NovelToon NovelToon

Dia Bukan Gadis Biasa

Tentang Kehilangan dan Luka

Siap mencinta artinya siap sakit.

Adakah cinta yang tak menyakitkan? Adakah kehidupan tanpa membawa luka? Mungkin pertanyaan itu sama dengan "Adakah manis tanpa gula?"

Seperti sebuah narasi yang mengatakan. Cinta dan pesakitan adalah sepasang sejoli yang tak mungkin di pisahkan.

Begitu pun dengan kehidupan, meski ada tawa bahagia selalu saja ada luka yang mengiringinya.

Seperti kerikil yang kadang kala bersembunyi di rerimbunan belukar.

Tania adalah putri tunggal dari seorang pengusaha kaya raya bernama Reyhan Wijaya, Tania kecil tumbuh menjadi gadis pendiam sejak kehilangan ibunya. Ia bahkan jarang mau diajak bicara dengan siapapun. Hidup begitu keras baginya.

Sebab sang ayah pun sering diintai oleh beberapa preman tak jelas, setiap kali mengajak Tania pergi keluar.

Akan tetapi, ia tetap harus menjalani kehidupannya, bahkan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Reyhan yang merupakan ayahnya sedang mengalami sakit keras.

*****

Tania duduk termangu, menatap jendela yang diterpa angin yang berhembus kencang, di balkon rumahnya.

Sedangkan sebelah buku jemarinya terlihat menggenggam secangkir kopi yang masih panas, disertai asap yang mengepul dan bau khas yang menusuk hidung, sementara pandangannya jauh ke luar melihat hiruk-pikuk jalanan ibu kota yang ramai dengan lalu lalang orang.

Ia sengaja menyingkapkan gorden ruangan kamarnya untuk menghirup kesejukan angin yang berhembus menerpa wajahnya. Angin sejuk yang nyaris tak pernah ia dapatkan di kota seramai ini.

Tania terus menyesap kopinya hingga hampir tandas, dengan perasaan yang diliputi rasa resah, dan gelisah.

Akan tetapi, ia dikagetkan dengan suara pintu diketuk, membuatnya terhenyak dan menoleh ke arah sumber suara. Pintu.

"Tania, mari saya antar ke rumah sakit, kita sedang terburu-buru, tidak perlu berdandan," ucap Bi Marni wanita yang mengasuh Tania sejak kecil dan juga bekerja sebagai maid di rumah itu.

Dari air mukanya bisa ditebak jika bi Marni tampak sedang mencemaskan sesuatu.

"Ada apa Bi? Apakah ini tentang kondisi Papa? Apakah terjadi sesuatu yang buruk padanya? Atau Ayah sudah bangun dan sadar?" tanya Tania, ekspresinya berubah bingung bercampur sedih.

Setumpuk pertanyaan ia lontarkan demi mencari tahu, tapi sayangnya maid tersebut memilih diam dan pilihan dengan Tania melihat sendiri kondisi majikannya, akan lebih baik baginya.

"Ya, Non ... nanti saja saya jelaskan di sana, saya tunggu di mobil saja, ingat jangan lama, ini mendesak tidak perlu berdandan." Bi Marni meraih cangkir kopi yang kosong sembari melangkahkan kakinya meninggalkan kamar.

Pikiran Tania melayang, ada rasa takut menyelimuti jiwanya, bahkan setiap jejak langkah kakinya terasa gemetar.

Ia takut, jika papanya juga meninggalkan dirinya seperti mendiang mamanya. Sedangkan Tania tidak memiliki tujuan. Sebab ia hidup mengasingkan diri sejak kecil.

Tak ada saudara yang ia kenal, kecuali seorang maid yang setia.

Firasat buruk mulai ia rasakan. Tanpa sengaja ia menjatuhkan pot bunga hingga pecah.

Tania mematut diri di depan cermin, yang dilihat adalah cerminan wajah sang ayah.

Gadis itu akhirnya menangis ketika sedang bersiap. Meski begitu ia teringat ucapan maid yang memintanya tidak menunda waktu.

Segera diraihnya, sebuah clutch bag berwarna merah kesayangannya dan berlari menuju mobil yang ditumpangi Bi Marni.

Wanita tua berusia paruh baya itu tampak duduk tenang, meski sesekali terlihat sedang memperhatikan Tania.

Sepanjang perjalanan, gadis remaja itu hanya terdiam.

Namun, sorot matanya menatap ke arah luar jendela. Ketika lampu merah menyala, diturunkan jendela kaca mobilnya. Matanya berubah berkaca-kaca. Saat netranya terfokus pada sekumpulan anak kecil yang sedang mengamen di jalanan, hatinya semakin teriris perih. Seperti ada kenangan di masa lalu yang tak diinginkan.

*****

Setelah empat puluh lima menit berkendara, akhirnya mereka sampai juga di rumah sakit tujuan.

Seorang dokter kepercayaan keluarga, terlihat menyambut sembari melambaikan tangannya ke arah Tania.

Ya. Gadis itu mengenalinya. Tania memberanikan diri mendekat, dengan langkah lebarnya, seolah menandakan jika ia tak sabar.

Meski begitu, jantungnya semakin terpacu cepat, pikirannya berkecamuk tak karuan ketika sang dokter menuntunnya ke sebuah ruangan seram yang tak lazim dikunjungi orang.

Ya. Diantarnya Tania pada tubuh yang terbujur kaku lengkap dengan penutup kain berwarna putih. Sangat menyeramkan bagi gadis remaja seumurannya.

Melihat situasi seperti itu, rasanya dunianya terasa hancur.

"A-apa ini?" tanya Tania, matanya langsung membulat lebar lengkap dengan suara yang mulai serak dan tergagap.

Dokter tersebut langsung menggenggam erat tangan putri pasiennya yang sudah terbujur kaku.

"Maafkan Om Doni, papa kamu terkena serangan jantung. Padahal tadi sudah baik-baik saja. Tapi semua seolah berubah saat ia menerima telepon yang entah dari siapa? Kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya," kilah sang dokter yang berusaha terlihat memelas di depan gadis itu.

Dengan tangan bergetar, Tania membuka kain penutup jenazah. Bukan tanpa alasan, rasa penasanlah yang mendorong keberaniannya.

Seketika bulir bening mengalir deras di pipinya. Dunia seakan berakhir dalam sekejap.

'Aku hidup sama siapa Pa? Kenapa semua tinggalin Tania?' tanya gadis itu dalam hatinya.

Bi Marni dan juga dokter Doni berusaha menguatkannya pun seakan sia-sia saja.

Hingga terpaksa ditepuknya punggung Tania oleh sang dokter ketika berada dalam pelukan Bi Marni untuk memberikan efek tenang yang nyatanya tak berguna.

*****

Hari itu, cuaca sedang hujan deras di kota Bogor. Tania terus menangis bahkan meraung hingga sembab, ia memeluk gundukan tanah yang di penuhi oleh taburan bunga dan juga harum irisan daun pandan. Baunya begitu menusuk hidung.

Bahkan harumnya akan menjelma menjadi luka yang menjadikannya dendam yang entah.

Lalu leburkan aroma tanah, sehingga Tania terkapar dalam gigil dan tubuh yang tercetak karena derasnya hujan yang menerpa.

Tiga puluh menit berlalu sejak Bi Marni membawa Tania pulang. Suasana rumah masih ramai dengan beberapa orang yang berseragam serba hitam.

Namun, gadis itu hanya diam saja duduk termenung di dalam kamarnya.

Di saat itulah bi Marni masuk perlahan sambil membawakan makan malam, dan mengajak Tania agar ikut serta dalam acara tahlilan yang sengaja digelar oleh beberapa karyawan, dan juga orang kepercayaan sang ayah.

Seolah tak merespon.

Akan tetapi Tania masih saja memaku usai acara berakhir. Tania hanya bisa mengusap bulir bening yang mengalir tanpa henti dari pelupuk matanya.

Tania menghela ... tak semua yang diharapkan akan menjadi nyata. Begitulah roda kehidupan, yang pasti akan dialami oleh beberapa orang nanti, sementara itu tugas kita adalah terus menjalani dengan ikhlas, meski aral melintang menerjang.

"Tania, Bi Marni pamit mengundurkan diri. Mau pulang ke kampung halaman besok pagi. Kamu jaga diri ya, dan ada tamu pentingnya Almarhum Pak Reyhan yang sedang menunggu. Katanya, ada yang ingin dibicarakan." Bi Marni mendekat sembari memeluk tubuh ramping Tania sambil bicara dengan hati-hati.

"Tamu penting?" tanya Tania.

Tania mendongak, menatap dengan rasa penasaran.

"Ya, sudah menunggu di ruang tamu," tutur Bi Marni.

Perlahan gadis itu membuka laci, dan mengambil beberapa lembar uang kertas yang ia sematkan dalam amplop berwarna cokelat.

"Bi Marni ... maafkan aku, dan terimakasih banyak sudah menjagaku selama ini. Jika suatu saat nanti aku sudah bisa berdiri dengan kakiku sendiri, aku pasti datang mencari Bibi di kampung," pamit gadis kecil yang sudah menganggapnya ibu.

Tania menggenggam tangan wanita berusia paruh baya itu, dan memberikan amplop coklat tersebut.

"Tidak, gunakan saja untuk kebutuhan sehari-hari kamu," ucap Bi Marni menahan tangisnya.

"Aku ikhlas Bi ... tolong terima saja, agar aku bisa tenang nanti," ucap Tania, disertai guratan sedih yang setengah memaksa.

Kali ini Tania memilih untuk terlihat tegar. Ia melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi, tak lama kemudian ia sudah keluar dengan mengenakan kerudung hitam di kepala sebagai penanda duka.

Dengan langkah tergesa-gesa kaki jenjangnya mulai menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti ketika melihat ruang tamu rumahnya ramai dengan kerumunan beberapa pria yang mengenakan jas yang nampak mewah. Terlihat jelas jika mereka bukan orang sembarangan.

"Siapa mereka?" batin Tania. Sorot matanya mengedar satu persatu mencoba mengenali para tamu yang hadir malam itu.

Tania melanjutkan langkahnya dengan perlahan, ia begitu gugup, hingga memilih berjalan sambil tertunduk.

Dug ....!

Tania menabrak dada bidang seorang lelaki bertubuh tinggi, dengan matanya yang mengkilat cokelat dan juga warna rambut yang di cat cokelat blonde.

Bahkan tubuh rampingnya hampir saja terpelanting, tetapi dengan sigap pria tersebut meraihnya.

"Terimakasih," ucap Tania, ia bahkan menatap tanpa kedip saat berkata. Jantungnya berdebar, rasa yang tak biasa yang ia rasakan.

"Ya," balas pria tersebut singkat, nada suaranya terdengar berat. Kemudian melepaskan genggaman tangannya yang semula erat di pinggang Tania.

Seketika Tania membenarkan posisi tubuhnya, lalu merapikan kerudung hitam yang menutupi sebagian wajahnya.

"Tania, mohon maaf kami adalah perwakilan beberapa kolega papa kamu. Mulai besok pagi, kamu harus meninggalkan rumah ini. Tempat tinggal kamu sudah disediakan pihak perusahaan PT. Aditama Wijaya group. "

Tania tersentak lengkap dengan ekspresi menegang.

"Jadi malam ini kamu mulai berkemas, untuk masalah pembagian hak, kamu akan mendapatkan bagian saham milik papa kamu nanti ketika kamu sudah menikah," jelas pria berkumis tipis.

Sementara Tania masih memaku dan bayangan sang ayah terus terlintas di benaknya.

Menerima keadaan, atau pun melawan mereka sama-sama berat baginya. Apalagi Tania tidak memiliki pengalaman di dunia bisnis.

"Tania," panggil pria yang tak diketahui namanya itu. Berusaha membuyarkan lamunan seorang gadis dengan suara kerasnya.

"Ya, Om ... aku permisi ke kamar untuk bersiap," balas Tania yang berusaha menghindar.

"Ini kartu namaku, aku adalah walimu, jangan lupa hubungi aku."

Pria bertubuh besar dengan kumis tipis itu menyodorkan sebuah kartu nama ke arah Tania.

Dengan gerakan cepat, Tania menyambar kartu nama tersebut dan berlalu meninggalkan ruang tamu.

Hatinya hancur, bagaimana tidak dia diusir dari rumah dan juga perusahaan miliknya sendiri.

Tania berlari melintasi semua kolega perusahaan.

Sepasang mata, tidak melepaskan tatapan matanya yang tajam hingga Tania menapaki anak tangga menuju lantai dua kamar pribadinya.

Gorden kamar bergerak-gerak diterpa hembusan angin kencang yang berdesir malam itu.

Membuat Tania melangkahkan kakinya, ketika ia akan menutup gorden suara deru mesin mobil membuat fokusnya terpecah. Tania menoleh lalu melangkah melihat ke arah luar.

Di saat bersamaan matanya kembali bertemu pandang dengan seorang pria asing.

Pria berparas menawan, siapa pun yang menatap pasti terkesima. Tak terkecuali dengan Tania yang sungguh penasaran.

Pria itu mendongakkan kepalanya menatap Tania yang juga menatapnya dari balkon rumah. Jarak mereka berdua lumayan jauh.

Hanya berlangsung sepersekian detik, kemudian Tania memutuskan masuk dan menutup gorden lalu pintu dan juga jendela. Ia lebih memilih bersikap tak acuh.

"Segera kemasi barangmu, dan tinggalkan rumah ini besok pagi."

Kata-kata itu kembali berdengung di telinga Tania, membuat ia segera meraih sebuah koper miliknya untuk berkemas. Minggat. hanya kalimat itu yang mampu meracuni pikirannya.

Teman Pertama

Bogor, dini hari

Jam 04.00

Seorang gadis yang kini hanya tinggal seorang diri, sedang menggeliat manja. Ia terkejut ketika mulai membuka mata. Bengkak di pelupuk mata.

Dirabanya perlahan.

'Aku lupa jika telah menangis semalaman. Di sini tidak aman.' Batin Tania lalu segera beranjak berdiri.

Setelah berkemas cukup cepat, Tania berjalan pergi meninggalkan rumah tempat tinggal milik keluarganya.

Ada rasa sedih yang teramat dalam di hatinya. Berulang kali Tania menoleh ke belakang, menatap lama ke arah rumahnya. Berharap apa yang dialaminya adalah mimpi.

Di bawah guyuran hujan deras, Tania mulai melangkahkan kakinya meninggalkan rumah. Rumah terasa sepi, penjaga pun tak terlihat di setiap sudut.

Akan tetapi, ada sebuah mobil yang masih terparkir di halaman, hingga seorang maid berlari menghampiri.

"Non Tania. Ada titipan dari seseorang. Tapi saya tidak mengenalnya." Seorang mantan maid, memberikan sebuah amplop coklat 0ada gadis itu.

Di dalam amplop, ternyata sudah disiapkan lembaran uang yang lumayan banyak jumlahnya. Selain itu, ada sertifikat rumah lengkap dengan kunci.

Di dekatnya, terparkir sebuah mobil berwarna putih. Tertera atas namanya, dan jujur saja jika semua itu membuat Tania semakin kebingungan.

"Siapa yang memberikan ini?" tanya Tania, tapi ia semakin bingung saat tersadar jika maid yang diajaknya bicara sudah berlalu pergi.

*****

Tanpa pikir panjang, Tania bergegas memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Kemudian ia berjalan mengitari dan masuk ke dalam mobil. Sebelum menyalakan mesin, Tania masih penasaran dengan amplop cokelat yang bertengger di dashboard.

'Dari siapa ini?' tanya Tania dalam hatinya.

Tania membolak-balik amplop tersebut, di sebelah pojok kanan bawah tertulis huruf 'R', membuat Tania semakin bertanya-tanya.

Tania mengamati sekitar rumah, sayangnya tak ditekuk siapapun di sana. Sepi, ia menyalakan mesin mobilnya lalu mulai melajukannya perlahan.

Sejak sepanjang jalan ia terus berpikir, mungkin saja ada yang tak beres dengan kematian sang ayah.

Kenapa malam hari setelah acara tahlilan beberapa koleganya datang mengusir dengan alasan yang kurang jelas dan sulit di pahami.

'Ini pembunuhan,' batinnya.

Kenapa juga ada pria misterius datang memberikan barang-barang tanpa penjelasan. Untuk apa?

Pikiran Tania kalut, tetapi ia tetap berusaha tenang meski Sekujur tubuh yang sejak tadi gemetar nyaris seluruhnya dibasahi oleh keringat.

Kini ia telah memasuki sebuah kompleks perumahan sederhana, karena penasaran dibukanya kembali amplop cokelat tersebut untuk memastikan bahwa alamat yang tertera benar.

'Perumahan Jasmine Garden Blok B nomor 04. Alamatnya benar, aku coba masuk,' batin Tania.

Kakinya masih bergetar saat melangkah. Tania berusaha masuk lebih dalam, pintu gerbang pun didorong hingga menimbulkan suara berderit. Masih sepi.

'Rumah siapa ini?'

Tidak terkunci, keadaan rumah pun dibiarkan kosong. Pandangannya terhenti disebuah meja ruang tamu. Lagi-lagi Tania dikejutkan dengan setumpuk dokumen yang di tata rapi dengan map warna-warni. Semakin Aneh rasanya.

Matanya hampir saja mencelos dari tempatnya ketika melihat sebuah tulisan yang di ketik dengan font bercetak tebal dan berukuran besar, "Untukmu Tania Wijaya".

'Hmm ... berarti ini benar untuk aku. Akan tetapi, apakah aku aman tinggal di sini? Siapa yang bisa aku temui?' batin Tania, kini ia menjatuhkan diri ke sofa meski masih belum tenang juga.

Tania berusaha berpikir positif, ia kemudian memutuskan untuk melihat-lihat sekeliling rumah. Ia juga melihat kamar tidurnya, kamar yang nampak mewah untuk kelas ekonomi menengah kebawah. Namun, sangat sederhana untuk seorang sekelas Tania.

"Tidak apa-apa, cukup nyaman untuk aku tinggal sendiri," ucap Tania ngomel sendiri, karena tak ada satu pun orang yang bisa diajaknya bicara.

Setelah berbenah dengan barang-barang miliknya, Tania memutuskan untuk keluar mencari makan. Perutnya sudah mulai berontak karena belum terisi apa pun sejak semalam.

Karena ingin menghapal daerah sekitar, akhirnya gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki.

Sepasang kaki jenjangnya menelusuri sepanjang jalan setelah keluar area perumahan, dengan sebuah payung di tangan.

Bahkan di sekitar kanan dan kiri jalanan terlihat basah karena air hujan yang menggenang.

Karena kecerobohannya, sebuah mobil oleh hampir saja menabraknya.

Tania tersungkur di aspal, seorang pria muda dengan perawakan proporsional akhirnya keluar dari mobilnya.

Pria dengan setelan jas berwarna biru tua, lengkap dengan kacamata hitamnya tampak menawan. Hingga mampu membuat Tania sesaat mematung karenanya.

"Maaf, mobilku sepertinya bermasalah. Apa kau baik-baik saja?" Pemuda tampan itu langsung meraih lengan Tania yang tergores aspal dan berlumuran darah.

Pemuda itu terkejut, ekspresinya langsung berubah tegang setelah menyadari jika ia telah membuat orang lain celaka.

Tania diam saja. Tak banyak bicara. Masa buruk yang memang baru saja ia lewati memaksanya banyak belajar.

"Hey girl. Kita naik taksi, soalnya mobilku sepertinya sedang bermasalah!" ajak pemuda yang bahkan tidak memberikan pada lawan bicaranya untuk menjawab.

Gadis itu langsung menepis tangan si pemuda. Membuat pria tampan itu tercengang.

"Permisi, aku tidak bermaksud ingin berbuat jahat," kilah pria tersebut berusaha membela diri, lalu ia menggendong tubuh ramping Tania.

Gadis yang tetap pada pendiriannya, menolak kehadiran pria lain itu, akhirnya terus meronta-ronta. Memaksa pemuda yang menggendongnya menurunkan tubuhnya.

"Nama kamu siapa?" tanya pria tampan tersebut, saat Tania memilih diam di dalam taksi dan menatap ke arah luar jendela.

"Tania Wijaya," balasnya singkat.

"Bisa menatap saat kita berbicara? Karena kata orang tua kurang sopan jika bersikap seperti itu. Perkenalkan, namaku Edo Mahardika." Edo mengulurkan tangannya.

Membuat gadis itu memaku menatap wajah pria tampan itu dengan jarak dekat.

Tania memberanikan diri menoleh, meski kepalanya tertunduk. Dengan ragu-ragu akhirnya Tania menjabat uluran tangan tersebut meski memberikan kesan ragu yang hanya sekedar menempelkan telapak tangannya.

"Kenapa kamu berjalan ditengah hujan?" Edo masih menatap heran, dengan segudang pertanyaan di otaknya.

"Aku lapar, dan sedang ingin mencari makan di sekitar dekat rumah, tapi ...."

Edo memperhatikan sikap Tania, akankah gadis tersebut menerima dirinya menjadi seorang teman. Sedangkan Tania terkesan ragu bahkan dalam setiap jawaban atas pertanyaan Edo padanya.

Perempuan cantik, lembut, tetapi sangat terlihat jelas ada guratan kesedihan di wajahnya. Jelas jika ia saat ini sedang gak baik-baik saja. Apa yang sebenarnya terjadi?

Lima belas menit berlalu, keduanya berada di klinik.

"Tania, aku akan mengantarmu membeli makan, lalu kuantar pulang ya. Lagi pula aku yang membuat kamu celaka," ujar Edo, setengah memaksa sembari refleks menepuk bahu Tania.

Tania terhenyak dengan mata melotot, ia berupaya sedikit menjauh.

Baru kali ini ia bertemu dengan seorang wanita yang tidak agresif, bahkan wajahnya terlihat suka disentuh.

Sikapnya yang menunjukkan tidak ada ketertarikan sedikit pun pada Edo, membuat pria tersebut semakin penasaran.

Tania kini memakai baju blouse casual berwarna merah, dengan celana pendek selutut berwarna hitam. Kulit putihnya yang kontras membuatnya terlihat cantik, rambutnya bercat blonde, seolah memberi ciri jika ia bukan sekedar gadis biasa yang kerap ditemuinya di jalanan.

Ini jelas bukan kebetulan.

"Tidak, aku bisa pulang sendiri."

Edo semakin penasaran saja dengan siapa ia sedang berbicara saat ini. Keningnya berkerut, menyimpan sejuta tanya.

"Jika kamu menolak, itu artinya kamu menempatkan diriku sebagai pecundang. Terima tawaranku sebagai pertanggungjawaban."

Hening. Tak ada jawab yang terucap, kecuali sepasang mata yang saling bertatapan.

*****

Keduanya berada di sebuah rumah makan sederhana, Edo semakin tertarik.

"Kamu lahap sekali makannya? Lapar ya?" tanya Edo, sambil menyesap jus jeruk di genggaman tangannya sementara fokusnya tidak berpindah sedetikpun.

"Aku belum makan sejak semalam," balas Tania.

Edo menautkan kedua alisnya hingga saling bertautan. Ia tertegun mendengar jawaban Tania.

Jika ia terus mencecar Tania dengan segudang pertanyaan, ia ragu gadis itu akan menjawab. Bagaimana jika justru akan takut padanya?

Dan ....

Benar saja pernyataan Tania mencengangkan bagi Edo. Bahkan ia tersentak mendengar semua kisah sedih yang dikisahkan gadis itu padanya.

Mulanya ragu. Tapi, saat menyadari Edo tak sekejam yang ia bayangkan, akhirnya ia memberanikan diri untuk memulai bercerita.

Tania berhenti mengunyah, ia memberanikan diri mengangkat wajah dan menatap Edo ketika berbicara. Bukan tanpa sebab, melainkan juga tanpa hormat.

Tak ada sedikit pun kisah yang ia lewatkan, bahkan ketika beberapa orang misterius berusaha menguasai seluruh harta miliknya.

Seketika bulir bening mengalir dari pipinya. Ia kembali terisak mengingat kejadian yang baru saja menimpa dirinya. Ia sendiri, tanpa teman, tanpa keluarga.

Hallo kesayangan, jangan lupa like, love, dan vote kalian untuk dukungan kalian ya. Agar Author semangat up Bab baru dan tetap bisa berkarya. Terimakasih sudah mampir membaca.

Salam cinta dariku.

Lintang

Tak Seburuk yang Kupikir

🍁 VOTE, RATE, LIKE, LOVE 🍁

Tak butuh waktu lama, makanan yang tersaji di piring Tania telah tandas tak tersisa.

Pertemuannya dengan Tania membuat Edo akhirnya Tersadar. Sejenak ia menjauh seakan butuh waktu dan menenangkan diri dan berpikir jernih. Sudah lama saatnya ia memperbaiki diri menolong orang lain yang sedang kesusahan.

Di depan teras, Edo duduk dengan tatapan nanar. Pikirannya mengembara tak tentu arah. Sementara itu, Tania tetap menunggu di dalam rumah makan. Mengetahui Tania hendak berdiri, Edo bergegas mendekati dengan langkah seribu.

"Mau pulang sekarang?" tanya Edo.

Tania mengangguk saja.

"Buru-buru?" tanya Edo lagi.

"Ya, masih banyak yang harus aku kerjakan di rumah baru," jawab Tania dengan tatapan sendu.

"Aku antar," sergah Edo sambil membentangkan ke dua tangannya sebagai penghalang.

Tania hanya mengangguk pelan.

Sang sopir yang ternyata sudah dihubungi oleh Edo, nyatanya sudah menunggu mereka di halaman rumah makan sederhana.

"Silahkan masuk." Edo menggerakkan tangannya, memberikan gestur mempersilahkan dengan sopan.

Terang saja kini gadis itu sedikit nyaman. Ia merasa pemuda yang ditemuinya bukanlah sebuah ancaman.

Sementara itu, di dalam mobil ia kembali memikirkan banyak hal. Ia kuatkan hatinya sendiri meski tak yakin.

Tak ingin larut dan kembali depresi. Bukankah sudah sangat jelas, menjukkan kelemahan hanya akan membuat dirinya di sakiti orang lain dan juga menderita. Rasa penasaran membuatnya bangkit dan berjanji akan mencari tahu tentang apa yang sebenarnya menimpanya.

Memang mencari tahu tentang apa yang terjadi tidak semudah yang dipikir. Pasti ada banyak halangan nantinya.

Namun, ia juga sadar jika semakin banyak ia berusaha, semakin banyak pula aral menerjang dan juga semakin banyak keinginan untuk dikabulkan.

Jalan satu-satunya bahagia kini adalah melupakan dukanya. kemudian mencari informasi segala sesuatu tentang ayahnya. Sebelum itu, tentunya butuh banyak persiapan yang dilaku

"Sudah sampai di perumahan milik kamu, alamatnya ... Blok apa dan berapa?" tanya Edo membuyarkan lamunannya dan memastikan jika tempat tersebut adalah tempat pertama kalinya ia menemukan Tania.

"Oh ... Perumahan Jasmine Garden Blok B Nomor 4, terimakasih sudah mengantar."

Tania menoleh menatap plang nama bertuliskan alamatnya. Sementara matanya terus mengedar memperhatikan sekitar jalan.

Dengan gesit, Edo segera keluar dan membantu Tania turun dari mobil.

Edo semakin tertarik, jantungnya menggema disaat ia melakukan interaksi dengan Tania dan sering kali gadis itu gak acuh padanya.

"Ini kartu namaku, hubungi kapan saja ketika kamu butuh bantuan. Mulai saat ini kita berteman, jadi jangan pernah ragu sedikitpun. Kamu tidak memiliki keluarga, aku tidak bisa membiarkan kamu sendirian."

Uluran tangan Edo disambut baik oleh Tania. Meski sebentar, terjeda keraguan keduanya kembali saling menatap.

Namun, wajah Tania masih juga terlihat datar.

"Terimakasih untuk hari ini," ucap Tania, sangat pelan sekali, bahkan terasa menyejukkan dihati Edo.

Edo membalas dengan senyuman tipis, lalu ia pergi.

Pertemuan pertama dengan kesan berbeda.

*****

Saat ini, Tania saat ini sedang melamun menatap langit-langit kamarnya.

Ia menggunakan kedua telapak tangannya sebagai tumpuan bantal kepalanya. Mengingat kisah pelik di hidupnya, matanya kembali basah.

"Papa apa kabar, ya di sana?" gumam Tania.

Beberapa saat kemudian, suara ponsel yang terus berdering diiringi getar membuyarkan semua.

Ia terkejut saat menyadari ada sebuah ponsel di atas nakas tempat tidur king sizenya. Tania melirik sebuah pesan masuk. Ia meraih benda pipih itu dengan perasaan tak nyaman.

Takut. Selalu itu yang ada di benaknya.

Namun, ketika ponsel telah ada dalam genggamannya, dering itu terhenti.

Dan gadis itu menyadari, jika ada seseorang yang sedang mengirimkan sebuah pesan singkat padanya.

[Tania, besok bisa 'kan datang ke restoran tempat biasa kamu makan bebek goreng?"]

Tania menautkan kedua alisnya, ia bingung siapa yang tiba-tiba mengirimkan pesan padanya.

[Siapa ya? maaf saya tidak menyimpan nomor Anda.]

Tania masih kebingungan.

Pesan terkirim, terlihat tanda centang dua. Beberapa detik kemudian berubah menjadi warna biru, berarti pesan via WhatsApp tersebut telah dibaca.

[Akan saya jelaskan ketika kamu datang dan kita besok bertemu. Ingat, datanglah sendirian. Ketahuilah, aku yang memberikan tempat tinggal baru untuk kamu sekarang.]

Kening gadis itu semakin berkerut.

Rasa nyaman saat ini berubah menjadi rasa takut dan tegang.

Tania menatap layar ponselnya sejenak. Ia memutar otak, pikirannya menjalar ke segala arah. Berusaha mengaitkan dengan berbagai kejadian yang dia alami.

Entah itu yang dirasakan sederhana, atau bahkan tidak. Bagaimana jika ini jebakan. Dan bagaimana jika orang tersebut ternyata ingin membantu. Segala hal baik dan buruk seketika ia pertimbangkan.

Setelah beberapa menit, ia tersadar jika si pengirim pesan pasti menunggu jawaban dari dirinya.

Tangannya kembali menari, berusaha menunjukkan tata Krama membalas pesan tersebut dengan bahasanya yang selalu sopan agar si pemingirim pesan rahasia tidak murka.

[Terimakasih banyak atas tumpangan tempat tinggalnya, saya akan membalasnya dilain waktu. Saya pasti datang pukul 09.00 pagi hari, di meja makan yang biasa saya pesan]

Usai mengetik pesan Tania langsung mematikan ponselnya. Ia terpancing. Rasa penasaran akan rutinitas pribadinya yang tidak diketahui banyak orang. Bagaimana mungkin orang misterius itu seakan paham banyak hal?

Ia kembali mengingat kenangan bersama ayahnya, dan ternyata hal tersebut yang membuatnya mengambil keputusan.

*****

Rabu, 24 Oktober di sebuah rumah baru,

pukul 08.15 pagi hari.

Luka hatinya masih belum sembuh, ini adalah hari ketiga yang Tania lewati tanpa siapapun. Menyedihkan, sepi semua bercampur jadi satu.

Matanya berkaca-kaca saat mematut diri di pantulan cermin. Terlintas dibenaknya pria menawan tapiencurigakan yang saat itu pernah datang bersama para kolega papanya.

'Siapa pria itu, kenapa yang lain seperti begitu tunduk padanya. Ah ... aku harus mencari tahu. Siapapun dia, pasti bukan pria yang baik. Karena jika hatinya baik, tidak mungkin tega melihatku diusir di hari kematian papa.'

Sesaat setelah melirik jam di pergelangan tangannya. Tania bergegas menaiki sebuah taksi online menuju sebuah restoran yang biasa ia singgahi bersama sang ayah.

Tak butuh waktu lama, hanya lima belas menit kemudian ia sampai karena jaraknya yang dekat.

Langkah kakinya perlahan ketika berjalan menuju meja yang biasa ia tempati bersama Reyhan. Ketika itu kenangan dimasa lalu kembali melintas.

Bayangan Reyhan ketika meluangkan waktu, makan bersama, sorot matanya yang terkadang berubah sendu menandakan khawatir. Masih teringat jelas masa itu. Tania kini menyadari, jika sejak lama sebenarnya ia memang tidak aman.

Tania mengedarkan pandangannya, tatapan matanya terhenti ketika melihat seorang pria muda, yang terlihat sederhana dan bersahaja telah duduk menunggu di meja yang biasa ditempati oleh Tania dan ayahnya. Sesekali pria tersebut melirik jam tangan yang melingkar di lengannya, pertanda jika memang benar ia sedang menunggu seseorang.

Seketika kening Tania berkerut, ia begitu penasaran tetapi juga tidak mau menerka-nerka.

"Permisi, sudah lama menunggu?" tanya Tania menyapa tanpa berbasa-basi. Seolah ia yakin jika memang pria di hadapannya si pengirim pesan.

Pria tersebut mendongakkan wajahnya, terlihat jelas dari raut wajahnya jika ia keturunan pribumi. Tapi bukan berarti orang lokal tidak berbuat jahat 'kan?

Kulitnya sawo matang, tubuhnya tegap, wajahnya manis. Terlihat berwibawa, meski sedang tersenyum. Meski begitu, gadis itu tak mudah percaya begitu saja.

"Perkenalkan, aku Raffa. Mulai besok pagi aku akan jadi guru beladiri kamu. Sebelum meninggal, ayahmu telah memintaku secara pribadi. Sebelumnya aku menolak, tetapi setelah mengetahui apa yang sedang menimpa kamu dan Pak Reyhan aku memutuskan setuju," ujarnya, ia bahkan tidak sedikit pun berkedip saat bicara. Terlihat jelas guratan keseriusan di wajahnya yang justru membuat Tania semakin tak percaya.

Tania mencoba mencerna ucapan Raffa, ia berpikir sejenak. Sebelum akhirnya memberanikan diri untuk merangkai beberapa pertanyaan.

"Sejak kapan Pak Raffa mengenal papa saya?" tanya Tania, bersemangat sambil sedikit mengulas senyuman kecil juga memamerkan gestur percaya diri.

"Sejak kamu masih duduk di bangku SMA, aku adalah orang yang disewa beliau untuk menjaga kamu dari kejauhan." Raffa melambaikan tangannya ke arah pelayanan restoran agar menunjukkan papan menunya.

"Papa tidak pernah memberi tahu," sahut Tania.

"Tentu, Pak Reyhan takut kamu menolak," kilah gadis itu, "Bebek goreng sambal hijau, pedas," lanjutnya kemudian, pada pelayanan yang menghampiri.

"Pak Raffa bahkan tahu makanan kesukaan yang biasa aku pesan?" Tania menghela napas lagi karena bingung.

"Panggil saja Kak Raffa, aku belum tua. Besok pagi kita mulai latihan, kamu harus bersiap sekitar pukul 07.00 karena aku sendiri yang akan menjemput," ungkap Raffa.

"Akan tetapi Kak, aku tidak sanggup untuk membayar," sergah Tania.

Alasan sederhana. Tak mau balas budi.

"Semua yang kamu miliki, itu adalah hak kamu. Ini memang amanah yang diberikan Pak Reyhan, dan wajib saya sampaikan. Mengenai mereka yang datang ke kediaman kamu malam hari, kita akan bahas selanjutnya. Berusahalah membaur, jangan membuat ulah. Mulailah makan, lalu pulang beristirahat. Besok adalah hari yang melelahkan," jelas Raffa panjang lebar.

Bersambung ...

🍁 Hallo kesayangan, jangan lupa like, love, dan vote ya. Agar Author semangat up Bab baru dan tetap bisa berkarya. Terimakasih sudah mampir membaca.

Salam cinta dariku.

Lintang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!