NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta Gadis Bermata Biru

Aritha

Kacau. Hari ini tak ada satu pun urusannya yang beres sempurna. Satya tak habis pikir. Baru saja ia mendapatkan email surat pemberitahuan penalti akibat keterlambatan jadwal konstruksi gedung Zee. Kepalanya pening. Belum habis rasa kecewanya setelah pengumuman konsorsiumnya gagal memenangkan tender mega proyek pembangunan kilang minyak baru di blok Masela, datang lagi surat pemberitahuan penalti. Rasanya ia harus mencatat hari ini sebagai hari tersial dalam sejarah hidupnya.

Satya menatap tajam lelaki setengah baya yang ada di hadapannya. Tak peduli lelaki itu lebih tua dan pasti lebih kaya pengalaman di bidang konstruksi dibandingkan dirinya. "Kenapa progress bisa terlambat, Pak? Kalian bisa kerja nggak sih?"

"Kami sudah bekerja sesuai schedule yang diberikan bu Aritha, Pak," jawab Yuri yakin dan santai. Wajah project manajer gedung Zee itu seperti bayi tanpa rasa bersalah sama sekali.

Satya geram. "Aritha itu siapa? Apa dia lebih berkuasa di perusahaan ini daripada saya? Saya kan sudah bilang, jadwal proyek ini ketat dan harus diutamakan. Pak Yuri juga sudah di cc kan email surat teguran dan penalti yang dilayangkan perusahaan owner?"

Lelaki itu mengangguk lalu menunduk. Tak berani beradu pandang dengan mata Satya yang seperti belati tajam yang siap menghunus siapa pun yang ada di hadapannya. "Maafkan saya, Pak. Bulan lalu bu Aritha, admin proyek baru yang membantu Rushdi mengirimkan jadwal baru, karena itu sebagian besar pekerja terlatih kami alihkan ke proyek renovasi gedung kedutaan besar Swiss yang menurut schedule harus diselesaikan lebih dulu."

"Panggil pak Rushdi sekarang," bentaknya dengan suara menggelegar ke seluruh ruangan.

Pak Win -asisten Satya- langsung sigap memencet nomor ekstension pak Rusdhi, direktur teknik wilayah 2.

Yuri menaruh kertas dalam folder warna hijau di atas meja kerja Satya. "Silakan pak Satya lihat. Kami bekerja berdasarkan project schedule ini."

Satya melihat project schedule yang tercetak dalam folder itu. Benar. Di situ tertera kalau schedule progres tahap 3 gedung Zee seharusnya selesai minggu depan, bukan minggu lalu seperti yang tertera dalam surat. Satya mengerutkan kening. Jelas ada yang tidak beres di sini.

"Pak Win, tolong ambilkan dokumen kontrak PT Zee."

Pak Win segera mengambil dokumen kontrak yang dimaksud Satya dalam lemari file. Sambil menunggu pak Win, Satya berpikir keras. Tak sadar ia menggigit-gigit ujung pulpennya. Keningnya berkerut, mencoba menelaah lagi schedule yang dibuat rapi dengan Ms-Project itu sambil mengingat-ingat isi kontrak kerja dengan PT Zee.

"Selamat siang, Pak," sapa Rusdhi yang tadi dipanggil via telepon. Pria botak itu masuk ke dalam ruangan Satya dengan sedikit ragu.

"Silakan duduk!"

Rushdi mengambil tempat duduk di sebelah Yuri, keduanya sempat saling berpandangan dengan tatapan curiga di hadapan Satya. Pasti ada yang nggak beres. Disodorkannya folder yang ada di hadapannya ke arah Rusdhi sambil bertanya dengan nada suara datar, "Benar bapak yang membuat schedule ini?"

Rushdi menatap Yuri lagi sebelum meraih folder itu lalu membacanya. Sementara pak Win menyerahkan dokumen kontrak PT Zee pada Satya.

Satya membaca sekilas halaman yang berisi deadline target progres pembangunan dan jadwal pembayaran lalu mengambil kesimpulan dengan cepat. "Coba bandingkan dengan schedule di kontrak," Satya mengalihkan dokumen kontrak itu pada Rusdhi. Raut wajah dan matanya masih seperti boneka salju, sangat dingin.

"Anda tahu kesalahan fatal apa yang telah anda buat?"

Wajah Rusdhi berubah pucat setelah membandingkan project schedule dengan target progres yang tertera di kontrak "Ya, penempatan tanggal target penyelesaian dalam schedule ini terbalik antara proyek renovasi kedutaan besar Swiss dengan pembangunan gedung Zee," akunya gentle.

"Itu sebabnya PT Zee mengirim surat teguran dan pemberitahuan penalti yang harus kita bayar, 2% dari total invoice progres tahap 3. Anda hitung sendiri berapa jumlah penaltinya."

"6 milyar, pak."

"Itu bisa buat bayar upah mingguan berapa orang buruh terlatih?"

Rushdi memilih diam. Dia tahu nilai penalti itu pasti bisa untuk membayar upah mingguan buat ratusan buruh terlatih.

"Cepat koordinasi dengan direktur teknik dan project consultant PT Zee untuk menyelesaikan masalah ini dan pastikan asisten anda yang bernama Aritha itu dipecat dari perusahaan saya. Di sini saya tidak mentolerir keteledoran atau kecerobohan dalam bentuk apapun. Kalau sampai tidak berhasil menyelesaikan kasus ini, saya pastikan gaji anda dipotong 30% dan tidak ada bonus tahunan."

"Baik, pak. Kami segera koordinasi dan negosiasikan lagi dengan pihak PT Zee,"

"Cari staf yang kompeten, pak Rushdi. Jangan asal comot," titah Satya tegas, mengingatkan kembali bawahannya agar menjalankan perintahnya mengenyahkan staf ceroboh yang membuat kekacauan besar ini.

"Siap, Pak. Kami akan laksanakan segera,"

Kedua orang bawahannya bergegas keluar dari ruangannya. Satya memutar kursinya dan memandang gedung-gedung yang tinggi menjulang di sekitar kartornya dari balik kaca jendela sambil merebahkan tubuhnya di kursi.

Satya terjaga ketika ia mendengar ribut-ribut di depan ruangannya. Seorang karyawan tampaknya menerobos masuk ruangan Satya meski pak Win telah berusaha mencegahnya. "Saya mohon, jangan pecat saya, pak Satya. Maafkan saya. Saya berjanji akan bekerja lebih teliti. Tolong, ijinkan saya membantu pak Rushdi minta maaf dan koordinasi dengan PT Zee supaya penalti itu dapat dibatalkan," katanya dengan suara lantang namun terdengar sendu di telinga.

Tak terdengar suara pak Win mencegah perempuan yang sudah terlanjur masuk ruang direktur utama tanpa persetujuan. Barangkali ia menyerah, malas meladeni tipe-tipe emak kebayakan yang merasa tindakannya selalu benar.

Cih, itu pasti suara perempuan ceroboh asisten direktur teknik yang tadi ditegurnya. Enak saja dia minta maaf. Dipikir uang penalti semudah itu bisa dibatalkan oleh karyawan selevel asisten yang minim pengalaman dan sangat ceroboh. Satya tetap tak membalikan badannya. Tadi ia memang tertidur sebentar karena terlalu lelah dan kurang tidur. Sengaja tidak menghadap meja kerjanya. Ia memilih nemutar kursi agar bisa menatap pemandangan di balik kaca ruangan yang berada di lantai 7 itu. Begitu lebih nyaman daripada menghadap laptop dan tumpukan pekerjaan yang tergeletak di atas meja. Kepalanya hampir meledak. Ia sedang berada di titik jenuh tingkat tinggi.

"Tolong keluar dari ruangan saya! Jangan memohon seperti itu. Hanya orang kompeten yang bisa bekerja di perusahaan ini. Saya tidak bisa memaafkan segala jenis kecerobohan," tegas Satya.

"Tolong saya, pak Satya. Beri kesempatan pada saya untuk memperbaiki kesalahan saya."

"Rusdhi tidak memberi tahu berapa besar penalti yang harus aku bayar karena keteledoranmu?"

"6 milyar."

"Kamu sanggup bayar upah buruh mingguan sebesar itu andai penalti itu tetap diberlakukan?"

Perempuan itu diam sebentar mencari kata yang mungkin dapat membuat pimpinan perusahaan itu luluh dengan kesungguhannya, "Saya akan berusaha keras agar penalti itu dapat digagalkan."

"Dengan cara apa? Jual diri?" Satya langsung membalas dengan pertanyaan sinis dan kasar.

Tak ada suara.

"Saya tidak pernah sepicik itu menjual tubuh perempuan demi bisnis, ibu Aritha. Saya akan menyelesaikan masalah ini dengan cara profesional," jelas Satya kemudian.

"Saya juga akan mempertanggungjawabkan kesalahan saya dengan cara profesional, Pak. Saya mohon, beri saya kesempatan untuk menyelesaikan masalah ini!"

Satya membalikan kursinya. Jengkel dengan sikap karyawan baru yang sok bertanggung jawab dan keras kepala. Cari masalah saja. Ia tahu perempuan yang memilih bekerja di perusahaan konstruksi adalah perempuan- perempuan tangguh yang berjiwa maskulin. Tapi baru kali ini ada perempuan keras kepala yang berani masuk ke ruangan pimpinan tertinggi di perusahaan hanya untuk meminta diberi kesempatan memperbaiki kesalahannya. Bukankah lebih mudah jika ia sadar diri dan terima saja surat pemecatannya lalu cari pekerjaan lain daripada harus berurusan dengan Satya.

Dipandanginya dengan tajam perempuan muda dengan setelan blazer dan celana panjang formal warna biru yang berdiri dengan kepala menunduk di depannya. Hijab motif awan dengan dasar warna biru langit tampak rapi menutupi rambutnya.

"Apa untungnya buat saya kalau saya kasih kesempatan kamu? Saya nggak mau perusahaan ini hancur gara-gara mempekerjakan karyawan ceroboh seperti kamu."

"Saya akan berusaha keras menyelesaikan kasus ini dan memperbaiki cara kerja saya. Saya akan loyal dan memberikan dedikasi penuh buat perusahaan," ucapnya dengan suara bergetar. Terdengar naif, tapi itulah suara hatinya.

"Jika gagal atau melanggar janji, apa kompensasi yang akan diterima perusahaan?" kini suara berat Satya terdengar lebih mengintimidasi.

"Saya akan mencicil kerugian perusahaan atas keteledoran saya. Perusahaan bisa memotong separuh gaji saya untuk membayar penalti itu," jawabnya lirih.

Huh, ternyata perempuan itu berani bertaruh juga. Baiklah. Siapa takut. Ikuti saja apa maunya. Satya malah penasaran ingin tahu sampai dimana kemampuannya menyelesaikan masalah dan bertahan di dunia konstruksi yang keras ini.

"Oke, saya kasih satu kesempatan. Pak Win, tolong buatkan surat perjanjian di atas materai tentang kewajiban dan konsekwensi yang dikatakan ibu Aritha barusan. Silakan keluar dari ruangan saya. Urusan anda sekarang dengan pak Win, tim legal dan HRD," Satya mengibaskan tangannya.

"Terimakasih atas kesempatan yang telah bapak berikan. Saya pasti bersungguh-sungguh akan mempertanggungjawabkan keteledoran saya," Aritha tersenyum lebar. Kini ia mulai bisa mengangkat kepalanya dengan berani.

Satya kaget ketika bertemu pandang dengan mata biru elektriknya menyala. Aritha, perempuan itu seketika terlihat sangat unik dan menarik dengan mata indahnya.

Demi Karir Dan Cinta

Ritha bahagia diberi kesempatan untuk tetap bekerja di perusahaan ini. Perasaannya kalut saat atasannya memberitahukan kekacauan besar yang diakibatkan keteledorannya dalam membuat schedule proyek. Ia sadar dan merasa sangat bersalah telah melakukan kesalahan fatal yang sangat merugikan. Tidak hanya bagi karirnya, tapi juga nasib buruh bangunan yang selama ini bekerja keras dengan penuh tekanan. Itulah sebabnya ia nekat bertemu pimpinan tertinggi perusahaan yang memecatnya.

Ritha bertekat akan berusaha keras membantu Rusdhi menegosiasikan kembali pada pihak owner agar progres tahap 3 ini tidak dipotong penalti apapun konsekwensinya. Sejelek-jeleknya usaha, targetnya adalah mengurangi denda atau penalti seminimal mungkin.

Kadang manusia harus jatuh dan terpuruk untuk dapat bekerja dengan lebih baik. Kalau bukan karena kasus besar ini, Ritha tak mungkin nekat dan bertemu langsung dengan direktur muda yang ganteng itu. Setidaknya ia sudah mengungkapkan tekatnya untuk mempertanggungjawabkan kecerobohannya dan bertekat berusaha kerja keras dengan lebih teliti.

"Bagaimana, Rith? Kamu bisa menaklukan pak Satya kan?" tanya Rusdhi yakin ketika Ritha masuk ke ruangannya dengan wajah sumringah.

"Bukan menaklukan, tapi meyakinkan kalau saya akan mempertanggungjawabkan kecerobohan saya," ralat Ritha. Kata menaklukan terlalu naif buatnya. Kenyataannya, atas kasus ini bos besar itu malah menekannya dengan perjanjian legal yang lebih memberatkannya. Tapi sudahlah. Yang penting sekarang adalah mencari solusi terbaik.

"Lain kali kamu harus lebih teliti ya. Saya juga salah, seharusnya saya pastikan schedule yang kamu buat dengan mereview ulang dengan lebih teliti."

"Sekarang apa yang bisa saya lakukan? Gaji saya akan dipotong 50% untuk membayar kerugian perusahaan kalau kita tidak berhasil menegosiasikan ketetapan penalti ini, Pak."

Rusdhi tersenyum getir, "Gaji saya dan pak Yuri juga dipotong 30% dengan alasan yang sama."

Sungguh, Ritha menyesal. Ketedorannya ternyata berdampak sefatal itu. "Maafkan saya, Pak," ucapnya lirih.

"Besok jam 9 pagi kamu ikut pertemuan dengan owner ya. Siapkan alternatif pengganti, misalnya perbaikan schedule supaya target tahap 4 selesai lebih cepat. Untuk target tahap 3 hari ini langsung dikebut pak Yuri agar BAST selesai dalam 2 hari lagi. Kita juga perlu ketemu dengan pihak kedutaan Swiss. Kalau bisa sih minta insentif karena kita telah menyelesaikan renovasinya sebelum waktu yang mereka tentukan. Sepertinya BAST dan invoice sudah ditandatangani, jadi kita akan serahkan langsung ke direktur agar jadi prioritas pembayarannya sekaligus pendekatan siapa tahu ada proyek lain yang bisa kita kerjakan."

"Baik, Pak. Saya akan revisi schedule dengan lebih teliti lagi,"

Ritha langsung konsentrasi pada laptop dan mengubah schedule seluruh proyek yang menjadi tanggung jawab divisi teknik wilayah 2. Keseluruhannya masih ada 3 proyek besar dan 5 proyek kelas teri.

Rusdhi geleng-geleng kepala mengagumi tanggung jawab dan kerja keras asistennya. Semoga saja Tuhan membantu membuka jalan penyelesaian masalah ini.

Ritha sebenarnya bukan orang baru di Goldlight New Construction (GNC). Sejak lulus dari jurusan arsitektur universitas Halu Oleo 2 tahun lalu, ia telah bergabung di perusahaan itu sebagai supervisor arsitek di proyek pembangunan resort di Wakatobi Sulawesi Tenggara. Karena kinerjanya baik, selesai kontrak proyek Wakatobi bulan lalu Rusdhi menawarkan kesempatan untuk menempati posisi asistennya di kantor pusat. Kebetulan asisten sebelumnya resign karena mendapat tawaran pekerjaan yang lebih baik. Selain karena kinerja Ritha, sebenarnya diam-diam Rusdhi juga tertarik pada penampilan fisik gadis keturunan suku Buton bermata biru itu. Siapa tahu saja kalau sudah terbiasa bersama, gadis itu mau dijadikan istri keduanya. Modus. Sekali merengkuh dayung, berharap ikan hias tertarik masuk perangkap untuk ditaruh di akuarium rumahnya.

Pekerjaan supervisor arsitek dengan asisten direktur teknik memang sangat berbeda. Ketika sebagai supervisor, Ritha bertugas memastikan proses dan hasil konstruksi sesuai gambar yang telah didesain sebelumnya. Kalaupun kenyataannya di lapangan ada masalah dan disepakati ada perubahan desain, ia harus melaporkan dan menyesuaikan gambar sesuai rekomendasi perubahan tersebut. Sementara sebagai asisten direktur tugasnya lebih banyak membantu membuat perencanaan dan jadwal untuk banyak proyek. Itu sebabnya ia harus menyesuaikan diri dengan tugas barunya yang lebih bersifat administratif. Ritha sebenarnya lebih suka menjadi supervisor lapangan di lokasi proyek seperti pekerjaan sebelumnya. Ia merasa ketika bekerja di lapangan, pengetahuan dan keahliannya sebagai arsitek digunakan dengan optimal. Kalau di kantor seperti sekarang ini, keahlian administrasi dan manajemenlah yang lebih dibutuhkan hingga mau tak mau kemampuannya harus diasah lagi. Ia bersusah payah belajar mengoperasikan MS-project, membaca kontrak dan menata operasional dan logistik proyek dengan keterbatasan sumber daya. Jumlah proyek yang tidak sedikit, butuh kecerdasan dan ketelitian agar semua proyek berjalan efektif dan efesien. Tidak hanya itu, ia harus banyak sabar ketika mengkoordinasikan pertemuan dengan para pemangku kepentingan proyek yang sebagian besar bersikap arogan dan sering bicara dengan nada tinggi dengan kecenderungan mengarah ke proses intimidasi.

Ya sudah. Mau bagaimana lagi? Sudah resiko. Makin baik jenjang karir tantangannya pasti semakin besar. Ia telah memutuskan pindah ke Jakarta untuk meraih karir yang lebih baik. Pada kesempatan yang sama, ia juga sedang mengejar cintanya pada seorang musisi yang tengah merintis karir dengan mengikuti ajang pemilihan idol di salah satu stasiun tv nasional terkemuka.

Aldo, kekasihnya itu memang sedang dalam masa karantina dan minggu ini telah masuk ke dalam deretan kontestan terbaik di babak 12 besar idol of the year di Jakarta. Meski telah berada di satu kota, nyatanya tetap saja jarang ada kesempatan bertemu. Ritha harus puas dengan bisa selalu hadir nonton performance Aldo di studio tv bersama puluhan pendukungnya tiap jum'at malam. Sesekali sempat juga beradu pandang saat koordinator dan para pendukungnya diberi kesempatan menemuinya di luar panggung. Jangan berharap lebih dari itu. Managernya bilang, Aldo harus mengaku single agar menarik lebih banyak simpati dan fans.

Kehidupan di Jakarta terasa jauh lebih berat ketimbang di Wakatobi atau di Kendari. Boro-boro ada semilir angin laut dan pemandangan pantai yang memanjakan saat tubuhnya penat, menghirup udara segar saja rasanya sulit. Setiap hari yang ditemui hanya orang-orang yang emosional dan terburu-buru atau orang apatis yang mengganggu matanya dengan wajah memelas. Ritha benar-benar sendirian di kota ini, belum punya teman yang pas untuk diajak diskusi. Beruntung ia dapat rekomendasi tempat kost khusus putri dari salah seorang kerabatnya. Tempatnya relatif aman dan nyaman, tapi letaknya agak jauh dari kantor. Karena itu ia harus membiasakan diri dengan kemacetan dan berdesakan di dalam bus trans jakarta tiap berangkat dan pulang kerja. Rasanya penat. Waktunya habis untuk kerja dan penatnya perjalanan dari kantor ke tempat kostnya

Demi karir dan cintanya, ia harus kuat dan bertahan di Jakarta. Kata pak Rusdhi, butuh waktu untuk membiasakan diri dengan suasana dan pola kerja yang baru. Ritha harus berusaha keras. Kata orang keberhasilan itu ada kalau kemampuan bertemu dengan kesempatan. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan karir yang lebih baik di ibukota negara ini dan pasti harus terus diiringi dengan usaha keras meningkatkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan yang lebih tinggi tingkatannya dibanding keberhasilan yang telah diraihnya saat ini.

"Kamu beruntung dapat tawaran kerja bagus di Jakarta, Rith. Nanti kalau ada kesempatan, ajak-ajak kami ya. Jangan sampai lupa sama teman-teman di sini," kata Rudi rekan sesama supervisor di proyek pembangunan resort Wakatobi. Setelah selesai kontrak, Rudi sempat menganggur 2 minggu sebelum diajak kembali bergabung di GNC dengan posisi yang sama untuk proyek pembangunan hotel di kota Makasar.

Transjakarta

Setelah mengirim file perbaikan jadwal kerja proyek (Project scedule) kepada Rusdhi, Ritha meneliti lagi jadwal logistik dan PO - PO yang telah dibuat oleh divisi procurement untuk memastikan ketersediaan material masing-masing proyek apakah perlu revisi penjadwalan kedatangan material atau tidak. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 21.30. Pak Rusdi sudah pamit sejak jam 20.15 tadi. Karena pekerjaan belum selesai, Ritha memutuskan untuk menyelesaikan nya sambil menunggu kondisi jalan agak sepi. Berharap dengan pulang lebih malam tidak terjebak macet dan langsung dapat beristirahat di kamar kostnya agar besok pagi dapat kembali bekerja dalam kondisi segar.

Tangga dan koridor menuju halte Transjakarta sudah mulai sepi. Ritha berjalan lebih cepat sambil berdoa semoga tidak bertemu dengan orang jahat. Ia berjalan bagai kuda, hanya fokus melihat ke depan saja. Cerita-cerita yang didapatkan dari kerabatnya tentang kehidupan malam Jakarta membuatnya bergidik. Jakarta tak pernah ramah. Kondisi ramai menyesakkan, kondisi sepi pun menakutkan. Bagi orang yang sendirian seperti dirinya, benar-benar harus selalu waspada dan banyak berdoa.

"Baru pulang kerja, mbak," seseorang menyapa dari arah belakang.

Jantung Ritha berdebar. Bulu kuduknya berdiri. Bayangan buruk melintas di otaknya. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dengan membenahi letak hijab dan berusaha tak mempedulikan sapaan itu. Ritha mempercepat langkahnya di koridor panjang itu agar segera sampai di dalam halte. Dilihatnya ada beberapa orang di sana sedang menunggu bis sambil memperhatikan gawainya. Dalam hati ia terus merapal doa-doa agar dilindungi dari segala macam kejahatan malam yang mungkin terjadi.

"Sombong banget sih," masih terdengar suara yang sama dengan yang tadi menyapanya. Kali ini nadanya terdengar lebih tinggi.

"Jangan ganggu orang di koridor, bang. Di sini ada cctvnya lo dan diawasi langsung sama kantor gubernur." suara laki-laki lain terdengar menegurnya.

Alhamdulillah, Ritha bernafas sedikit lebih lega karena setelahnya terdengar langkah kaki menjauh berkat teguran itu. Ia masih berjalan dengan pandangan lurus, tak berani menoleh ke belakang.

Ritha menempelkan e-money lalu bergegas masuk ke dalam halte.

"Kamu staf baru di GNC ya?" seorang dengan suara sama dengan orang yang tadi menegur lelaki iseng di koridor itu menyapanya.

Mendengar kata GNC membuatnya berani menoleh dan tersenyum, "Iya, asisten pak Rusdhi," jawabnya singkat.

Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Semua karyawan GNC pasti mengenal Rusdhi tanpa harus dijelaskan lagi. Sesaat kemudian ia mengulurkan tangannya, "Kenalkan nama saya Ardi. Saya staf GNC juga, bagian desain,"

Ritha menjabat tangannya sambil menyebutkan namanya.

"Kok pulang malam? Lembur?"

"Emangnya di GNC ada lembur?" Ritha malah balik bertanya. Sepengetahuannya staf kantor pusat gajinya flat, tidak ada over time seperti di proyek.

Lelaki bernama Ardi itu tertawa. "Nggak ada sih. Hanya dedikasi aja sama pekerjaan, sering overtime tapi nggak ada duitnya."

"Lain kali kalau pulang semalam ini jangan naik TJ. Selain karena busnya sudah jarang, di koridor juga suka ada orang iseng. Memang sih sekarang sudah ada cctv, tapi demi menjaga dari kejadian yang tidak diinginkan lebih baik naik kendaraan online."

"Bukannya di aplikasi transportasi online juga ada kejahatan juga."

Ardi nyengir sambil menggaruk kepalanya yang Ritha yakin tidak gatal. "Iya juga sih. Tapi kan kamu bisa dipantau satpam kantor waktu naik kendaraan karena mobilnya bisa berhenti di lobby kantor. Kalau nggak keberatan sih, kalau harus lembur hubungi saya aja. Mungkin kita bisa pulang bareng. Paling tidak kamu nggak pulang malam sendirian."

"Lain kali kalau tidak terpaksa, saya pasti akan memilih membawa pekerjaan pulang saja. Memangnya kamu pulang ke arah mana?"

"Cawang. Rumahku di belakang kantor Hutama Karya. Kalau kamu dimana?"

"Saya kost di Mampang."

"Eh, kebetulan banget ya searah. Ini kartu namaku. Telpon aja kalau mau bareng,"

Ardi Hutama Putra. MEP Design Engineering manager PT Goldlight New Construction, begitu informasi yang tertera di kartu nama itu. Ritha agak sangsi, kenapa sekelas manajer masih pulang naik busway. Tidak mungkin gaji manajer di GNC tidak cukup untuk mencicil mobil atau paling tidak motor untuk mempermudah transportasinya.

"Bapak nggak bawa kendaraan ke kantor?" Ritha sengaja mengubah panggilannya dengan bapak demi menghormati pria yang ternyata jabatannya cukup lumayan di kantornya.

"Biasanya bawa, makanya berani nawarin kamu tumpangan kalau mau bareng. Hari ini mobil saya sedang masuk bengkel," jawabnya santai.

"Bapak sendiri kenapa tidak naik taksi online saja?"

"Eh anu... sebenarnya tadi saya sedang nunggu taksi online di lobby. Kebetulan papasan dengan pak Satya dan ngobrol sebentar dengan beliau tentang desain proyek yang terbaru. Beliau yang melihat kamu jalan ke tangga koridor busway dan meminta saya menemani karena katanya kamu orang baru yang ceroboh. Jam segini jembatan penyeberangan itu sepi dan rawan kejahatan, pak Satya tidak ingin terjadi sesuatu pada karyawannya karena ketidaktahuan ataupun kurang berhati-hati."

Ritha sedikit kaget, bosnya yang tampak angkuh dan dingin seperti boneka salju itu ternyata cukup perhatian pada karyawan.

TJ tujuan PGC Cililitan berhenti di halte itu. Ritha dan Ardi masuk ke dalam bus yang lumayan sepi malam itu sehingga mereka dapat tempat duduk walau tak bisa bersebelahan. Ritha mengambil gawainya mengetik pesan ucapan terimakasih via WA ke nomor Ardi yang baru dimasukannya ke dalam kontak teleponnya. Ardi menjawab dengan senyum dan isyarat oke dari tempat duduknya.

Akh, Ritha memang selalu ceroboh. Kenapa tadi ia tak berpikir untuk pesan ojek atau taksi online saja ya? Bukankah ketika turun dari TJ ia juga harus melewati koridor yang sepi lagi? Ritha melihat jam tangannya. Sudah jam 22.15. Ia kembali harus membunuh bayangan-bayangan dan cerita buruk tentang jahatnya malam dari otaknya. Sudah terlanjur. Ia harus hadapi apapun yang akan terjadi dengan berani meski ia tak menguasai ilmu bela diri apapun. Semoga Tuhan melindunginya.

Transjakarta melaju di jalurnya yang mulai lengang tapi tidak di jalur reguler sebelahnya. Jakarta tak pernah mati. Malam hari pun kendaraan tetap ramai memenuhi jalan yang lebar. Ritha pamit turun ketika TJ tiba di halte Tegal Parang. Tapi ternyata Ardi ikut turun juga dan mengantarnya sampai depan halaman rumah kostnya.

"Terimakasih ya, seharusnya bapak tidak perlu mengantar sampai sini."

"Kapan-kapan kalau pulang malam, hubungi saya barangkali kita bisa pulang bareng."

"Terimakasih, pak. Senang bisa berkenalan dengan bapak," jawabnya basa basi.

Lelaki itu tersenyum. Ritha masuk ke dalam kostnya. Sebelum membuka pintu ia sempat melirik. Ardi tidak kembali ke halte busway. Ia pasti memilih melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan taksi online. Entah kenapa ia makin merasa bersalah jadinya. Kecerobohannya kali ini membuat orang lain harus lebih lambat sampai rumah karena harus mengantarnya sampai tempat kost.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!