Pagi itu matahari bersinar hangat. Udara sejuk Kota Bandung yang pernah dahulu aku hirup, kini telah berganti oleh sesaknya polusi di jalanan yang padat. Namun begitu, bunyi kicauan burung dan decitan serangga masih bisa terdengar di kala mentari menyapa. Kabut dan asap polusi bercampur menjadi satu, yang kemudian beberapa menit lagi akan pudar seiring bertambahnya waktu.
Hari ini seperti hari lainnya. Aku berangkat ke kampus di pagi hari, karena ada jadwal mengajar di jam pertama. Jalanan padat dipenuhi berbagai macam kendaraan. Jaket kulit andalanku ini selalu bisa menangkal bau polusi yang akan mencemari pakaianku. Maklum saja, aku selalu mengendarai motor modern bergaya klasik jika harus pergi ke kampus. Ya, demi meminimalisir terjebak kemacetan, aku harus pandai mengendarai motor dengan lihai, menyalip kendaraan-kendaraan besar atau kecil agar bisa cepat tiba di kampus kesayangan.
Kaca mata dan helm bergaya antik kulepas setibanya di halaman parkir fakultas tempatku mengajar. Sebelum masuk ke dalam kelas, aku harus mengabsen di ruang jurusan. Ah, rasanya aku selalu menjadi perhatian pusat banyak orang yang kulintasi. Apalagi penampilan seperti yang kupakai hari ini. Sepatu ankle boots, rok merah suede selutut, kemeja hitam dengan rompi berwarna coklat pasti terlihat sangat fashionable. Ditambah lagi rambut panjangku yang dicat warna merah, membuat penampilanku semakin menawan.
Aku mengaplikasikan sedikit bedak dan lipcream, serta parfum sebelum aku mengajar. Sip, penampilanku sudah sempurna, dan aku siap mengajar dengan percaya diri.
Aku berdandan dan berpenampilan menarik bukan untuk menarik perhatian orang banyak. Melainkan hanya karena aku suka, dan aku merasa lebih percaya diri. Aku sering mendengar beberapa orang yang tidak menyukaiku, katanya aku keganjenan, sok cantik, atau tebar pesona. Whatever lah! Yang penting, aku sudah menjadi diriku sendiri dan aku tidak peduli dengan omongan mereka semua.
Aku berjalan melewati koridor gedung C, dimana nanti aku akan mengajar.
"Good morning (Selamat pagi), Miss Ajeng!"
Mahasiswa-mahasiswa rajin yang telah duduk menunggu kelas menyapaku. Aku senang mereka menyapaku dengan ramah, merasa mereka menghormatiku. Aku membalas sapaan mereka dengan senyuman.
Ruangan kelas 304 di lantai tiga sudah dipenuhi oleh sekitar 30 orang mahasiswa, jika semua hadir tentunya.
"Good morning, everybody (Selamat pagi semuanya)!" Sapaku setibanya di kelas.
Banyak pandang mata tertuju padaku, terbaca olehku, mereka terkesima denganku. Those are nice (Bagus)! Aku bangga dengan diriku sendiri.
"Okay, now please open your Grammar Book page 25 (Oke, sekarang silakan buka Buku Grammar halaman 25)! ujarku dengan semangat.
Yes, aku adalah seorang dosen Sastra Inggris di salah satu kampus swasta elit di Kota Bandung. Usiaku 25 tahun, still young? Of course (Masih muda? Tentu saja)! Aku sudah diangkat menjadi dosen tetap tahun ini. Hal ini membuatku lebih semangat dan enerjik. Karir ini membuatku selalu bahagia. Di kelilingi banyak orang, sambil mengajarkan apa yang sudah kupelajari, aku merasa bermanfaat untuk orang banyak. Oleh karena itu, aku selalu berusaha untuk tampil menarik dan enerjik, agar energiku bisa kutebarkan pada mereka semua, mahasiswa-mahasiswaku, teman-teman dosenku, dan siapa saja yang kutemui.
Tak jarang, aku mendapatkan pelecehan seksual secara verbal. Namun aku tak peduli, kuanggap angin lewat. This is my life, so I must stand for my own life (Ini hidupku, jadi aku mesti kuat) .
"Absennya sudah isi semua?" tanyaku memastikan sebelum mereka pulang.
"Ferdian, kamu udah absen belum?" tanyaku, hanya anak itu biasanya yang sering lupa mengabsen di jam pelajaranku.
Seorang mahasiswa bertubuh tinggi, mungkin sekitar 180-an centimeter berdiri dari bangkunya. Wajahnya tampan, kulitnya putih bersih, dan bahunya lebar. Ia tampaknya punya pekerjaan sebagai model. Gaya berpakaian dan rambutnya rapi. Ia berjalan ke depan, menuju tempat absensi digital.
"Kebiasaan deh, minggu depan jangan sampai lupa lagi ya?!"
Ia mengangguk, lalu men-scan barcode dari map yang kubawa untuk absensi digitalnya. Lalu kembali berjalan menuju tempat duduknya.
"Okay, thanks for today! Don't forget to do your assignment! See you later, bye! (Baiklah, terima kasih untuk hari ini! Jangan lupa kerjakan tugasnya, ya? Sampai jumpa lagi, daaah!)"
"Bye!!" mahasiswa serempak membalas.
\=\=\=\=\=
Hari yang melelahkan. Meskipun hanya dua kelas saja jadwalku hari ini. Namun terasa meletihkan.
Tiba-tiba ponselku berdering selepas mengajar.
"Halo? Ada apa, Ma?" tanyaku pada Mama yang menelponku tiba-tiba saja.
"Nanti malam kamu ke rumah ya? Papa kedatangan sahabatnya nih, sekalian kita semua silaturahmi!"
"Sepenting apakah acaranya?" tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju parkiran.
"Really really important! For your dad, Mom, and of course, yourself (Sangat sangat penting! Untuk papa, Mama, dan kamu tentunya)!"
"Really (Benarkah)?!" Tanyaku memastikan.
"Tentu, Sayang! Ini sahabat papamu udah lama banget ga ketemu. Dulu dia yang selalu bantu kita untuk bangkit dari keterpurukan hidup. Bahkan dia juga yang membiayai sekolahmu sampai keuangan bisnis papa benar-benar stabil!"
"Hmm... okay, I'll be there (Baiklah, aku akan disana)!"
"Datang sebelum jam 7 malam ya?!"
"Okay, Ma!"
Aku mendengus kesal. Padahal aku sudah berencana untuk membuat penelitian untuk jurnal review terbaruku. Tetapi aku sudah mengiyakan, artinya aku tidak boleh beralasan untuk tidak hadir.
Malam itu tepat pukul 18.30 aku tiba di rumah papa. Kakakku yang tinggal di Jakarta, Nadya, ternyata juga datang bersama suaminya, Mas Bima dan anak mereka yang lucu, Alice. Ah, sepertinya memang tamu kali ini benar-benar penting.
"How are you (Apa kabar), Sayangnya Papa?" tanya Papa sambil mengecup pipiku.
"Aku baik, Pa! Papa sehat kan?"
Papa mengangguk. Meskipun sama-sama tinggal di Bandung, aku jarang datang berkunjung ke rumah Papa dan Mama, sesekali saja jika memang jadwal terasa longgar.
"Temuin Mama kamu, gih! Dia punya sesuatu untuk kamu!" ujarnya.
Aku berjalan menuju kamar Mama. Ia tampak cantik sekali meskipun keriput wajahnya sudah terlihat.
"Hai, Ma! Kata papa, Mama ada sesuatu untukku?" sapaku langsung, sambil mencium mama.
"Iya, ini nih, dipakai sekarang ya!" ucapnya, sambil menyodorkan sebuah gaun berwarna peach dengan panjang sebetis dan lengan bermodel sabrina.
"For me? Wearing this, right now (Untuk aku? Pakai ini sekarang)?"
Mama mengangguk mantap.
"Tapi untuk apa? Memang acara apa hari ini?" tanyaku penuh heran.
"Udah pakai aja, Mama bantu pakai ya?"
Dengan terpaksa aku melepas semua outfit andalanku, dan menggantinya dengan gaun itu. Terlihat cantik memang dan sangat cocok untukku. Tetapi kenapa aku harus memakainya? Ditambah mama mengalungkan sebuah kalung emas putih, dengan liontin permata berwarna maroon seperti warna rambutku.
"Wow, you look so beautiful, darling (Wow, kamu sangat cantik, Sayang)! Nadya! Coba deh liat sini, gimana penampilan Ajeng menurut kamu?"
Nadya datang sambil menuntun putrinya.
Ia menutup mulutnya dengan mata yang melebar.
"Stunning (Menawan)!" katanya singkat.
Sebenarnya, aku merasa kurang nyaman dengan gaun ini, terasa dingin karena bahuku terekspos.
"Mama! Tamu kita sudah datang!" teriak Papa memanggil kami semua.
Kami semua bergegas keluar menyambut tamu spesial papa, yang ternyata adalah keluarga dari Om Gunawan. Tak kusangka, Om Gunawan yang sering Papa temui ternyata donatur utama keluarga kami. Biasanya ia terlihat bugar dengan tubuhnya yang gagah. Namun yang kulihat malam ini begitu berbeda. Ia terlihat lemah dan pandangannya sayu, duduk di kursi roda yang didorong oleh pelayannya. Di sampingnya berjalan istrinya yang cantik dengan rambut panjang bergelombang, Tante Bella. Lalu, di belakangnya tampak berjalan seorang pemuda tinggi dan tegap mengenakan setelan tuksedo. Rambutnya rapih dan mengkilat seperti sepatu pantofelnya. Wajahnya begitu familiar di mataku, hanya saja dimana aku pernah bertemu dengannya?
"Selamat datang di kediaman kami, sahabatku, Tuan Gunawan!" sapa Papa di hall room rumah kami.
Papa memeluk erat sahabatnya itu dengan tangis, sepertinya memang hubungan mereka begitu dekat.
"Cepatlah sembuh, Pak!" ujar papa, sambil mengusap matanya.
Om Gunawan mengangguk-angguk. Ia sepertinya kesulitan berbicara karena haru.
Kami menyalaminya satu persatu. Begitu juga dengan Tante Bella. Aku baru tersadar akan pria itu, ketika melihat wajahnya jelas di hadapanku.
"Kamu, Ferdian?"
\=\=\=\=\=\=
Jangan lupa support dengan klik like dan vote ya untuk author <3
Jangan lupa juga klik favorit biar notifnya masuk saat cerita ini diupdate ^^
Terima kasih :)
"Kamu beneran Ferdian, mahasiswa aku?" tanyaku kembali memastikan.
Ia mengangguk dan tersenyum menyungging di sudut bibirnya. Tak kusangka, ia adalah anak Om Gunawan, sahabat bisnis papa. Padahal aku pernah beberapa kali bertemu dengannya pada saat kecil dulu, ternyata sekarang dia menjadi mahasiswaku di kampus. Pria berbadan tinggi agak kurus itu berjalan ke arah ibunya.
"Iya, kenalkan ini anak bungsu Om dan Tante, Ferdian Winata! Kamu sudah kenal?" tanya Tante Bella, merangkul bahu anaknya itu.
"Aku ngajar di kelas dia, Tante!" jawabku sambil tersenyum.
"Wah, kebetulan banget, ya?! Bagus deh kalau gitu!" sahutnya.
"Yuk kita langsung ke meja makan! Perkenalannya lanjut nanti ya," ujar mama, mengajak para tamu masuk ke dalam rumah kami yang cukup luas.
Kami semua sudah duduk di kursi masing-masing mengelilingi meja makan yang sudah dipersiapkan mama dengan dekorasi rustic. Saat itulah, aku mulai memperhatikan Ferdian yang duduk di kursi seberang sebelah kanan ibunya. Penampilannya berbeda 180 derajat dengan di kampus dan 10 kali lipat lebih menawan dan dewasa saat ini. Wajahnya yang putih dan berkilau sangat tampan dan aku akui hal itu. Ia menunduk, lalu tatapan kami bertemu, membuat hatiku menjadi melompat seketika. Kualihkan perhatianku pada ayahnya, Om Gunawan yang kesulitan untuk duduk di kursi samping papa. Namun Om Gunawan ternyata masih cukup kuat untuk duduk di kursi, meski dua pelayannya selalu berada di sisinya.
Papa berdiri, ia menjadi pusat perhatian acara malam ini dan mengeluarkan kata-kata sambutan.
"Kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah swt, karena atas izin-Nya kita bisa berkumpul saat ini, di rumah ini. Saya haturkan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Bapak Gunawan, yang sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri. Semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan dan kesembuhan untuk Bapak.
Acara malam ini begitu sakral untuk saya dan keluarga, dan tentunya saya merasa terhormat atas permintaan Bapak Gunawan Winata, CEO dari Winata Jaya Sentosa Corporation, untuk meminang putri bungsu kami, Ajeng Chandra Diningrat, sebagai calon istri dari dari putra bungsu Bapak Gunawan, Ferdian Winata."
What?! Seketika itu, jantungku meledak bagai kejatuhan bom nuklir. Aku refleks berdiri memandangi papaku sambil menghentakan kakiku di bawah meja. Mataku menatap tajam ke arah papa yang juga menatapku tenang.
Bagaimana bisa hal ini terjadi, bahkan tanpa persetujuanku?
Papa menyuruhku untuk diam dan duduk kembali dengan kode tangannya. Sementara mama merangkul tanganku dan mencoba menenangkanku.
"Ma?! Are you kidding (Ma, apa Mama bercanda)?! Maksudku ini perjodohan aku sama Ferdian?! How can (Gimana bisa)?!" ucapku dengan perlahan, wajahku bersembunyi di balik meja agar suaraku tidak terdengar.
"Sstt..., denger Papa dulu aja, Sayang! Nanti setelah ini kita bicarakan! Beraktinglah seolah kau senang, kita tidak boleh mengecewakan Pak Gunawan!"
Aku mengepalkan tangan. Degup jantungku naik dan turun. Aku menggigit bibirku beberapa kali, terasa gemas sekali dengan keputusan sepihak papa. Aku ini wanita mandiri, dan bukan zamannya lagi perjodohan antar keluarga dilakukan. Aku bisa mencari pria idamanku sendiri.
Ferdian? Oke, dia itu tampan, tinggi, dan pintar. Tetapi bagaimana bisa, seorang mahasiswa yang biasa aku ajari dan umurnya dibawahku ini nanti bakal menjadi calon suamiku? Oh no!
"Ajeng, kemari!" ujar papa. Ia menyuruhku berdiri di sampingnya.
"Ferdian juga kemari!" katanya lagi.
Aku tak tahu jika saat ini berkaca, mungkin hidungku ini sedang kembang kempis karena emosi. Tanganku tetap mengepal. Dengan terpaksa, aku berjalan dengan kaku, menahan langkah-langkahku. Namun, kulihat Om Gunawan tersenyum padaku dengan senyuman yang dipaksakan karena sebagian syaraf wajahnya terkena stroke dengan mata yang berkaca-kaca. Tatapan apakah itu?
Sementara Ferdian, ia tampak santai dan tenang melangkah menuju samping Papa. Ia membetulkan jas yang dikenakannya. Apa dia setuju-setuju saja, akan dinikahkan dengan wanita yang lebih tua darinya? Aku yakin dia pun terpaksa mengikuti perjodohan ini.
Papa telah diapit oleh diriku dan Ferdian. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya dan menjentikan jarinya, entah apa maksudnya. Seorang pelayan, yang sepertinya juga dari pihak Om Gunawan, tiba-tiba datang membawa sebuah nampan kayu yang sudah dirias dengan cantik, ada sebuah kotak kecil di atasnya. Ia menyerahkan benda itu kepada papa.
Papa menaruh nampan berisi kotak yang sepertinya berisi dua pasang cincin berwarna putih metalik. Kemudian ia mengambil kotak itu lalu membukanya. Tebakanku benar.
"Di hadapan kalian, sudah ada sepasang cincin platinum untuk kalian berdua. Ini pertanda bahwa mulai hari ini, setelah kalian memasang cincin itu di jari kalian masing-masing, kalian saling terikat satu sama lain," ucap papa.
"Nah, sekarang kalian ambil cincin untuk pasangan kalian!" ujar Papa sambil menyodorkan kotak itu pada Ferdian. Ia mengambil sebuah cincin yang lebih kecil ukurannya.
Lalu papa beralih kepadaku, ia mengerlingkan matanya. Aku pun mengambil cincin yang agak lebih besar dari cincin yang Ferdian ambil.
"Kalian sudah memegang cincin masing-masing kan? Nah sekarang coba kalian pasangkan cincin tersebut di jari manis pasangan kalian. Silakan Ferdian!"
Papa melangkah mundur agar tidak menghalangi Ferdian yang melangkah ke arahku. Aku mencoba menahan nafas, tanganku gemetaran. Aku mencoba menggenggam cincin yang kupegang agar tidak terjatuh.
Ferdian menatapku lembut, dengan hidung mancung yang terlihat runcing ketika wajahnya itu menunduk. Entah apa yang merasukinya tiba-tiba ekspresinya berubah seperti itu. Ia tersenyum kecil.
"May I (Bolehkah aku)?" tanyanya melihat ke arah tangan kiriku, untuk memasang cincin itu di sana.
Aku memicingkan mata lalu terpaksa mengangguk. Ia mengambil tangan kiriku lalu membukanya perlahan. Dalam hatinya pasti ia tertawa merasakan tanganku yang gemetaran dan juga dingin. Aku tidak peduli akan hal itu. Ini jebakan untukku.
Ia mencoba menahan tanganku yang gemetaran dengan tangannya yang lain, lalu memasukan cincin itu ke jari manisku. Pas sekali. Kenapa bisa pas sekali ukurannya di tanganku? Sejak kapan mereka mengetahui ukuran jariku yang panjang dan lentik ini?
Kali ini giliranku untuk memasangkan cincinya. Ia menyodorkan sendiri tangannya yang ternyata cukup kekar, panjang, dan sedikit kurus. Kupegang tangannya itu, suhunya dingin tapi tak sedingin punyaku dan jarinya sama sekali tidak bergetar. Kusematkan cincin itu di jarinya. Akhirnya selesai juga sesi tukar menukar cincin.
Papa membuat kode agar aku tersenyum. Aku pun tersenyum, memaksakan agar gigi putihku terlihat dengan senyuman kaku seperti patung. Kami pun menunjukkan jari manis yang sudah terpasang cincin di hadapan banyak kamera.
"Ajeng, smile please! You look so beautiful (Ajeng senyum dong! Kamu cantik banget lho)!" ujar Kak Nadya yang memegang ponselnya untuk memotret momen ini.
"Bisa tolong agak dekatan?" tanya seorang fotografer di hadapan kami, yang entah kapan muncul.
Papa yang berdiri di belakang, ia membuat tubuhku bergeser agar menempel dengan dengan tubuh Ferdian. Rasanya momen ini sangat menyiksaku. Entah berapa lama lagi aku harus berpose dengan senyuman palsu ini.
Papa menjentikan jari, menandakan momen itu sudah berakhir. Syukurlah, kaki dan bibirku ini sudah pegal. Aku langsung menuju kursiku dan meminum air putih karena gigiku terasa kering. Mama memberiku dua jempolnya dengan mata berbinar.
Papa duduk di kursinya. Kemudian ia berkata lagi.
"Sungguh momen yang mengharukan. Sepertinya kedua belah pihak juga sama-sama bahagia. Meskipun kalian baru bertemu atau belum mengenal satu sama lain, kami harap setelah pertemuan ini kalian bisa saling mengenal sebelum pernikahan tiba."
Pernikahan?!
"Kita akan langsung memutuskan hari baik untuk pernikahan kalian berdua, bukan begitu Pak Gunawan dan Bu Bella?"
Keduanya mengangguk, menyepakati.
"Baiklah, kita langsung sepakati saja tanggal pernikahan untuk Ferdian dan Ajeng ya, ada ide?"
Tiba-tiba saja kepalaku terasa berat sekali dan nafasku terasa sempit. Pandanganku menjadi berkunang-kunang, lalu semakin redup.
Kemudian, entah apa lagi yang terjadi. Aku tidak ingat apa-apa.
\=\=\=\=\=
Lanjutin bacanya yaa 😍❤
Klik favorit kalau suka
Vote, Comment & Likenya yaa jangan lupa
"Ajeng...! Ajeng! Bangun, Nak!"
Aku mendengar suara Mama samar-samar, dan masih merasa lemas sekali.
"Ajeng, bangun, Sayang!"
Aku mencoba membuka mataku yang terpejam rapat. Terhirup bau minyak angin yang terasa kuat. Aku berusaha membangunkan tubuhku yang tadi terbaring.
"Minum dulu, Sayang!" ujar Mama menyodorkan gelas berisi air putih hangat ke mulutku. Sementara Kak Nadya menopang tubuhku dari belakang, lalu membantuku untuk menyandarkan diri di papan kasur.
"Ya ampun, kamu kenapa tiba-tiba pingsan?"
"Gak tau, Ma! Tiba-tiba kepalaku pusing sekali dan nafasku sesak!" jawabku lemas.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu aja di kamar. Biar nanti Bi Asih membawakanmu makan malam dan buah-buahan. Kamu perlu energi sepertinya," ujar mama menyimpan gelas yang sudah kuminum.
Aku mengangguk saja dan memperbaiki sandaran di kasur kamar tidurku.
"Mama keluar dulu ya, gak enak sama Bu Bella. Kamu istirahat aja dulu! Biar Mama yang dampingi papa," ujar Mama sambil menutup pintu kamar.
"Kamu pasti belum makan ya?" tebak Kak Nadya.
"Iya kak, aku memang lagi diet akhir-akhir ini, dan salahnya tadi sore aku belum makan apapun."
"Duh, calon pengantin harus sehat dong, harus butuh banyak asupan energi! Bercinta itu bikin capek lho!"
"What (Apa)?!!"
Rasanya nafasku kembali sesak. Ah iya, aku baru saja dijodohkan papaku. Oh my God! Anak itu akan jadi jodohku. Aku mencubit pipiku berkali-kali, sakit rasanya.
"Cubit aku, Kak!"
"Ngapain sih?! Ini kan bukan mimpi, ini beneran tau!"
Aku mendengus kesal.
"Apa kakak tau sebelumnya? Maksudku acara hari ini untuk perjodohan aku?" tanyaku penasaran, karena memang tidak ada yang memberitahuku sebelumnya.
"Umm... enggak juga sih! Aku cuma tau, kamu bakal dijodohkan sama anak dari salah satu teman baik papa. Itu aja!" jawabnya sambil mengupas sebuah apel fuji kesukaanku.
"Terus tentang anak itu, maksudku Ferdian, apa kakak tau sesuatu?"
"Mana aku tau, Jeng! Everything is under papa's control, and we know it (Semuanya di bawah kekuasaan papa, dan kita tahu itu), kita ga boleh nolak sama sekali!" katanya, ia menyodorkan potongan segar apel.
"Seperti perjodohan kamu dan Mas Bima! What did you feel at that time (Apa yang kamu rasakan waktu itu)?" tanyaku, aku menyuap potongan-potongan apel itu ke dalam mulutku.
"Aku takut! Bahkan kamu tau kan, aku sempat mau kabur ke Australia buat ketemu sama Brian! Tapi waktu aku lihat papa, rasanya aku bakal merasa jadi anak durhaka selamanya. Jadi, aku menyerah gitu aja demi papa! Tapi setelah itu, aku merasa jadi anak paling beruntung. Bima, seorang lelaki yang sama sekali gak pernah terlintas di pikiranku untuk jadi pendampingnya. Meskipun kita sering bertemu, mengobrol, dan bercanda. Entahlah tiba-tiba aja cinta itu datang setelah pernikahanku. He's so adorable, gorgeous, and so manly (Dia sangat mengagumkan, keren dan jantan). "
"Hadeeh...malah jadi muji suami nih!" dengusku.
"Hehe...bya gitu deh, cinta itu datang tak terduga buat aku. Sempat aku tanya sama dia, apa dia mencintaiku tulus? He said yes, of course (Dia bilang 'ya', tentu saja), bahkan dia udah kagum sama aku semenjak SMP. Aku gak pernah menyadari itu semua, maksudku, dia bersikap seperti tidak ada apa-apa. Perlakuannya sama kepada teman-teman lainnya, aku merasa menjadi perempuan yang beruntung banget! Dan pastinya, papa gak salah pilih orang buat jadi menantunya!" jelas Kak Nadya panjang lebar.
Aku merenung.
"Menurutmu, aku harus percaya sama pilihan papa?" tanyaku ragu.
"Kalau menurut pengalaman aku sih iya, kamu harus percaya sama papa. Meskipun papa memikirkan untuk keberlangsungan bisnisnya, tapi dia juga gak sembarangan untuk pilih calon menantunya yang bisa bikin putri-putrinya bahagia."
"Tapi, benarkah kamu merasa bahagia dengan pernikahanmu sampai sekarang? Jawab jujur. please!"
Kak Nadya mengangguk mantap, ia tersenyum sambil membelai rambutku.
Aku memejamkan mata sejenak untuk menerima kenyataan dan meyakinkan keputusan yang akan aku ambil.
"Ferdian itu mahasiswa kamu, bukan?" tanya Kak Nadya.
"Iya, Kak! Aku baru bertemu dengannya semester ini!"
"Berarti setidaknya kamu bisa mengenalnya sedikit."
"Nothing at all (Gak sama sekali)! Kecuali dia itu selalu lupa untuk mengisi absensi di mata kuliah yang aku ajarkan! Makanya aku jadi tau dia," jawabku.
Kak Nadya tertawa-tawa.
"How silly (Lucu banget)!"
"Ya entahlah! Jadi gimana nih caranya biar aku bisa mengetahui dia dari sudut pandang orang lain?"
"Kalau dilihat dari mata jujur perempuan, dia itu ganteng banget deh. Setuju gak? Badannya tinggi & proporsional, kulit bersih, rahangnya kekar, bahu lebar dan hidungnya mancung. Unch, body-nya model banget! Meskipun dia agak lebih kurus dari Mas Bima ya. Tapi mau dilihat dari sudut mana pun, dia sempurna untuk dijadiin pasangan. Siapa yang gak tergila-gila sama cowok kaya gitu di kampus? Dia pasti populer di kalangan mahasiswi. Jadi, coba deh gali informasi tentang dia, minimal dari teman sekelasnya!"
"Wuih..., kayaknya Kak Nadya udah tau banget fisik Ferdian ini ya? Hmm..., jadi curiga," ujarku. Habisnya dia berlebihan sekali mendeskripsikan Ferdian, padahal sepertinya baru ketemu hari ini.
"Hey, hey, tenang dong! Aku tahu, karena tadi dia yang angkat kamu ke kamar pas pingsan. Jadi bisa lihat lebih jelas deh."
"WHAT?!"
Kak Nadya mengangguk.
"Dia yang angkat aku? Kenapa gak papa aja?!"
"Woy, papa itu jongkok sedikit aja udah sakit pinggang. Apalagi gendong kamu!" ujarnya menoyor kepalaku.
"Dih, biasa aja sih!" ujarku kesal.
"Lagian, dia itu yang pertama sadar kalau kamu pingsan. Aku lihat dia berdiri terus lari ke arah kamu. Aku kira dia kebelet, eh pas di sana aku baru nyadar kalau ternyata kamu udah pingsan aja. Mama pun gak sadar tuh, padahal duduk di samping kamu!"
"Really (Benarkah)?!"
"Yes! Aku gak bohong, bener deh! Kayanya dia emang udah ada perhatian sama kamu, cuma kamunya aja yang gak sadar. Sama kaya Mas Bima ke aku."
Seketika jantungku berdegup kencang dan tubuhku merasa panas.
"Coba mulai sekarang kamu cari tahu informasi sebanyak-banyaknya tentang Ferdian ini. Gimana sifatnya di kampus, nilai-nilai akademik dia, apa aja aktivitasnya, dan orang terdekat dia itu siapa aja," saran Kak Nadya.
"Baiklah, mulai besok aku akan coba gali informasi tentang dia di kampus!"
"Nah, gitu dong, semangat! Kalian pun sudah harus mulai menjalin komunikasi. Karena dalam satu bulan lagi, kalian bakal resmi jadi suami istri!"
"WHAT?!"
\=\=\=\=\=
Malam itu aku keluar dari kamar untuk melihat isi kulkas di rumah papa. Aku merasa sangat lapar karena setelah berbincang dengan Kak Nadya yang menguras emosi, pikiran dan tenaga. Jadinya, aku tidak makan, terlalu tidak selera.
Aku mengambil dua buah apel fuji dan susu kotak. Langsung saja kumakan apel-apel itu tanpa dikupas. Pikiranku masih melayang tentang perjodohanku tadi. Rasanya masih tidak percaya dan berharap ini mimpi saja. Namun kulihat cincin putih itu masih terpasang di jari manisku.
Kubuka instagramku, kuketikkan nama Ferdian Winata di kolom pencarian. Kubuka satu persatu akun yang menunjukkan nama yang sama, mulai dari yang pertama. Mataku terbelalak, sejak kapan anak itu mengikuti akunku? Hmm, tapi wajar sih, toh aku ini dosennya, dan aku salah satu dosen terpopuler di fakultasku. Jadi pasti hampir semua mahasiswa yang aku ajari mengikuti akunku, untuk melihat foto-fotoku.
Aku mencoba mengecek foto-foto Ferdian, tidak ada yang asyik. Hanya berupa foto-foto sudut ruangan tertentu, tanpa tulisan, dan tanpa tagar. Tidak ada yang memuat foto dirinya. Mungkin dia tertarik dengan dunia fotografi. Dilihat dari jumlah followernya, yang berjumlah sepuluh ribuan follower, untuk mahasiswa di kampus kami yang sedikit jumlahnya adalah termasuk populer. Sepertinya followernya itu dari kalangan kampus dan sekolah yang dia ikuti selama ini.
Aku terus melihat foto-foto yang diuploadnya sampai bawah. Ternyata ada satu foto yang memuat wajah dia. Ia terlihat mengenakan jas almamater kampus, berdiri di bawah pohon, sambil tersenyum, manis sekali, eh! Ia membawa poster bertuliskan 'PILIH NO. 1 untuk peradaban kampus yang lebih maju!', lalu di kolom tulisan tertulis tagar #electrone seingatku ini istilah untuk pemilihan presiden mahasiswa tahun lalu.
Ah..., ternyata dia presiden mahasiswa tahun lalu, tidak salah lagi, dia pasti sangat populer dan memenangkan pemilu khusus mahasiswa itu. Oke, kita sama-sama populer dan aku harus berhati-hati agar berita perjodohanku dengannya tidak tersebar. Aku harus mengajaknya bekerja sama.
\=\=\=\=\=
Siang itu aku membawa bekal yang sudah dipersiapkan oleh mama. Aku membuka kotak bekal dan memakannya sendirian di meja kerjaku. Meski aku populer di kalangan mahasiswa dan dosen, tetapi aku tidak punya teman dekat yang benar-benar cocok denganku. Aku hanya ingin menjadi profesional di dalam karirku, jadi aku membatasi diriku dan privasiku di tempat kerjaku.
Setelah ini, aku ada jadwal mengajar satu mata kuliah lagi, setelah itu aku bisa benar-benar istirahat di rumahku sendiri untuk menenangkan pikiran dan jiwaku.
Aku berjalan di sepanjang koridor gedung B untuk menuju kelas. Aku akan mengajar mahasiswa baru untuk mata kuliah basic grammar. Seperti biasa, energi positifku menyebar di sepanjang jalan yang aku lewati. Banyak sekali mahasiswa yang berpas-pasan denganku tersenyum dan menyapaku dengan ramah. Senang sekali rasanya.
Aku harus melewati perpustakaan, satu-satunya tempat favoritku di kampus ini. Memiliki banyak koleksi karya sastra lokal dan mancanegara yang lengkap dan update, membuatnya menjadi tempat yang sering aku kunjungi di waktu kosong untuk menunggu jadwal mengisi mata kuliah.
Sembari lewat, aku berniat untuk mengembalikan sebuah novel yang aku pinjam minggu lalu. Namun saat aku melewati pintu masuk, tiba-tiba saja seorang mahasiswa menabrakku dari depan.
"Aww!" aku terjatuh di lantai dengan posisi terduduk. Panggul bagian kiriku terasa linu sedikit.
"I'm sorry, Miss! Saya tidak sengaja!" ujarnya.
Aku menengadahkan tatapanku ke wajah mahasiswa yang menabrakku itu. Seketika jantungku langsung melompat.
Itu adalah Ferdian! Ia mengulurkan tangannya, agar aku bisa berdiri. Aku memang kesulitan untuk berdiri karena rok span selututku ini. Terpaksa aku menyambut uluran tangannya dan berdiri kemudian membersihkan debu-debu yang menempel di rokku.
"Maaf sekali lagi, saya benar-benar tidak sengaja!" ujarnya, wajahnya terlihat panik, tatapannya tertunduk. Sungguh beda sekali dengan ekspresi wajahnya tadi malam ketika memasangkan cincin di jariku. Benar ini Ferdian?
"No, It's okay!" ucapku.
"Baiklah, saya permisi dulu kalau begitu!" ujarnya, kemudian berjalan terburu-buru keluar.
Hmm..., gitu aja ya ekspresinya nubruk calon istri? Lho kok, aku kecewa sih?! Bagus dong, like nothing happen (kaya gak terjadi apa-apa).
"Miss Ajeng!" suara itu lagi.
Aku membalikkan tubuhku.
"I'll call you later (Nanti saya telepon ya)?" ujarnya dengan nafas terengah-engah dan senyuman kecil di bibirnya.
Seketika tubuhku membeku. Aku tak bisa membalas ucapannya atau senyumannya. Namun sosok itu sudah pergi dengan sendirinya.
Oh my God! (Ya Tuhan)!
\=\=\=\=\=
Like dan Vote terus yaa
Keep support ^^
Makasih
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!