Seperti biasanya selesai kuliah Liana selalu berkumpul bersama para sahabatnya Rendi, Sofi dan Anita pacar dari Rendi.
Mereka selalu berbincang-bincang di sebuah Café favorit mereka, yang tak begitu jauh dari kampus mereka. Gurat tawa dan canda selalu meramaikan meja mereka.
"Hai... kalian berdua! Apa tidak bosan, selamanya tidak memiliki kekasih seperti itu?" Tanya Anita sembari bersandar pada pundak pacarnya Rendi.
"Lebih baik aku tidak punya kekasih, dari pada punya kekasih temen sendiri" sindir Liana.
"Biar saja. Tidak ada salahnya kan punya kekasih temen sendiri? Yang terpenting kita saling mencintai" ucap Anita tak mau kalah.
"Oh-oo.. saling mencintai? Dasar kekanak-kanakan" tawa Liana sungguh tak enak untuk dilihat.
"Kau bilang Aku kekanak-kanakan? Bukannya sebaliknya? Kau yang kekanak-kanakan! Menyukai seseorang tapi takut menunjukkannya. Direbut sama perempuan lain baru tau rasa" sindir Anita balik.
"Anita" tegur Rendi.
"Biar saja, biar dia sadar bahwa tidak selamanya Jojo akan sendiri" cerocos Anita tak memperdulikan teguran kekasihnya.
"Kalau Aku jadi dirimu, Aku akan mengungkapkan perasaanku walaupun Aku harus patah hati karena ditolak. Karena dengan seperti itu perasaanku jauh lebih baik dari pada harus memendamnya selama tiga tahun."
"Anita" Tegur Rendi sekali lagi yang menganggap perkataan kekasihnya itu sangat keterlaluan.
"Jadi apa keputusanmu?" Pertegas Sofi.
"Sofi kenapa Kau juga ikut-ikutan?"
"Cobalah bertanggung jawab pada dirimu sendiri" nasehat Sofi melanjutkan kata-katanya yang sempat terpotong oleh Rendi.
"Hay kalian berdua, Aku minta kalian jangan bicara lagi!" geram Rendi. Ia merasa kasihan pada Liana yang terpojok oleh kedua sahabatnya itu.
"Ini perasaanku, biarkan Aku sendiri yang bertanggung jawab. Kalian tidak perlu mengkhawatirkannya" ungkap Liana sambil mengangkat tas selempangnya. "Aku pergi!" pamit Liana dengan wajah kesal.
"Hay liana, Kau mau kemana?"
"Biarkan saja dia pergi! Biar dia merenungkan tindakan apa yang harusnya dia ambil" Anita menarik Rendi yang hampir pergi menyusul Liana yang masuk kedalam taksi.
"Apa kalian berdua sudah gila? Haruskah kalian berbicara seperti itu padanya?" ucap Rendi dengan nada tinggi. "Kalian ini sahabatnya atau bukan sih?"
"Jangan berteriak seperti itu padaku! Aku tidak tuli" pinta Anita dengan nada standart.
Sedangkan Sofi memilih untuk diam dan memandang kosong pada jalan yang tadinya sebagai pemberhentian taksi Liana.
"Kami hanya ingin menyadarkannya, kalau dia harus mengejar cintanya atau dia akan terluka" jelas Anita.
"Lalu haruskah dengan cara seperti itu?"
"Lalu harus seperti apa?" timpal balik Anita.
"Hey kalian berdua, bisa diam tidak? Kalau ingin bertengkar setidaknya tidak ditempat umum. Kalian tidak punya rasa malu?" tegur Sofi menghentikan percekcokan itu.
***
Liana berjalan dengan tenang melewati komplek rumahnya tanpa tahu bahwa kini Ia menjadi penyebab pertengkaran sahabat-sahabatnya.
"Ibu aku pulang!" ucap Liana lesu saat dia telah tiba didalam ruang tamu rumahnya.
"ehhh... sayang kamu sudah pulang" Tanya Ibu dan Ayah bersamaan sembari cengar-cengir tanpa sebab.
Liana pun mendekat kearah Ayah dan Ibunya untuk mencium tangan mereka. "Loh... kenapa Ayah ada di rumah?"
"Iya Ayah sengaja pulang lebih cepat untuk bertemu denganmu. Ayah ingin bicara sesuatu hal yang penting denganmu" tutur Ayah.
"Hal penting apa?"
"Duduklah!" pinta ibu menarik tangan Liana untuk duduk disampingnya.
"Memang mau bicara apa? Kelihatanya ayah dan ibu bahagia sekali?" tanya Liana atas sikap kedua Orangtuanya yang tak seperti biasanya.
Ibu dan Ayah saling menatap, terlihat mereka berdua bernegosiasi siapa yang berbicara terlebih dahulu walau hanya dengan isyarat mata. "Liana!"
"Iya?"
"Kamu mau..."
"Apa Kakak mau di jodohkan dengan anak teman Ayah? Bulan depan mereka akan datang kemari" saut Dafina yang baru bergabung dengan keluarganya tiba-tiba memotong pembicaraan Ayahnya.
"Dijodohkan?" seketika Liana terbelalak karena saking kagetnya atas ucapan adiknya itu.
"Apa bener itu ayah?" dengan anggukkan pelan Ayah telah menjawab segala keraguan Liana dan meluluh lantahkan perasaannya.
"Dulu sewaktu ayah remaja, ayah sudah membuat janji dengan teman ayah untuk menjodohkan anak-anak kami nantinya" Ayah menceritakan apa uang terjadi di masa lalu yang menjadikan ikatan janji itu ada.
"Ada apa dengan Ayah? Kenapa ayah berpikir sepicik itu? Apa ayah tidak memikirkan perasaanku? Yang belum dilahirkan di dunia ini sudah di tentukan siapa orang yang menjadi pendampingku!" protes Liana dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi bila ini yang terbaik, kenapa tidak?" Ungkap Ibu.
"Mungkin ini yang terbaik untuk kalian, tapi bukan untukku" bantahnya sekali lagi.
"Liana kita coba dulu saja! siapa tahu Kamu cocok dengannya" bujuk Ibu.
"Iya Kak, siapa tahu kalian memang berjodoh. Katanya dia tampan loh, dari keluarga kaya lagi" rayu Dafina ikut-ikutan.
"Anak kecil, Kau anggap siapa Aku? Aku bukan anak remaja yang bisa terbujuk oleh materi dan ketampanan seorang laki-laki" geram Liana.
"Kakak ini benar-benar sangat keras kepala ya, Ayah dan Ibu hanya memberi jodoh untukmu, agar Kakak tidak selamanya menjadi perawan tua".
"Jaga ucapanmu! Tahu apa Kau tentang diriku?"
"Banyak. kau suka marah-marah, jutek, angkuh dan satu, kau hanya wanita bodoh yang mengharapkan bisa menikah dengan orang yang Kau cintai dan yang mencintaimu".
"Coba pikir! bila laki-laki itu tidak datang dalam hidupmu, apa selamanya kau tidak akan menikah?" ulas Dafina yang mulai kesal dengan sikap Kakaknya.
"Sudah, jangan bertengkar!" Ibu mencoba melerai kedua anaknya.
"Terserah. Terserah kalian mau melakukan apa. Aku tetap dalam pendirianku, aku tidak mau dijodohkan" Liana masuk kedalam kamar dan menutup pintu dengan kasar.
"Dasar keras kepala!"teriak Dafina.
"Ayah tidak apa-apa?" Desah Ibu memegang halus tangan Ayah.
"Iya, Ayah baik-baik saja. Ini memang salah Ayah, tidak seharusnya Ayah bertindak terlalu jauh" ucap Ayah sembari bangkit dari duduknya dan pergi dari hadapan mereka semua.
"Dasar perawan tua tak tau diri!" kecam Dafina dengan suara keras berharap Kakaknya mendengarnya.
"Dafina, kenapa Kamu bicara sekasar itu tentang Kakakmu?" Tegur Ibu pada anak bungsunya itu.
"Karena dia pantas mendapatkannya, dia telah membuat Ayah menjadi seperti itu" Dafina pun ikut pergi dari ruangan itu.
Sedangkan Ibu pergi kedepan kamar Liana, ia sangat mengkhawatirkan keadaan anak sulungnya itu. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Ibu mengetuk pintu Liana beberapa kali.
"Aku tidak apa-apa Bu, aku hanya butuh waktu sendiri" saut Liana sedikit meredakan kekhawatiran Ibunya.
"Baiklah, Ibu tidak akan mengganggumu. Istirahatlah!" Ibu pun berlalu dari sana.
Bingung, bimbang, sedih bercampur menjadi satu, itulah yang dirasakan Liana saat ini. Dibaringkan tubuhnya pada tempat tidur dan berusaha memejamkan matanya berharap bila dia terbangun nanti mimpi buruk itu akan sirna dari hidupnya.
Terlelap dengan sisa air mata yang masih melekat dipipi putihnya. 1jam... 2 jam... 3 jam... entah berapa lama Ia terlelap dalam kelelahannya setelah menangis.
"Hay perawan tua cepat keluar! Waktunya makan malam" teriak Dafina sembari mengetuk depan pintu Liana yang terkunci.
Dengan suara lantangnya, Dafina dapat dengan mudah membangunkan Kakaknya dalam waktu sekejap.
"iya, aku akan segera turun" saut Liana dari dalam.
Dengan segera Liana mempersiapkan dirinya untuk makan malam, namun sesampainya diruang makan Liana tak mendapati Ayahnya di meja makan seperti biasanya.
Hanya terlihat tiga piring yang tertata rapi bersama peralatannya di atas meja. "Dimana ayah? Apa Ayah tidak ikut makan bersama kita?" tanya Liana.
"Tidak sayang, hari ini kita makan bertiga saja" jawab Ibu lembut.
"Buat apa Kau tanya tentang Ayah? Bukannya Kau tidak perduli lagi padanya?" ketus Dafina, kelihatannya Dafina masih menyimpan perasaan marah terhadap Kakaknya.
"Yak, apa aku tidak boleh bertanya tentang Ayahku sendiri?"
"Apa pantas Kau bicara seperti itu, setelah perlakuanmu pada Ayah tadi siang?"
"Sudah, berhenti bertengkar!" Ibu menenggahi kedua anaknya.
"Tidak heran, kalau tidak ada pria yang suka padamu. Karena Kau egois, tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Yang dipikirkan olehmu hanya dirimu sendiri dan harapanmu yang konyol itu".
"Dafina sudah!" tegur Ibu.
"Apa sih? aku tidak mengerti arah pembicaraanmu".
"Yak...! Perawan tua dengar ya! Sekarang Ayah tidak mau makan mungkin itu semua karenamu? Kerana Kau sangat keras kepala" analisa Dafina.
"Dafina jangan teruskan!".
"Sudahlah Bu, jangan tutupi ini darinya! Karena ini semua kesalahnya" ucapan Dafina sembari duduk di meja makan.
"Apa sih susahnya menerima permintaan dari Ayah? Toh itu juga demi kebaikanmu. Tidak mungkin Orangtua akan menjerumuskan dirimu" tutur Dafina.
"Sayang Kamu mau kemana? Ayo kita makan dulu!" ujar Ibu saat tahu Liana melangkah pergi.
"Tidak, terima kasih ! Aku tidak lapar, Ibu makan saja dengan Dafina" ucapnya lesu sembari pergi dari sana.
***
Pagi itu Liana juga tak melihat Ayahnya dimeja makan untuk sarapan, mungkin Ayahnya masih kecewa terhadapnya karena tak menuruti permintaan tentang perjodohan itu.
Tapi beda dengan Defina, sikapnya mulai berubah. Dia mulai bersikap baik kepada Kakaknya, mungkin itu karena Ibunya yang menasehati Adik semata wayangnya itu.
Walau seperti itu Liana masih memikirkan perkataan Adiknya. Seharian penuh Ia habiskan untuk merenungi segala ucapan yang dikatakan Ibu, Dafina, dan Ayahnya.
Melihat hal itu sahabat-sahabatnya merasa cemas akan keadaan Liana.
"Liana apa kau sakit?" Tanya Anita khawatir.
"Huh?"
"Apa terjadi sesuatu padamu? Atau Kau punya masalah?" tambah Sofi tak kalah khawatirnya.
"Apa ini karena kemarin? Apa Kau seperti ini karena ucapan mereka berdua" ungkit Rendi yang langsung kena pukul oleh Anita tak keras.
"Ahh tidak, bukan itu".
"Lalu Kau kenapa? Jika ada masalah, cerita saja pada kami! Mungkin Kami dapat membantumu" tutur Rendi.
"Apa kalian pernah memikirkan sebuah pernikahan?"
"Apa?".
"Pernikahan?" tanya balik para sahabatnya.
"Iya pernikahan, tapi ini sebuah pernikahan yang direncanakan" seketika ketiga sahabatnya terlihat begitu bingung dengan penjelasan Liana yang berbelit-belit.
"Tidak pernahkan? Aku pun sama seperti kalian, aku tidak pernah memikirkan untuk menikah muda, apa lagi pernikahan yang diatur".
"Hay Liana bicara yang jelas! Kami tidak paham dengan ucapanmu" pinta Anita yang merasa bingung dengan penjelasan Liana.
"Hiss.. kalian ini, kalian tahukan sebuah perjodohan?" Liana mencoba memperjelas ceritanya.
"Kau dijodohkan?"
Tiiiitt...tiit...tiiit... Suara ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Liana harus menyudahi pembicaraannya dan menggangkat ponselnya.
"Ada apa Bu?" Sejenak Liana terdiam, berusaha mencerna ucapan sang Ibu. "Ibu berhentilah menangis! aku tidak bisa mendengar suara ibu dengan jelas."
Beberapa detik kemudian Liana menutup telepon lalu pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya yang saat itu bertambah bingung dengan tingkah Liana yang begitu aneh.
"Liana kau mau kemana?" Tanya Rendi namun tak dipedulikan oleh Liana, dia hanya berusaha lari lebih kencang dan berharap akan sampai tujuan lebih cepat.
Terngiang begitu jelas ucapan sang Ibu kepadanya waktu ditelepon tadi. "Liana Ibu sekarang ada di Rumah sakit, penyakit jantung Ayah kambuh lagi. Dan Sekarang Ayah sedang kritis. Cepatlah kemari!".
Tetes air mata memenuhi perjalannya menuju rumah sakit. Ia berhenti seketika saat ia mendapati Ibu dan Adiknya duduk dengan beruraian air mata didepan ruang ICU.
"Ibu" desahnya untuk memberi tahu keberadaannya saat ini. "Bagaimana keadaan Ayah?"
"Ibu tidak tahu. Ayah masih di dalam, dan sejak tadi dokter belum juga keluar" jelas Ibu menggenggam tangan Liana yang gemetaran.
Ketika pintu ruang ICU terbuka, mata ketiganya tertuju pada Dokter yang keluar dari ruangan itu.
Tak menunggu lama mereka bertiga berlari kearah Dokter Ilyas yang menangani Ayah.
"Bagaimana keadaan Ayah saya Dok?" Tanya Liana begitu panik.
"Syukurlah pak Danu kini sudah melewati masa kritisnya, tapi ..."
"Tapi kenapa?" sela Dafina begitu tak sabaran.
"Tak menutup kemungkinan penyakit jantung pak Danu bisa kambuh kembali, jadi saya berharap pada keluarga pak Danu untuk memperhatikan kondisinya dan jangan membuatnya merasa stress, ataupun tertekan. Buatlah Beliau senyaman mungkin terhadap keadaan disekelilingnya. Hanya itu saja yang dapat saya sampaikan saat ini, untuk selanjutnya kita lihat perkembangan kesehatan Pak Danu" jelas Dokter Ilyas panjang lebar.
Semua bernafas lega mendengar kabar baik itu. "Jika tidak ada yang ditanyakan, Saya permisi dulu!" pamit dokter Ilyas
"Terima kasih Dok"ucap ibu lega.
Liana melangkah dan menatap pilu disebuah kaca kecil dibalik pintu ruang ICU dengan mata yang berkaca-kaca, terlihat begitu jelas seorang yang dia sayang terbaring lemas tak berdaya dengan selang-selang infuse yang melekat ditubuh lelaki tua itu.
"Apa yang Aku lakukan? Aku telah membuat Ayah menjadi seperti ini, anak macam apa Aku ini? Aku terlalu mementingkan egoku tanpa peduli perasaan Ayahku sendiri" batin Liana begitu menyesali apa yang telah Ia lakukan.
"Maaf. Maafkan Aku Ayah!" mohon Liana terus menerus disertai dengan hilir air mata yang terus mengalir.
***
Setelah kelas bubar, Liana langsung bergegas mengemasi buku yang berserakan di mejanya.
Lalu dengan langkah cepat Liana keluar dari ruangan mendahului teman-temannya.
"Liana Kau mau kemana? Jamnya pak Totok kan sebentar lagi" teriak Sofi memanggil Liana.
"Aku harus ke Rumah sakit. Tadi Ibuku menelepon, Aku harus kesana sekarang. Tolong izinkan aku ya!"
"Tapi..." belum juga selesai bicara Liana sudah menghilang dari pandangan Sofi.
Liana berjalan dengan tergesah-gesah al-hasil ia pun tersandung kakinya sendiri, namun itu menjadikan keberuntungan tersendiri baginya karena ternyata dia terjatuh tepat dipelukan Jojo lelaki yang selama ini ia dambakan dan Ia idam-idamkan.
Mata Liana terbelalak dan tak sedikit pun berkedip saat tubuhnya jatuh pada pelukan Jojo.
"Ya ampun, mimpi apa Aku semalam? Sampai aku dapat sedekat ini dengan Jojo, dia tampan sekali" benaknya sembari membayangkan seorang pangeran Jojo yang gagah menyelamatkannya dengan berpakaian seperti kesatria.
Seketika suasana berubah seperti khayalan tingkat tinggi Liana yang saat ini kambuh, ia membayangkan Jojo seperti pangeran yang menolong seorang Putri yaitu dirinya sendiri.
"Tuan Putri apa kau baik-baik saja? Apa anda terluka?"
"Iya, Aku baik-baik saja pangeran. Asalkan bersamamu apa pun kesulitan itu akan terlihat begitu mudah" ucap lembut Liana sembari mengedipkan mata dengan perlahan.
"Aku mencintaimu" tutur lebut terlontar dari mulut pangeran Jojo sebagai khayalan Liana seraya menggecup tangan Liana dengan begitu lembut.
"Aku juga mencintaimu Pangeran" Liana tersenyum bahagia.
Sedangkan didunia nyata Jojo sangat mencemaskan gadis yang ditabraknya tidak berkutik sama sekali hanya memberi senyuman kepadanya.
"Hey Nona!" berkali-kali Jojo menyadarkannya.
"Nona, Kau baik-baik saja?" tanya Jojo meninggikan suaranya dan cara itu cukup manjur untuk Liana, Ia pun tersadar dari semua segala angan-angannya.
"Iya, aku baik-baik saja" Liana bangkit dari pelukan Jojo.
"Syukurlah kalau begitu" ucap Jojo lega seraya memberi senyum terindahnya pada Liana sehingga membuat jantung Liana berdegup kencang.
"Ya ampun, senyumnya manis sekali!" Seru Liana bersorak dalam hati.
"Oo Kau! Bukankah Kau Liana? Anak sastra angkatan tiga kan?" ujar Jojo tak yakin.
"Ah... iya. Itu Aku" ucap Liana terbata-bata.
"Ya ampun, ternyata dia mengingat namaku dengan baik. Senangnya!!" batin Liana.
"Perkenalkan namaku Jonatan Saputra tapi kau bisa memanggilku Jojo, aku satu tingkat diatasmu".
"Iya Aku tau itu dan Aku juga ingat waktu itu Kakak pernah menolongku saat kakiku terkilir."
"Benarkah? Aku kira Kau tidak akan ingat kejadian itu."
"Mana mungkin aku tidak ingat, kalau Aku pernah ditolong oleh pria tampan seperti Kakak" Liana cengar-cengir tak jelas.
"Apa?"
"Tidak ada"
"Oh ya.. by the way, kau mau kemana? Kelihatanya terburu-buru sekali?"
"Ahh..ya ampun aku lupa" Liana tersadar dengan tujuan ia semula.
"Maaf kak, aku harus pergi sekarang" dengan langkah cepat Liana meninggalkan Jojo.
Dengan langkah yang terburu-buru itu pula Liana sempat akan jatuh untuk kedua kalinya, namun kali ini ia dapat menyangga dirinya sendiri.
"Oh ya ampun" Liana menyangga tubuhnya dengan sempurna.
"Sampai jumpa!" ucap Liana yang mengetahui Jojo masih memandangnya dari kejauhan.
"Iya, sampai jumpa lagi!" balas Jojo dengan lambaian tangan dan senyuman dibibirnya.
Entah senyuman apa itu, senyuman bahagia karena bertemu dengannya atau senyuman geli karena kebodohan Liana harus terjatuh kedua kalinya dihadapannya.
"Aduh.. bodoh, bodoh, bodoh, bodoh.. apa yang aku lakukan tadi?" rintihnya menyesali semua yang ia lakukan seraya memukul sendiri kepalanya yang tak berfungsi betul saat dihadapan Jojo.
"Bisa-bisanya aku berbuat hal memalukan dihadapannya. Kesan pertama pasti akan terlihat buruk dihadapannya" disepanjang perjalanannya kerumah sakit, Liana tak henti-hentinya memaki dan menyakiti dirinya sendiri.
Namun saat sampai didepan kamar rawat ayahnya, Liana mengubah wajahnya menjadi penuh senyuman.
Tapi senyuman itu pun berubah seketika, saat ia tak sengaja mendengar percakapan ayahnya dengan salah satu suster yang merawatnya.
".. mau lebih panjang atau tinggal sehari pun terlihat sama. Tidak ada artinya lagi" curah ayah yang membuat langkah Liana berhenti dan mencoba untuk mendengarkan terlebih dahulu pembicaraan ayahnya dengan suster.
"Tuan mana boleh berbicara seperti itu, lagi pula saya lihat anda sangat beruntung mempunyai Istri yang setia menemani dan dikaruniai dua anak perempuan yang cantik-cantik. Menurut saya kehidupan anda sangatlah sempurna. Jadi sayang kalau ditinggalkan begitu saja" bujuk suster yang sedikit banyaknya mengetahui tentang keluarga pasiennya.
"Iya memang aku sangat beruntung mempunyai mereka, tapi tidak untuk mereka. lelaki tua sepertiku hanya akan merepotkan mereka saja. Terutama untuk Anak sulungku yang telah aku kecewa karena kebodohan yang ku buat dimasa lampau" ungkap ayah menceritakan semua yang ada diperasaannya saat ini.
"Ayah" desahnya lirih saat mendengar dirinya disebut-sebut dalam pembicaraan itu.
"Aku bukan Ayah yang baik untuknya. Karena itu aku sangat malu untuk bertemu dengannya."
"Minta maaf dan perbaiki kesalahan yang anda lakukan. Pasti semua akan berjalan dengan baik" yg tutur sang Suster.
"Tidak semudah itu. aku sudah berjalan cukup jauh kedepan, tidak mungkin melanjutkan lagi.
Apalagi harus kembali untuk sekedar menggengam tangan anakku, itu akan mengecewakan sahabat lamaku".
"Untuk apa Ayah kembali? Ayah hanya perlu terus berjalan kedepan dan penuhi semua janji yang Ayah buat" ungkap Liana yang baru saja masuk kedalam ruangan.
"Tidak akan ada yang merasa kecewa pada Ayah, dan tidak akan ada yang merasa terbebani karena Ayah. Jadi Ayah harus terus hidup! Supaya Ayah bisa mengantarku ke pelaminan nanti"
"Liana?"
"Apa? Tidak perlu terharu dengan pengorbananku. Lagi pula mana mungkin aku melepas kesempatan menikahi pria tampan dan juga kaya yang ayah pilihkan untukku."
"Jadi kamu mau menerimanya?"
"Menurut Ayah? Sudah sekarang minum obatnya! Dan satu lagi jangan merintih seperti orang tua yang tidak berguna!" pinta Liana memberi obat dan minuman untuk Ayahnya.
"Kalau begitu saya permisi dulu!" pamit Suster.
"Terima kasih Suster!"
"Iya sama-sama!" sang Suster pergi meninggalkan keduanya.
"Ayah!"
"Ehm?"
"Apa laki-laki yang mau dijodohkan denganku itu bener-benar tampan? Jangan sampai giginya keluar kedepan ya! Dan berkulit hitam" canda Liana mencairkan suasana yang sebelumnya sangat kaku.
"Tentu saja dia tampan. Nanti kalau sampai di rumah, Ayah akan perlihatkan fotonya padamu."
"Lalu apa dia benar-benar kaya?"
"Itu benar sekali. Dia seorang pengusaha properti yang sangat sukses. Dia juga berencana untuk membangun sebuah apartemen di Negeri ini." ujar ayah menjelaskan panjang lebar pada anaknya.
"Ternyata aku beruntung mempunyai Ayah. karena Ayah, aku bisa mempunyai calon suami pengusaha mudah yang tampan dan sukses" terucap begitu manis namun hati terasa tertancap duri terasa sangat perih.
"Dasar anak nakal. Kemarilah Ayah ingin memeluk anak ayah!" Liana memeluk Ayahnya dengan perasaan yang begitu kacau tak tahu harus sedih atau senang.
Begitu pula dengan Ibu Liana yang baru saja datang namun ia mengerti semuanya yang baru saja terjadi.
"Apa Ibu ketinggalan berita?" ucap ibu membuyarkan pemandangan mengharukan itu.
"Sayang! Kamu memang ketinggalan berita yang sangat penting, tapi sebentar lagi kamu akan mengetahuinya" lontar Ayah begitu bersemangat.
"Aku akan keluar sebentar untuk membeli sesuatu" lontar Liana memberi ruang terhadap orangtuanya untuk bicara secara leluasa.
"Liana terima kasih" ucap ibu lirih yang hanya dapat didengar Liana yang saat itu berada didekatnya, Liana hanya tersenyum lalu pergi.
"Mungkin ini keputusan yang terbaik untukku saat ini, walau bukan jalan ini yang aku inginkan tapi aku sudah memutuskan untuk memilihnya dan aku harus menjalaninya" benak Liana pasrah dengan senyum yang ia paksa didalam tangisnya.
***
Detik berganti menit, dan hari telah berganti bulan, entah mengapa penantian kali ini begitu terasa cepatnya.
Tak terasa telah tiba saatnya untuk menyambut kedatangan orang yang masih asing bagi Liana namun dalam jangka waktu yang sangat singkat semuanya akan menjadi bagian dari hidupnya. Aneh memang tapi inilah jalan yang telah dipilih oleh Liana.
Liana menatap kosong kearah kaca begitu banyak bayangan yang melintas diotaknya salah satunya kejadian tabrakan tempo hari yang membuatnya begitu dekat dengan Jojo orang yang ia sukai.
"Apa aku harus menikahinya? Apa tidak ada cara yang lain lagi untuk membatalkan perjodohan ini" gumamnya sendiri.
"Kenapa harus seperti ini akhir kisah cintaku?" Liana menundukan kepala, Ia begitu kesal pada dirinya sendiri yang tak sanggup menolak keinginan hati untuk membatalkan semuanya.
"Kakak cepatlah! Ayah dan Ibu sudah menunggu dibawah" lontar Dafina setelah masuk kedalam kamar Kakaknya.
Ia mendapati Kakaknya memasang wajah lesu didepan kaca. "Kenapa lagi?"tanya Dafina sembari menghapiri Liana.
"Huh?"
"Sudah merasa menyesal dengan keputusanmu itu? Berfikir bagaimana cara membatalkannya?" Ucap Dafina yang mengetahui betul sifat kakaknya.
"Ya.. Aku ingin sekali."
"Yakk..!" walau Ia tahu jawaban akan seperti itu, tapi tetap saja Dafina begitu terkejut dengan pernyataan Kakaknya.
"Tapi sayang Aku tidak berdaya untuk melakukannya, Aku putuskan untuk mencoba menjalani semua ini" tutur Liana menyambung perkataannya.
"Baguslah kalau Kau berpikiran seperti itu. itu artinya kau masih waras."
"Hey... jaga ucapanmu itu, bila berbicara dengan orang yang lebih tua darimu!"
"Sudahlah ini bukan waktunya untuk berdebat. lebih baik kita keluar sekarang!" Dafina menarik tangan Liana dan dibawahnya keluar dari kamar.
Denting waktu mengiringi Sepanjang perjalanan menuju bandara. Ayah, Ibu, begitu bahagia menyambut datang sahabatnya hari ini. Diwajah mereka terpancar rautan kebahagiaan.
Begitu pula dengan orang-orang yang berada di bandara itu yang menunggu kedatangan pesawat yang sama, mereka terlihat begitu berdebar-debar saat menunggu orang yang sangat mereka rindukan akan turun dari pesawat yang akan mendarat sebentar lagi.
Namun kebahagiaan itu tidak dirasakan oleh Liana yang sama sekali tidak mengharapkan pesawat itu akan turun di Bandara hari ini, besok atau lebih baik lagi jika pesawat itu tidak pernah datang dan tak pernah ada pria itu didunia ini.
"Aku tahu ini sangat sulit untukmu, tapi cobalah berpikir tentang kesehatan ayah! Aku percaya padamu kalau kau bisa menjalaninya" tutur Dafina lirih.
"Kau mulai lagi. Kenapa Kau selalu berbicara melebihi kemampuan umurmu? Seperti Kakak yang menasehati Adiknya saja."
"Hiss.. Kakak ini, memangnya penting ya membahas hal itu dalam keadaan seperti ini?"
"Sudalah, bicara denganmu tidak akan pernah menang."
"Otakmu saja yang pas-pasan" cibir Dafina.
"YAKK!"
"Apa?"
"Tahu lah!" Liana memalingkan wajahnya dari adiknya.
"Ayah boleh aku membeli minuman sebentar? aku haus."
"Ya sudah, tapi jangan lama-lama! Sebentar lagi pesawatnya akan datang."
"Baik" Liana mengangguk.
Liana pergi dari kerumunan orang-orang itu, lalu menuju seorang penjual minuman.
"Mas minuman dinginnya satu!"
"Baik" tukas penjual itu sembari mengambilkan minuman yang dipesan Liana.
"Ini minumannya."
"Terima kasih" Liana membayar harga minuman itu.
Diteguknya minuman itu sekali, dua kali, sampai beberapa kali tegukan hingga habis. Dia menghabiskan minuman itu dalam waktu yang singkat.
"Apa yang harus aku perbuat? Bagaimana caranya aku bersikap?" Otak Liana begitu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang susah ia cerna.
"Kalau seperti ini terus, bisa-bisa kepalaku akan pecah". "AHHH... SIALLL" Liana melemparkan kaleng minumannya untuk melampiaskan kemarahannya.
OOOPPPSS......!!! Sayangnya Liana begitu tepat sasaran, kaleng itu tepat
membentur kepala seorang lelaki yang saat itu sedang melintas didepannya.
Seketika Liana membalikkan wajahnya berharap tidak dicurigai oleh lelaki itu.
"aduh .. Kenapa harus kena orang sih? Kira-kira dia tahu tidak ya? Kalau aku yang melempar kaleng itu?"
"HAY YOU......!" teriak lelaki itu sembari berjalan kearah Liana, sepertinya kali ini keberuntungan tidak berpihak pada Liana.
"Apa dia memanggilku? Semoga saja yang dimaksud itu bukan aku" bibir Liana komat-kamit berdo'a agar bisa terbebas dari pria itu.
"Hai kau, gadis yang memakai baju putih" lelaki itu terlihat berjalan kearah Liana.
"Aduh tamat riwayatku"Liana pun menoleh kearah lelaki itu dengan senyum yang mengembang.
"Anda memanggil saya? Ada apa ya?" ucap Liana dengan pertanyaan bodoh.
"Apa kaleng minuman ini milikmu?" tanya lelaki itu dengan nada tinggi sembari menodongkan kalengnya.
"Emm.. bukan, ini Aku baru saja ingin membeli minuman jadi mana mungkin itu kaleng minumanku" perjelas Liana yang sebenarnya bukan penjelasan yang sebenarnya.
"Lagi pula, kenapa aku harus melemparmu? Kita kan tidak saling kenal" kelaknya sekali lagi untuk meyakinkan lelaki itu, namun tanpa sengaja ucapan terakhir Liana membongkar semua kebohongan Liana.
Sesaat lelaki itu terdiam namun dia terlihat menatap Liana dengan pandangan penuh kecurigaan.
Dengan tatapan seperti itu perasaan Liana menjadi sedikit gugup, dan sesaat Liana menelan ludahnya sendiri.
"Aduh... kenapa dia melihatku seperti itu? Aku jadi takut" resahnya dalam hati.
"Aku tidak pernah bilang jika seseorang melemparku"
"Apa?"
"Darimana kau tahu? jika baru saja aku dilempar kaleng oleh seseorang" tanya sang Pria menyudutkan Liana.
"Iya.. itu.." Liana berkeringat dingin.
"Nona ini kembalian untuk minuman tadi" Pelayan itu memberikan uangnya didepan lelaki itu.
"Ahh.. iya" Liana tersenyum pahit sambil menerima uang kembalian miliknya.
"Bagaimana ini sekarang?"
"Pelayan!"panggil Lelaki itu lantang.
"Aku ketahuan, pasti aku akan digantung hidup-hidup oleh Pria ini" Liana begitu cemas tak karuan, sembari menggigit kukunya agar sedikit tenang.
"Lebih baik aku kabur saja, mumpung dia masih bicara dengan orang itu" Liana melepas sepatunya agar tak terdengar langkah kakinya saat pergi dari tempat itu.
Liana pun terbebas dari pria asing itu dan kembali ketempat semula dimana keluarganya berada.
"Sepertinya wajah pria tadi pernah aku lihat, tapi dimana ya?" gumamnya sembari berjalan kembali ketempat keluarganya berada.
Setelah sesampainya disana ternyata orang yang ditunggu-tunggu telah datang, terlihat dari kejauhan mereka begitu akrab layaknya saudara yang baru bertemu setelah sekian lama berpisah. Liana dengan langkah anggunnya berjalan menuju mereka.
"Liana kenapa lama sekali beli minumannya?"
"Maaf Ayah! Tadi ada masalah sedikit, tapi sudah selesai" terang Liana.
"Bilang saja kalau tidak siap bertemu calon mertua!" sindir Dafina.
"Hay.. sekali saja kau bicara, akan aku tutup mulutmu selamanya" kecam Liana lirih sembari melotot kearah adiknya.
"Sudah-sudah" ibu berusaha melerai mereka berdua yang seperti Tom and Jerry.
"Liana kenalkan ini Paman Hari dan ini istrinya Bibi Tiara" Ayah memperkenalkan sahabat yang masih asing dimata anaknya.
"Selamat datang Paman, Bibi" Liana mencium tangan keduanya secara bergilir.
"Arvin kemarilah!" seru Ibu Arvin.
"Maaf saya terlambat!" terdengar ucapan seorang laki-laki tepat di belakang dirinya.
"Apa ini pria yang akan dijodohkan denganku? Terdengar dari suaranya sepertinya dia pria baik-baik, tapi sepertinya aku mengenal suara itu" batin Liana.
Tak ingin lama-lama penasaran Liana pun mengakhiri acara cium-ciuman tangan dan membalikan badannya tanpa ragu.
Betapa terkejutnya dirinya saat yang dilihat adalah Pria yang terlempar kaleng minumannya, "Itukan pria yang tadi" batinnya seraya berbalik membelakangi Arvin. "aduh.. aku harus bagaimana?"
"Liana perkenalkan ini anak Bibi! Arvin namanya" dengan ragu-ragu Liana merentangkan tangannya tapi kepalanya masih berpaling dari Arvin.
"Apa seperti ini cara kau berkenalan? Tidak mempunyai sopan santun sama sekali" kritik Arvin.
"Arvin apa yang kamu katakan? Cepat minta maaf pada Liana" tegur Ibunya yang merasa ucapan anaknya itu sangat keterlaluan.
"Kenapa aku yang harus minta maaf? Dia memang tidak punya sopan santun sama sekali, lihat saja mana ada berkenalan hanya mengulurkan tangan tanpa menatap orangnya" kritiknya sekali lagi.
"Arvin" tegur Ayahnya.
"Sudah tidak apa-apa memang ini kesalahan Liana" ucap Ayah Liana yang merasa tak enak.
"Liana cepat minta maaf pada Arvin!"
"Maafkan aku" Liana tetap saja tak memalingkan wajahnya.
"Liana" panggil Ayahnya dengan nada marah. Liana menghela nafas panjang sebelum membalikan wajahnya.
"Maafkan aku, atas ketidak sopananku."
"KAU..?!" celetuk Arvin begitu terkejut.
"Dan maafkan aku atas kejadian tadi" ungkap Liana terdengar begitu lesu.
"Jadi kalian sudah bertemu?"
"Iya, gadis ini tadi melemparku dengan kaleng minuman."
"Tadi aku tidak sengaja melempar itu kekepalamu, lagi pula salah sendiri berdiri disana" Liana mencoba untuk membela dirinya sendiri.
"Apa?" Arvin begitu terkejut saat ia dipersalahkan padahal jelas-jelas ia yang menjadi korban.
Sedangkan kedua Ayah malah tertawa begitu keras mendengar apa yang telah terjadi. "Aku yang jadi korban disini, kenapa ucapanmu seolah aku yang menjadi tersangka."
"Siapa yang menjadikan tersangka. Aku hanya membela diri saja, apa itu salah?"
Kedua anaknya tengah bertengkar mulut, malah para Ayah tertawa sembari membahas masa lalu mereka.
"Kamu ingatkan pertama kali kita berkenal?" tanya ayah Arvin mengulas memori lama.
"Iya aku ingat, waktu itu aku marah besar karena kamu bukan saja melempar punggungku dengan kaleng minuman tapi juga membasahi kemeja putihku, padahal saat itu aku sedang terburu-buru untuk interview." Keduanya tertawa bersama seraya berjalan keluar bandara.
"Ternyata mereka berdua tidak berubah, kalau sudah bertemu lupa dengan sekelilingnya. Istrinya pun mereka lupakan" ungkap Ibu Liana.
"Iya" Ibu Arvin membenarkannya ucapan ibu Liana.
"Ayah bisa berteman dengan paman Hari karena kaleng minuman, dan kalian berdua pertama bertemu karena kaleng minuman. Sepertinya kalian berdua memang berjodoh" goda Dafina cengar-cengir.
"Apaan sih anak kecil? Jangan bicara sembarangan!" ucap Liana geram.
"Memang siapa yang bicara sembarangan? Aku bicara sesuai dengan kenyataannya" kelak Dafina.
"Anak ini benar-benar membuatku gila" umpatnya kesal.
"Ayo semuanya, Kita pulang!" pinta Ibu Liana yang berjalan terlebih dulu bersama Ibu Arvin.
"Dafina maukan satu mobil dengan Kakak?" tanya Arvin menawarkan diri.
"Memang boleh?"
"Tentu saja"
"Iya aku ikut dengan Kakak saja. Dari pada dengan perawan tua yang pemarah itu" sindir Dafina sebelum pergi bersama Arvin, meninggalkan Liana sendiri ditengah keramaian orang yang berlalu lalang.
"Ahh.. sempurna. Sekarang bertambah satu lagi pengacau yang akan mempersulit hidupku" gerutu Liana yang berjalan belakangan.
Dan Pertemuan itu pun berlanjut ke makan malam bersama kedua keluarga, makan yang dipenuhi dengan nostalgia masa lalu dan percakapan tentang recana pernikahan.
"Maaf aku ingin pergi kebelakang sebentar" pamit Liana mungkin sudah tidak tahan berada ditengah-tengah mereka yang membahas pernikahan yang tak ia harapkan.
"Aku juga ingin kebelakang" Arvin menyusul.
Liana membasuh mukanya dengan air berharap dapat mendinginkan kepalanya yang sepertinya ingin pecah.
"Ahhh.. kenapa sih hidupku seperti ini? Kenapa keberuntungan tidak pernah berpihak padaku" kesal Liana dengan nada keras dan mulai tersadar bahwa sedari tadi Ia diperhatikan oleh dua gadis yang berdiri tepat disebelahnya.
"Ada apa? Belum pernah lihat orang yang sedang marah?"
"Dasar wanita tidak waras" cetus salah satu wanita itu.
"Memang aku tidak waras. Kalian tidak tahukan bagaimana rasanya dijodohkan? Rasanya seperti terhimpit tembok yang sangat tinggi dua ratus kaki dari kita, sesak sekali" ungkap Liana meluapkan kekesalannya. Lalu tak lama kemudian ia pun memutuskan untuk keluar dari toilet.
"Ada apa dengan wanita itu? Apa wanita itu sudah gila?"
"Mungkin saja" duga keduanya tentang Liana.
Sesaat setelah Liana keluar dari toilet ia telah mendapati Arvin berdiri tepat didepannya.
"Oh ya ampun" sontak Liana terkejut. "Kau mengagetkanku saja."
"Kenapa kau ada didepan toilet wanita?"
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, tapi bukan disini" Arvin menarik tangan Liana dan mengajaknya ketempat yang tak terjangkau oleh kedua orangtua mereka.
"Hai.. sebenarnya kita mau kemana?" Liana berusaha keras melepaskan tangannya dari genggaman Arvin.
"Sepertinya kau yang menginginkan perjodohan ini terjadi" ucap Arvin melepas genggamannya.
"Dengar! disana, ditempat tinggalku. Aku sudah mempunyai seorang kekasih"
"Lalu?"
"Apa kau mau menikah tanpa dasar cinta? Dan punya suami yang sudah punya seorang kekasih?" Liana terdiam sejenak.
"Tak menutup kemungkinan penyakit jantung pak Danu bisa kambuh kembali, jadi saya berharap pada keluarga pak Danu untuk memperhatikan kondisinya dan jangan buatnya merasa stress, ataupun tertekan, buatlah dia senyaman mungkin terhadap keadaan disekelilingnya"
Terngiang kembali ditelinganya, ucapan dokter tentang kesehatan Ayahnya.
"Iya aku mau" jawab Liana singkat setelah melepaskan nafas yang panjang.
"Apa.? Yak! Apa Kau sudah tidak waras? Sebenarnya Kau ini lahir di zaman apa sih?" geram Arvin.
"Menurutmu?"
"Menurutku Kau memang benar-benar tidak waras. Jika Kau masih memiliki akal, mana mungkin dengan mudahnya kau menyetujui perjodohan ini, apa kau tidak mempunyai impian untuk bahagia dengan lelaki yang kau cintai?"
"Semua wanita pasti menginginkan hal itu termasuk aku"
"Lalu kenapa kau masih saja menerima perjodohan ini?" Arvin semakin meninggikan suaranya kerana tak dapat menahan lagi emosi yang meluap dihatinya.
"Mungkin aku bukan wanita seberuntung itu, mendapat pria yang aku cintai dan yang mencintaiku" perjelas Liana.
"Lalu kau sendiri, kenapa tidak menolak perjodohan ini?" timpal balik Liana.
"Aku.." Arvin tak melanjutkan ucapannya malah ia asik dengan ingatan lama yang coba ia putar kembali.
"kalau kamu tidak mau menikah, jangan harap kamu bisa mendapat sepeser pun warisan dari ayah" ancam ayah.
"Kenapa tidak dijawab?"
"Aku.."
"Sudahlah, jangan menyalahkan orang lain! Jika kau sendiri tidak mampu melakukannya" Liana ingin melangkah pergi namun dapat dicegah oleh Arvin.
"Apa lagi?" teriak Liana yang mulai kesal.
"Jadi apa tindakanmu? Apa kau akan pasrah begitu saja? Aku tahu pasti kau juga tidak menginginkan pernikahan ini bukan?"
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, mungkin aku akan menerima perjodohan ini seperti janjiku kepada Ayah."
"Benar kau akan melakukannya? Kau serius?"
"Kau sendiri? Bagaimana denganmu?" tanya balik Liana.
"Aku belum tahu". "Tapi yang jelas aku akan batalkan perjodohan ini tanpa harus ditendang dari perusahaan.
Karena aku tidak mau terikat dengan sesuatu yang sama sekali tidak aku sukai, apa lagi menikah dengan orang sepertimu" Arvin beranjak dari tempat itu.
Liana mendesah nafas berat, "ha... Aku tidak tahan lagi. Kenapa dia senang sekali mencibirku? Memangnya dia siapa? Tampang juga masih kalah jauh dari Aktor favoritku. Tapi tingkahnya seperti orang yang paling sempurna di dunia ini"caci Liana kesal.
"Aku mendengar ucapanmu itu, sekali lagi kau mencibirku, akan aku buat kau menyesal telah mengenalku" Arvin membalikan wajah sesaat lalu melanjutkan langkahnya untuk pergi dari hadapan Liana sedangkan Liana hanya menghela nafas panjang sebelum kembali ke meja makan.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!