NovelToon NovelToon

Mr. Haphephobia

BAB 01 - Prolog

Rayn Dean Anderson adalah pelukis terkenal dengan nama pena Lotus. Karya-karyanya sudah tak diragukan lagi, dan ia telah mendapatkan tempat yang istimewa di kalangan penikmat seni. Rayn menggunakan nama pena di setiap karyanya bukan hanya untuk menyembunyikan identitasnya, tetapi juga karena ia seorang penderita haphephobia, sebuah fobia yang menyebabkan ketakutan terhadap sentuhan.

Karena kondisi ini membuat Rayn memilih untuk tinggal sendirian di sebuah villa yang tidak jauh dari kota, setelah kembali dari Kanada sepuluh tahun lalu. Tak ada satu pun penggemar karyanya yang mengetahui seperti apa sosok pelukis yang mereka kagumi itu.

Haphephobia Rayn bermula 17 tahun lalu, tepatnya saat ia berusia 10 tahun. Pada malam Festival Honda Celebration of Light, ia mengalami kecelakaan lalu lintas bersama ibunya. Ibu Rayn meninggal dalam kecelakaan tersebut, sementara Rayn yang selamat, tak sadarkan diri selama dua minggu. Ia kehilangan ingatan tentang semua yang terjadi malam itu, hanya mengingat kenangan sebelum pergi bersama ibunya ke festival.

Kecelakaan yang menimpa Rayn dan ibunya tetap menjadi misteri. Polisi menyatakan bahwa itu adalah kecelakaan tunggal dan ada indikasi bunuh diri yang dilakukan oleh ibu Rayn. Keterangan ini didasarkan pada fakta bahwa mobil mereka menerobos lampu merah tanpa ada tanda-tanda sabotase.

Namun, baik Rayn maupun ayahnya, Charles Dean Anderson, tak percaya begitu saja dengan hal tersebut. Pada malam yang sama, ayah Rayn menerima ancaman dari seseorang yang tidak dikenal. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu hanya bisa diketahui dari ingatan Rayn yang hilang, dan ia menjadi satu-satunya saksi hidup yang masih ada.

Kejadian malam itu tentu menjadi pukulan besar bagi keluarga Anderson, terutama bagi ayah Rayn, Charles Dean Anderson. Bagaimana tidak, Charles harus kehilangan seorang istri yang sangat dicintainya. Sementara itu, Rayn, putra satu-satunya yang dahulu periang, kini berubah menjadi anak yang penyendiri dan memiliki ketakutan luar biasa setiap kali seseorang menyentuhnya.

Dokter belum dapat menemukan pemicu dari trauma yang membuat Rayn tidak bisa menerima sentuhan orang lain, termasuk sentuhan dari ayahnya sendiri.

Keluarga Anderson akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan medis lebih lanjut untuk kesembuhan Rayn. Tuan Charles justru mengasingkan putra semata wayangnya dengan mengirim Rayn kembali ke negara asal mereka.

“Ibu, katakanlah jika pilihanku benar! Aku tidak bisa berhenti membenci Ayah yang memilih untuk menyerah terhadap kondisiku, tapi aku juga tidak ingin terus menyakitinya dengan keberadaanku, meskipun dia mengasingkan diriku dari hidupnya. Biarkan ini menjadi hukuman untukku, karena telah membuatnya kehilanganmu untuk selamanya.”

Perkataan inilah yang terucap dalam hati pria yang kini menginjak usia 27 tahun, setiap kali ia memandang foto wanita berparas cantik sambil meneguk sebotol wiski di tangannya dalam kesunyian malam.

***

Di sisi lain, ada Lusia Alkeysha, seorang gadis cantik yang tak jauh berbeda dengan Rayn, dengan perjalanan hidup yang penuh kesulitan. Di usia 25 tahun, Lusia belum pernah menjalin hubungan spesial dengan seorang pria. Tak jarang, ia memimpikan memiliki seorang kekasih yang bisa mendukungnya sepenuhnya, seorang yang selalu ada untuknya dalam suka dan duka.

Bagi Lusia, berkencan, piknik, menonton film di bioskop berdua, atau bergandengan tangan seperti gadis-gadis lainnya, hanyalah sebuah mimpi yang harus ia kubur dalam-dalam. Saat ini, yang harus ia pikirkan adalah bagaimana cara bekerja dan mendapatkan uang untuk melunasi hutang yang ditinggalkan ayah tirinya. Lusia terus berjuang mengumpulkan uang agar bisa memberikan kehidupan yang layak bagi ibu, nenek, dan adiknya, tanpa harus terbebani oleh hutang tersebut.

Ayah kandung Lusia meninggal karena sakit saat ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Dua tahun setelah kepergian ayahnya, ibunya menikah lagi dengan seorang kontraktor. Keluarga mereka sempat menikmati kehidupan yang berkecukupan, namun tidak lama setelah itu, ayah tirinya bangkrut dan meninggalkan banyak hutang. Pada saat ibunya tengah mengandung adiknya yang berusia 8 bulan, ayah tiri Lusia pergi begitu saja, meninggalkan mereka dalam kesulitan.

Ibu Lusia terpaksa menjual rumah mereka demi membayar sebagian hutang yang ditinggalkan ayah tirinya. Mereka harus pindah ke pemukiman nelayan yang padat penduduk, tinggal bersama nenek Lusia. Sementara itu, Lusia memutuskan untuk tetap tinggal di kota dan melanjutkan sekolah.

Tak ingin membebani ibunya, Lusia mulai bekerja sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Setelah lulus, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, Lusia harus berpikir panjang, karena setiap bulan ia harus mengirimkan uang untuk membantu ibunya.

Lusia sadar bahwa tidak melanjutkan pendidikan adalah keputusan yang salah, namun dengan keadaan ekonomi yang sulit, ia tak punya pilihan. Impian besarnya untuk menjadi seorang desainer terpaksa ia relakan. Tidak hanya hutang ayah tirinya yang harus ia tanggung bersama ibunya, tetapi Lusia juga masih harus membantu membayar biaya sekolah adiknya. Ia memiliki tekad untuk menjadikan adiknya orang yang sukses kelak.

***

Takdir seperti apakah yang akan menghampiri mereka?

Seorang gadis yang penuh perjuangan, harus merelakan impian dan kehidupan romantis yang selama ini ia idamkan demi keluarganya yang kecil.

Di sisi lain, ada seorang pria dengan fobia sentuhan yang tak membiarkan siapapun mendekatinya. Ia harus berjuang untuk mengingat kembali masa lalu kelamnya, demi mengungkap misteri di balik kecelakaan yang melibatkan dirinya dan ibunya.

Visual berdasarkan kehaluan Author haha...

Buat Readers bebas kalau punya gambaran sendiri yang lebih cocok...

Semoga suka ... Happy Reading ^_^

BAB 02 - Karena dia sahabatku

Ponsel Lusia terus berdering, panggilan masuk dari Reisa, sahabatnya, yang tiada henti. Dengan cepat, Lusia menjawab meski sedang mengemudi, memaksakan dirinya untuk tetap tenang. "Aku akan sampai, jangan panik, tenangkan dirimu, Reisa. Hanya 15 menit, oke?" katanya singkat sebelum segera memutuskan telepon dan fokus kembali pada jalan, berharap bisa sampai lebih cepat.

Lusia melirik ke luar jendela, melihat pepohonan di sepanjang jalan bergoyang kencang, tertiup angin yang semakin hebat. Langit yang sebelumnya cerah kini mulai mendung, menambah rasa cemas yang tak bisa ia hindari. "Apa akan turun hujan?" pikirnya, merasakan ketegangan yang meningkat di dalam mobil, seolah cuaca tak bersahabat dengannya.

Seperti yang dijanjikan, bahkan tidak sampai 15 menit, mobil box bertuliskan ‘Friends Cafe’ yang dikemudikan Lusia berhenti di area parkir Psithurism Art. Psithurism Art adalah sebuah galeri lukisan tempat Reisa bekerja.

Lusia langsung bergegas keluar dari mobil setelah meraih paper bag berisi baju dan sepatu hak tinggi milik Reisa dari bangku depan penumpang. Apron cafe masih tergantung rapi di tubuhnya, menunjukkan bahwa ia masih jam kerja.

"Ah, bodohnya... Kenapa juga aku masih memakainya?" ucap Lusia sambil berusaha melepas apron itu dan berjalan cepat menuju galeri.

Alasan Lusia berada di sana adalah karena ia menerima panggilan darurat dari Reisa, sahabat baiknya yang tiba-tiba membutuhkan bantuannya. Saat itu, Lusia masih sedang bekerja shift malam di cafe. Lusia tidak berpikir dua kali untuk mengorbankan waktu istirahatnya demi sahabat yang sangat berarti baginya.

“Selamat malam,” sapa petugas keamanan Psithurism Art, sambil membukakan pintu untuk Lusia. Lusia membalas dengan anggukan kepala dan senyuman tipis, lalu melanjutkan langkah cepatnya tanpa henti, masih dengan telepon di tangan.

“Kau di mana? Kukira kau akan menjemputku di depan galeri,” tanya Lusia, nada suaranya sedikit terdesak.

“Turunlah, aku sudah....” ucapan Lusia terhenti saat ia melihat Reisa, sahabatnya, berlari menghampirinya. Lusia langsung memutuskan sambungan telepon dan menyambut Reisa dengan tatapan lega.

“Oh… terima kasih, Lusia. Kau penyelamatku hari ini!” seru Reisa, langsung memeluk Lusia dengan rasa syukur yang besar.

Lusia melepas pelukan itu dengan lembut dan menatap sahabatnya itu dengan serius. “Menurutku setelan pakaianmu sudah cukup kok,” ujarnya, menatap Reisa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelan kemeja putih dengan garis hitam vertikal, dipadukan blazer hitam dan celana palazzo yang dikenakan Reisa seharusnya sudah cukup pantas untuk acara kantor.

Reisa merasa penampilannya masih kurang. Ia menjelaskan pada Lusia, “Lihat, penampilanku ini terlalu formal. Big Boss sudah terbiasa melihatku dengan gaya seperti ini setiap hari. Malam ini aku harus tampil berbeda. Aku ingin membuat dia terkesan.” Reisa berbisik sambil memainkan alisnya, senyum nakal tersungging di bibirnya, perlahan meraih paper bag dari tangan Lusia.

“Apakah ini acara yang sangat penting?” tanya Lusia, sedikit khawatir.

“Tentu saja,” jawab Reisa, nadanya serius. “Kau tahu kan, sebelumnya setiap kali Big Boss mengajakku ke acara perusahaan, selalu ada saja yang menghalangi. Selalu ada yang salah, jadi kami gagal pergi bersama.” Reisa menghela napas, menyadari betapa ia merasa bersalah atas kegagalan-kegagalan itu.

“Dan itu karena kau sendirilah yang selalu mengacaukannya,” celetuk Lusia dengan nada bercanda.

Reisa hanya tersenyum mendengarnya. “Karena itu, kali ini aku akan melakukan yang terbaik,” jawabnya dengan penuh semangat. “Tapi, kau tahu, Lusia...” lanjutnya, suaranya berubah lebih misterius, sambil melirik ke sekeliling.

“Tahu apa? Katakan langsung, tanpa basa-basi,” jawab Lusia, sudah siap mendengarkan.

“Hufft...” Reisa menghela napas pendek, seolah-olah mempertimbangkan kata-kata yang tepat.

Dengan isyarat, Reisa meminta Lusia untuk lebih mendekat. “Kau tahu, ini pertama kalinya Big Boss mengajakku ke acara gathering tanpa pemberitahuan sebelumnya. Tanpa pesan, tanpa tanya-tanya, dan tanpa banyak basa-basi,” ucap Reisa dengan nada sedikit kesal, seolah ia masih tak percaya dengan sikap Big Boss yang tiba-tiba.

"Lalu, apa masalahnya dengan itu? Tinggal pergi saja, ikut saja dia," ucap Lusia dengan santai, seolah itu bukan masalah besar.

“Yaaa...!” Teriak Reisa seketika, hampir membuat telinga Lusia terasa berdenging. Setelah itu, Reisa menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, “Kau nggak mengerti, Lusia. Wanita itu harus siap! Kalau tidak, lihatlah... penampilanku sekarang biasa saja. Tidak ada yang spesial. Bahkan aku sampai merepotkanmu datang kemari hanya untuk ini!” ucapnya dengan kekesalan, tapi juga terlihat penuh semangat.

“Apa kau baru saja menyindirku karena aku nggak punya pasangan?” Lusia menyipitkan mata, lalu menyengir jahil. “Lagipula, situasi ini terasa seperti drama cinta... kau pemeran utamanya, dan aku cuma figuran. Jadi kenapa aku harus paham? Cukup jalani peranku saja, bukan?”

Reisa sempat terdiam, lalu buru-buru membela diri. Bukan itu maksudnya, jelas bukan. Lusia tertawa kecil dan menepuk lengan sahabatnya, menenangkan.  “Haha, baiklah, baiklah... aku hanya bercanda," ucapnya santai, namun penuh ketulusan.

Lusia meminta Reisa tak perlu panik lagi. Ia sudah berada di sini, tepat waktu, lengkap dengan seluruh perlengkapan tempur yang diminta, tak satu pun tertinggal.

Reisa tersenyum lega, membentuk simbol hati dengan jarinya. “Kau memang yang terbaik.”

Namun seperti biasa, Reisa masih sempat-sempatnya meminta maaf karena merasa sudah merepotkannya.

Lusia tersenyum kecil, ia tak pernah benar-benar merasa direpotkan. Reisa adalah satu dari tiga sahabat yang dimilikinya sejak masa SMA. Mereka tumbuh bersama, saling mengenal lebih dari sekadar permukaan sehingga dijuluki tiga sekawan.

Lusia tahu betul bahwa Reisa bisa panik hanya karena hal kecil dan sering kali berlebihan dalam mencemaskan sesuatu. Sifat manjanya pun bukan hal baru, membuatnya tak segan mengandalkan Lusia dalam situasi genting seperti malam ini. Dan meskipun begitu, Lusia tidak keberatan. Karena bagi Lusia, membantu sahabat bukanlah beban. Itu bagian dari persahabatan mereka yang sudah teruji waktu.

Reisa masih terlihat bersalah dan tak berhenti menebus kekurangannya. Ia berjanji akan langsung memesankan sandwich kesukaan Lusia secara online, sebagai bentuk permintaan maaf. Lusia hanya tersenyum dan mengangguk kecil, sebuah isyarat bahwa ia menerima niat baik itu tanpa perlu banyak kata.

“Pergilah,” ujar Lusia, suaranya tenang tapi cukup tegas. “Kau tidak ingin mengacaukannya lagi kali ini, bukan?”

Reisa mengangguk dan berbalik, namun percakapan mereka terpotong oleh kehadiran seorang pria. Ia datang dengan balutan jas rapi dan langkah mantap, langsung menghampiri mereka. Tatapannya tertuju pada Lusia sejenak, kemudian ia memberi isyarat kepada Reisa dengan menunjuk jam tangannya, kode halus agar Reisa segera mengambil tas dan bersiap.

Setelah meminta maaf sekali lagi, Reisa berpamitan sebentar dan naik ke lantai atas untuk berganti pakaian, meninggalkan Lusia bersama pria yang baru datang. Dia adalah David, pria yang mereka Big Boss. Pria itu mengenakan jas rapi, wajahnya santai meski tampak sedikit kebingungan.

“Reisa tidak bilang kau akan datang,” ucap David membuka percakapan.

Lusia menyambutnya dengan senyum, tapi raut wajahnya berubah menjadi penuh sindiran. Tanpa ragu, ia menegur, “Apa kau tidak merasa keterlaluan?”

David terkejut. “Keterlaluan? Aku? Maksudmu apa? Apa Reisa mengadu padamu?”

David memang bukan orang sembarangan. Ia adalah pemilik Psithurism Art Gallery, bos besar di tempat Reisa bekerja dan sekaligus sahabat Lusia, salah satu orang dari tiga sekawan saat SMA. Namun, kali ini, bahkan status ‘Big Boss’ tak membuatnya kebal dari sindiran sahabat Reisa itu.

Dengan gaya santai namun penuh sindiran, Lusia menyampaikan keluhan Reisa nyaris kata per kata. Ia menggambarkan betapa paniknya Reisa karena diajak ke acara penting tanpa pemberitahuan, dan betapa repotnya ia harus datang jauh-jauh hanya untuk mengantarkan pakaian dan sepatu hak tinggi demi penampilan yang sempurna.

David hanya mengangkat alis, masih terlihat bingung. “Jadi, kau datang ke sini hanya untuk itu?”

Lusia tertawa lebar. “Kalau bukan untuk itu, masa aku ke sini cuma buat menyapamu?”

David menatap Reisa yang berdiri menunggu lift terbuka. Tatapannya tampak lirih, seperti ada sesuatu yang tidak terucap. “Padahal aku sudah berencana membawanya ke butik dulu sebelum ke acara...” gumamnya pelan, nyaris hanya untuk dirinya sendiri. “Harusnya aku memberitahunya lebih awal,” lanjutnya, menghela napas dengan nada sesal.

Lusia menyilangkan tangan di depan dada, memperhatikan sahabat prianya itu dengan ekspresi setengah geli. “Kalau saja para wanita yang tergila-gila padamu tahu betapa tidak peka dirimu, David... mereka pasti langsung patah hati. Impian mereka untuk menjadi Cinderella akan sirna seketika,” ucapnya setengah mencibir, setengah menggoda.

David mengangkat alis, ekspresinya dibuat serius, meskipun nada suaranya menyimpan canda yang terselubung. “Aku...? Apa menurutmu aku harus memahami setiap isi hati wanita yang tergila-gila padaku? Bolehkah aku mulai melakukannya... pada wanita lain?” tanyanya pelan, seolah ingin mengetes reaksi Lusia.

Lusia menyipitkan mata, wajahnya berubah menjadi ekspresi mengancam. “Silakan saja, kalau kau ingin wajah tampanmu itu berubah bentuk dalam hitungan detik,” balasnya tajam, penuh peringatan.

Tawa David meledak, namun segera mereda saat matanya bertemu pandang dengan milik Lusia. Tatapannya berubah, lebih dalam, lebih serius. “Aku bukan tidak peka... atau tidak berperasaan. Kau... tidak tahu jika aku....”

Kalimatnya menggantung di udara, saat Lusia melanjutkan perkataannya, “Coba katakan pembelaanmu.” Lusia mendongak, menantangnya untuk melanjutkan kalimatnya, wajahnya begitu dekat hingga David bisa merasakan napasnya. Sesaat, mata David membulat, terkejut tapi tak bergeming.

Lalu dengan satu gerakan cepat, ia mengakhirinya dengan jentikan ringan ke kening Lusia. Tek!

“Hyaaaa… !!!” teriak Lusia, sedikit kesakitan karena ulah David. Seketika, David mengalihkan tatapannya, disertai batuk kecil yang tertahan, lalu melanjutkan ucapannya. “Tentu saja, aku bisa menjadi pria romantis dengan caraku sendiri. Bahkan, kau pun bisa sampai terpesona!” katanya dengan senyum nakal.

“Wahhh…, kau membuatku merinding,” balas Lusia sambil menggosok kedua lengannya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh pria berparas tampan yang kini berdiri di hadapannya.

Perbincangan mereka berlanjut, dengan David terus menemani Lusia sembari menunggu Reisa selesai berganti pakaian dan berdandan. Lusia menatap David yang tengah berbicara kepadanya, pikirannya melayang sejenak.

“Meskipun aku sering merasa iri dengan romantisnya pasangan lain, untuk kalian berdua, aku justru merestuinya dengan sepenuh hati. Kau adalah pria impiannya, dan aku bisa tenang melepaskan Reisa, sahabatku, untuk menjadi orang yang sangat istimewa bagimu. Aku percaya, kau bisa menjaganya dengan baik dan menjadikannya wanita yang sangat beruntung. Aku sangat bahagia untuknya, karena dia adalah sahabatku,”

.

***To Be Continued***

Hallo para pembaca setia Rayn & Lusia 👋😃

✅ Terus Dukung Karya ini dengan menjadikan FAVORITE yah..

❤ Berikan Like kalian hanya dengan klik Like pada symbol Love, GRATIS 😍

📝Lengkapi kehaluan Author dengan KOMENTAR kalian di setiap BAB nya ya…. ( saran dari kalian juga bisa menjadi inspirasi cerita Author)

🎀 PLEASE BERIKAN VOTE pada karya ini agar semakin di Up Up Up dan Up lagi oleh platform.

Terima Kasih atas semua dukungannya 🙆

BAB 03 - Lotus

Lusia masih berada di dalam galeri Psithurism Art, berjalan pelan di antara barisan lukisan dengan David di sisinya. Sesekali, tawa kecil terdengar saat keduanya saling melempar candaan, seperti kebiasaan lama yang tak pernah hilang. Kedekatan mereka bukan lagi rahasia—Lusia dan David telah bersahabat sejak duduk di bangku SMA, bersama Reisa, sahabat mereka yang lain.

Sambil menelusuri karya-karya seni di dinding, perhatian Lusia tiba-tiba terhenti. Pandangannya terpaku pada sebuah lukisan yang terpajang tepat di belakang David. Ia melangkah perlahan mendekatinya, seolah ada sesuatu yang menariknya untuk melihat lebih dekat.

Lukisan itu menampilkan hamparan pepohonan yang dibalut kabut gelap. Di antara bayangan pekat itu, sinar matahari menembus dalam bentuk cahaya kecil-kecil, memecah kesuraman dan menciptakan nuansa yang begitu kontras sekaligus magis.

Lusia mempersempit jarak, mendekatkan wajahnya ke sudut bawah lukisan. Matanya membulat, berusaha membaca tulisan kecil yang tertera di sana.

“Lotus…?” gumamnya dalam hati, alisnya mengernyit pelan saat membaca inisial bertuliskan #Lotus di ujung kanan bawah kanvas.

Lusia tak bisa mengalihkan pandangannya dari lukisan itu. Ada sesuatu yang begitu familiar, namun juga asing, seolah lukisan tersebut menyimpan lapisan cerita yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang cukup peka. Kabut gelap dan cahaya matahari yang saling berkejaran di antara batang pepohonan menciptakan atmosfer yang menyentuh, seakan menggambarkan pergulatan batin seseorang antara luka dan harapan.

Perlahan, ia menoleh pada David yang berdiri di sampingnya, masih memerhatikan lukisan lain tanpa menyadari sorot mata Lusia yang kini dipenuhi tanda tanya.

“David…,” suara Lusia lirih, nyaris tenggelam dalam keheningan galeri yang tenang, “Ini... karya Lotus, bukan?”

David mengangguk pelan, seolah telah menebak pertanyaan itu sejak Lusia mulai mendekat. “Kau benar. Inisialnya tertulis di sudut bawah. Gaya dan nuansanya juga tak salah lagi. Itu karya Lotus.”

Lusia menarik napas perlahan. Rasanya seperti menemukan fragmen masa lalu yang sempat hilang. Ia masih menatap lukisan itu, menyusuri setiap goresan warna yang tampak begitu emosional dan personal.

“Ayahmu membelinya lagi?” tanyanya, masih tanpa mengalihkan pandangan.

Sebuah senyum kecil muncul di wajah David. “Tentu saja. Kau tahu bagaimana ayahku. Ia tidak pernah melewatkan satu pun karya yang menarik perhatiannya, apalagi jika itu hasil tangan Lotus.”

Lusia mengangguk pelan. Ada kekaguman yang tak ia sembunyikan. Lotus adalah nama yang mulai banyak dibicarakan dalam lingkaran kolektor seni belakangan ini, seorang seniman yang tak pernah tampil di muka umum, namun karyanya selalu berhasil menggugah hati siapa pun yang melihatnya.

“Luar biasa…” gumamnya, setengah pada diri sendiri.

David lalu menambahkan, seolah mengingat sesuatu, “Bahkan, ayahku berencana meminta langsung kepada Lotus untuk membuatkan satu lukisan eksklusif, sebagai penanda ulang tahun galeri ini.”

Lusia sontak menoleh, matanya membesar. “Memintanya membuat karya secara khusus? Bukankah... karya Lotus selalu bernilai tinggi?”

Tentu, ia tahu itu. Lotus bukan seniman biasa. Setiap lukisannya bukan hanya mahal secara nominal, tapi juga langka dan penuh simbol. Tidak semua orang bisa memilikinya, bahkan dengan uang sekalipun. Ada yang mengatakan bahwa Lotus hanya menjual karyanya pada mereka yang dianggap ‘layak’.

David membuka mulut, ingin menjelaskan lebih jauh, namun belum sempat kata-katanya meluncur, Lusia sudah menyela dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seperti anak kecil yang menemukan teka-teki di tengah permainan.

Lusia berbalik dengan cepat, gerakannya nyaris tanpa jeda seperti sebuah kilasan ide yang tak bisa ditahan lebih lama. Wajahnya memancarkan campuran rasa ingin tahu dan keterkejutan. “Tunggu...,” katanya nyaris setengah berbisik, namun penuh tekanan. “Kalau begitu... apakah itu berarti ayahmu pernah bertemu langsung dengan Lotus?”

Ia menatap David penuh intensitas, matanya tajam seperti sedang mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik ekspresi sahabatnya itu. “Dia pria? Atau wanita? Kau bisa memberitahuku, bukan?”

David tak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di tempatnya, menatap Lusia yang kini kembali memalingkan pandangan ke lukisan, lalu menatapnya lagi, seperti anak kecil yang menemukan pintu menuju dunia rahasia .

Lusia menatap lukisan itu sekali lagi, kali ini dengan takjub yang tak disembunyikan. “Sungguh... aku masih tidak percaya. Karya ini luar biasa. Dan jika benar ayahmu tahu siapa di balik semua ini… aku makin yakin kalau dia memang penggemar berat Lotus.”

Kalimat demi kalimat meluncur begitu saja dari mulut Lusia, deras seperti air hujan yang tak tertahankan. Pertanyaannya mengalir tanpa jeda, seolah seluruh pikirannya tumpah dalam bentuk kata-kata. David hanya diam, mendengarkan dengan sabar seperti yang selalu ia lakukan selama bertahun-tahun mengenal Lusia.

Tiba-tiba, Lusia membalikkan badan dengan cepat, membuat David sedikit tersentak. Ia menatapnya dengan ekspresi serius yang mendadak berubah menjadi senyum cerah penuh pujian.

“Ayahmu memang keren!” katanya sambil mengacungkan jempol, ekspresi kagum itu begitu tulus dan lepas.

David akhirnya mengangkat alis, menyilangkan tangan di depan dada. “Bukankah setiap pertanyaan itu pada akhirnya butuh jawaban?” ucapnya santai, tapi ada nada geli tersembunyi di balik suaranya.

David menggeleng pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau benar-benar seperti gerbong kereta api. Panjang dan melaju tanpa berhenti.”

Lusia tersadar, matanya membulat lalu tertawa kecil sambil menggaruk belakang kepalanya. “Aaaa... maaf, haha.”

Lusia tertawa, kali ini lebih lepas. Ia tahu benar bahwa dirinya kadang sulit dikendalikan jika rasa penasaran sudah muncul ke permukaan. Tapi itulah dirinya, dan David dengan segala ketenangannya selalu menjadi penyeimbang yang membuatnya tetap waras di tengah hiruk-pikuk pikirannya sendiri.

David tidak langsung menanggapi. Ia hanya terus menatap lukisan itu, seolah sedang menanti jawaban yang lebih dalam dari yang baru saja didengarnya. Dan benar saja, tak lama kemudian ia bertanya lagi, “Hanya itu yang bisa kau rasakan?”

Pertanyaan itu menggantung sesaat. Lusia berpaling ke arah David, lalu kembali ke lukisan itu. “Eemm… entah mengapa,” ucapnya pelan, “ketenangan itu sekilas seperti hanya sebuah ilusi. Karena semakin lama kupandangi, aku seperti bisa merasakan... sebuah kesedihan. Perasaan apa itu?” Kalimat terakhir meluncur begitu saja dan ia sendiri tak tahu dari mana asalnya.

David tersenyum samar, lalu berkata dengan nada yang tak bisa ditebak sepenuhnya. “Kau sungguh bisa melihatnya?”

Lusia diam sesaat. Ia merasa seperti sedang diuji, tapi bukan dengan maksud menghakimi lebih seperti sedang diajak memahami sesuatu yang belum tentu bisa dijelaskan. Ia akhirnya mengangguk kecil, meski jawabannya tetap ragu.

“Aku… masih tidak yakin,” gumamnya pelan.

David yang masih berdiri di samping Lusia, menatap lukisan yang sama, tapi dengan pandangan yang berbeda. Dengan tenang David menjelaskan jika ketenangan dalam lukisan ini bukan semata keindahan, tapi bagian dari jeritan sunyi. Sebuah harapan tipis yang datang dari ruang putus asa, seruan lirih seseorang yang ingin didengar. "Aku di sini," begitulah ia membayangkan suara dari balik kanvas itu, nyaris tak terdengar, namun nyata.

Langkah David lebih mendekat, Ia mengamati siluet dan gradasi warna dalam lukisan itu, lalu menoleh pada Lusia dengan sorot mata penuh arti. Dalam pikirannya, makna yang terpancar dari lukisan itu bukan hanya soal estetika. Ini adalah permohonan diam seseorang yang ingin diselamatkan, tapi tidak tahu bagaimana caranya bersuara. Tak ada keceriaan di dalamnya, hanya sunyi yang menggantung, menunggu seseorang cukup peka untuk menyadari jeritannya.

Lusia mendengarkan dalam diam. Ia baru menyadari bahwa bukan hanya lukisan ini, tapi seluruh karya Lotus yang pernah ia lihat selalu mengandung nuansa melankolis yang sama. Tidak pernah ada kehangatan yang menyala terang. Hanya bayangan, harapan, dan kesedihan yang membayang seperti langit senja yang terus menahan hujan.

Sambil mengelus perlahan inisial #Lotus yang tergores halus di sudut lukisan, Lusia bergumam, akankah sang seniman ini suatu hari menciptakan sesuatu yang benar-benar ceria? Atau apakah seluruh kehidupannya terlalu sarat luka hingga tak lagi mampu menciptakan cahaya?

David menanggapi gumam tak terucap itu dengan pandangan tenang. Baginya, setiap pelukis adalah cerminan batin mereka sendiri. Gaya mereka bukan sekadar teknik, melainkan bagian dari identitas. Dan Lotus, dalam ketekunannya menyembunyikan wajah di balik nama pena, seolah ingin dunia mengenalnya hanya melalui emosi yang ia tuangkan di atas kanvas. Bukan siapa dia, tapi apa yang ia rasakan itulah yang ingin ia sampaikan.

Namun, hal itu justru membuat Lusia semakin penasaran. Bagaimana mungkin seseorang yang memiliki karya seindah ini memilih tetap menjadi bayangan? Apa yang membuatnya takut untuk muncul ke permukaan? Padahal dunia sudah mengakui bakatnya. Lusia menatap tajam inisial itu seakan berharap bisa mengintip siapa sebenarnya di baliknya.

Kebisuan mereka pecah saat langkah ringan menghampiri. Reisa, yang telah selesai berganti pakaian, muncul dengan semangat khasnya. Suaranya riang dan ringan, membawa mereka kembali ke dunia nyata dari percakapan yang barusan terasa seperti berjalan di lorong sunyi masa lalu.

“Aku sudah siap, kita bisa pergi sekarang!” serunya dengan senyum lebar.

David menoleh, senyum kecil terukir di wajahnya. "Tentu," jawabnya tenang, sebelum melangkah meninggalkan lukisan yang masih memikat keduanya, menyimpan rahasia yang belum sempat sepenuhnya terungkap.

Setelah percakapan mereka yang sarat makna di depan lukisan Lotus, David kembali bersikap seperti biasanya tenang, sopan, dan penuh perhatian. Ia menoleh pada Lusia, yang masih berdiri memandangi karya itu, “Lusia, jika kau masih memiliki waktu, kau bisa melanjutkan berkeliling melihat beberapa lukisan baru yang ayahku datangkan minggu ini. Ada di lantai dua.”

Namun sebelum Lusia sempat menjawab, langkah ringan Reisa sudah lebih dulu menghampirinya. Dengan gaya manjanya yang khas, ia langsung merangkul tangan Lusia, menyandarkan kepala di bahu kiri sahabatnya itu. “Oh ya, Lusia… peri cantikku yang manis,” ucapnya dengan senyum menggemaskan, gaya yang terlalu dikenali oleh Lusia sebagai sinyal bahwa Reisa sedang menginginkan sesuatu.

Lusia menoleh sekilas dengan senyum samar, mendesah pelan. “Oh…” gumamnya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.

Reisa menatap wajah Lusia sambil mendongakkan kepala dengan sorot mata berbinar. “Acaranya kali ini mungkin akan lebih lama, jadi… bolehkah aku…?” Wajahnya berubah seperti bayi kucing yang memohon, lengkap dengan ekspresi memelas yang sudah terlalu sering Lusia lihat.

Menahan senyum, Lusia menatapnya dengan pandangan meledek. “Lihatlah ini… bayi kucing siapa, coba?” katanya pelan. “Meski aku bilang tidak boleh, apakah kau akan menuruti laranganku, Putri Kecilku?”

Alih-alih menjawab, Reisa menggeleng dengan cepat tiga kali, lalu merangkul lengan Lusia lebih erat lagi, seolah menekankan bahwa ia tidak akan membiarkan argumen menggagalkan niatnya.

David menyaksikan interaksi mereka dengan senyum kecil. Ia lalu menimpali dengan suara tenang namun tegas. “Aku akan membawa kembali Putri Kecilmu ini dengan utuh dan selamat sampai rumah,” ucapnya, meyakinkan. “Bahkan, jika perlu, galeri ini bisa kujadikan jaminannya.”

Kata-katanya diiringi dengan tindak nyata. David meraih tangan Reisa dan menggenggamnya erat. Ada kelembutan di sana, sentuhan yang menegaskan status hubungan mereka, Reisa bukan hanya sekadar teman dekatnya, tapi kekasihnya.

Dengan penuh kemenangan, Reisa melambaikan tangan ke arah Lusia sambil berseru manja, “Aku pergi dulu, babby~ bye bye!” Suaranya ceria, seperti biasa, namun ada ketulusan di dalamnya. Beberapa langkah sebelum keluar dari galeri, ia berbalik, menambahkan dengan nada perhatian, “Oh ya! Jangan lupa makan makanan yang sudah kupesankan untukmu, oke?! Dan hati-hati saat kembali ke kafe!”

Lusia membalas lambaian Reisa dengan senyum tipis dan gerakan tangan yang pelan. Pandangannya mengikuti langkah pasangan itu yang berjalan menjauh, bergandengan tangan dengan ringan dan penuh kenyamanan, seolah dunia di sekitar mereka tak lebih dari latar yang kabur. Ada sesuatu yang mengganjal di dada Lusia, bukan iri, bukan pula cemburu.

Ia menunduk perlahan dan memandang telapak tangannya sendiri. Jemarinya menggenggam, lalu membuka kembali, berulang-ulang. Seolah bertanya tanpa suara, "Apakah suatu saat nanti… akan ada seseorang yang juga menggenggam tanganmu, Lusia?"

Pertanyaan itu menggantung di dalam kepalanya, mengendap bersama napas yang ia hela panjang-panjang. Bagi Lusia, cinta bukan hanya hal yang jauh, tapi juga terasa mewah. Pacaran, berkencan, menikmati perhatian dari seseorang, semua itu terdengar seperti sesuatu yang hanya dimiliki oleh mereka yang punya waktu dan pilihan. Sementara hidup Lusia diatur oleh rutinitas yang padat dan tuntutan bertahan.

Pagi hari, ia bekerja sebagai penjaga di toko bunga ‘Mey Flowers’. Aroma segar bunga dan sapaan pelanggan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Begitu matahari tenggelam, ia berganti seragam dan bersiap menghadapi shift malam di ‘Friends Café’, melayani pelanggan hingga larut dengan senyum yang tetap dipaksakan. Bahkan di hari libur yang seharusnya bisa ia gunakan untuk beristirahat atau bersenang-senang, ia masih menyisihkan waktu untuk menerima panggilan sebagai sopir pengganti.

Tidak ada waktu untuk sekadar hangout atau berjalan-jalan di pusat perbelanjaan bersama teman. Hidup Lusia adalah tentang efisiensi dan tanggung jawab. Gadis-gadis seusianya mungkin sibuk memilih gaun untuk kencan akhir pekan, sementara ia memilih rute tercepat agar bisa pulang dan tidur meski hanya dua jam.

Dengan suara nyaris tak terdengar, ia berucap pada dirinya sendiri, lebih sebagai pengingat daripada keluhan. “Berhentilah mengharapkan yang tidak-tidak, Lusia. Tak ada ruang untuk asmara saat kau bahkan harus berjuang sekadar untuk bertahan.”

Ia tersenyum, kecil namun tulus, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. “Lagi pula, siapa yang akan melirik gadis biasa sepertimu?” lanjutnya, nada bicara itu seolah berasal dari hati yang sudah terlalu sering mencoba berdamai dengan kenyataan. “Tak apa, Lusia. Tidak memiliki pacar bukan akhir dari dunia. Kau tidak akan mati hanya karena sendiri.”

Lusia kembali memandang lukisan Lotus, seolah berharap bisa menembus kanvas itu dan menyusuri isi hati sang pelukis. Ia menghela napas, lalu bergumam dalam hati, “Lalu, kehidupan seperti apa yang sebenarnya dimilikinya?”

Ia melangkah lebih dekat, menyentuhkan jemari ke udara di depan lukisan, "Jika setiap lukisanmu adalah bagian dari dirimu, kenapa selalu melambangkan kesedihan?" pikirnya, matanya menatap lekat. "Bukankah seharusnya kau merasa beruntung? Banyak yang menyukai karyamu, banyak yang memujimu… Jadi, pastikan suatu hari nanti, aku bisa melihat karya yang menggambarkan keceriaanmu, Tuan Lotus.”

Namun kemudian ia mengerutkan alis. Sebuah pikiran lain menyusup dalam benaknya. “Eemm… bukan Tuan, tapi… Nona? Nona Lotus?” gumamnya pelan, terdengar seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia tak pernah tahu siapa sebenarnya sosok di balik nama pena itu. Pria atau wanita, muda atau tua, semuanya masih tanda tanya.

Ia berjalan menuju lift, siap untuk melanjutkan saran David melihat beberapa karya baru di lantai dua. Namun begitu tiba di depan pintu lift, matanya menangkap pantulan samar sosok seseorang tak jauh di belakangnya. Ia mengenakan masker dan kemeja hitam lengan panjang, serta topi buket yang menutupi sebagian wajahnya. Meski tampak santai, ada sorot tajam yang terarah padanya.

Refleks, Lusia menoleh. Namun begitu mata mereka nyaris bertemu, pria itu langsung menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

Ting...

Bunyi lift yang terbuka menarik Lusia kembali pada tujuannya. Ia melangkah masuk, dan sesaat sebelum pintu tertutup, ia sempat melihat sosok pria itu kembali menatap ke arahnya. Tak berkata apa-apa, hanya menatap diam-diam dari kejauhan.

Lusia berdiri diam di dalam lift yang mulai bergerak ke atas. Tatapannya masih tertinggal pada pintu yang telah menutup sempurna.

"Apakah… barusan dia memperhatikanku?" tanyanya dalam hati. Tapi ia segera menggeleng pelan, mengabaikan getaran aneh yang tertinggal dalam dadanya. “Mungkin hanya kebetulan. Mungkin hanya perasaanku saja,” ucapnya lirih, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai membentuk skenario aneh di kepalanya.

Namun tetap saja, sorot mata itu... terasa tidak biasa.

*** To Be Continued***

Hallo para pembaca setia Rayn & Lusia 👋😃

✅ Terus Dukung Karya ini dengan menjadikan FAVORITE yah..

❤ Berikan Like kalian hanya dengan klik Like pada symbol Love, GRATIS 😍

📝Lengkapi kehaluan Author dengan KOMENTAR kalian di setiap BAB nya ya…. ( saran dari kalian juga bisa menjadi inspirasi cerita Author)

🎀 PLEASE BERIKAN VOTE pada karya ini agar semakin di Up Up Up dan Up lagi oleh platform.

Terima Kasih atas semua dukungannya 🙆

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!