Allethea hanya berjarak beberapa bulan saja. Namun ada satu yang membuat Allethea iri kepada sahabatnya itu, yaitu, dia sudah menikah dan mempunya suami yang super pengertian, sabar dan juga perhatian. Sementara Allethea masih bertahan pada statusnya sebagai kekasih Gilang.
“Kamu sudah sarapan?” tanya Siska kepada sahabatnya itu.
"Sudah tadi di rumah," jawab Allethea.
“Yah, padahal aku mau ngajakin kamu sarapan bareng. Aku lapar, dari semalem belum makan," keluh Siska.
“Ya sudah, yuk, aku temenin ke kantin, mumpung masih ada waktu. Sekalian aku juga mau beli kopi,"
Siska yang mendengar persetujuan sahabatnya itu berbinar, lalu dengan cepat bangkit dari duduknya, di ikuti oleh Allethea. Keduanya berjalan menuju kantin yang sesekali ditemani obrolan-obrolan perihal anak-anak didiknya, juga masalah ujian semester yang sebentar lagi akan dilaksanakan, sampai tidak terasa tiba di kantin dan langsung memesan apa yang keduanya inginkan.
Begitu bel tanda masuk berbunyi, Allethea sudah siap dengan beberapa buku yang akan ia jadikan bahan untuk pembahasan hari ini. XI IPA 3 adalah kelas pertama yang Allethea tuju berada di lantai dua, sedangkan ruang guru berada di lantai tiga, itu artinya, mau tidak mau Allethea harus menuruni tangga untuk menuju kelas tersebut.
Saat sampai di tangga terakhir, Allethea melihat seorang laki-laki tampan berperawakan tinggi, badan atletis, dan berpenampilan rapi berdiri seperti tengah kebingungan.
Beberapa saat memperhatikan laki-laki itu dengan kening berkerut. Allethea terpesona, begitu tatapan mereka bertemu. Laki-laki itu berjalan menghampiri sambil tersenyum ramah membuat Allethea semakin terpesona akan sosok itu.
Seperti baru saja melihat seorang pangeran yang keluar dari dongeng, Allethea sampai tidak lepas menatapnya. Matanya terfokus hanya pada sosok tampan di depannya, enggan berpaling, bahkan hanya sekedar untuk berkedip.
“Maaf sebelumnya, saya mau bertanya kalau ruangan bimbingan konseling disebelah mana, ya?”
Pertanyaan yang di lontarkan laki-laki itu menyadarkan Allethea dari lamunannya, kemudian merutuki diri sendiri yang bisa-bisanya terpesona pada laki-laki lain di saat dirinya memiliki kekasih.
“Ah, maaf dengan Bapak siapa?” tanya Allethea sopan, setelah berdehem beberapa kali untuk menetralkan degup jantungnya.
“Saya Bima, wali dari siswa yang bernama Adrian Adiansyah dari kelas XI IPA 3,” jawab laki-laki bernama Bima tersebut memperkenalkan diri. Allethea menganggukkan kepalanya paham.
“Kalau begitu, Bapak bisa ikut dengan saya terlebih dulu ke kelas XI IPA 3 untuk mengajak Adrian keruang BK,” ucap Allethea mempersilahkan Bima untuk mengikutinya.
Sampainya di depan kelas XI IPA 3 yang tengah berisik itu, Allethea kemudian mengetuk pintu dan membuka pintu yang tertutup itu, masuk terlebih dulu meninggalkan Bima yang masih berjalan beberapa langkah di belakangnya.
“Selamat pagi anak-anak,” ucap Allethea, menyapa murid-muridnya.
“Selamat pagi Ibu cantik." Jawaban kompak dari murid-muridnya itu selalu menerbitkan senyum Allethea.
Melihat bahwa wali dari muridnya sudah berdiri di depan pintu, Allethea kemudian mempersilahkan Bima untuk masuk, dan seketika itu pula kelas yang awalnya sudah kondusif kini menjadi ricuh kembali dengan teriakan-teriakan alay dari murid-murid perempuan.
“A’ Bima ngapain ke sini. Mau jadi guru?” pertanyaan yang di berikan murid bernama Adrian tersebut membuat seluruh siswa IPA 3 menatap bingung dan juga penasaran.
“Jemput kamu,” jawab Bima datar.
“Jemput Ian pulang? Ngapain? Ini masih pagi A’, baru juga masuk.” Herannya.
“Bukan pulang, tapi keruang BK," lagi-lagi jawaban dengan nada datar Bima berikan.
Adrian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kemudian cengengesan dan berdiri dari duduknya, menghampiri sang kakak dan gurunya yang berada di depan.
“Bu cantik, Adrian keruang BK dulu, ya, sama A’ Bima. Ibu jangan kangen, Adrian janji gak akan lama dan segera menemui Ibu cantik lagi. Kalau perlu, nanti Adrian temuin Ibu di depan penghulu dan para saksi,” ucapnya yang kemudian mengedipkan sebelah matanya genit.
Sontak seluruh murid menyoraki Adrian. Memang bukan hal baru lagi remaja itu melayangkan gombalan. Allethea sudah terbiasa, bahkan semua murid di kelas ini sudah terbiasa dengan itu, tapi tidak dengan kakak dari remaja itu, karena Bima langsung menjewer telinga Adrian dan meminta maaf atas kelakuan tidak sopan Adiknya, kemudian pamit undur diri membawa Adrian untuk melanjutkan niat awalnya ke ruang BK.
Sejak keluar dari kelas, Adrian sudah meringis kesakitan dan meminta ampun, tapi Bima sepertinya tidak menghiraukan itu, ia cukup malu dengan tingkah adiknya yang bandel itu, dan tidak menyangka bahwa adiknya seberani itu menggombali gurunya sendiri. Bima menggelengkan kepala tak habis pikir.
Malam ini Alleteha sudah membuat janji bersama sang kekasih di café langganan mereka. Setelah siap, Allethea pamit pada kedua orang tuanya dan melenggang pergi menggunakan mobil kesayangannya.
Kurang lebih empat puluh lima menit menempuh perjalanan, kini Allethea sampai di café tempatnya janjian.
Bisa Allethea lihat dari parkiran sini, bahwa Gilang sudah menunggu di dalam sana. Tidak ingin kekasihnya itu menunggu terlalu lama lagi, Allethea langsung masuk dan menghampiri Gilang yang menyambutnya dengan senyum manis seperti biasa.
“Maaf buat kamu nunggu lama,” ucap Allethea tak enak hati.
“Gak apa-apa, sayang, aku juga belum lama kok nyampenya," jawab Gilang seraya tersenyum dan mengacak pelan rambut Allethea.
“Nih, sudah aku pesenkan kesukaan kamu, Tiramisu cake.” Gilang tersenyum. Allethea membalas senyum kekasihnya itu dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Gilang sesekali menatap Allethea yang kini tengah memakan cake yang ia pesankan tadi. Sudah bisa dirinya tebak bahwa kekasihnya itu sedang gelisah dan bingung.
Allethea memang transparan, dan itu sebuah keberuntungan bagi Gilang, membuatnya mudah untuk mengetahui apa yang tengah di rasakan oleh kekasihnya itu.
“Kamu kenapa, Lett, kok keliatannya gelisah gitu?” tanya Gilang dengan kening berkerut.
“Aku gak apa-apa kok, Lang,” Allethea tersenyum tipis untuk meyakinkan bahwa dirinya memang baik-baik saja.
“Aku tahu, ada yang mau omongin sama aku, Lett. Kamu gak bisa bohong sama aku," tebak Gilang tepat sasaran. Allethea menghela napasnya berat, kemudian menatap Gilang dengan serius.
“Aku mau tanya untuk yang terakhir kalinya sama kamu ...” Allethea menghela napasnya terlebih dulu sebelum melanjutkan ucapannya kembali, “kapan kamu mau nikahin aku?” tanya Allethea penuh keseriusan.
“Lett, kenapa kamu terus-terusan menanyakan itu? Apa kamu gak percaya sama aku? Aku pasti akan nikahin kamu, Lett, aku janji!” kata Gilang meyakinkan kekasihnya itu.
“Kamu tanya kenapa? Jawabannya karena aku butuh kepastian dari kamu, Lang! Bukannya aku gak percaya sama kamu, tapi dari tiga tahun lalu jawaban kamu selalu sama. Kamu bilang secepatnya, secepatnya, dan secepatnya terus, tapi sampai sekarang belum juga ada kepastian," Allethea menghela napasnya lelah. "Apa kamu punya perempuan lain, makanya kamu belum juga nikahin aku?”
Gilang membulatkan matanya tak percaya dengan apa yang dituduhkan kekasihnya itu. “Aku gak pernah punya perempuan lain, seperti yang kamu tuduhkan barusan Allethea! Aku cuma punya kamu. Gak ada yang lain!” kata Gilang tegas. Sedikit marah juga karena tidak menyangka bahwa kekasihnya mempunyai pemikiran seperti itu
“Oke, kalau gitu! Aku kasih kamu waktu satu bulan untuk membuktikan keseriusan kamu sama aku. Jika dalam waktu satu bulan itu kamu gak ada juga melamar aku, dengan terpaksa aku akhiri hubungan kita!” Allethea berucap dengan tegas dan serius.
Gilang membelalakkan matanya mendengar penuturan Allethea. “Bilang kalau yang barusan kamu ucapkan itu cuma becanda?” tuntut Gilang.
Allethea kembali menghembuskan napasnya berat, lalu menatap laki-laki dihadapannya dengan serius. “Aku gak bercanda, Lang. Jika dalam waktu satu bulan ini kamu gak juga lamar aku, maka jangan salahkan siapa pun jika ada laki-laki lain yang lebih memberiku kepastian. Dan satu hal lagi, jangan sampai kamu menyesal telah menyia-nyiakan aku,” Allethea berkata dengan nada rendah, tapi sarat akan kesungguhan.
Gilang mengacak rambutnya frustasi lalu meneguk kopi yang tadi ia pesan, sementara Allethea sudah pamit terlebih dulu, meninggalkan Gilang seorang diri.
Allethea tidak benar-benar pulang, perempuan itu justru malah berhenti di pinggir jalan yang agak sepi, menumpahkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Sebenarnya hatinya tidak rela jika harus benar-benar kehilangan Gilang, ia juga tidak tega melihat kekasihnya frustasi seperti tadi, tapi keputusan tetap harus ia ambil. Bagaimanapun juga Allethea butuh kepastian, bukan hanya angan dan harapan yang selama ini dirinya telan.
Allethea segera menyeka air matanya saat mendengar kaca mobilnya di ketuk dari luar. Menolehkan wajahnya ke samping, Allethea kemudian menurunkan sedikit kacanya. Ia melihat seorang laki-laki berdiri di samping mobilnya. Allethea seperti mengenal laki-laki itu. Namun ia lupa siapa nama orang tersebut.
“Ah, ternyata ibu guru yang waktu itu,” ucap laki-laki tersebut. Allethea mengernyitkan keningnya, bingung karena orang itu mengenal dirinya.
“Saya Bima, kakaknya Adrian. Waktu itu kita bertemu di sekolah,” kata Bima mencoba memberi ingatan pada guru cantik yang belakangan ini tidak henti dirinya pikirkan.
“Ah, ya, Pak Bima?” Allethea mengangguk saat berhasil mengingat laki-laki di hadapannya itu. Bima tersenyum dan mengangguk kecil membenarkan tebakan wanita itu.
Allethea keluar dari mobilnya, kemudian berdiri di depan Bima yang bergeser beberapa langkah.
“Apa mobil ibu mogok?” tanya Bima menunjuk pada mobil berwarna silver itu.
“Ah, enggak. Memangnya kenapa, Pak?” Allethea balik bertanya.
“Syukurlah. Gak apa-apa, saya kira tadi mobilnya mogok, karena berhenti disini,” jawab Bima ramah.
“Mobil saya baik-baik saja, Pak. Tadi saya hanya ingin berhenti sebentar saja.”
“Disini daerahnya sepi, Bu, gak baik perempuan sendirian di tempat sepi seperti ini, apalagi ini sudah malam,” ucap Bima.
Allethea menatap sekeliling, dan baru menyadari bahwa tempatnya berhenti memang sangat sepi. Seketika ia merinding, bukan karena takut akan hantu, tapi yang lebih Allethea takutkan adalah orang jahat yang bisa saja mengancam nyawanya.
“Kalau boleh tahu, Ibu mau ke mana?” dengan hati-hati Bima bertanya, ia tidak ingin terlalu terkesan sok akrab, karena bagaimanapun juga mereka memang tidak saling kenal. Hanya kebetulan yang mempertemukan mereka saat itu.
“Saya mau pulang ke rumah, Pak.” Allethea tersenyum kikuk.
Bima mengangguk-anggukan kepalanya, lalu setelah itu keduanya terdiam untuk beberapa saat hingga akhirnya, Allethea kembali membuka suaranya untuk pamit.
“Kalau begitu saya permisi pulang, Pak Bima.” Bima mengangguk lalu menggeser tubuhnya menjauh dari pintu mobil, memberi jalan untuk Alleteha memasuki mobilnya.
“Bu--"
“Panggil saja, Allethea.” Potong Allethea cepat.
“Ah, Allethea, hati-hati di jalan,” ucap Bima pelan, tapi masih bisa di dengar oleh Allethea. Membuat perempuan itu mengangguk kecil.
“Mari Pak,” ucap Allethea sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan Bima.
Laki-laki tampan itu tersenyum penuh arti. Menatap kepergian mobil yang dikendarai Allethea hingga mobil tersebut hilang dari penglihatannya.
"Saya harap akan ada pertemuan selanjutnya," gumam Bima penuh harap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!