Seorang gadis berlari menyusuri jalan setapak yang berliku. Tangan dan kakinya kotor, pelipisnya bahkan berdarah. Namun sepertinya semua itu tak jadi halangan untuk menghindari kejaran dari beberapa laki-laki berbadan kekar.
Napasnya tersengal saat ia berhasil menapakkan kaki di sebuah jalan besar. Gadis itu, mengambil napas dalam. Matanya melihat ke kanan dan kiri jalan. Namun tak ada satupun kendaraan yang lewat, karena memang jalan itu bukanlah jalan raya yang biasa dilalui banyak kendaraan.
Sampai beberapa saat ia menunggu tak ada satupun mobil atau motor yang lewat. Claretta, gadis itu kembali mendengar suara orang-orang yang tadi mengejarnya.
Wajahnya kembali panik. Claretta dengan cepat bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Telinga yang tajam berusaha mencuri dengar, apa yang orang-orang itu bicarakan.
"Sial, kemana perginya perempuan itu?"
Claretta memegang erat tali tas selempangnya. Ia sangat takut jika persembunyiannya diketahui mereka.
"Bos bisa marah besar, kalau kita gagal membawa perempuan itu."
"Mungkin dia lari ke sana?"
Ketiga laki-laki berpakaian serba hitam itu kembali berlari, meninggalkan tempat itu. Gadis itu menghela napas lega. Perlahan ia keluar dari tempat persembunyiannya.
"Pa, harus banget ya, pergi ninggalin Retta dengan setumpuk utang? Retta lebih baik ikut mama sama papa, daripada harus nyerahin harga diri Retta buat laki-laki itu."
Claretta menyeka sudut matanya yang sudah berlinang air mata. Ia mendongak menatap langit yang mulai gelap. Rasa lelah menghinggapi tubuhnya yang kotor penuh dengan tanah dan darah. Sesekali Retta meringis saat ia mengusap telapak tangan yang dipenuhi luka goresan.
Ia terpaksa berlari masuk ke dalam hutan untuk menghindari para preman bayaran tadi. Retta bukanlah gadis yang suka meninggalkan tanggung jawabnya. Namun dengan keadaannya sekarang, mana mungkin Retta dapat melunasi hutang milyaran yang ditinggalkan papanya.
"Bagaimana caranya aku pulang?"
Ia melihat sekeliling. Ia bahkan tak tahu di mana saat ini dirinya berada. Retta merogoh kantong tasnya, ponselnya tidak ada. Mungkin hilang saat ia lari tadi, ia mengambil beberapa lembar uang dari sana.
"Hanya 20 ribu, nggak bakal cukup untuk naik taksi sampai ke kota."
Retta menunduk, air matanya membasahi sepatu kets putih yang sudah berubah warna menjadi coklat. Sepatu buluk itulah yang menjadi teman setianya menjalani hari.
"Woi, bocah!"
Retta menoleh. Matanya melebar seketika saat laki-laki serba hitam itu sudah berada di belakangnya. Retta memasukan uang itu kedalam saku jeansnya dan ia bersiap kembali berlari.
Para preman bayaran itu, terkejut saat melihat Retta kembali berlari. Padahal sepertinya gadis itu sudah kehabisan tenaga.
Baru saja Retta berlari beberapa langkah. Tanpa sengaja sebuah mobil Pajero hitam metalik, menabrak dirinya dari arah berlawanan.
Ciiitttt
Brukkk.
Claretta yang sudah kehabisan tenaga itu ambruk tak sadarkan diri. Tepat di depan mobil tersebut, yang terpaksa harus berhenti mendadak.
Para preman itu berhenti tak jauh dari tempat kejadian. Meraka saling pandang, bingung. Melihat Retta tak bergerak, mereka mendadak ketakutan. Karena merekalah yang menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan tersebut.
Tanpa basa-basi lagi, ketiga laki-laki berbaju hitam itu meninggalkan Retta yang masih tak sadarkan diri.
"Kenapa?" tanya laki-laki yang duduk di kursi penumpang.
"Sepertinya kita menabrak orang, Tuan!" jawab sang supir dengan wajah cemas.
Laki-laki yang dipanggil tuan itu keluar dari mobil. Ia berputar ke arah depan, memastikan apa yang dikatakan oleh supirnya.
"Angkat dia!"
Supir itu mengangguk dan memasukkan Retta ke dalam mobil, tepat ke kursi depan.
Mobil kembali melaju menuju sebuah hotel berbintang di kota itu. Bahkan sampai di hotel, Retta tak kunjung membuka mata.
Laki-laki yang tadi menolong Retta sengaja membawanya ke kamar yang ia sewa selama beberapa hari ini. Ia bahkan sampai memanggil dokter untuk mengobati luka pada tubuh Retta.
"Tuan, apa anda yakin akan membiarkan dia tidur dengan anda?" tanya asisten pribadinya dengan nada khawatir.
"Ya, biarkan dia di sini!"
Matahari mulai merangkak naik, bersiap memulai tugasnya hari ini. Retta terbangun dari tidur panjangnya. Kepalanya terasa berat. Ia meraba pelipisnya yang telah terbalut perban, begitupula kedua telapak tangannya yang semalam berdarah.
Retta melihat sekeliling ruangan, berwarna putih dan biru. Kamar itu begitu mewah, lalu kenapa ia bisa berada di situ. Retta memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia ingat kalau semalam ia tertabrak mobil, tapi setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi.
Perlahan Retta menoleh ke samping, seketika matanya terbuka lebar. Ia sangat terkejut saat mendapati seorang laki-laki tampan tertidur dengan nyaman di sampingnya. Matanya kembali dibuat melotot saat melihat laki-laki itu tak memakai baju. Kemudian Retta beralih membuka selimut, ia melihat badannya sudah berganti memakai baju tidur lengan pendek dan celana sepaha. Pertanyaannya apa laki-laki itu yang menggantikan bajunya?
Retta beringsut turun dari tempat tidur dengan hati-hati agar laki-laki itu tak terbangun. Pandangan menyapu ruangan mencari seluruh pakaian dan tasnya. Tapi semuanya telah raib. Ia menghela napas pelan, namun tatapannya tertuju pada meja nakas di sampingnya. Di sana terdapat dompet, kunci mobil dan handphone. Sepertinya milik laki-laki yang tadi tidur dengannya.
Perlahan ia mendekati barang-barang itu, tangannya terulur mengambil dompet tebal itu. Ia membukanya, sesekali ekor matanya melirik laki-laki tampan itu takut jika dia terbangun. Mata Retta melihat pada KTP yang terpampang di bagian depan dompet.
"Elang faresta, malaikat elang dong?" gumam Retta saat membaca nama yang tertera di KTP tersebut.
Kini matanya beralih pada lembaran uang merah di sana. Senyumnya mengembang, ia menarik lima lembar uang seratus ribuan. Setelah itu ia mengembalikan dompet itu ke tempatnya.
Retta mengambil secarik kertas dan menuliskan beberapa kata di sana. Setelah itu ia meletakan kertas di bawah ponsel lelaki itu.
Kemudian ia mengambil sweater hoodie yang tersampir di sandaran sofa. Retta memakai sweater yang terlihat kebesaran di badannya, namun ia tak perduli. Ia menutup kepala dengan rapat. Setelah merasa aman ia keluar dari kamar itu. Tepat di depan pintu, ia menoleh sekali lagi, melihat laki-laki yang masih nyaman dalam buaian mimpi.
"Terimakasih!"
Elang mengerjabkan matanya beberapa kali, saat sinar matahari itu mengganggu tidurnya. Dengan mata masih tertutup, Elang meraba bantal di sampingnya. Kosong, ia membuka mata saat tempat itu tak berpenghuni. Rasa kantuknya tiba-tiba hilang saat gadis yang ia tolong semalam tidak ada di sana.
Elang bangkit, ia berjalan menuju kamar mandi. Pemuda itu menempelkan telinganya di pintu, namun hening yang ia dengar. Tidak ada tanda-tanda orang sedang menggunakan kamar mandi itu. Ia memutuskan untuk membuka pintu itu dan benar saja. Kamar mandinya kosong, bahkan lantainya kering. Seperti belum ada yang memakainya.
Elang kembali menuju tempat tidurnya. Ia mengambil handphone di atas nakas dan segera menghubungi asistennya. Namun belum juga telepon tersambung, tanpa sengaja ia melihat secarik kertas di tempat ia mengambil ponsel tadi. Tangannya terulur mengambil kertas itu. Ia mulai membacanya dengan rasa penasaran.
"Kak, Mas, Om. Aku nggak tahu harus memanggil kamu apa? Tapi yang pasti aku berterimakasih karena kamu sudah menolong aku. Maaf aku tidak bisa mengucapkannya langsung padamu karena aku harus segera pergi. Oh iya, Mas Elang yang tampan. Aku pinjam uang sama sweaternya ya. Buat ongkos pulang sama beli sepatu, lagian Mas buang sepatu dan baju kesayangan aku sih. Sekali lagi terimakasih! Claretta."
"Dasar gadis aneh!" gumam Elang, bibirnya tersenyum tipis sangat tipis.
"Karena kamu sudah meminjam uangku, suatu hari aku akan menangihnya!"
Dentuman suara musik terdengar menggema di dalam gedung berlantai empat itu. Suara riuh manusia mengiringi alunan musik yang di mainkan oleh seorang disc jockey atau DJ. Para penikmat musik tanpa henti menggoyangkan tubuh seiring alunan dentuman musik.
Sebagian dari mereka ada yang hanya sekedar minum-minum ditemani beberapa para wanita cantik dan seksi yang sengaja bekerja di sana menjajakan tubuh mereka kepada para lelaki hidung belang.
Namun berbeda dengan gadis cantik yang tengah asik bergoyang di belakang sebuah meja besar yang terdapat beberapa alat DJ di depannya. Dengan sebuah headset besar menutup kedua telinganya. Badannya terus meliuk menikmati irama musik, sesekali ia berteriak seraya melompat-lompat di tempatnya.
Sekitar dua jam lebih, ia memainkan berbagai alat musik khusus DJ itu. Keahliannya dalam memainkan alat musik itu sudah tidak diragukan lagi. Karena sudah sejak dua tahun lalu ia menggeluti profesi sebagai disc jockey. Walau profesi itu rentan dengan masalah karena ia harus berbaur dengan berbagai macam orang.
Terkadang bahkan sering para lelaki hidung belang menginginkan tubuhnya, tapi gadis itu tak pernah goyah. Ia tetap pada pendiriannya. Bahwa kehormatannya di atas segalanya.
~
"Tuan, nyonya meminta anda untuk menemuinya nanti malam!"
Elang mendengus mendengar perkataan Doni, asisten pribadinya. Ia memalingkan muka dengan kesal.
"Perjodohan lagi?"
Doni mengangguk pelan, menanggapi ucapan tuannya.
"Mami belum menyerah juga?" gumam Elang dengan bibit tersenyum sinis.
Padahal sudah berulang kali Elang menolak Perjodohan yang diajukan sang mami untuknya. Andai saja bukan Sera, gadis manja itu yang dijodohkan dengannya. Mungkin Elang akan berusaha menerima. Tapi pada kenyataannya, maminya tetap menginginkan Sera yang menjadi menantunya.
"Aku akan pergi, jika mami tanya katakan saja kalau kau tak tahu ke mana aku pergi!" Elang beranjak dari tempat duduknya. Ia meninggalkan Doni yang masih berdiri di dekat meja kerjanya.
"Baik, Tuan!" memang tak ada pilihan lain selain menjawab iya bagi Doni. Karena setiap perkataan Elang adalah mutlak dan siapapun tidak bisa membantahnya.
Mobil sport itu berhenti di parkiran sebuah klub milik temannya. Elang keluar dari dalam mobil. Tanpa menghiraukan beberapa pengunjung yang berpapasan dengannya, mereka menatap kagum pada penampilannya yang selalu terlihat memukau walau tubuhnya hanya terbalut pakaian casual.
"Wih bos kita sudah datang nih!"
Begitu ia sampai di meja bartender, Elang langsung disambut oleh Adrian sang pemilik klub yang merangkap sebagai bartender. Tidak seperti biasanya, hari ini Elang mengiyakan ajakan teman-temannya untuk datang ke klub itu.
"Kusut banget tuh muka?" tanya Rasya temannya yang lain.
Mereka adalah ketiga sahabat yang sudah sejak masih duduk di bangku sekolah. Elang berdecak, ia meminum wine yang baru saja disodorkan oleh Adrian untuknya.
"Klub lo rame banget?"
Elang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepertinya ia sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Rasya tadi.
"Makanya, elo tuh sering-seringlah main ke sini. Sejak dua tahun lalu elo nggak pernah ke sini lagi?" kini Adrian beralih memutari meja dan ikut duduk bersama kedua temannya.
"Gue sibuk." jawab Elang acuh.
"Sibuk nyari cewek yang kabur saat di hotel sama lo?" Rasya terkekeh mengingat bagaimana terobsesinya Elang untuk menemukan gadis itu.
Adrian menggeleng dengn bibir terlipat menahan tawa. Mungkin hanya ia dan Rasya saja yang faham pada perasaan Elang. Walau dari luar terlihat cuek namun sebenarnya pemuda itu sangat baik dan begitu penyayang. Begitu juga akan perasaan cintanya, walau seribu kali Elang menolak untuk mengakui jika ia sudah jatuh cinta pada gadis itu, tapi kedua sahabatnya yakin bahwa Elang sudah menetapkan hatinya pada gadis misterius itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!