NovelToon NovelToon

Secret Girl

Chapter 1

(Jane...)

"No."

"Say yes."

"No."

"Please say yes."

"No!"

"Just say yes Jane!"

"Never, Dean.."

Aku menatap pria di sampingku dengan wajah datar, tanganku melambai-lambai di udara dengan lemas. Pria itu tersenyum padaku dan meraih bahuku, dengan satu gerakan ia memutar badanku untuk berhadapan dengannya. Mataku melihat ke arah bola matanya yang berwarna navy dengan bulu mata yang tergolong panjang untuk ukuran pria. Tangannya mendekapku mendekat dan terus menerus tersenyum padaku. "Jane..." panggilnya lembut.

Aku menghela nafas dan mendorong bahunya pelan dengan harapan aku bisa lepas dari tangannya dan berjalan kembali ke arah rumah. Tapi tangannya yang kuat menahanku dan menarikku semakin mendekati tubuhnya. Aku mengerang kesal saat merasakan hidungku menghantam benda keras di hadapanku dan baru kusadari itu adalah dada bidangnya.

"Dean Joseph Curtis.. Aku sudah bilang aku tidak mau.." kataku dengan menatap matanya pasrah. Ia memutar kedua bola matanya dan pandangannya jatuh lagi kepadaku.

"Jane Carter Bells.. Ayolah hanya kali ini saja." Ia meniru nada bicaraku dan menatapku dengan penuh permohonan. Aku membuka mulutku untuk meluncurkan protesku lagi namun aku mengurungkan niatku begitu melihat bayangan hitam di belakang pohon dekat rumahku. Mataku membesar dan melihat Dean dengan panik. Dean menatap ke arah bahunya dan mencoba mencari tahu aku melihat apa.

"Dean, masuk ke dalam rumah terlebih dahulu oke?"

Aku mendorong Dean dengan cepat dan memaksanya untuk masuk dengan sedikit kasar. Dean nampak protes dari jendela rumahku dan memintaku membuka pintu yang baru saja aku kunci. Aku mengabaikannya dan kembali berjalan mendekati pohon tadi.

Sebuah tangan menarikku ke arah semak-semak tinggi dan menahanku. Tanpa menunggu apapun lagi aku menahan tangan pria itu secara refleks dan memukul perutnya dengan sekuat tenagaku.

"Aw!"

Suara berat milik seorang pria itu berhasil membuat otakku mengenalinya.

"Jack!" Aku melihat ke arah Jack dan melepas tangannya dan dengan gerakan cepat aku memeluknya sangat erat hingga kami terjatuh ke rumput. Jack Andrew Bells adalah kakakku yang lebih tua 2 tahun dariku, wajahnya sama persis denganku sehingga kami sering dianggap kembar. Aku sudah tidak melihatnya sejak 2 tahun yang lalu saat ia dikirim untuk bertugas dalam misi rahasia.

Jack membalas pelukanku dan tertawa riang, “lama tidak berjumpa Jane!”. Kami berdiri dan aku menatapnya dengan perasaan bahagia. Ia mendekati telingaku dan berbisik pelan. "Selena ingin bertemu denganmu sekarang."

Perkataan itu berhasil membuat perasaan bahagiaku lenyap begitu saja. Aku mengerang pelan dan berjalan mengikutinya yang membawa kami ke jalan rahasia di dekat jalan sempit yang tidak jauh dari mini market. Jack menekan beberapa kode dan menarik jemariku untuk di-scan. Tidak lama kemudian pintu terbuka dan kami berjalan masuk. Mataku meneliti setiap tempat dan aku melihat Selena berdiri di dekat triple monitor yang sangat besar dan meminta beberapa orang mengawasi setiap pergerakan di CCTV kota. Aku sangat iri melihat Selena yang memiliki postur tubuh yang sangat proposional. Mata hijau mudanya melihat ke arahku dan melambaikan tangan, ia menoleh pada salah satu orang dan memberikan sedikit perintah sebelum akhirnya berjalan ke arah kami.

"Hai Jane!" Ia memelukku singkat dan menunjukan jalan ke salah satu ruang yang dipenuhi komputer pada setiap meja. Jujur saja aku paling benci ruangan ini, menurutku radiasinya sangat kuat dan tinggi, tetapi Jack menolak pendapatku dan memaksaku menyusuri setiap data di sana sewaktu ia pergi.

Selena menyalakan salah satu monitor yang berada di bagian depan dan memperbesar setiap foto yang ada. "Okay. Dia William Charles Curtis, seorang professor molekul dengan laboratorium yang cukup terkenal di tempat ini dengan nama Curtis Co Cooperation."

CCC... Aku sangat sering mengejek Dean dengan nama itu.. kataku dalam hati.

Mataku melihat seluruh deretan huruf, angka, kode, foto yang tampil pada layar monitor tersebut.

"Dan dia memintaku untuk melindungi anaknya."

Mataku melebar begitu melihat foto Dean yang di ambil secara diam-diam. Aku tahu itu diambil diam-diam karena Dean tidak pernah mau berfoto dengan siapapun kecuali aku. Foto itu menunjukan kalau ia sedang bercanda dengan James sahabatnya, tetapi di-zoom sampai wajahnya.

"Dean.." kataku pelan sambil melihat profil Dean yang mulai tampil di layar monitor.

Selena dan Jack menoleh padaku dan tersenyum kecil. "Kami mengetahui kau dekat dengan Dean. Jack dan kedua orangtuamu setuju jika kau mendapatkan tugas ini." Ia menarik nafas sejenak dan memberikanku setumpuk kertas. "Misimu kali ini adalah melindungi Dean sampai ayahnya kembali. Kau tentu tahu Dean adalah seorang prodigy dan gifted child. Ia dapat memecahkan berbagai code script hanya sekali baca. Lawanmu adalah orang yang kita tidak ketahui tetapi sedang kami lacak. Ia mengaku namanya Zero dalam setiap pesan yang diterima oleh William. Zero ingin William dan Dean memecahkan code script nuklir dalam bentuk molekul yang sangat berdampak buruk. Kau akan dibantu dengan Jack dan Nathaniel dalam hal berbahaya. So.. Good Luck.". Selena menepuk pundakku pelan dan aku mengangguk.

Aku membaca tumpukan kertas itu dan melihat ke arah Jack saat ia sedang berbicara pelan dengan Selena. Tanganku meraih handphone-ku yang bergetar di saku blazer seragam sekolahku. Mataku membesar begitu melihat nama yang muncul di layar.

**Dean. **

Aku mengingat adanya larangan untuk mengangkat telepon atau menelepon dengan handphone pribadi dalam lingkungan agensi utama maupun sub-agensi lainnya yang ada. Aku melangkahkan kaki untuk keluar agensi dengan cepat lalu mengangkat telepon ini, "halo?".

"JANE CARTER BELLS!"

Aku menjauhkan handphone-ku dan melihat Jack yang berjalan keluar dengan topi hoodie yang ada di kepalanya.

"Dean..."

"Cepat kembali Jane! Aku tidak mau dikunci dalam rumahmu untuk kesepuluh kalinya."

Aku tersenyum tipis dan mengikuti Jack yang berjalan di depanku. Jack menggeleng pelan dan melihat handphone-nya untuk melihat notifikasi yang telah ia lewatkan.

"Aku akan kembali dalam waktu 5 menit." Aku tertawa pelan dan mempercepat langkahku mendahului Jack ke arah rumah kami.

---

Dean menatapku kejam saat aku membuka pintu. Aku bahkan dapat merasakan aura di sekitarnya gelap karena ia kesal denganku. Aku tersenyum dan memberikan kopi kesukaannya yang masih hangat, berharap ia menerima permintaan maafku. Jack tersenyum melihat Dean dan berjalan masuk ke arah kamarnya tentu saja mengabaikan percakapan kami sebisa mungkin. Aku menutup pintu dan merasakan tangan besarnya meraih pundakku. Dalam satu hentakan aku berbalik ke arahnya. Dean menatapku dengan pandangan yang masih sama, sesekali ia membuka bibirnya dan menutupnya lagi sampai akhirnya ia menghela nafas dan pandangannya berubah terhadapku. Tangan besarnya meraih punggungku dan memelukku dengan erat seperti tidak ingin dipisahkan denganku. Kepalanya beristirahat di atas kepalaku. Aku dapat merasakan nafasnya yang mengenai rambut coklat pekat milikku. "Kau tahu harus berkata apa Jane.."

Aku menghela nafas dan menutup kedua mataku mengistirahatkan kepalaku di bahunya. "Okay.. Aku setuju pergi denganmu di acara sekolah lusa. Puas?"

Aku dapat merasakan Dean tersenyum lebar tanda kemenangan dan melepas pelukannya tanpa melepas tangannya di bahuku. Ia meraih tanganku dan tersenyum konyol. Aku memutar kedua bola mataku dan menatapnya lagi dengan sedikit senyum yang menghias wajahku. "Okay. Aku jemput jam 7."

Kali ini alis mataku terangkat sebelah dan menatapnya dengan menyipitkan kedua mataku. "Kau tinggal di sini selama ayahmu dinas Dean. Kenapa kau harus menjemputku?"

Aku melihat wajah Dean yang berubah ekspresi dan menepuk keningnya pelan. Tangannya meraih kepalanya dan menatapku. Ini dia sifat Dean yang tidak pernah berubah. He is prodigy but always forget something.. Aku menepuk kedua pipinya pelan dan tersenyum ke arah Jack yang sudah menggunakan apron dan siap menyiapkan makan malam. “Mari makan untuk menenangkan perut~”

---

Chapter 2

(Jane...)

Dean menarikku ke arah papan pengumuman sekolah yang berada di pertengahan lorong antara murid spesial dan murid umum. Mataku menatap Dean pasrah dan menggeleng saat melihat sebuah brosur yang sangat dinanti Dean terpajang rapi di dalam sebuah kaca. "Aku tidak bisa.." kataku begitu ia menunduk sedikit untuk melihatku.

Matanya menatapku dengan datar dan sedikit terganggu dengan perkataanku. Aku memutar kepalaku dengan cepat dan mengangkat jemariku untuk menunjuk tanggal dan jam yang ada pada brosur tersebut. "Ayahku memintaku untuk melakukan sesuatu hari itu." Aku tidak berbohong kali, ayahku memintaku untuk mendatangi CCC untuk meneliti segala berkas yang akan dilenyapkan oleh ayahnya Dean. Dean menatapku dengan wajahnya yang kecewa, ia tahu jika ayahku sudah mengeluarkan perkataan apapun itu, pasti aku akan menurutinya. "Aku ikut denganmu?" katanya singkat.

Aku menggeleng dengan cepat dan menatapnya. "Nope.."

Dean membuka mulutnya dan hendak berbicara namun terhenti saat James menepuk pundaknya pelan dan membetulkan tasnya yang hendak jatuh. "Hai!"

Life Saver! kataku dalam hati sambil tersenyum dan melepas tangan Dean yang dari tadi masih berada di pergelanganku.

Dean menepuk pundak James pelan dan menjauhkan James yang berada di dekatnya dengan tampang terganggu. Aku nengambil langkahku pelan dan berjalan mundur selagi mereka berbicara dan begitu kusadari aku sudah berada di dekat tangga, aku berlari dengan cepat menuju ruang kepala sekolah dan membuka pintu kayu besar yang ada di depanku.

"Mom.." kataku pelan begitu melihat ibuku berdiri di dekat jendela.

Wajahnya berputar ke arahku dan menatapku dengan bola mata birunya yang sangat membuatku iri! Tahukah kalian kenapa alasan sebenarnya aku iri? Aku dan Jack berasal dari keluarga yang sama dengan aliran darah dari ayah dan ibuku tapi hanya Jack yang menuruni bola mata berwarna biru laut ibuku. Ayahku berwarna hijau cerah seperti rumput hijau yang ada di halaman rumah kami, sedangkan aku memiliki bola mata berwarna coklat gelap seperti batang pohon yang kokoh.

“Bisakah aku menghubungi dad?”

Pertanyaan itu membuat ibuku berjalan ke arah salah satu rak buku yang tepat berada di belakang meja kerjanya. Ia menarik salah satu tablet yang ada di sana dan menyalakannya. Aku melihat layarnya menyala gelap dan muncul tulisan ZO-1 yang merupakan nama agensi kami. Ibuku menekan 8 digit angka yang ada di kolom password dan beberapa saat kemudian scan jemari di butuhkan. Ia menekan beberapa menu hingga akhirnya aku melihat sebuah nama di layarnya. Nicholas Andrew Berrlyne.

“Ya Kate?” suara berat muncul di layar beserta gambar ayahku.

Good, video call...!

“*Dad*!” aku tersenyum melihat ayahku tertawa kecil dan memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Hai Sweetheart! Ada apa?”

“Hmm aku hanya ingin bertanya tentang kegiatan besok, aku harus mencari data apa?” Aku mengeluarkan handphone-ku yang bergetar di saku blazerku.

Dean.

Aku menghela nafas dan memasukkannya lagi di saku blazerku.

“Dean?” ayahku melihat ke arahku dengan senyum usil yang menghias wajahnya.

“Sudah kubilang Nick! Dean dan Jane sangat cocok!” kali ini giliran ibuku mengibas-ngibas tangannya di udara dan tertawa kecil. Aku menatap mereka berdua secara bergantian dan menggeleng. “Mustahil.” kataku dengan tegas membuat mereka berdua berhenti dan kembali serius.

“Data yang kau butuhkan adalah sebuah file print out dan file di folder rahasia mereka. Jack dan Nathaniel akan membantumu mengakses ke database CCC.”

Hacker... Aku memutar kedua bola mataku dan mengangguk.

Tuk Tuk Tuk..

Aku dan ibuku menoleh ke arah pintu dan membalik tablet di meja dengan cepat saat melihat kepala Dean mengintip dari celah pintu. Ia menatapku dengan pandangan yang tergolong mengangguku. “Jane..” katanya pelan.

“Oh! Dean! Ayo masuk-masuk! Aku baru saja ingin membuat teh untuk Jane..”

Aku memutar kepalaku dan melihat ibuku menuang teh di cangkir putih bercorak bunga-bunga kesayangannya.

Nice.. pikirku sambil tersenyum kecil.

Dean berjalan masuk dan meraih bahuku. Aku dapat merasakan tangannya mencengkram bahuku dengan keras dan hal itu membuatku yakin ia kesal karena aku menjauhinya seharian ini. “Tidak, terima kasih Mrs. Bells. Bolehkan aku membawa Jane sekarang?”

Aku memberi kode pada ibuku untuk menolak permintaan Dean tapi ibuku mengabaikanku. Ia menatap Dean dengan senyumnya yang lebar dan mengangguk. Hal ini membuat Dean melihat ke arahku yang dari tadi memunggunginya. “Ayo kita pergi Jane.” katanya dengan senyum paksaan yang di pasang di wajahnya sebagai topeng dan memaksaku berdiri. Tanganya meraih pergelangan tanganku dan menarikku keluar ruangan.

Aku merasa terseret kali ini. Kakinya yang panjang membuat langkahnya sulit untuk diikuti. Tangannya terus menerus mencengkram pergelangan tanganku dengan sedikit kasar. Berkali-kali aku menghentakan tanganku supaya ia bisa melepaskannya tetapi selalu gagal. Ia terus menerus menarikku hingga kami berada di taman belakang dekat pohon rindang yang biasanya menjadi tempat kami untuk makan siang saat istirahat. Ia melepaskan tanganku dan berbalik melihatku dengan sedikit amarah yang terpancar dari kedua bola matanya. “Aku sudah bilang jangan pergi kemanapun tanpa aku Jane!” Bentaknya dengan nada kesal.

Aku menarik nafasku dan mencoba mendinginkan kepalaku. Aku tidak ingin bertengkar dengannya, aku menatap kedua bola matanya dengan serius. “Dean. Aku sudah berumur 18 tahun. Aku bisa menjaga diriku.”

Tangan besarnya meraih kedua pipiku dan memaksa wajahku untuk menghadap wajahnya begitu aku ingin menatap kearah lain dan beranjak pergi. “Ingat hari dimana kau nyaris diculik Jane?”

Perkataannya membuatku berpikir kembali tentang kejadian itu. Beberapa bulan lalu, saat aku mendapatkan tugas rahasia tentang rencana perusakan sebuah perusahaan nuklir terbesar di kota ini. Beberapa pembunuh bayaran di sewa hanya untuk membunuhku karena aku memegang folder rahasia mereka. Pembunuh itu menyerangku saat aku berjalan kabur dari sekolah. Dean melihatku dan langsung memanggil beberapa security untuk menyelamatkanku. Sejak saat itu Dean selalu berada di sampingku dan tidak mau menjauh dariku. Aku menutup kedua mataku dan diam, menikmati setiap kegelapan yang ada di pikiranku tentang hari buruk itu.

“Aku mencemaskanmu Jane...” perkataan Dean yang lembut membuatku membuka mataku lagi dan menatap Dean. Tanganku meraih kedua tangannya dan membawanya ke depanku. Aku meremas tangannya pelan dan menatap tangan besar miliknya itu. “Aku baik-baik saja Dean..” Aku berusaha meyakinkan dia dan membuatnya tidak khawatir padaku. Karena inilah tugasku, sebagai agent rahasia dengan rank B, aku harus siap menghadapi apapun yang ada di hadapanku walaupun nyawaku sendiri sebagai taruhannya. Dean tidak tahu identitasku yang asli dan jika ia tahu aku yakin dia akan menjadi over-protective. Aku tahu dia bukan siapa-siapa di hidupku. Kami hanya teman masa kecil yang berteman sampai kami berumur 18 tahun. Keluargaku adalah agent rahasia yang bekerja aktif di lapangan kecuali ibuku, ibuku berhenti dari agent lapangan dan menjadi chief analyze yang menjalankan misi di belakang layar dan menjalankan sekolah aman ini.

Nama belakangku dipalsukan demi keselamatanku, nama belakang asliku bukan Bells, tapi Berrlyne.

“Jane?” suara berat Dean berhasil mengambil alih pikiranku. Aku kembali menatapnya dan tersenyum. Ia menatapku dengan tatapan curiga. “Kau menatap tanganku lebih dari 3 menit.”.

Mataku membulat dan dengan cepat aku melepas tangannya dan menarik tanganku ke belakang punggungku. Aku tersenyum sebisaku dan melihat jam tangan kecilku yang melingkari pergelangan tangan kiriku. “Ayo ke kelas Dean.” Aku berjalan duluan dan merasakan dia mengikuti dari belakang dalam keheningan yang panjang...

---

Aku menatap Jack dan Nathan bergantian dengan pandangan tidak percaya. Aku membetulkan kembali sebuah microphone kecil yang melingkari telingaku dengan kabel tipisnya. Jack memberikanku sebuah USB Flash Drive dan memasukkannya ke kantung kecil yang melingkar di pinggangku. “Kalian pasti bercanda..” kataku sambil menepuk keningku pelan dan melihat ke bawah gedung.

Nathan menggeleng dan melihatku dengan tampang datarnya. “Nope.”

Aku memutar pandanganku ke arah gedung dan sesekali memainkan tali yang terpasang di pengaman bajuku. “Jack-"

“No comment sis! Nathan akan membantu kita dari atas karena firewall CCC berada di lantai paling atas. Tugas kita turun ke lantai 10 untuk menembus database utama.” Jack mengibas-ngibaskan tangannya di udara, “Now!” ia melompat dari pinggir gedung dan mendarat mulus di balkon lantai 10.

Aku menggeleng dan menelan ludahku dengan pelan begitu melihat ia berjalan masuk ke dalam gedung.

“Just Jump.”

Aku menatap Nathan dengan kejam berusaha membunuhnya dengan tatapan mataku sebelum akhirnya aku melompat ke tempat Jack. Aku melepas tali tersebut dan berjalan menyusul Jack yang sudah mengelabuhi beberapa penjaga. Mataku menyusuri setiap lorong gelap dengan teliti berusaha mencari ruangan utama atau ruangan kendali. Mataku menangkap Jack memberikan kode kalau ruangan yang aku cari ada di hadapannya. Dengan gerakan cepat aku menghampirinya dan membuka pintu itu secara perlahan dan mengintip ke dalam.

Kosong.

Aku melompat ke dalam dan duduk di depan komputer di meja tersebut. Tanganku mengetik beberapa code script dan menyadap database di sana.

“Jane. Copy semua folder di folder berjudul X dan lenyapkan semuanya.”

Aku mendengar suara Nathan dari microphone dan mengangguk.

Aku berhasil menembus kekebalan firewall dan penjagaan database lainnya dengan bantuan Nathan dalam beberapa menit aku keluar dan berjalan bersama Jack yang berhasil menemukan jalan pintas untuk keluar dari gedung ini. Kami bersama-sama kembali ke agensi dengan data copy-an yang aku pegang. Selena memberikan data tersebut ke Alex, salah satu analyze agent dan memberi kabar kalau data itu hanya 1 dari 20 yang dibutuhkan Zero. Aku mengutuk diriku dengan kesal dan tenggelam dalam pikiranku. Jack dan Nathan sudah memulai pemikiran mereka tentang semua kemungkinan yang ada, mulai dari kemungkinan diambil lawan atau disimpan secara terpisah. Tanganku meraih rambutku dan mengikatnya menjadi ponytail sampai akhirnya sebuah ide muncul di pikiranku.

“Apakah kemungkinan code script disimpan di Dean?” pertanyaan itu membuat semua mata menatapku dengan kaget. Jack menggeleng dan menatapku serius. “Mustahil Jane, jika Dr. William menyimpannya pada Dean sama saja seperti bom bunuh diri.”.

“Tapi Dean seorang anak prodigy dan gifted child. Dia bisa saja memanipulasikan kodenya.” perkataanku membuat Selena mengangguk setuju dan memainkan jarinya di monitor yang aku tidak tahu apa yang ditampilkan di layarnya. “Jane, tolong kamu selidiki Dean dan segera melaporkan apakah data tersebut ada pada Dean atau tidak. Jack dan Nathaniel tolong kalian selidiki tentang keberadaan data lanjutannya.”.

Kami bertiga mengangguk dengan kompak dan mencoba mencari data-data di komputer yang ada. Nathan membantuku menembus ke dalam database komputer Dean yang ada di rumahnya hanya dengan beberapa koneksi internet dan code manuscript. Hacker memang hebat.

Mataku menyusuri setiap data yang ada di dalamnya tetapi tidak menemukan apapun yang berhubungan dengan data yang kami cari. Jack menembus sistem komputer yang mencatat perpindahan data dan Nathan sendiri menyadap CCTV yang ada di CCC.

“Adam Lanventine Monrow melakukan pertukaran data dengan komputer utama minggu lalu!” Jack menunjuk-nunjuk layarnya dengan antusias.

“Adam Lanventine Monrow adalah assisten ketiga Dr. William.” Nathan menambahkan informasi dengan cepat.

Adam Lanventine Monrow... Nama itu sangat tidak asing bagiku.. kataku dalam hati sambil mencoba berpikir keras di mana aku pernah mendengar nama tersebut.

Aku dapat mengingat beberapa kali nama itu disebut-sebut. Aku menjentikan jemariku berusaha memanggil kembali ingatan itu sampai akhirnya mataku terbuka lebar dan menatap Selena. “Adam Lanventine Monrow adalah saudara jauh Dean..".

--

Chapter 3

(Dean..)

Aku menyandarkan punggungku pada dinding di belakangku. Sesekali aku mengintip jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tanganku untuk melihat jam. Jariku mengetuk kaca pada jam tanganku dengan bosan sebelum akhirnya memutuskan untuk mencari perempuan itu. Perempuan misterius yang selalu membuatku khawatir.

Tanganku meraih handphoneku di saku dan menekan phonebook untuk menghubungi perempuan keras kepala dan misterius itu.

"Halo?"

Aku menghela nafas lega begitu mendengar suaranya, "di mana kau?"

"Aku? Hmm.. Sekolah?"

Aku mengernyit dan menyadari sesuatu, lagi-lagi ia berbohong. "Jangan bohong."

Aku mendengar ia menghela nafas singkat lalu berdecak,  "fine. Aku sedang di cafe bersama Conner."

"Aku akan ke sana."

"Tidak. Jangan ke sini sebelum aku menyuruhmu ke sini."

"Kenapa?"

Ia mengerang lalu berdecak. Aku bisa membayangkan ia sedang menggoyang-goyangkan tangannya dengan malas lalu menatap sadis apapun yang berada di depannya. Itu ciri khasnya ketika sedang mencari alasan. "Pokoknya tidak."

Aku tertawa kecil dan mengangguk. "Okay. Telpon aku jika butuh sesuatu."

------

(Jane..)

"Bagaimana?" Aku berbalik ke arah Jack dan Nathan yang sedang berkutat dengan komputer. Mereka sedang menganalisa kode untuk mengaktifkan program-program yang menurutku tidak menarik. Aku memutar kedua bola mataku saat mereka berdua tidak merespon pertanyaanku. Mereka hanya saling beradu pendapat mengenai kode itu. Sesekali Jack memukul Nathan dengan bantal tebal milik Nathan. Oh! Kita sedang berada di rumah Nathan untuk menganalisa kode yang berhasil kita dapatkan. Jack memilih rumah Nathan karena Nathan memiliki teknologi sangat lengkap dan canggih.

"Guys." Aku menepuk bantal di pangkuanku dengan malas, namun tidak ada respon untukku. Aku berdeham dan memanggil mereka sekali lagi. Hasilnya pun tetap sama.

"Hello?!" Aku berteriak cukup keras untuk menarik perhatian mereka. Nathan dan Jack menoleh ke arahku dengan kompak lalu menatapku dengan tatapan kalau mereka merasa terganggu atas kehadiranku.

"Bagaimana dengan Adam? Lalu code?"

"Adam masih diselidiki begitu juga dengan code." Nathan mengangkat bahunya singkat lalu kembali menatap komputernya.

"Nice talk.." gumamku pelan lalu berdiri. Kuputuskan untuk meninggalkan mereka dan mencoba mencari kesenanganku sendiri. Aku meraih handphone-ku dan menggunakan jaketku kembali lalu berjalan keluar rumah Nathan.

Aku menyusuri jalanan dan memutuskan untuk melihat-lihat toko-toko di sekitar cafe Conner. Sudah lama aku tidak jalan-jalan selayaknya remaja normal, jadi akan kunikmati sekarang. Mataku menganalisa setiap kaca-kaca besar toko sepanjang jalanan yang menampilkan produk terbaik mereka.

Aku berhenti sejenak saat melihat sepatu yang menurutku menarik. Sepatu itu berwarna merah maroon gelap, dengan model mirip converse. Aku menimbang-nimbang sesuatu di kepalaku lalu memutuskan untuk masuk ke dalam toko tersebut. Tanganku meraih sepatu yang kulihat tadi dan mulai mengecek apakah sepatu itu cukup fleksibel untuk pekerjaanku yang kadang mengharuskan kakiku untuk bekerja extra, terutama di segala kondisi, baik itu hujan, lumpur, berpasir, dan lain-lain agar sepatu itu tidak terbeli sia-sia.

"Janetta!"

Aku memutar kedua bola mataku begitu mendengar seseorang yang selalu memanggilku dengan nada dan nama aneh. "Jangan memanggilku begitu James. Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali." Aku memutar sepatu itu di tanganku ke arahnya seolah-olah siap melemparkan sepatu itu kapan saja ke wajahnya. Ia tertawa dan mengambil sepatu di tanganku. "Sorry, habit.. So.. Di mana Dean?"  Ia menganalisa sepatu yang ia ambil lalu memberikannya lagi padaku.

"Baby sitting.." jawabku asal sambil berjalan ke arah pegawai toko yang memperhatikan kami. "Ukuran 36?" kataku kepada pegawai toko ini. Ia mengangguk singkat lalu berjalan ke arah belakang kasir, tempat gudang stock sepatunya berada.

"Serius? Baby sitting?!" James menatapku dengan horor.

Aku tertawa dan menepuk pundaknya pelan. "Aku bercanda James Bond. Apa yang kau lakukan di sini?"

Ia tertawa terpaksa lalu berjalan ke arah belakangku. "Membeli sepatu basket. Team kita akan bertanding."

Aku membuka mulutku pelan saat memikirkan sebuah pertanyaan, namun belum sempat kukatakan pertanyaanku, James sudah tersenyum kecil.

"Dia ikut. Dean dalam team.." potong James cepat seperti ia mengetahui dengan benar apa yang akan kupertanyakan.

Aku mengangguk pelan lalu menghampiri pegawai yang sudah mengambilkan sepatuku. Aku berjalan ke kasir lalu menunggu pegawai tersebut memasukan barcode untuk harga sepatuku. Mataku menyusuri deretan perlengkapan olahraga di belakang kasir dan menangkap satu wristband yang menurutku bagus untuk Dean. Bagus untuk mendukungnya supaya menang. Itu gunanya teman masa kecil bukan?

"Hmm, bisakah aku melihat yang itu? Yang berwarna biru navy." Aku menunjuk wristband yang ada di belakangnya.

Ia mengambilnya dan memberikannya padaku, "yang ini?" tanyanya singkat untukku yang kuajwab dengan anggukan kepala.

"Wow. Jadi ini hadiah penyemangat?" James mencondongkan kepalanya di sampingku lalu bersiul.

Aku mendorong wajahnya mundur lalu menatapnya datar. "Berisik." Aku memutar badanku lagi lalu memberikannya pada pegawai tersebut. Aku membayar barang belanjaanku lalu berjalan keluar tanpa memperdulikan James yang memanggilku beberapa kali.

------

Aku merapatkan jaketku dan menyandarkan punggungku pada dinding di belakangku. Mataku menganalisa hujan yang sedang turun dengan lumayan deras. Jika aku dalam misi tentu aku akan berlari sampai tempat yang aman. Tapi ini bukan misi jadi aku akan menunggu saja. Beberapa menit kemudian, aku menghela nafas panjang begitu menyadari hujan ini akan bertahan sangat lama.

"Lebih baik aku pulang saja." gumamku pelan.

Aku menggenggam barang belanjaanku dengan kuat lalu berlari menuju cafe Conner berada. Kurasa Conner memiliki beberapa payung extra yang bisa kupinjam.

Langkahku terhenti saat melihat seseorang berdiri di hadapanku dengan sebuah payung di tangannya. Ia berdecak lalu menggeleng-geleng melihatku. Mataku membulat begitu otakku dapat memproses siapa dia. Ia berjalan mendekatiku lalu menarikku mendekatinya.

"Sudah kubilang untuk menghubungiku jika membutuhkan sesuatu." Ia mengeluarkan saputangan dari sakunya lalu mengusap wajahku pelan. "Lihat kau sampai basah sekali. Kenapa tidak meneleponku untuk sebuah payung?!"

Ia mengambil barang belanjaanku lalu matanya bertemu dengan mataku sekali lagi. "Kau harus membayar segalanya." Ia berdecak lalu menatapku kesal. "Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini? Ah, kau ini.."

Aku menunduk dan bersandar pada bahunya, "maaf...." kataku dengan tulus.

Ia menepuk pundakku pelan lalu mengacak rambutku, "ayo pulang." Ia tersenyum sambil menarikku ke arah mobilnya.

Saat itulah aku mulai menyadari bahwa Dean memang seorang pria bukan teman masa kecilku lagi. Ia sudah bertumbuh menjadi dewasa dibandingkan aku yang masih berpikiran seperti anak kecil..

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!