Ini adalah season 2 SANG PENGASUH. Yang belum baca, sebaiknya baca dulu ya. Biar dapat benang merahnya.
Cerita kita mulai kembali dari pasangan Ricky dan Safa yang belum genap sehari naik status menjadi suami istri.
Jangan lupa tinggalkan jejak di bawah ya, readers tersayang!
.
.
****
Telepon dari Andina membuat Safa girang bukan kepalang. "Beb, beneran mau lahiran sekarang?" Tapi tak ada sahutan lagi dari sebrang sana.
“Hallo, Safa.”
Suaranya berganti, rupanya telpon diambil alih oleh Arya. Dengan wajah serus Safa membalas iya-iya setiap menanggapi perkataan Arya dari sebrang. Dan akhirnya mereka berjanji untuk bertemu di rumah sakit saja, tak perlu ke rumahnya.
Setelah menutup pintu dan menguncinya, Safa bergegas menuju lemari, dengan tergesa membuka baju tidur yang dipakainya tanpa mengindahkan sekeliling. Cukup lama Safa menimang-nimang memilh baju yang akan dipakai diiringi hariring pelan, hanya dia yang tahu lagu apa yang dinyanyikan. Dasar Safa, dia cuek saja dengan kondisi hanya memakai pakaian dalam saja.
“Astagfirullah hal’adziim”
Safa memekik kaget saat seseorang muncul dari kamar mandi. Ricky yang muncul dari kama mandi, ikut kaget melihat Safa yang tanpa baju.
Baju yang belum dipakai, ditutupkan ke tubuh bagian depan sambil dirrinya undur memepetkan badan ke lemari. "Ya Allah, kok aku bisa lupa kalau aku sudah menikah dengannya," batin Safa.
“Ahh, A Iky awas tutup mata dulu. Eh berbalik aja deh, aku mau pakai baju nih." Safa menahan Ricky yang akan melangkah mendekatinya.
"Sudah gitu aja sayang. Ini kan waktunya buka-bukaan." Ricky menaik turunkan kedua alisnya dibarengi senyum penuh arti. Tanpa bisa dicegah, Ricky mendekati Safa dan memeluknya penuh hasrat.
“Eits, lepas Aa, ayo kita ke
rumah sakit. Andina mau lahiran…” Safa menahan bibir Ricky yang bersiap akan
menyosornya.
“Besok saja kita menengoknya ya!” Bibir Ricky memberontak dari telunjuk Safa yang menghalanginya.
“Ihh nggak bisa-gak bisa , aku sudah saling janji akan menunggui saat momen lahiran. Plis ya ya Aa Iky sayang--" Safa merayu Ricky dengan tatapan memelas disertai usapan lembut ujung jari menyusuri wajahnya.
“Kenapa sih harus melahirkan di malam pertama kita." Ricky mendengus sambil mengurai pelukannya. Tongkat sakti di bawah pusar yang sejak tadi tegak, tidur lagi karena adanya ketukan di pintu. Kini pun kembali tegak tapi harus segera ditenangkan karena belum waktunya meninggalkan jejak di wilayah teritorial.
“Ya mana bisa kita nawar, semua sudah kehendak Allah," sahut Safa melirik suaminya dari pantulan cermin. Ia sudah memakai bajunya dengan cepat saat Ricky berjalan menuju ranjang.
“Sabar, kiita masih punya malam-malam yang lain. Ayo cepet Aa, aku sudah siap!”
Dengan lunglai, Ricky melangkah kembali ke kamaar mandi. " Gerutuan Ricky hanya diteriakkan dalam hatinya saja. Saat ini, ia sedang berupayamembujuk tongkat saktinya agar tidur kembali.
****
“MasyaAllah cantiknya keponakanku." Safa memandang takjub bayi merah yang terlelap dalam gendongan Mama Rita.
“Safa mau gendong?” Mama Rita menyorongkan bayi ke depan Safa. Namun Safa menolaknya.
"Aku belum berani Ma, masih anget bayinya."
“Apaan sih beb, kayak kue baru keluar dari oven." Andina terkekeh dengan kelakar Safa. Ada-ada saja istilah yang dibuat solmetnya itu.
"Fa, sorry ya malam pertamanya jadi terganggu," Andina berbisik pelan saat ada kesempatan berdua dengan Safa.
“Woles aja beb, malam besok juga masih panjang," sahut Safa santai.
Jam dua dini hari, Safa dan Ricky pulang bersamaan dengan yang lainnya. Selama di rumah sakit, Ricky terlampau kenyang diledekin ketiga Cs nya hingga kantuk pun lewat. Diluar ekspektasinya, ia berhasil ikut mengalami kegagalan malam pertama.
Sampai di rumah, hasratnya sudah hilang oleh rasa lelah dan ngantuk yang mendera. Keduanya pun terkapar di ranjang. subuh terbangun hanya untuk sholat, lalu melanjutkan kembali tidur yang belum cukup.
Sore hari kedua,suasana rumah mulai kembali ke semula. Kerabat sudah pulang ke alamatnya masing-masing. Hanya keluarga inti yang kini sedang bersantai menikmati sore.
"Ricky, kenapa buru-buru pindahan. Disini dulu atuh sampai seminggu mah." Mama Lilis kaget mendengar Ricky akan mengajk pindah Safa besok, ke apartemennya.
"Lusa, akku mulai masuk kerja lagi Ma. Soalnya boss Arya belum bisa masuk kantor, masih betah di rumah sama si kecil. Kalau berangkat dari sini terlalu jauh." Selain alasan jauh, tentu saja ada alasan lainnya. Dia ingin bebas berekspresi memperlakukan istrinya. Kalau di sini canggung dengan mertua.
“Biarkan aja Ma, kan sekarang tanggung jawab kita selaku orangtua sudah berpindah ke suaminya. Mau dibawa kapanpun dan kemanapun, itu sudah hak suaminya. Safa wajib nurut." Bapak Sujana ikut berkomentar
“Iya pak. Tadinya mamah masih sono (kangen) sama pengantin. Kalau gitu alasannya sih, Mama nggak bisa nahan."
“Tenang aja Mah, kita nanti akan sering main ke sini kalau libur. Aku juga akan kangen sama ceramah mama,' Safa cengengesan menatap mamanya. Teringat, ia kadang suka usil dengan mamanya,membiarkan baju kotor teronggok di a tas kasur. Alhasil mama Lilis mengeluarkan ceramah panjang soal kebersihan.
"Awas ya Fa, sudah punya suami mah harus berubah," Mama Lilis mengacungkan pisau yang sedang dipakainya memotong semangka. Candaan ibu dan anak itu membuat Ricky tertawa. Hatinya menghangat dan bersyukur, kini memiliki kembali keluarga yang utuh.
Pukul 9 malam, sepasang pengantin sudah undur diri dari ruang keluarga dimana tadi mereka berbincang santai dengan kedua adik Safa bernama Ikbal dan Della.
Ricky keluar dari kamar mandi selesai menggosok gigi, menghampiri Safa yang sedang menyisir rambut hitam sebahu yang tergerai. Ia memeluknya dari belakang.
"Lingerienya pakai ya," Ricky berbisik lirih diiringi kecupankecupan kecil di tengkuk dan belakang telinganya. Sentuhan yang membuat Safa merasakan gelenyar aneh dan merinding.
"Nanti ah dipakainya kalau sudah pindah aja ya, malu pas nejemurnya." Safa terkikik, membayangkan kain tipis dan transparan itu melambai-lambai di tambang jemuran.
“Teh. Teh Safa…”
Suara teriakan panggilan diringi ketukan di pintu, terdengar. "Duh, ada apa lagi sih," Ricky menggerutu. Ia melepas pelukannya karena Safa akan membukakan pintu.
“Ada apa Del?”
Della, adik bungsu Safa yang masih duduk di kelas 6 SD tampak berdiri di balik pintu.
"Teh, si Denok ada di kamar teteh nggak? Della sudah keliling cari-cari nggak ada," adu Della dengan wajah sedih dan khawatir.
"Nggak ada tuh. Kapan hilangnya?" Safa memang tidak melihat si Denok masuk ke kamarnya.
“Tadi magrib Della masih lihat si Denok tiduran di karpet, sekarang nggak ada. Della sudah cari ksemua tempat nggak ada. Tinggal kamar teteh yang harus diperiksa.
“Beneran nggak ada kok. Sok lihat aja kalau Della penasaran."
Safa menyuruh adiknya masuk, biar yakin kalau si Denok tidak ada di kamarnya.
“Nyari apa Del? Ricky yang sedang memainkan ponselnya mendongak, menatap heran adik iparnya yang celingukan.
“Punten ya A Iky, Della masuk ke sini mau cari Denok dulu." Dengan sopan dan polosnya Della permisi minta ijin.
“Siapa Denok?” Ricky menatap Safa meminta penjelasan
"Itu lho, kucing oren betina yang hobinya tidur," jelas Safa.
Ricky geleng-geleng kepala.Ia memang melihat ada dua kucing di rumah ini. Ada-ada saja ngasih nama kucing, batinnya.
“Denok…..Denok…” Della memanggil berulang-ulang, barangkali si Denok bersembunyi.
Meong
Terdengar sahutan dari atas lemari, membuat Della girang. “Alhamdulillah, bener kan si Denok ada di kamar teteh." Della bertepuk tangan.
Safa dan Ricky ikut menengok ke atas lemari. Benar saja, si Denok sedang meringkuk, hanya menyahut saja, kucing oren itu kembali menelusupkan kepalanya ke badan.
"Ya sudah teh biarin aja, yang penting si Denok ada. Bye!" Della langsung ngacir ke luar dengan perasaan tenang
Kini, tinggal safa dan Ricky berdiri saling tatap.
“Gimana nih Aa, mau dikeluarin gak?" Safa meminta saran suaminya
"Keluarin dong. Masa dia mau jadi satpam di kamar kita--" Ricky menaiki kursu untuk meraih si oren. Merasa terancam, si oren terbangun dan memundurkan badannya bersembunyi di belakang lemari. Hampir satu jam negosiasi dengan si Denok, tapi si oren itu tak mau keluar dari persembunyiannya.
"Nyerah ah!' dengan lunglai dan berkeringat, Ricky turun dari kursi.
Safa terkikik melihat suaminya yang berjuang dan kalah oleh si Denok. "Sudahlah aa, biarkan saja si Denok jadi satpam. Kita tidur saja, hanya tidur."
“Ya nasib!’
Ricky menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Tak berdaya dengan nasib malam kedua. Gagal lagi.
Hari masih pagi, baru pukul 6 lebih 15 menit. Tapi langit sudah terang karena sinar mentari yang mulai terbit. Seorang pria dengan setelan hoodie dan celana jogger berlari pelan menuju sebuah rumah yang asri dengan taman yang tertata. Di dalamnya terdapat satu pohon mangga rindang yang belum berbuah karena belum musim.
Dengan keringat bercucuran, Rendi masuk ke dalam rumah langsung menuju ruang makan. Seperti biasa, segelas air putih hangat sudah tersedia di meja, disiapkan sang istri. Jogging pagi minimal 30.menit menjadi rutinitasnya sebelum berangkat praktek ke rumah sakit. Hm, pantas saja badannya selalu bugar dan kekar.
Selesai duduk dengan meminum segelas tinggi air hangat, Rendi berpindah menuju halaman belakang.
"Sayang--" Rendi memanggil Marisa yang sedang berenang. Ia berjongkok di tepi kolam. Airnya yang seolah biru karena pantulan keramik kolam tampak menyegarkan. Suara gemericik air mancur di sudut pilar benteng yang tinggi, dengan aneka tanaman hias menambah kesejukan dan kesegaran mata saat memandang.
Marisa hanya melambaikan tangan. Ia kembali meluncurkan tubuh indahnya dengan gaya dada menuju ujung kolam sepanjang 8 meter.
Byurrr.
Hanya dengan memakai celana dalam dan bertelanjang dada, Rendi ikut menyusul istrinya yang bergerak ke ujung. Marisa bersandar di tepi kolam, tersenyum lebar menunggu kedatangan Rendi yang mendekat padanya.
"Aww--" Marisa memekik geli dan tertawa lepas karena Rendi yang menyelam, memeluk perutnya sambil menggelitiki. Wajah tampannya muncul ke permukaan, mendaratkan morning kiss di bibir sang istri.
Marisa melingkarkan tangannya di leher suaminya itu, membalas pagutan tak kalah panas. Sinar mentari pagi menambah hangat dua sejoli yang saling bertaut bibir, menikmati desiran dan hasrat yang kini mencapai ubun-ubun, menginginkan lebih.
"Naik yuk, sayang!" suara Rendi tampak berat dengan nafas yang memburu. Mereka saling beradu kening, menormalkan kembali tarikan nafas yang tersengal efek ciuman hot yang mereka ciptakan.
"Hubby, baru saja turun. Ayo 2 balikan lagi baru naik!" Marisa mendorong tubuh berotot Rendi hingga bergerak berenang dengan gaya punggung.
Marisa menonton gerak suaminya itu dari atas sambil berjemur di kursi santai pinggir kolam. Selesai menuntaskan berenangnya, Rendi menghampiri Marisa, ikut duduk menempel di sisi kursinya.
"Sayang, ada kegiatan apa hari ini?" Rendi mengusap teteaan air yang jatuh dari rambutnya menimpa pipi mulus istrinya.
"Aku mau ke rumah kak Arya dulu, pengen ketemu baby Aqila. Gemes. Jadi pengen segera punya *bab*y deh." Marisa tersenyum, mengusap perutnya yang masih rata.
"Sabar. Kita jalani dan nikmati saja, jangan jadi beban." Rendi mengecup pipi sang istri dengan mesra.
"Iya Hubby."
"Terus nanti jam 11 aku ada janji ketrmuan sama Mona dan Lula di cafe nya mbak Celine. Sebelum hubby pulang, aku sudah ada di rumah kok." Marisa.mengusap rahang tegas suaminya yang sedikit kasar karena dipenuhi jambang halus yang belum dicukur.
****
Suasana rumah satu lantai bergaya tropis mediterania itu tampak sepi. Asisten rumah tangga sedang berbelanja ke pasar, membeli kebutuhan dapur. Di kamar utama, tuan dan nyonya rumah melanjutkan olahraga pagi di atas ranjang. Bergelut menyalurkan segenap rasa cinta, rasa saling memiliki dan membutuhkan, sekaligus menyemai benih yang semoga kelak menuai buah.
"Terima kasih, sayang." Rendi mengecup bibir Marisa selesai mencapai bersama puncak kenikmatan surga dunia. Rendi menjatuhkan tubuhnya di sisi sang istri, mengistirahatkan sejenak tubuhnya yang berkeringat.
"Hm. Baru saja mandi, jadi mandi lagi deh," ujar Marisa dengan mata terpejam sambil mengatur nafasnya yang masih terengah.
"Coba tadi bercintanya di kamar mandi, kan jadi gak perlu dua kali mandi." sahut Rendi sambil mendekap tubuh polos istrinya di balik selimut.
Marisa memiringkan tubuhnya menjadi menghadap suaminya. "Ya nggak boleh dong hubby. Bercintanya suami istri itu bagian dari ibadah. Dan ibadah itu harus dilakukan di tempat yang suci. Kamar mandi kita memang bersih, tapi tidak suci. Bagaimana mau menghasilkan bibit anak soleh kalau membuatnya aja di sembarang tempat." Marisa langsung sewot menceramahi sang suami yang hanya terlihat rambutnya saja.
Rendi yang membenamkan kepala di dada sang istri tampak tersenyum lebar. Kegemasannya terhadap Marisa ia tumpahkan dengan mendusel- dusel wajahnya di bagian yang empuk nan menghangatkan. Dia bukannya tak tahu, hanya sengaja mengetes Marisa sejauh mana dia tahu soal adab berhubungan suami istri.
Marisa mulai.menguap berkali-kali. Bergelung dalam selimut dan lelahnya usai bercinta membuatnya mengantuk. "Ah, aku jadi ngantuk. Mau bobo lagi ah--"
"Eh-eh nggak boleh tidur lagi sayang, nanti saja siang tidurnya. Ayo aku gendong ke kamar mandi, kita mandi bareng lagi." Tanpa menunggu jawaban, tangan kekar Rendi mengangkat tubuh istrinya. Membawanya ke kamar mandi. Marisa hanya tersenyum manja, pasrah saat suaminya kembali menyalakan shower air hangat mengguyur tubuh keduanya.
Selesai sarapan pagi, Marisa mengantar Rendi sampai teras dengan membawa jas putih tersampir di lengannya. Celana panjang hitam berpadu kemeja navy lengan pendek, membungkus tubuh proporsional Rendi yang tampan dan fresh look.
"Awas ya hubby, kalau ada emak-emak ganjen jangan tebar pesona, jangan diladeni!" Marisa memberikan jas putih khas profesi dokter itu diiringi ultimatum. Resiko punya suami dokter tampan, jadi bahan halu emak-emak juga perempuan lajang yang melihatnya. Mungkin, salah satu penyebab pasiennya banyak karena pesona sang dokter yang ramah plus tampan.
Rendi terkekeh menanggapi istrinya yang menjadi posesif jika sudah berhubungan dengan perempuan yang suka tebar pesona terhadapnya.
"Siap kanjeng ratu. Satu bidadari sepertimu sudah cukup memenuhi relung hati, memberikan ketenangan dan kenyamanan untukku. Untuk apa melirik wanita lain di luaran." Rendi mengedipkan matanya. Dicubitnya dagu lancip istrinya dengan gemas.
"Kamu juga sayang, nggak boleh tebar pesona sama cowok-cowok teman kampus atau cowok manapun. Nanti aku suntik mati cowok itu!" Rendi balas mengultimatum sang istri yang tentu saja dengan suasana becanda.
"Siap pak dokter,.hamba akan patuh!" Marisa mengangkat tangan kanannya memberi tanda hormat. Keduanya kompak tertawa bersama dengan kelucuan yang mereka buat.
Marisa mengecup punggung tangan suaminya yang dibalas Rendi dengan kecupan mesra di keningnya. Senyum manis dan lambaian tangan mengantarkan Rendi yang keluar melajukan mobilnya menuju rumah sakit tempatnya praktek pagi. RSIA AMINAH.
Sebuah motor ojol berhenti di depan gerbang, saat Marisa akan menutupnya. Bi Titi, asisten rumah tangga baru datang dari pasar dengan membawa dua kantong belanjaan.
"Biar bibi yang nutup neng," bi Titi yang baru turun dari motor mencegah Marisa yang akan mendorong pintu gerbang. Biasanya itu menjadi tugas mang Musa, hanya saja dia sedang mengantarkan beras ke Rumah Singgah Silih Asuh milik Andina.
"Sayang, aku mau ke cafe sekarang aja. Anterin ya!" Celine meminta ikut sekalian William berangkat ke kantor. Ia lagi malas membawa mobilnya sendiri. Celine memoleskan kembali lipstik di bibirnya selesai sarapan pagi.
William yang sedang menyesap kopi hitam yang masih mengepulkan asap panas menoleh ke sang istri. "Kenapa berangkat pagi?" herannya.
"Siang ini ada yang booking private room untuk birthday party. Orang decor akan datang jam 8."
William mengangguk mengerti.
Cafe Zero, yang baru launching sebulan yang lalu adalah ide pasangan suami istri tersebut. Celine memilih resign dari pekerjaannya sebagai asistant manager di salah satu perusahaan smartphone ternama karena tekanan pekerjaan membuatnya stres juga kurangnya quality time bersama William dikarenakan keduanya sama-sama sibuk. Celine dengan kesadaran sendiri memutuskan keluar demi keharmonisan rumah tangganya. Hingga akhirnya tercetus ide membuka cafe yang mendapat 100% persen dukungan dari William.
Selama 2 bulan sebelumnya, Celine menghabiskan waktu untuk riset dan belajar secara privat dari chef profesional untuk menciptakan menu yang menjadi andalan dan ciri khas cafenya.
Usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Baru sebulan launching, cafenya sudah menjadi topik di media sosial karena memiliki spot-spot foto yang menarik juga menu food and bavarage yang khas.
Dengan saling berpegangan tangan, William dan istrinya meninggalkan apartemen tempatnya tinggal. Mobil melaju menembus jalan raya yang mulai padat di jam berangkat kerja.
"Nanti pulang kerja ke sini kan?" tanya Celine saat mobil sudah terparkir di depan cafe.
"Tentu, honey. Sejauh apapun aku melangkah, kamu adalah tempatku pulang." William menaik turunkan alisnya dengan senyum tipis tersungging.
"Hadeuh pagi-pagi sudah ngegombal," Celine memutar bola matanya jengah. Ia sudah tak aneh dengan gombalan receh yang dilakukan William, karena terlalu sering jadi tidak membuatnya klepek-klepek yang ada malah membuatnya gemas pengen nimpuk.
"Aku berangkat dulu ya. Hari ini akan lembur, paling sampai sini jam 8."
Celine menganggukkan kepalanya. Ciuman kilat di bibir menjadi kebiasaan keduanya sebelum berangkat kerja. Celine berdiri melambaikan tangannya saat mobil William bergerak meninggalkan parkiran.
...****...
Orang tua dan adiknya Safa ikut mengantar kepindahannya ke apartemen. Ricky mempersilakan keluarga barunya untuk melihat-lihat suasana di dalamnya. Kombinasi warna putih dan abu tegas menandakan sang pemilik adalah seorang pria.
"Hm. Ruang seluas ini cuma ditinggali sendiri, nggak takut apa, Ky?" tanya Bapak setelah mengitari semua sudut unit apartemen Ricky.
"Takut sih nggak, pak. Cuma nggak ada teman ngobrol aja. Lagian aku ada di rumah cuma malam aja. Kadang nggak pulang karena tugas ke luar kota," jawab Ricky.
"Bapak sama Mama nginap aja dulu. Di sini ada dua kamar kok." Ricky menawarkan mertuanya untuk menginap. Lain di mulut lain di hati. Duh semoga Bapak menolak, aku kan pengen berduaan dulu.
"Iya pak, kita nginap yuk. Mama pengen merasakan tidur di apartemen kayak apa. Pengen lihat juga pemandangan Bandung di malam hari." Mama Lilis langsung menyahut dengan semangat.
"Lain kali aja Ma. Nanti malam kan mau ada tamu ke rumah." Bapak mengedipkan matanya saat menantunya lengah. Ia memberi kode istrinya itu agar mengerti. Biarkan pengantin baru menikmati momen berduaan.
"Aa Iky, kalau mau main kelereng di mana? Della nggak lihat ada tanah."
Pertanyaan polos Della membuat semuanya tertawa. Anak bungsu itu memang tomboy, mainannya bukan boneka. Tapi mainan anak cowok. Ditambah Safa mengaturnya jadwal bermain gadget, tidak dibiarkannya memegang gadget seharian.
"Kalau apartemen nggak ada halaman Del. Ini ibarat rumah yang di susun ke atas." Jelas Ricky. Dia jadi ingat masa kecilnya dulu juga senang bermain kelereng.
Usai kebersamaan keluarga sampai sore, kini tinggallah Ricky dan Safa berdua. Ricky membantu Safa membereskan pakaiannya ke dalam lemari. Menata perlengkapan make up di meja rias.
"Mulai sekarang aku serahkan segala urusan dalam negeri sama kamu, Mofa. Setiap ruangan mau di tata ulang atau ganti cat atau mau membeli perabot dapur, pokoknya terserah Mofa." Ricky memeluk Safa dari belakang. Mencium wangi rambut sang istri yang menguarkan aroma segar apel.
"Mofa apa sih Aa?" Safa mengernyit. Dua kali Ricky mengulang menyebutnya Mofa. Ia menatap suaminya itu dari pantulan cermin, karena mereka masih berdiri di depan meja rias.
"Itu panggilan kesayangan aku untuk kamu. Mofa artinya mommy Safa. Keren kan?" Ricky tersenyum menaikkan kedua alisnya, balas menatap Safa dari pantulan cermin.
Safa malah terkikik. "Kerennya dimana ya, kok aku malah geli dengernya," Safa menahan tawanya dengan menutup mulut. Sehingga bahunya jadi terguncang-guncang.
"Mofa, kamu mah susah ya diajak romantis!" Ricky mendecih pura-pura kesal.
"Iya-iya maaf. Terserah Aa aja deh. Yang penting suamiku ini seneng--" Safa menolehkan wajahnya. Mengecup sekilas bibir Ricky agar tidak lagi mengkerut.
"Wah, udah mulai mancing-mancing ya. Ayo kita lanjut!" Tanpa aba-aba Ricky menggendong Safa menuju ranjang. Safa yang protes minta turun langsung terdiam karena mulutnya dibungkam oleh bibir Ricky.
"Aa, stop dulu. Sebaiknya kita sholat sunah dulu sebelum melakukannya ya?" pinta Safa dengan lembut. Ia menahan bibir Ricky dengan telunjuknya sebelum menjelajah ke area lainnya.
"Kamu benar Mofa. Ayo kita wudhu!" Ricky meraih tangan Safa untuk bangun dari posisi telentangnya.
Berjamaah, keduanya melakukan sholat sunah 2 rakaat, sebelum melakukan hubungan badan untuk pertama kalinya. Sepenggal do'a Ricky panjatkan kepada Allah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Memohon kebaikan dan ketenangan untuk rumah tangganya.
Akhirnya, tidak ada lagi yang akan mengganggu.
Ricky berbaring sambil tersenyum lebar menatap langit-langit kamar. Ia menunggu Safa yang sedang mengganti pakain sesuai requestnya. Dua kali gangguan sudah dilaluinya. Mungkin memang harus ranjang ini yang menjadi saksi penyatuan cinta, pikirnya. Lampu temaram dihidupkan, menambah kesyahduan suasana ruang kamar.
Ricky duduk termangu saat tahu-tahu Safa sudah berdiri di dekat ranjang. Ia datang diharudung sarung, persis orang yang sedang keliling ronda, untuk mengusir hawa dingin. Padahal Ricky sudah membayangkan, Safa keluar dari kamar mandi berjalan bak model cat walk dengan lingerie yang menggoda iman.
"Mofa, kenapa malah pakai sarung gitu. Buka sarungnya!" Ricky geleng-geleng kepala dengan kelakuan konyol istrinya itu.
"Aku malu Aa, bajunya menerawang." Safa merajuk menahan sarung yang sudah terbuka sampai bahu. Tapi Ricky menggelitiki pinggangnya, sehingga sarung berhasil melorot ke bawah. Sejak kemarin, Ricky jadi tahu kelemahan istrinya itu. Safa tidak tahan dengan rasa geli.
Pemandangan indah terbentang nyata di depan Ricky. Ia terpaku mengagumi keelokan tubuh dibalik busana tertutup yang biasa membungkus tubuh gadis itu sehari-harinya. Busana wajib muslimah yang menjadi simbol kehormatan seorang wanita saleha.
"Aa, jangan diliatin terus. Aku malu--" Safa berusaha menutup dada dan mahkota bawahnya yang membayang di balik kain transparan, dengan kedua tangan. Wajahnya sudah sangat memerah karena malu dan gugup karena Ricky memandanginya dengan tatapan mendamba.
Tanpa kata, Ricky meraih kedua tangan Safa dan mengecupnya mesra lalu menuntunnya menuju ranjang.
Bismillah, Allahumma jannibnaasysyaithoona wa jannibi syaithoona maarozaqtanaa.
Dalam keheningan malam, keduanya melirihkan do'a sebelum berhubungan suami istri. Safa dengan pasrah menerima sentuhan-sentuhan lembut suaminya. Pelan tapi pasti, Ricky berhasil menembuskan tongkat saktinya. Menancapkan ciri di wilayah kepemilikannya. Dikecupnya mesra kelopak mata Safa yang terpejam dan tampak masih meringis menahan sakit karena upaya pembobolan tadi.
"Terima kasih Mofa sayang. Kamu sudah menjaganya untukku." Ricky mengelus lembut rambut Safa. Kembali mengecup pipi mulusnya penuh sayang. Ia kini berbaring memeluk sang istri, menyalurkan kenyamanan sampai keduanya terlelap dalam tidur yang tenang.
...Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari gangguan syaitan dan jauhkanlah syaitan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami....
...000000000...
...Jangan lupakan jejak like, coment dan vote nya ya ! 😍😍😍...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!