NovelToon NovelToon

Luna Dan Pangeran Playboy

Satu

Haii Readersss sayang,,, karya ku yang baru silahkan dibaca🤗

***___***

Kota Batu, Malang 6 Juli 2009

Luna melepaskan sepatu yang dikenakannya dan meletakkannya dengan sangat hati-hati di sebelah kaki kanannya. Tatapannya kembali kepada sepasang sepatu lain yang baru saja ia letakkan di samping tempatnya duduk. Sepatu berwarna putih gading yang terbuat dari bahan satin mahal dengan model simple elegan. Hak setinggi sembilan senti semakin membuat sepatu itu terlihat sangat menggiurkan. Seakan memanggil siapa saja yang melihat untuk segera menyorongkan kaki.

"Kenapa juga aku membuatnya secantik ini? Bodohnya..." desah Luna sambil mengangkat sisi sebelah kanan sepatu itu ke depan wajahnya dan memandangi setiap detailnya dengan seksama.

Kemarin sepupunya, Tina memintanya membetulkan salah satu mata kristal yang menghiasi sepatu itu, karena besok pagi itu artinya berapa jam lagi dari sekarang merupakan hari pernikahan sepupunya itu. Tina yang terkenal sangat terobsesi dengan kesempurnaan, memohon atau lebih tepatnya memerintah untuk kesekian kalinya, memastikan sepatu itu akan terlihat sama sempurnanya dengan dirinya.

Ingin rasanya Luna melemparkan sepasang sepatu hasil rancangannya itu ke tempat sampah yang teronggok tidak jauh dari tempatnya duduk. Tapi sebagian hatinya tetap tidak rela. Tidak rela sepatu itu dipakai Tina. Tidak rela melihat dua bersaudara manja itu, Tina dan Bianca mendapatkan segalanya sementara ia harus berjuang keras untuk hidup.

Betapa tidak adilnya hidup ini, pikir Luna untuk kesejuta kalinya. Matanya beralih mengamati taman bermain untuk anak-anak pengunjung Hotel Family dan Villa yang merupakan hotel milik keluarga sepupunya itu. Sepupu yang menjengkelkan, batinnya. Segala tentang mereka sekeluarga selalu mengobarkan api amarah dan kecemburuannya.

Luna menghela napas panjang. Pikirannya terbang ke satu-satunya tempat yang saat ini ia pertahankan setengah mati. Rumah tua yang sudah menguras habis seluruh tenaga, pikiran, dan uangnya. Hanya rumah itu yang masih tersisa. Sebagian besar harta lainnya yang berupa tanah sudah menjadi milik keluarga sepupunya itu. Bahkan tanah yang sekarang ia injak ini seharusnya dulu menjadi miliknya. Luna tersenyum mengejek, tertawa pada diri sendiri.

Betapa ironis hidupnya ini. Bergantung pada keluarga yang sangat tidak ia sukai. Ia mengingat betapa sombongnya Tante dan kedua sepupunya setiap kali datang mengunjungi rumahnya hanya untuk memamerkan betapa mapan kehidupan mereka. Luna kembali menatap sebelah sepatu milik Tina. Emosi yang kembali memenuhi hati dan menutupi isi otaknya, membuatnya melakukan tindakan spontan.

"Makan sepatu ini! Dasar sialaaaaannnn!"

Ia berdiri dan memutar tubuhnya menghadap taman labirin mini yang baru selesai dibangun di dekat tempat ia duduk. Sekuat tenaga ia melemparkan sebelah sepatu itu sambil berharap sepatu itu lenyap entah ke pelosok mana, jauh di dalam labirin. Alih-alih terlempar ke antara tanaman yang terpangkas tinggi dan rapi sebagai tembok labirin, sepatu itu justru meleset dari arah yang diinginkannya dan jatuh tepat di atas kepala seseorang yang sedang melintas atau mungkin memotong jalan menuju ke hotel.

Teriakan penuh rasa sakit terdengar melengking saat Luna yakin hak sepatu yang sangat runcing itu jatuh tepat di kepala seorang laki-laki.

Oh Tuhan! Apa yang baru saja ia lakukan? Apa ia baru melempar kepala tamu hotel dengan sepatu sialan itu?

Luna melotot, terkejut. Kedua tangannya menutupi mulutnya yang menganga lebar. Seorang laki-laki dengan tinggi tubuh sekitar 180 sentimeter berjalan ke arahnya, mengenakan kemeja kerja berwarna biru dengan dua kancing teratas terbuka lebar. Laki-laki itu membawa beberapa botol minuman di kedua tangannya. Cahaya lampu taman memantulkan kilau dari anting berlian kecil di telinga kirinya.

Hampir seumur hidup harus berjuang keras demi sesuap nasi, tidak sampai membuat radar sensitivitasnya terhadap benda-benda berkilau pudar begitu saja. Apalagi Tina dan Bianca sering memamerkan perhiasan merek setiap kali berkunjung ke rumahnya. Jadi, sedikit banyak matanya masih bisa bekerja cepat mendeteksi emas atau berlian dalam radius beberapa meter.

Luna masih tetap melotot dengan mulut terbuka lebar saat laki-laki itu menghampirinya sambil mengusap-usapkan salah satu lengan yang menggenggam dua botol minuman ke keningnya yang sudah berbekas kemerahan.

"Aku pikir hotel ini akan sama membosankannya dengan hotel yang lain. Tapi sekarang... aku berubah pikiran," kata laki-laki itu pada Luna sambil cengar-cengir.

Senyumnya yang terlampau lebar dan wajah pria itu yang di atas rata-rata membuat Luna mengerjapkan matanya berkali-kali. Alarm di dalam otaknya tiba-tiba berdering sangat keras, seakan memberi sinyal bahwa laki-laki yang sekarang berdiri di hadapannya termasuk jenis yang berada di "daftar hitam". Daftar itu berisi rentetan tipe laki-laki yang harus ia hindari. Senyum dan seringai di wajah laki-laki itu membuat Luna menyimpulkan bahwa ia baru saja melemparkan sepatu ke kepala serigala. Dan sekarang serigala playboy itu terbangun dan sadar ada mangsa empuk di depannya.

Empat botol minuman di genggaman laki-laki itu, yang Luna kenali sebagai botol minuman beralkohol, semakin membuat Luna merinding ketakutan. Apakah ia baru saja mencari masalah dengan pemabuk? Hari ini benar-benar penuh kesialan jika harus berurusan dengan laki-laki sedang mabuk. Belum selesai mengurus sepatu sialan itu, masalahnya harus ditambah lagi dengan membela diri jika laki-laki ini ternyata orang jahat. Aduh...! Mana tengah malam begini sudah tidak ada karyawan hotel yang melintas di daerah ini.

Luna mencoba menghirup udara di sekelilingnya dalam-dalam. Berharap tidak mencium bau alkohol dari tubuh laki-laki itu. Dan entah harapannya memang terwujud atau hidungnya yang tidak dapat mendeteksi bau alkohol, yang tercium hidungnya hanyalah aroma samar-samar pohon cemara yang berderet rapi di sekitar taman.

"Nggak ada kata sori? Hm... maaf mungkin?" Laki-laki itu menaikkan alisnya dan menatap Luna bingung karena Luna hanya bergeming dan terlihat menarik napas panjang berulang-ulang seperti orang yang sesak napas. "Hei! Kamu kan yang tadi melemparku dengan sepatu. Meski menyenangkan bertemu dengan cewek secantik kamu di tempat terpencil ini, tapi aku berharap paling tidak mendengar kata maaf darimu." Laki-laki itu merentangkan tangan dan menatap Luna dengan senyum menggoda. Menunggu dengan sabar sampai Luna membuka mulut dan meminta maaf padanya.

Setelah memastikan tidak mencium bau apa pun selain pohon cemara, Luna mengangkat dagunya agak tinggi agar dapat meneliti dengan jelas wajah laki-laki itu.

"Ehm... Maafkan... Aku...," gumam Luna kata demi kata, matanya masih menjelajahi wajah tampan yang ada di depannya.

"Ada sesuatu di wajahku?" tanya laki-laki itu dengan penuh percaya diri. Luna kembali mengerjapkan matanya. Bola matanya yang tadi memperhatikan bibir laki-laki itu kini bergerak ke atas dan menatap kedua bola mata laki-laki itu. "Kalau ada sesuatu yang aneh di wajahku, aku bisa pastikan itu akibat ulahmu tadi." Laki-laki itu mengangkat tangannya dan menunjuk Luna, masih dengan botol-botol di genggamannya.

***__***

Jangan lupa like, komen, dan vote nya ya 🤗 terimakasih.

Dua

Ready Goooo🤗

Yang belum like dan vote jangan lupa ya😘

***__***

"Sori. Tapi aku nggak bermaksud melempar sepatu itu ke kepalamu. Aku cuma sedang kesal pada seseorang. Aku ingin melemparkan sepatunya ke labirin itu supaya nggak ada yang bisa menemukannya." Luna mencoba tersenyum ramah dan berusaha membela diri setelah yakin laki-laki yang berdiri di hadapannya bukanlah pemabuk seperti yang disangkanya tadi.

"Ke labirin kecil itu?" tanya laki-laki berkulit putih bersih itu sambil kembali menaikkan alisnya dan menunjuk ke satu arah. Gerakan spontan itu membuat Luna merasa pernah melihat laki-laki itu entah di mana. "Sekarang ada apa lagi dengan wajahku?" tanya laki-laki itu lagi setelah memergoki Luna yang kembali mengerutkan kening sambil mengamati lekat-lekat wajahnya.

Mata Luna membesar, terkejut karena laki-laki itu menyadari bahwa ia masih memperhatikan wajahnya. "Aku cuma merasa pernah melihatmu entah di mana," jawab Luna ketus.

Laki-laki itu tergelak mendengar jawaban Luna. Sambil menggoyangkan bahunya penuh percaya diri, dia mencondongkan tubuh ke arah Luna. "Ah... aku sudah sering mendengar kalimat yang sama."

Luna sangat terkejut mendengar jawaban yang terlontar dari mulut laki-laki itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, wajah laki-laki itu kini hanya sejengkal di depannya, memandangnya dengan tatapan yang... iih... sangat menjijikan! Dan Luna tidak dapat melontarkan peringatan karena laki-laki itu hanya berdiri di sana, tanpa sedikit pun menyentuh tubuhnya. Jadi secara teknis, laki-laki itu hanya "menggangunya" dengan tatapan maut. Tatapan yang hampir-hampir membuat Luna yakin ia berbalik saat itu juga, laki-laki aneh ini akan segera melompat dan menerkamnya.

Luna tidak dapat menghitung berapa lama ia melotot dan berapa lama waktu yang dihabiskan laki-laki itu dengan berdiri, menunduk, dan memandangnya dengan tatapan mata yang menurutnya sangat menjijikkan. Yang pasti, Luna hanya memperhatikan dalam diam saat laki-laki itu mundur perlahan, menunduk dan meletakkan empat botol minuman yang memenuhi tangannya di sebelah sepatu yang belum sempat dilempar, lalu berjalan kembali ke arah taman labirin tempat ia datang tadi.

Luna tidak mengerti apa yang akan dilakukan laki-laki itu saat dia mencari-cari di keremangan cahaya taman. Tak lama kemudian laki-laki itu kembali, menenteng sebelah sepatu yang tadi mengenai kepalanya.

"Jadi kamu ingin menyingkirkan sepatu milik orang menyebalkan itu?" tanya laki-laki itu sambil menggantungkan sepatu itu di ujung jarinya tepat di depan wajah Luna. Luna mengangguk perlahan dan menanti apa yang akan dilakukan laki-laki itu selanjutnya. "Dan sepertinya, yang ini pasangannya." Laki-laki itu menunduk menatap bangku taman yang tadi diduduki Luna lantas meraih pasangan sepatu itu. Sepatu yang besok akan dikenakan sepupunya. "Jika kamu ingin menyingkirkannya, lakukan dengan sepenuh hati. Seperti ini..."

Belum sempat Luna menahannya, laki-laki itu sudah melemparkan sepatu itu dengan gerakan cepat dan kuat. Sekarang sepasang sepatu itu lenyap, jauh ke dalam labirin. Jatuh di dalam kegelapan malam. Entah di sebelah mana.

Luna terbelalak tak percaya. Jantungnya berdetak kencang saat kepalanya meyakinkannya bahwa sepatu "keramat" itu sudah tak terlihat lagi.

Hilang sudah...

Seharusnya Luna merasa bebas. Merasa senang. Sepatu sialan itu akhirnya hilang dari hadapannya. Sepasang sepatu yang menyita perhatiannya sebulan penuh. Sepasang sepatu yang membuatnya harus menelan ocehan tak berguna dari Tina. Sepasang sepatu yang tidak mungkin lagi dikenakan Tina besok, di hari pernikahannya itu.

Oh, sial! Tamatlah riwayatnya. Meski sepatu itu hilang entah ke mana, tapi Tina akan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Meski sepatu itu hilang entah ke mana, tidak akan ada yang membiarkan Tina berjalan ke altar dengan bertelanjang kaki, kecuali Luna tentunya. Semua orang akan semakin bersimpati pada Tina dan ia hanya akan semakin buruk di mata seluruh keluarga yang hadir besok.

Laki-laki itu tersenyum puas sambil menepuk-nepuk kedua tangannya, seakan sudah sangat berjasa membantu Luna menyingkirkan barang tak berguna itu. Namun, senyum puas itu tidak bertahan lama karena sedetik kemudian Luna menoleh garang pada laki-laki itu dan memukul bahunya sekuat tenaga.

"Siapa yang menyuruhmu melempar sepatu itu?" pekik Luna panik dan sedikit histeris.

"Bukannya kamu memang ingin menyingkirkannya? Kamu kan yang tadi melemparkannya ke kepalaku? Ingat? Lihat nih bekas merah di keningku!" balas laki-laki itu sengit.

"Itu tadi! Saat aku sedang kalut dan nggak berpikir jernih Sekarang aku sudah nggak ingin lagi menyingkirkannya! Biarkan saja penyihir sialan itu memakai sepatu sialan itu!" teriak Luna marah. "Gara-gara kamu sepatu itu jatuh entah di mana, mungkin semakin rusak. Dan yang pasti, kamu membuatku dalam kesulitan!"

Luna kembali memukul bahu laki-laki itu kuat-kuat lalu berderap pergi menuju taman labirin. Meninggalkan laki-laki itu yang ternganga, dengan empat botol minuman diatas bangku dan sepasang sepatu yang tadi dikenakan Luna tergeletak di samping kakinya.

"Wanita itu pasti gila," desah laki-laki itu saat Luna tergesa-gesa melangkahkan kaki telanjangnya memasuki gerbang pintu labirin dengan rambut hitam tebal bergelombang mengayun di punggungnya.

** Ariel pov **

"Kenapa kamu ikut-ikutan ke sini?" bentak wanita berambut tebal bergelombang itu. Ia membalikkan tubuh dan memandang Ariel dengan kemarahan yang nyata, lalu kembali berderap semakin jauh ke dalam labirin.

Ariel berusaha keras agar botol yang dijepitnya di masing-masing ketiak tidak terjatuh. Kedua kakaknya, Angga dan Abel, juga Juna, Bayu, dan Leo pasti sudah menunggunya untuk merayakan malam terakhir Leo sebagai bujangan. Tangan kirinya menggenggam erat dua botol minuman yang lain sedangkan tangan kanannya menggenggam sepatu milik wanita gila yang sekarang tiba-tiba melampiaskan kemarahan padanya.

"Kamu meninggalkan sepatumu. Kakimu bisa lecet. Kamu bisa menginjak benda tajam di sini," Ariel menjawab dengan nada santai dan berusaha tidak terdengar kesal. Seumur hidupnya Ariel tidak pernah membiarkan dirinya memperlihatkan emosi kepada wanita mana pun. Sekesal apa pun perasaannya. "Hei! Aku membawakan sepatumu!" Ariel sedikit menaikkan suaranya ketika wanita muda itu tidak mengacuhkan ucapannya dan tetap berjalan cepat-cepat di depannya. Ariel harus berusaha mengejarnya dan di saat yang sama harus menjaga agar keempat botol minuman langka itu tidak terjatuh.

Wanita berambut tebal dan hitam pekat itu semakin mengabaikan keberadaannya dan terus menerobos labirin dengan tubuh membungkuk dan bibir menggerutu. Wanita itu terlihat mencari-cari ke arah Ariel tadi melemparkan sepatu itu.

"Ingat kembali ke arah mana kamu melemparkannya dan cepat bantu aku menemukan sepatu itu!" oceh wanita itu sambil menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga.

**_**

Jangan lupa like dan vote ya, 😘

Tiga

Ayoook mampir dan kasih komen ya, aku pasti akan mampir balik ke karya kalian, Terimakasih Happy Reading 😘

**__**

Ariel menatap tidak percaya pada wanita yang mengenakan gaun mini berwarna putih dan berpotongan sederhana ala vintage itu. Belum pernah ada wanita yang memerintahnya selama ini, selain mamanya. Wanita lain mungkin akan membiarkan saja sepatu konyol itu hilang dan memilih menangkap kesempatan dirayu oleh seorang Ariel Gunawan.

"Tadi aku melemparkannya sekuat tenaga. Mungkin terjatuh agak jauh ke dalam sana. Sebaiknya relakan saja sepatu itu. Kamu bisa membeli yang baru untuk menggantikannya. Atau... mungkin lebih baik aku belikan saja sepatu yang jauh lebih bagus daripada yang tadi." Ariel cepat-cepat meralat usulnya. Ia memasang senyum super manis saat wanita itu mendelik marah dan mata bulatnya semakin membesar, seakan Ariel sudah mengatakan suatu penghinaan besar.

"Kamu yang menghilangkannya dan aku yang harus menggantinya?" Pekikan wanita itu terdengar sangat marah. "Dan kamu yakin bisa menemukan yang lebih bagus daripada sepatu itu?" Kedua tangannya terangsang dan jemarinya mulai mencengkeram rambut dengan frustasi.

Ariel tercengang sekaligus menganga menyaksikan ekspresi gila wanita cantik itu. Tidak percaya dan sedikit menyesal kenapa wanita secantik ini bisa menunjukkan gejala "keanehan".

"Dengar! Kita harus menemukan sepatu itu atau aku akan membunuhmu!" geram wanita itu sambil menunjuk Ariel dengan jari yang kukunya berpoles kuteks berwarna merah darah. Matanya tampak membara dan rambutnya dan mengembang semakin membuat suasana di sekitar Ariel mencekam. Untuk sekejap, Ariel merasa bulu kuduknya berdiri melihat besarnya amarah di mata wanita itu.

Entah apa yang membuat Ariel masih saja berjalan membuntutinya. Matanya seakan tersihir untuk tidak melewatkan pengamatan menyeluruh menelusuri tubuh menggiurkan wanita di hadapannya, hingga akhirnya ia sama sekali tidak turut ambil bagian dalam usaha pencarian sepatu yang sepertinya sangat berharga.

Otaknya pasti sudah rusak. Dalam hati, Ariel menertawakan diri sendiri. Mungkin ini akibat jet leg dari penerbangan yang harus ia tempuh dari Jerman ke Jakarta, lalu masih harus melewati perjalanan selama dua jam lebih begitu mendarat di Surabaya menuju kota kecil ini. Pasti campuran penat, stres, dan bosan membuatnya tidak bisa berpikir waras. Membuatnya lebih memilih mengikuti insting nakalnya untuk bermain sebentar dengan wanita cantik tapi aneh daripada melangkah menuju kamar Leo.

Mereka sudah menelusuri taman labirin sampai ujung dan berakhir di tengah-tengah taman. Ariel yang sejak awal tidak peduli dengan apa yang sedang mereka cari, langsung menjatuhkan pantatnya ke bale terbuka yang sepertinya baru selesai dibangun. Bau catnya masih tercium kuat. Sambil melirik ke arah wanita itu, Ariel meraih salah satu botol minuman yang ia bawa lalu membuka tutupnya.

Peduli amat dengan wanita itu, dan peduli amat dengan semua orang yang sedang menanti kedatangannya. Sekarang ia haus dan hanya minuman langka ini bersamanya. Seteguk minuman ini akan sedikit menyegarkan kerongkongan dan juga menghalau rasa penatnya.

Ariel hampir menempelkan ujung botol ke bibirnya saat wanita itu berteriak heboh. "Aku menemukannya! Aku menemukannya!" Tawa wanita itu mau tidak mau membuat Ariel tersenyum lebar. Sepatu berwarna putih itu teracung-acung di salah satu tangan wanita itu. Matanya yang bahagia menatap Ariel seakan ia tengah menemukan harta karun.

"Bagus! Kamu menemukan yang satunya juga?" Ariel bertanya sambil lalu dan melanjutkan gerakan tangannya mendekatkan ujung botol minuman ke bibirnya.

"Belum," jawab wanita itu sedikit terengah-engah.

Ariel yang tidak memedulikan jawaban wanita itu, tidak memperhatikan ketika wanita berambut tebal itu malah melangkah lebar-lebar ke arahnya dan langsung menyambar botol yang dipegangnya lalu menenggak minuman beralkohol itu dengan sangat rakus. Tawa berderainya berganti keterkejutan saat wanita itu menjulurkan lidah begitu menyadari apa yang baru saja ia minum.

"Hoek... Minuman apa ini?" desis wanita itu marah. Ia melotot pada botol besar di tangannya seakan sedang memarahi botol itu karena sudah menipunya.

"Itu yang kamu dapat jika merebut barang milik orang lain." Ariel melipat lengan di dadanya dan kembali tertawa lebar.

"Ini alkohol?" Wanita itu berseru seakan Ariel tidak tahu apa isi botol itu.

"Lalu?"

"Aku nggak minum alkohol," gerutu wanita itu dengan ekspresi jijik.

"Minum seteguk nggak akan membuatmu mabuk." Ariel beranjak hendak merebut kembali botol minuman kesayangannya sambil menatap wanita itu santai.

Wanita itu menyipitkan matanya marah. Ariel membayangkan jika dalam kondisi marah saja dia bisa terlihat secantik ini apalagi jika sedang senang. Pasti akan lebih cantik. "Bagaimana kalau kamu mulai mencari lagi pasangan yang satunya sebelum si penyihir menyebalkan itu mengetahui sepatutnya hilang?" Ariel menunjuk sepatu putih yang masih kehilangan pasangannya.

Setelah menghela napas panjan, wanita itu mengembalikan botol minuman yang dipegangnya ke tangan Ariel. Matanya yang menyiratkan rasa kesal kembali memandangi sepatu putih yang masih dipegang di tangan kirinya. "Untung nggak ada manik yang hilang. Kotoran ini juga bisa hilang jika dibersihkan dengan sedikit losion," gumamnya sambil mengamati sepatu itu.

Ariel memperhatikan tingkah laku wanita di hadapannya. Setelah memastikan tidak ada bagian sepatu itu yang rusak, wanita itu meletakkannya hati-hati di sebelah botol minuman Ariel dan sepasang sepatu miliknya sendiri.

"Sebaiknya kamu ikut bantu mencari pasangannya. Kamu memiliki andil karena sudah menghilangkannya. Semua gara-gara kamu yang main lempar begitu saja," gerutu wanita itu sambil mengenakan sepatunya.

Ariel berdiri sambil berdecak geli. "Bisa kamu jelaskan kenapa sekarang kamu berubah pikiran dan berusaha setengah mati menemukan sepatu itu? Bukannya kamu membenci si pemilik sepatu itu? Kamu takut?"

"Kalau kamu pikir aku takut pada wanita itu, kamu salah besar!" Wanita itu berkacak pinggang dan menggoyangkan telunjuk di depan wajah Ariel.

Ariel geli saat memperhatikan tubuh wanita itu mulai limbung. "Lalu?"

Setelah menghela napas panjang, wanita itu melirik Ariel dengan wajah sedikit lebih rileks. "Entahlah." Lambaian tangannya dengan gaya sok tak acuh itu semakin membuat Ariel tertarik untuk berlama-lama menatapnya.

"Kamu mencuri ya?" tebak Ariel sok tahu.

"Aku?" Lengkingan suara wanita itu kembali membahan. Ekspresi tersinggungnya semakin membuat Ariel senang menggodanya. "Aku mencuri sepatu? Aku yang membuat sepatu itu! Aku sudah mengerjakannya hampir sebulan penuh. Aku yang... Oh! Sudahlah! Laki-laki sepertimu nggak akan mengerti apa yang aku rasakan. Kembali saja ke kamarmu dan nikmati liburanmu di hotel ini!"

Wanita itu kembali melambaikan tangannya angkuh dan berbalik memunggungi Ariel. Ia menajamkan pandangan di tengah gelapnya malam, mencoba mencari benda berwarna putih yang mungkin terselip di antara rambatan tanaman yang membentuk dinding setinggi dua meter.

**__**

To be continued...

Like, komen, dan vote nya ya 🤗

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!