"No! Mom! Aku tidak ingin menikah."
"Angga, kamu sudah hampir berkepala tiga! Mama ingin segera menggendong cucu. Kalau kamu tidak menikah juga, Mama akan jodohkan kamu dengan anak sahabat Mama!" Santi meninggalkan putra semata wayangnya dengan kesal.
"Ma... Mama gak bisa maksa Angga buat nikah." Angga menatap mamanya yang telah meninggalkannya sendirian di ruang keluarga.
"Bagaimana caranya agar Mama tidak memaksaku untuk segera menikah?" batin Angga.
"Permisi Tuan, ada sekretaris Bije di luar menunggu Tuan," ucap Asih, asisten rumah tangga.
"Ya, terima kasih Bi." Angga mengambil beberapa berkas perusahaan, lalu ke luar menemui sekretaris sekaligus sahabatnya.
"Angga! Kau lama sekali..." ujar Bije.
"Panggil aku Tuan, ini masih jam kerja. Kau harus profesional!" Angga menatap Bije dengan dingin.
"Ya, Tuan Angga. Mari, jam 10 ini ada meeting bersama perusahaan PT. ERK Sejahtera," tutur Bije dengan senyuman yang terpaksa.
"Hem!" Angga mengangguk. Mereka berdua masuk ke dalam mobil.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 27 menit. Mereka telah sampai ke tempat tujuan. Rays Drc, adalah nama perusahaan yang di dirikan oleh Angga Pratama. Perusahaanya cukup besar di Indonesia. Hingga perusahaannya menempati peringkat 3 besar di Indonesia.
***
"Bibi, tolong ambilkan tas makeupku!" ucap Tasya, sambil memakai sepatunya.
"Ini Nona," Ratih menyerahkan tas make up milik Tasya.
"Terima kasih Bi," Tasya mengambil tas itu, lalu memeluk Ratih. "Bibi yang terbaik!" bisiknya.
Ia tersenyum, "Hati-hati Non!" katanya.
"Oke! Bi, aku pergi ya?! Dadah Bi!" serunya.
Tasya menaiki mobil merahnya. Tasya sampai di perusahaan milik mendiang ayahnya. Perusahaan ini dijalankan oleh pamannya.
BRAK!
"Astaga Tasya! Kau mengagetkan Paman! Ketuk pintu dulu, sebelum masuk. Paman kan sering mengatakannya." Romi menatap keponakannya, dahinya mengernyit.
"Paman ini," Tasya menghampiri pamannya.
"Paman, kapan aku akan bekerja di sini? Paman bilang kalau aku sudah berusia 20 tahun, aku akan menjadi bosnya di sini?!" Tasya berkacak pinggang menatap pamannya.
"Tasya, kamu masih kekanak-kanakan. Paman tidak bisa menyerahkan tanggung jawab besar padamu."
"Paman ini, aku sudah dewasa! Bukan anak-anak." Tasya mengerucutkan bibirnya.
"Paman selalu berbohong!" Tasya menghentak-hentakkan kakinya, lalu pergi meninggalkan ruangan CEO.
BRUK!
"Tasya!" Romi menatap pintu yang tertutup rapat.
Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku. Saat ku harus bersabar dan terus bersabar. Menantikan kehadiran dirimu, - suara ponsel Tasya.
"Ya? Ya? Hallo!" Tasya menempelkan ponsel di telinganya.
"........"
"Oke, aku segera ke sana."
"........"
"What?! dalam 5 menit?"
"........"
"Beri aku waktu 10 menit. Aku bakal ngebut!"
"........"
"Oke, Bye!" Tasya mematikan ponselnya, ia berjalan cepat menuju mobil merahnya.
Tasya melajukan mobilnya, sampai akhirnya ia sampai di tempat yang ia tuju.
"Tasya, cepat ke sini!" Erys mengayun-ayunkan tangannya ke udara.
"Iya tunggu!" Tasya bejalan mendekati Erys.
"Cepat bantu aku, kau kebagian merias dua orang pagar ayu." Erys mengajak Tasya masuk ke ruangan rias.
"Melly, Cinta, kalian akan dirias sama Kakak Tasya ya?" gadis-gadis berusia 14 tahunan itu mengangguk.
"Hallo? Siapa yang mau dirias duluan?" tanya Tasya.
"Cinta!/ Melly!" sahut mereka berdua bersamaan.
"Eits! Kakak jadi bingung?! Bagaimana kalau kalian suit? Yang menang akan dirias duluan sama Kak Tasya," ujarnya. Mereka mengangguk, lalu melakukan suit.
"Aku duluan Kak," kata Melly.
"Oke, Cinta... karena kamu kalah suit. Kamu harus menunggu Melly ya? Jangan marah." Kata Tasya.
Tasya merangkum wajah Cinta. "Kak Tasya pasti akan membuat kalian terlihat sangat cantik. Oke?!" sambungnya.
"Oke, Kak Tasya..." jawab Cinta.
Tasya mulai merias wajah Melly. Pertama-tama, ia menyemprotkan setting spray, lalu dilanjutkan dengan yang lainnya.
"Memang, akad nikahnya dimulai jam berapa?" tanya Tasya memecah keheningan.
"Jam 10 Kak," jawab Melly.
"Oh, jadi sekitar satu jam lebih lagi ya?!" Tasya mengangguk-angguk, ia mulai memakaikan bedak ke wajah cantik Melly.
Tasya meriasi wajah Melly. Lalu menata rambutnya. Setelah selesai, kini giliran Cinta yang dirias. Tasya mengoleskan make up ke wajah Cinta dengan sabar. Memang sudah hobinya merias wajah. Kini, hobinya itu bisa menghasilkan uang. Dari pada menunggu pamannya yang tidak jelas akan menyerahkan jabatannya atau tidak?!
Tasya selalu mendatangi kantor tempat pamannya bekerja hampir setiap hari. Namun, selalu tak ada hasil. Akhirnya, suatu hari Tasya bertemu dengan Erys sang MUA. Karena kepandaian Tasya dalam merias, Tasya selalu diajak Erys untuk membantu pekerjaannya.
"Yup! Sudah selesai!" Tasya menatap kedua pagar ayu yang ia rias dengan tangannya sendiri. "Wah... kalian sangat cantik!" pujinya.
"Terima kasih Kak Tasya!" seru mereka berdua.
***
Sore hari yang begitu melelahkan. Meski begitu, Tasya merasa sangat senang. Tasya melajukan mobilnya dengan kencang.
Ciiittt!
"WTF!" Tasya keluar dari mobilnya. "Cih! Kau manja sekali!" Tasya menepuk-nepuk mobilnya.
"Hah..." Tasya menghela nafasnya. "Mengapa kau harus bocor di saat-saat seperti ini?!" Tasya menggerutu pada mobil merahnya. "Mana bengkel jauh!" Tasya merogoh tasnya, lalu mengambil ponsel.
TUT...
TUT...
TUT...
Nomor yang anda tuju, tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi,- bunyi ponselnya.
"Paman ini selalu tidak ada saat aku membutuhkan bantuan!" Tasya menggerutu lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Tahu... tahu bulat, digoreng dadakan, lima ratusan, gurih-gurih nyoi... - suara rekaman pedagang tahu bulat.
"Mas!!" Tasya melambaikan tangannya. Mobil itu berhenti, dan Tasya menghampiri mobil tukang tahu bulat itu.
"Tahu bulatnya sepuluh ribu ya, Mas?!" ucapnya sambil menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah. "Yang masih anget," tambahnya.
"Siap Neng!" tukang tahu bulat itu dengan cepat memasukkan tahu bulatnya ke dalam kantung plastik. "Bumbunya apa-apa saja Neng?" tanya tukang tahu bulat itu.
"Semuanya saja Mas!" serunya.
Tukang tahu bulat itu memasukkan berbagai bumbu, "Siap!" tukang tahu bulat itu menyerahkan kantung plastik berisi tahu bulat pada Tasya.
"Terima kasih Mas!" Tasya kembali ke mobilnya. Tasya duduk di dekat mobilnya. Ia memakan tahu bulat itu dengan lahap. "Tahu bulat memang enak!" gumamnya.
"Sebaiknya aku pulang naik taksi?!" Tasya mengambil ponselnya. "What?!" ia menghela nafas panjang. "Gak mobil, gak ponsel sama-sama menyebalkan!" Tasya menatap ponselnya yang mati.
Tasya menatap jalanan, banyak mobil yang berlalu-lalang. Namun, tak ada satupun taksi atau angkutan umum yang melewatinya. Akhirnya Tasya memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki.
"Hah!" nafas Tasya mulai tak beraturan. Mungkinkah penyakitnya kambuh?
TIT!!
Tasya menengok ke belakang. Tasya baru tersadar kalau dia berjalan hampir ke tengah-tengah jalanan.
"Hei! Kau mau mati ya?!" teriak seseorang.
"Ma-maafkan saya Paman!"
"Paman??" orang itu mendekati Tasya. "Apa aku terlihat seperti pamanmu?" tanya orang itu.
Tasya menggeleng, "Tidak Paman!"
"Hei gadis kecil! Aku ini bukan pamanmu!" bentak orang itu.
Tasya menggembungkan pipinya, "Aku juga bukan anak kecil Paman! Umurku sudah 21 tahun," ujarnya.
"Hahaha!" orang itu tertawa. "Hei kau, Nona! Jangan memanggilku Paman, jika tak ingin kupanggil gadis kecil!" orang itu berkacak pinggang.
"Baiklah Om!"
"Hei!!!" orang itu melotot. "Jangan panggil aku Om!"
"Oke... Tuan!" jawabnya.
"Nah, itu lebih baik," katanya.
"Tunggu! Apa yang kau lakukan di sini?" tambahnya.
"Tentu saja berjalan Tuan, apa Tuan katarak?" Tasya memiringkan kepalanya dan menatap Tuan tampan yang ada di depannya.
"Shit!" umpatnya. "Maksudku, apa yang kau lakukan di tengah jalan? Apa kau mau bunuh diri? Hah?!"
"Tuan tampan. Sudah kubilang, kalau aku sedang berjalan. Bukan bunuh diri!" Tasya ikut berkacak pinggang.
Orang itu menghela nafas panjang, "Nona, mengapa tadi kau berjalan di tengah jalan?" tanyanya dengan manis.
"Oh itu, asmaku kambuh Tuan. Jadi, aku tidak fokus pada jalanan, "jelasnya.
"Tuan? Bolehkah aku menumpang di mobilmu?" tambahnya.
"Apa?? Kau sudah hampir membuatku celaka. Sekarang malah minta menumpang?!" gerutunya.
Tasya tersenyum manis, seperti orang yang tak bersalah, "Ku mohon Tuan, antarkan aku pulang. Bagaimana kalau asmaku kambuh? Nanti, malah bertemu orang seperti Tuan lagi..." bujuknya, matanya memelas kasihan dan berkedip-kedip imut. Siapapun yang melihatnya, pasti akan luluh... mungkin?
"Tidak bisa!" bentaknya.
"Ku mohon Tuan, ban mobilku bocor. Jadi, aku terpaksa jalan kaki. Kalau Tuan mengantarku pulang. Aku akan membayar Tuan seratus ribu? Gimana Tuan?"
"Cih! Aku tidak butuh uangmu. Pergilah! Aku sibuk!"
"Hei, Paman ini sombong sekali!" Tasya mengerucutkan bibirnya.
"Apa kau bilang?!! Sudah kubilang jangan memanggilku dengan sebutan Paman!" bentaknya sambil mencengkram tangan Tasya.
Tasya melepaskan tangannya dari cengkraman orang itu. "Tuan ini, tampan-tampan tapi galak!" ucap Tasya dengan ketus.
"Terserah!" orang itu meninggalkan Tasya, dan masuk ke dalam mobilnya.
"Selamat tinggal Tuan galak! Jangan sampai kita ketemu lagi!" teriak Tasya, melambai-lambaikan tangannya ke arah mobil yang ditumpangi orang itu.
"Dih! Siapa juga yang ingin bertemu dengannya lagi!" gumam orang itu.
***
Happy reading 🥰
Tasya masuk ke dalam rumahnya. Ia melempar tasnya ke sofa. Lalu duduk, mengistirahatkan tubuhnya.
"Nona, baru pulang?" tanya Ratih, dibalas anggukan oleh Tasya.
Ratih menuangkan air ke dalam gelas. "Nona, minumlah..." ia memberikan gelas itu kepada Tasya.
"Terima kasih, Bi..." Tasya langsung meminum air itu.
"Bi? Tolong suruh Pak Mulya untuk membawa mobil Tasya ke bengkel. Mobilnya ada di jalan x." sambungnya.
"Baik Non...."
Tasya memasuki kamarnya yang bernuansa warna ungu muda. Ia mengambil handuk dan melakukan ritual mandi.
Di sisi lain...
"Maaf aku telat."
"Tidak apa-apa. Duduklah dulu!" seorang wanita mempersilakan mantan kekasihnya untuk duduk.
"Ada hal apa kamu menyuruhku ke sini?" tanyanya datar.
"Angga... aku ingin kita kembali..." lirih wanita itu.
Angga langsung berdiri dari tempat duduknya. "Jika kamu memanggilku hanya untuk ini, aku tidak punya waktu!" Angga menatap tajam mantan kekasihnya.
"Ng... duduklah dulu, aku mohon!" Angga kembali duduk.
"Begini Angga, Mama... maksudku Papa. Papa mengirimku untuk bekerja sama denganmu."
"Bekerja sama?" Angga menaikan salah satu alisnya.
"Iya, bekerja sama."
"Kalau aku tidak tertarik? Bagaimana?" tanyanya.
"Kamu harus tertarik Ga. Papa akan memarahiku jika aku tidak berhasil bekerja sama denganmu..." lirihnya.
"Mona, apa yang bisa membuatku tertarik? Sedangkan, kamu tidak meyakinkanku dengan benar. Ingat ya?! Aku tidak akan mudah menerima kerja sama dengan perusahaan yang tidak akan menguntungkan perusahaanku," jelasnya.
"Beri aku kesempatan..." lirih Mona.
"Besok kamu datang ke kantorku ," Angga berdiri dan meninggalkan Mona di cafe itu.
"Ini permulaan yang baik, Angga sayang..." Mona tersenyum menyeringai.
***
Angga menuruni anak tangga dengan tergopoh-gopoh. "Angga, sarapan dulu!" Santi melihat Angga menuruni tangga.
"Mama sudah buatkan makanan kesukaanmu." tambahnya.
"Ma, aku ada meeting," jawabnya.
"Sayang, Mama tidak rela kamu pergi sebelum sarapan bersama Mama!"
Angga menghela nafasnya. Ia terpaksa mengikuti kemauan mamanya. Karena, ia tak ingin membuat Santi sedih. Surga itu berada dalam ridho orang tua, kan? Angga hanya mempunyai mamanya di dunia ini. Angga tak akan sesukses sekarang jika tanpa doa dan ridho mamanya.
"Angga, makannya pelan-pelan!" ucap Santi mengingatkan.
"Kapan Mama dapat cucu?" tambahnya.
"Uhuk!" Angga tersedak.
"Angga, kamu ini!" Santi memberikan air minum pada Angga.
"Ma, ini masih pagi. Mama kan tahu, kalau Angga gak punya pacar. Jadi Angga belum bisa menikah dalam waktu dekat ini," Angga menyelesaikan ritual makannya.
"Tapi Mama gak sabar ingin gendong cucu," Santi cemberut.
"Ma," Angga mengambil salah satu tangan mamanya. "Angga pasti menikah, bersabarlah dulu."
"Mama iri sama teman-teman Mama. Mereka sudah mempunyai banyak cucu. Sedangkan Mama? Satu cucu pun belum punya." Keluhnya.
"Ma..." lirih Angga.
"Kalau gitu, Mama akan jodohkan kamu dengan anak sahabat Mama!" Santi meninggalkan meja makan begitu saja. Itu artinya, Santi sudah bulat dengan keputusannya. Angga hanya bisa menghela nafas.
Angga berangkat ke kantor. Pagi ini ada meeting bersama perusahaan Tunivs.
Meeting selesai. Mereka semua keluar dari ruang Meeting. Kecuali, Angga, Bije dan Mona.
"Angga, bagaimana? Kamu mau kan bekerja sama dengan perusahaan Papa?"
"Sudah kubilang. Keputusannya ada di pertemuan selanjutnya," Angga menatap Mona datar.
"Bisakah kita bicara berdua saja?" Mona melirik Bije.
"Sepertinya, saya diusir!" sindirnya. Bije meninggalkan mereka berdua.
"Ada apa lagi? Saya tidak punya waktu untuk membahas hal yang tidak penting," Angga akan keluar dari ruangan itu. Namun, tangannya di cegah oleh Mona.
"Sekali saja, dengarkan aku..." pintanya.
"Aku masih sayang sama kamu... bisakah kamu tidak berbicara formal denganku?" tambahnya.
"Terus?"
"Aku mau kita balikan Ga. Aku tahu, aku salah. Aku janji, gak akan seperti itu lagi."
"Aku tidak bisa." Tolak Angga.
"Berikan aku kesempatan, aku tahu... kamu juga masih sayang sama aku, kan?"
"......."
"Aku mohon..." tanpa dikomandani Mona langsung memeluk tubuh Angga. "Aku masih sayang sama kamu..."
"Lepaskan aku!" Angga melepaskan kedua tangan yang melingkar di dadanya.
"Aku sibuk!" Angga meninggalkan Mona begitu saja.
"Angga!" panggil Mona.
"Aku pasti akan mendapatkanmu kembali!" batin Mona.
Kediaman Anastasya
BRAK!
"Nyonya, selamat datang..." Ratih menatap Rike seperti orang yang sedang marah.
"Mengapa Nyonya Rike datang kemari?" batin Ratih.
"Tasya! Tasya!" teriaknya.
"Bi, panggilkan Tasya ke sini. Cepat!" bentaknya.
"B-baik Nyonya..." Ratih menaiki anak tangga. "Perasaanku kok gak enak ya?!" gumamnya.
Tok!
Tok!
"Non, di bawah ada Nyonya."
Tasya membuka pintunya, "Tumben Tante datang ke sini Bi?"
"Non, sepertinya Nyonya marah. Nyonya menyuruh Bibi untuk memanggil Nona," ucapnya dengan nada cemas.
Tasya dan Ratih menuruni anak tangga. "Tasya! Cepat ke sini!"
"Iya Tante..." Tasya mendekati tantenya. Saat ia ingin menyalami tangan Rike. Tangannya di tepis oleh Rike.
"Gak usah salam-salaman! Tante ke sini cuma ingin kamu meninggalkan rumah ini!" jelasnya.
"Maksud Tante apa? Kenapa Tante ingin Tasya meninggalkan rumah Tasya sendiri?"
Rike tersenyum kecut, "Rumahmu?? Rumah ini milik Tante! Jadi, sekarang kemasi semua barang-barangmu!"
"R-rumah Tante? Tapi ini rumah Tasya, Tante!" Tasya tak terima dengan ucapan Rike.
"Dodi!" Rike memanggil supirnya.
"Ini Nyonya," Dodi menyerahkan berkas.
"Lihat ini!" Rike memperlihatkan surat-surat kepemilikan. "Rumah ini dan perusahaan ini, milik suami Tante. Yang artinya, ini milik Tante!" Rike menunjuk-nunjuk surat itu.
"Tapi, sebelumnya ini milik Tasya. Bagaimana bisa namanya berubah menjadi nama Paman?"
"Tentu saja bisa, karena kau sendiri yang mengalihkan seluruh harta kekayaanmu!" Rike tersenyum licik.
"Kapan? Tasya tidak pernah mengalihkan seluruh harta Tasya pada Paman!"
"Apa kau lupa saat kau berumur 16 tahun??"
Flashback On
"Tasya sayang, kamu kan sebentar lagi berumur 17 tahun. Kamu sudah punya tanda tangan sendiri tidak?" tanya Rike.
"Sudah dong Tante!" sahutnya.
"Coba Tante lihat. Tante ingin tahu, tanda tangan kamu seperti apa sayang?"
"Aku ambil pulpen dulu Tante!" serunya.
"Iya sayang," Rike mengeluarkan kertas. "Tasya sayang, tanda tangannya di kertas ini saja ya?"
"Kertas apa itu Tante?" tanya Tasya.
"Ini kertas biasa kok. Tante mau nyimpan, Tante kan fans Tasya," rayunya.
"Wah... oke, Tante!" dengan semangat Tasya menandatangani kertas itu.
"Wah, tanda tangan Tasya bagus."
"Terima kasih Tante..." Tasya tersenyum lebar.
Flashback Off
"Tante menipu Tasya!" bentaknya.
"Bukan menipu, tapi berstrategi!" Rike menyeringai.
"Sekarang kemasi barang-barangmu, dan jangan ambil barang berharga apapun di rumah ini!" sambungnya.
Dengan perasaan emosi di dadanya, Tasya berlari ke kamarnya.
"Nona!" panggil Ratih.
"Dia bukan Nona di rumah ini lagi. Jangan memanggilnya Nona!"
"Nyonya, jangan usir Non Tasya. Akan tinggal di mana Non Tasya nanti," Ratih memohon sambil menangis.
"Cih! Jika kau kasihan pada anak itu! Pergilah juga dari rumah ini! Aku tak butuh pembantu sepertimu."
Ratih meninggalkan Rike. Ia segera mengemasi semua barang-barangnya.
Tasya membawa koper di tangannya. Ia menatap tantenya dengan benci. "Tante pasti akan mendapatkan balasan atas perbuatan Tante!" ucapnya dengan nada emosi.
"Hei anak bodoh! Kau menyumpahiku?" Rike melototi Tasya.
"Ambilah semua yang Tante inginkan!" Tasya tergopoh-gopoh meninggalkan rumahnya.
"Cih! Anak bodoh!"
"Non!" Ratih memanggil Tasya.
"Bibi? Kenapa Bibi membawa--"
"Bibi ikut Non Tasya. Nona, tinggal saja di rumah Bibi."
"Bibi, tapi Bibi jadi kehilangan pekerjaan..." lirihnya. Tasya memeluk Ratih, dan menangis.
"Bibi sayang sama Non Tasya. Sejak kecil, Bibi yang menemani Non Tasya. Jika Non Tasya pergi, maka Bibi juga pergi," Ratih mengusap-usap punggung Tasya dengan lembut.
"Bibi sangat baik, Tasya juga sayang banget sama Bibi..." ucapnya diiringi isak tangisan.
"Non ikut ke rumah Bibi ya? Rumah Bibi memang tidak sebesar rumah Non Tasya. Tapi, rumah Bibi masih layak untuk dihuni. Di sana ada anak Bibi juga. Nona mau, kan?"
Tasya menganggukan kepalanya, "Terima kasih Bi..." lirihnya.
***
Happy reading 🥰
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..." ia melihat ibunya pulang.
"Ibu!" serunya. Ia berlari dan memeluk ibunya.
"Dessy, kamu sehat Nak?" tanya Ratih.
"Dessy sehat Bu! Dessy rindu sama Ibu!" Dessy tak melepaskan pelukannya.
"Syukurlah Nak," Ratih mengelus-elus rambut Dessy.
"Nak, Ibu ke sini tidak sendirian," tambahnya.
Dessy melepaskan pelukannya, lalu menengadahkan kepalanya. "Siapa?" tanyanya.
"Non!" panggil Ratih. Tasya memasuki rumah Ratih.
"Dessy, ini majikan Ibu. Dia akan tinggal di sini. Kamu tidak keberatan, kan?" tanyanya lembut.
Dessy melirik Tasya, memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Tidak apa-apa Bu," jawabnya.
"Hah..." Ratih bernafas lega. "Nona, tidur sama Dessy, ya?"
Tasya mengangguk, "Iya Bi..." jawabnya.
"Nak, kamu antar Nona Tasya ke kamarmu..." titah Ratih.
"Iya Bu. Ayo Nona!" ajak Dessy.
Tasya mengikuti Dessy ke kamar. "Memang tidak besar, saya harap Nona nyaman tinggal di sini," ucap Dessy sambil tersenyum. Ia membantu Tasya merapikan pakaiannya.
"Terima kasih..." ucap Tasya.
"Sama-sama Nona," jawabnya.
"Bi-bisakah kamu tidak memanggilku Nona? A-aku bukan majikan ibumu lagi."
Dessy tersentak, lalu ia tersenyum. "Baiklah..."
"Maaf, aku jadi merepotkan kalian," ucapnya pelan.
Dessy mengambil tangan Tasya, "Kamu gak ngerepotin aku kok. Aku yakin Ibu juga tidak merasa direpotkan," ucapnya dengan lembut.
"Terima kasih Dessy!" Tasya memeluk Dessy.
Awalnya, ia pikir Dessy tidak suka dengan kehadirannya di rumahnya. Namun, semua pikiran negatifnya salah! Dessy orang yang baik dan lembut. Persis seperti ibunya, Ratih.
"Bisakah kita berteman?" tanyanya.
Tasya menganggukan kepalanya dengan cepat. "Tentu. Tentu saja, aku sangat senang. Terima kasih Dessy!" serunya.
***
"Angga!" panggil seseorang dari kejauhan.
Angga mengeryit, "Laura?"
Laura berjalan mendekati Angga, lalu memeluk Angga. "Aku kangen kamu! Gimana kabar kamu Ga?" tanya Laura, masih memeluk Angga.
Angga melepaskan pelukan Laura dari tubuhnya. "Aku baik." Jawabnya singkat.
"Angga... Laura..." Santi menghampiri mereka berdua.
"Angga, kamu sama Laura sudah berteman sejak kecil, kan? Nah, Laura ini yang ingin Mama jodohkan dengan kamu," ucap Santi, membuat Angga terkejut.
"Apa? Di-di jodohkan dengan Laura, Ma?"
"Iya Ga... Mama kan sudah bilang, kalau Mama akan menjodohkanmu dengan anak sahabat Mama. Ya, anak sahabat Mama itu Laura." Santi merangkul calon menantunya.
"Tapi Ma, Angga belum siap untuk menikah."
"Lama-lama juga pasti siap. Laura, kamu temani Angga ya? Kalian ngobrol-ngobrol dulu saja. Mama mau ke dapur. Buatin makanan untuk kalian," Santi menepuk pundak Laura sambil tersenyum. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Ga... kita ke dalam yuk!" ajak Laura. Laura menggenggam tangan Angga, lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Angga melepaskan genggaman tangan Laura. "Ra," Angga menatap Laura dingin. "Kamu menyetujui perjodohan ini?" Laura mengangguk cepat.
"Kenapa? Apa kamu punya perasaan padaku? Atau kamu dipaksa Mama buat setuju sama perjodohan ini?" tanya Angga menyelidik.
"Ti-tidak! Aku tidak terpaksa Ga. Aku menyetujui itu karena aku suka sama kamu."
"Kamu tahu kan? Aku sudah menganggapmu sebagai adik. Tidak mungkin aku menikahi wanita yang sudah kuanggap sebagai adik," tuturnya.
Mata Laura berkaca-kaca, sudah menjadi sifatnya bila ia terbawa perasaan. "Angga, aku ingin kamu yang jadi suamiku. Anggap aku seperti kekasih... aku mohon..." lirih Laura. Ia langsung memeluk Angga.
"Aku harap kamu membatalkan perjodohan ini. Maafkan aku..." Angga melepaskan pelukan Laura dari tubuhnya. Lalu pergi meninggalkan Laura yang termangu.
***
Ratih sedang menyiapkan sarapan untuk Dessy dan Tasya. Dessy membantu ibunya memasak, dan menata piring-piring di lantai. Ya, begitulah mereka. Hidup sederhana.
"Nona, mari makan!" ajak Ratih.
Tasya keluar dari kamarnya. Ia menatap beberapa piring dan makanan yang tertata di lantai. Untuk orang sepertinya, mungkin tidak biasa makan sambil duduk di lantai.
"Non, maaf Bibi hanya bisa memasak tahu dan tempe saja." Ratih mengambilkan nasi ke piring Tasya, lalu menambahkan beberapa tempe dan tahu.
"Tidak apa-apa Bi, ini juga enak. Terima kasih..." ucapnya.
Mereka makan dengan lahap, meskipun dengan lauk pauk yang sederhana. Setelah selesai makan mereka mencuci piring kotornya masing-masing.
"Non, biar Bibi saja yang mencucinya," kata Ratih.
"Tidak Bi, aku bisa kok!"
"Bibi tahu, Nona bisa. Tapi, biarkan Bibi saja yang mencucinya ya, Non?" bujuknya.
"Tidak Bi, ini hampir selesai. Oh ya Bi, jangan memanggilku Nona lagi. Karena aku bukan majikan Bibi lagi."
"Tidak Non, saya akan tetap memanggil Non, Nona," tolaknya.
Ia selesai mencuci piring dan menyimpan piring itu ke rak. "Bi, Tasya tidak enak sama Bibi. Tasya sudah terlalu merepotkan Bibi. Bibi Panggil Tasya saja ya, Bi?" bujuknya.
"Tidak Non, Bibi tidak bisa. Dan Nona Tasya tidak merepotkan Bibi sama sekali," ujarnya.
Tasya menghela nafasnya, "Bibi memang sangat baik. Tasya beruntung memiliki Bibi!" Tasya memeluknya dengan sayang.
***
Tasya pergi mencari pekerjaan. Ia sudah melamar ke beberapa perusahaan. Namun, ia tidak diterima dengan alasan tidak ada lowongan. Mengandalkan jasa make up, rasanya kurang. Apalagi, bulan ini bukan musim pernikahan. Sebelumnya ia mendatangi pamannya ke kantor. Namun, ia malah di usir oleh pamannya itu! Sungguh tega pamannya melakukan hal ini padanya.
"Ke mana lagi aku harus melamar?" Tasya duduk di pinggir jalan sambil meneguk minuman mineral untuk menghilangkan dahaganya.
Ia melihat ada gedung yang cukup besar. "Aku akan mencoba melamar di sana! Kerja apapun akan aku lakukan. Aku tidak ingin semakin menjadi beban untuk Bibi!" Tasya menyebrangi jalan, lalu memasuki gedung itu.
"Maaf Mbak. Anda siapa?" tanya satpam.
"Oh! Saya Tasya. Maaf Pak, apa di sini ada lowongan pekerjaan? Saya ke sini ingin melamar sebuah pekerjaan." Tanyanya dengan sopan.
"Wah, kebetulan Mbak. Di sini memang sedang ada lowongan. Namun, yang kami butuhkan adalah office girl atau office boy," jawab satpam itu.
Tasya nampak berpikir, office girl? Dia akan jadi office girl? Namun, tak ada pilihan lain. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akhirnya, ia mengangguk. "Saya mau Pak!" serunya.
"Kalau begitu, saya akan mengantar kamu." Satpam itu membawa Tasya kepada HRD.
"Anastasya! Kamu sarjana ekonomi..." orang itu membaca berkas-berkas lamaran Tasya. "Kamu bisa langsung bekerja besok."
"Besok?? Jadi saya di terima Pak?" tanya Tasya kegirangan.
"Iya, kamu di terima," jawabnya.
Tasya menjabat tangan orang itu, "Terima kasih Pak, sekali lagi saya ucapkan terima kasih!" serunya.
"Ya, sama-sama. Selamat bergabung di perusahaan ini. Bekerjalah dengan baik."
"Siap Pak. Kalau begitu saya permisi." Tasya pamit. Ia pulang dengan rasa senang. Ia tak menyangka akan semudah itu ia diterima kerja. Mungkin, karena memang sedang sangat membutuhkan OG atau OB.
***
Happy reading 😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!