NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Abang Sahabatku

BAB 1

Ruangan berukuran 4 × 4 meter persegi itu lengang. Perlahan tirai jendela berwarna putih susu bergerak, mengibas ke sembarang arah karena tertiup angin yang berasal dari ventilasi jendela. Semilir angin dingin dan lembut menyelinap masuk dan menyentuh mesra kulit pipi gadis tersebut.

“Uhh, dingiiin,” gumam nya perlahan seraya menarik selimutnya hingga ke leher.

Rintik hujan gerimis perlahan terdengar. Angin yang semula lembut kini berangsur kencang. Tirai jendela yang semula bergerak perlahan kini bergerak ke sembarang arah dengan kuat. Gadis tersebut mulai terusik. Selimut yang semula masih memberikan kehangatan kini tidak membantu apapun.

“Duh gila dingin banget, hooaaaam,” gumamnya lagi seraya menguap.

 Matanya yang bulat dengan bulu mata panjang dan lebat perlahan terbuka. Sekilas dia perhatikan suara rintik hujan dari jendela lantas kemudian melirik jam beker di samping ranjangnya.

“Yaa ampun udah setengah enam!! Gilaaa, aku telat shalat shubuh. Astaghfirullahal’adzim!” Istighfar nya kemudian sembari beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi.

Gadis berumur 25 tahun ini bernama Naisyila Putri. Orang terdekat sering memanggilnya Nana. Di rumah besar dengan empat kamar tidur dan tiga kamar mandi ini ia hanya tinggal seorang diri. Bukan karena orang tua dan kerabatnya berada di luar kota, namun karena mereka semua sudah tiada sejak beberapa tahun yang

lalu.

Dulu, dia adalah gadis yang penuh dengan senyuman yang mengembang di bibir nya. Ibarat seorang anak kecil yang gemar berlari-lari di padang bunga yang luas, menghirup udara musim panas yang hangat, lepas tanpa beban. Kini yang tersisa dari nya hanya lah raga yang penuh dengan tekanan masa lalu.

Kakek nya meninggal dunia saat Nana kelas 2 SMA sedangkan nenek nya meninggal dunia saat Nana masuk kuliah semester pertama.

Kematian kakek dan nenek nya tidak terlalu membuat Nana sedih berkepanjangan karena kondisi kakek maupun neneknya memang sudah sakit-sakitan sejak Nana SMP. Namun, kecelakan yang menewaskan Ayah, Ibu, Abang dan tiga orang adiknya jelas sangat membuat Nana terpukul berat hingga sulit untuk bernapas kala itu.

Jam menunjukkan pukul 05.35 WIB, pintu kamar mandi perlahan terbuka. Nana melangkah keluar kemudian mengambil sajadah lalu menggelarnya di atas lantai. Tangan kanannyamengambil mukenah berwarna putih susu kemudian memakainya. Nana pun mulai khusyuk menunaikan ibadah shalat shubuh nya. Tak lupa setelah salam ia berdoa.

Setelah merapikan kembali perlengkapan shalat nya, Nana pun berjalan menuju ranjangnya. Mata nya kemudian menatap ponsel pintar di atas tumpukan buku yang mulai berdebu. Tangannya perlahan sedikit gemetar saat menggenggam ponsel tersebut. Ponsel berwarna putih susu ini penuh dengan kenangan. Hampir 3 tahun lama nya ia tidak berani menyentuh ponsel tersebut.

Tidak pernah melihat isi pesan yang terus berdenting, tidak pernah mengangkat satu pun nomor telepon yang masuk. Sungguh, Nana benar-benar membuat diri nya menghilang bak di telan bumi sejak kecelakaan besar itu. Sahabat, baik yang laki-laki maupun perempuan tidak pernah ditemuinya. Kerabat jauh yang datang berbelasungkawa pun tidak pernah digubrisnya dengan baik.

Jiwa nya telah lama kosong. Dalam tiga tahun terakhir ia mengisi hari nya berteman kan kesepian dan mencintai kesendirian itu sendiri.

Namun, hari ini beda. Ia harus bangkit.

Bangkit dan menyapa kembali oaring-orang yang dahulu telah di lupakannya bersama kenangan buruk.

“Bismillah,” ucap nya kemudian.

Jari-jari nya yang panjang perlahan mulai menekan tombol on/off ponsel pintar tersebut. Walaupun tiga tahun telah berlalu, tetapi Nana selalu ingat untuk mengisi pulsa kartu nya sehingga masih aktif sampai sekarang.

Perlahan layar gelap ponsel tersebut menyala menampilkan ikon nya yang berwarna merah kemudian berpendar-pendar. Tampak layar kunci yang dihiasi wallpaper tokoh komik kesukaannya dahulu.

Tanpa disadari bulir bening mulai berjatuhan dari sudut mata bulat nya. Sungguh berat rasanya, hati nya pun berkecamuk. Seakan terdapat gemuruh kecil yang bergejolak.

“Nggak Na, lo harus kuat,” lirih nya pelan.

“Kamu udah pergi cukup lama, udah cukup kabur-kaburannya, udah cukup. Kali ini kamu harus bangkit dan menerima kembali,” lirih nya lagi.

Mungkin bagi sebagian orang perasaan atau pun tingkah laku Nana sungguh aneh. Mengapa harus menghilang dan menghindar dari orang-orang yang peduli dengannya? Jawabannya, karena ia tidak ingin merasa kehilangan lagi. Jadi, lebih baik membiasakan diri berteman dengan kesepian dan mencintai kesendirian.

Nana mulai memasukkan kata sandi ponsel nya “I love you Ily”. Seketika dada nya pun bergemuruh membuat nya sulit bernapas. Tangan kanannya menekan kuat bagian tengah dada nya, tepat pada rasa sakit itu.

“Hah, hah, huuuftth.” desah nya sembari menarik

napas kemudian.

“Ily ku apa kabar?” tanya Nana pelan dengan tatapan sendu.

Ily adalah cinta sekaligus luka bagi Nana. Mengenal nya merupakan hadiah yang tidak pernah terkira namun pada akhir nya Ily juga pergi ke tempat yang tidak bisa ia rengkuh.

Sakit yang di rasakan karena di tinggal oleh keluarga dan di tinggal oleh cinta nya membuatnya membangun sebuah benteng yang tinggi dan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya yaitu tidak akan lagi mengenal apa itu cinta dan tidak akan pernah menikah.

Tidak!!

Sudah cukup rasa nya.

Ayah, mamak, maafkan aku yang tidak pernah menjadi seorang anak yang baik bagi kalian. Perkataan lembut yang menyenangkan tidak pernah kalian dengar dariku, hanya kata-kata kasar yang penuh dengan emosi yang selalu terucap. Semoga, doa-doa ku selama ini cukup, cukup menjadi bukti rasa cinta ku.

Abang, kita jarang jumpa. Kita jarang bicara. Kamu memang bukan abang yang terbaik dan juga hebat. Tapi kamu tetap lah abangku. Luka yang kamu rasakan juga lah luka ku. Bahagia mu juga menjadi bahagia ku. Terima kasih untuk selama ini. Kamu abang terganteng sekaligus terjelek di mataku, kamu yang terbaik sekaligus yang terburuk. Apapun itu, aku sayang Abang, semoga Allah memberikan tempat yang terbaik bagi Abang dan mengampuni segala dosa abang. Aamiin..

 Aldi, Angga dan Ayi. Kalian adalah permata dalam hidup kakak. Kalian membuat kakak bahagia sekaligus menderita. Kesal, tawa, tangis dan juga dendam di dalam hubungan ini kita lewati bersama. Tanpa kalian, sekarang hari kakak menjadi sepi. Nggak ada yang buat kakak marah, nggak ada yang buat kakak ketawa dan juga nangis.

Aku pernah berpikir bagaimana jadi nya hidupku tanpa kalian semua? Apakah lebih bahagia?

Jawabannya, aku terpuruk bahkan hingga ke dasar nya. Di hadapan ku hanya ada sebuah ruangan hampa, tidak ada tanya, tawa atau pun canda. Di bawah ku sebuah jurang. Dan di belakangku ada kalian yang membawa cinta sekaligus luka ini.

Nana terdiam lama. Air mata nya masih menetes sebanyak luka masa lalu yang terngiang di kepala nya.

Tiba-tiba saja ponsel pintar yang digenggam nya berdering. Dering “bounce” yang sudah lama tidak didengarnya kini terdengar sangat nyaring di telinganya. Sebuah nomor tidak dikenal muncul di layar ponsel nya.

“Kok bisa ada yang telepon?” tanya nya heran.

“Ponsel ini kan baru aja ku nyalakan. Gimana bisa?” tanya nya lagi.

“Ini, nomor siapa?”

 

 

BAB 1. BANGKIT

Ruangan berukuran 4 × 4 meter persegi itu lengang. Perlahan tirai jendela berwarna putih susu bergerak, mengibas ke sembarang arah karena tertiup angin yang berasal dari ventilasi jendela. Semilir angin dingin dan lembut menyelinap masuk dan menyentuh mesra kulit pipi gadis tersebut.

“Uhh, dingiiin,” gumam nya perlahan seraya menarik selimutnya hingga ke leher.

Rintik hujan gerimis perlahan terdengar. Angin yang semula lembut kini berangsur kencang. Tirai jendela yang semula bergerak perlahan kini bergerak ke sembarang arah dengan kuat. Gadis tersebut mulai terusik. Selimut yang semula masih memberikan kehangatan kini tidak membantu apapun.

“Duh gila dingin banget, hooaaaam,” gumamnya lagi seraya menguap.

Matanya yang bulat dengan bulu mata panjang dan lebat perlahan terbuka. Sekilas dia perhatikan suara rintik hujan dari jendela lantas kemudian melirik jam beker di samping ranjangnya.

“Yaa ampun udah setengah enam!! Gilaaa, aku telat shalat shubuh. Astaghfirullahal’adzim!” Istighfar nya kemudian sembari beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi.

Gadis berumur 25 tahun ini beranama Naisyila Putri. Orang terdekat sering memanggilnya Nana. Di rumah besar dengan empat kamar tidur dan tiga kamar mandi ini ia hanya tinggal seorang diri. Bukan karena orang tua dan kerabatnya berada di luar kota, namun karena mereka semua sudah tiada sejak beberapa tahun yang lalu.

Dulu, dia adalah gadis yang penuh dengan senyuman yang mengembang di bibir nya. Ibarat seorang anak kecil yang gemar berlari-lari di padang bunga yang luas, menghirup udara musim panas yang hangat, lepas tanpa beban. Kini yang tersisa dari nya hanya lah raga yang penuh dengan tekanan masa lalu.

Kakek nya meninggal dunia saat Nana kelas 2 SMA sedangkan nenek nya meninggal dunia saat Nana masuk kuliah semester pertama.

Kematian kakek dan nenek nya tidak terlalu membuat Nana sedih berkepanjangan karena kondisi kakek maupun neneknya memang sudah sakit-sakitan sejak Nana SMP. Namun, kecelakan yang menewaskan Ayah, Ibu, Abang dan tiga orang adiknya jelas sangat membuat Nana terpukul berat hingga sulit untuk bernapas kala itu.

Jam menunjukkan pukul 05.35 WIB, pintu kamar mandi perlahan terbuka. Nana melangkah keluar kemudian mengambil sajadah lalu menggelarnya di atas lantai. Tangan kanannya mengambil mukenah berwarna putih susu kemudian memakainya. Nana pun mulai khusyuk menunaikan ibadah shalat shubuh nya. Tak lupa setelah salam ia berdoa.

Setelah merapikan kembali perlengkapan shalat nya, Nana pun berjalan menuju ranjang nya. Mata nya kemudian menatap ponsel pintar di atas tumpukan buku yang mulai berdebu. Tangannya perlahan sedikit gemetar saat menggenggam ponsel tersebut. Ponsel berwarna putih susu ini penuh dengan kenangan. Hampir 3 tahun lama nya ia tidak berani menyentuh ponsel tersebut.

Tidak pernah melihat isi pesan yang terus berdenting, tidak pernah mengangkat satu pun nomor telepon yang masuk. Sungguh, Nana benar-benar membuat diri nya menghilang bak di telan bumi sejak kecelakaan besar itu. Sahabat, baik yang laki-laki maupun perempuan tidak pernah ditemuinya. Kerabat jauh yang datang berbelasungkawa pun tidak pernah digubrisnya dengan baik.

Jiwa nya telah lama kosong. Dalam tiga tahun terakhir ia mengisi hari nya berteman kan kesepian dan mencintai kesendirian itu sendiri.

Namun, hari ini beda. Ia harus bangkit.

Bangkit dan menyapa kembali oaring-orang yang dahulu telah di lupakannya bersama kenangan buruk.

“Bismillah,” ucap nya kemudian.

Jari-jari nya yang panjang perlahan mulai menekan tombol on/off ponsel pintar tersebut. Walaupun tiga tahun telah berlalu, tetapi Nana selalu ingat untuk mengisi pulsa kartu nya sehingga masih aktif sampai sekarang.

Perlahan layar gelap ponsel tersebut menyala menampilkan ikon nya yang berwarna merah kemudian berpendar-pendar. Tampak layar kunci yang dihiasi wallpaper tokoh komik kesukaannya dahulu.

Tanpa disadari bulir bening mulai berjatuhan dari sudut mata bulat nya. Sungguh berat rasanya, hati nya pun berkecamuk. Seakan terdapat gemuruh kecil yang bergejolak.

“Nggak Na, lo harus kuat,” lirih nya pelan.

“Kamu udah pergi cukup lama, udah cukup kabur-kaburannya, udah cukup. Kali ini kamu harus bangkit dan menerima kembali,” lirih nya lagi.

Mungkin bagi sebagian orang perasaan atau pun tingkah laku Nana sungguh aneh. Mengapa harus menghilang dan menghindar dari orang-orang yang peduli dengannya? Jawabannya, karena ia tidak ingin merasa kehilangan lagi. Jadi, lebih baik membiasakan diri berteman dengan kesepian dan mencintai kesendirian.

Nana mulai memasukkan kata sandi ponsel nya “I love you Ily”. Seketika dada nya pun bergemuruh membuat nya sulit bernapas. Tangan kanannya menekan kuat bagian tengah dada nya, tepat pada rasa sakit itu.

“Hah, hah, huuuftth.” desah nya sembari menarik napas kemudian.

“Ily ku apa kabar?” tanya Nana pelan dengan tatapan sendu.

“Aku, aku, maaf, beberapa waktu ini aku ngelupain kamu, huu huu hiks hiks” tangis nya kemudian.

Ily adalah cinta sekaligus luka bagi Nana. Mengenal nya merupakan hadiah yang tidak pernah terkira namun pada akhir nya Ily juga pergi ke tempat yang tidak bisa ia rengkuh.

Sakit yang di rasakan karena di tinggal oleh keluarga dan di tinggal oleh cinta nya membuatnya membangun sebuah benteng yang tinggi dan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya yaitu tidak akan lagi mengenal apa itu cinta dan tidak akan pernah menikah.

Tidak!!

Sudah cukup rasa nya.

Ayah, mamak, maafkan aku yang tidak pernah menjadi seorang anak yang baik bagi kalian. Perkataan lembut yang menyenangkan tidak pernah kalian dengar dariku, hanya kata-kata kasar yang penuh dengan emosi yang selalu terucap. Semoga, doa-doa ku selama ini cukup, cukup menjadi bukti rasa cinta ku.

Abang, kita jarang jumpa. Kita jarang bicara. Kamu memang bukan abang yang terbaik dan juga hebat. Tapi kamu tetap lah abangku. Luka yang kamu rasakan juga lah luka ku. Bahagia kamu juga menjadi bahagia ku. Terima kasih untuk selama ini. Kamu abang terganteng sekaligus terjelek di mataku, kamu yang terbaik sekaligus yang terburuk. Apapun itu, aku sayang Abang, semoga Allah memberikan tempat yang terbaik bagi Abang dan mengampuni segala dosa abang. Aamiin..

Aldi, Angga dan Ayi. Kalian adalah permata dalam hidup kakak. Kalian membuat kakak bahagia sekaligus menderita. Kesal, tawa, tangis dan juga dendam di dalam hubungan ini kita lewati bersama. Tanpa kalian, sekarang hari kakak menjadi sepi. Nggak ada yang buat kakak marah, nggak ada yang buat kakak ketawa dan juga nangis.

Aku pernah berpikir bagaimana jadi nya hidupku tanpa kalian semua? Apakah lebih bahagia?

Jawabannya, aku terpuruk bahkan hingga ke dasar nya. Di hadapan ku hanya ada sebuah ruangan hampa, tidak ada tanya, tawa atau pun canda. Di bawah ku sebuah jurang. Dan di belakangku ada kalian yang membawa cinta sekaligus luka ini.

Nana terdiam lama. Air mata nya masih menetes sebanyak luka masa lalu yang terngiang di kepala nya.

Tiba-tiba saja ponsel pintar yang digenggam nya berdering. Dering “bounce” yang sudah lama tidak didengarnya kini terdengar sangat nyaring di telinganya. Sebuah nomor tidak dikenal muncul di layar ponsel nya.

“Kok bisa ada yang telepon?” tanya nya heran.

“Ponsel ini kan baru aja ku nyalakan. Gimana bisa?” tanya nya lagi.

“Ini, nomor siapa?”

...***...

BAB 2. TELEPON

Nana hanya menatap heran pada layar ponsel yang menampilkan nomor tidak dikenal disana. Perasaan yang semula bergemuruh karena teringat akan masa lalunya kini dipenuhi oleh tanda tanya. Belum sempat ia mengambil keputusan, telepon masuk tersebut akhirnya berhenti. Namun beberapa detik kemudian berdering kembali.

“Huuufth, ya udahlah angkat aja ….”

“Tapi aneh bener, begitu di aktifin ponselnya bisa langsung ada yang nelpon?” Tangan kanannya memagut dagunya pelan dengan tatapan yang masih menatap heran pada nomor yang tidak dikenal itu.

Ia masih menimang-nimang dan akhirnya senyum khas milik wanita muda itu terulas singkat. Tampak ciprat ide nakal tercetak pada paras cantiknya.

“Angkat aja deh, kali aja penting. Ketok ketok berhadiah boleh juga, hahaha. Mana tahu kan aku menang doorprize apa gitu, tapi masa iya sih? Haduh, bismillah angkat ….” Putusnya diikuti tawa renyah.

Nana pun mengklik ikon berwarna hijau. Jedag-jedug jantungnya berdetak. Asli penasaran tapi ya heran juga, kayak campur-campur gitu perasaannya. Gimana ya bilangnya, ya aneh tapi nyata. Ah, itulah intinya.

“Nanaaaaaaaa! Alhamdulillah ya Allah, alhamdulillah diangkat juga ….”

“Yaa Allah, untuk sekian lama akhirnya diangkat juga, hekh … hekh … hu-hu-hu ….” Tambahnya diikuti isakan tangis.

Detak jantungnya yang tadi sempat bergemuruh karena harap-harap cemas perihal telepon aneh yang masuk tersebut begitu mendengar suara perempuan diujung telepon semakin membuatnya sesak. Air matanya yang sedari tadi hanya menggenang di pelupuk mata ketika mendengar suara perempuan itu ditambah lagi isakan tangisnya yang amat jelas terdengar, membuatnya turut terisak pula.

“Ni-Nia?”

“Ni-Nia? Ini beneran kamu kan?” tanya Nana menahan isakannya sejenak.

Suara isakan diujung telepon mereda sejenak dan terdengar pula perempuan tersebut menarik napasnya dalam.

“Bodoh! Nana bodoh! Bodoh banget! Kebangetan! Gue benci sama lo! Bisa-bisanya lo ngilang dan nggak ngabarin apapun sama gue sampai tiga tahunan! Lo jahat Na! Jahat! Sedikit aja nggak bisa lo mikirin perasaan gue, hah?!” umpatnya kesal.

“Hekh … hekh … hu-hu-hu … sekali aja, coba sekali aja lo mikirin perasaan gue Na, yaa Allah … sesusah itu ya bagi sedih lo sama gue? Senggak penting itu gue di mata lo?” Tambahnya.

Isakan Nana terdengar semakin berat dan lama setelah mendengar ucapan Nia barusan. Apa yang dirasakan Nia yang merupakan sahabatnya lamanya itu juga turut dirasakannya. Ia ingin sekali menjelaskan banyak hal, mengucapkan banyak hal namun hatinya kelu dan sakit hingga hanya satu kata yang mampu terucap dari bibirnya yang bergetar pelan.

“Ma-maaf ….”

“Na … hekh … hekh … kamu tahu nggak gue kangeen banget sama lo. Kangeen Na … kangen!”

“Aku juga! Aku juga kangen sama kamu Nia! Kangen banget ….”

“Bohong! Lo tahu Na, air mata gue sekarang nggak mau berenti ha … gara-gara siapa coba?” Terdengar Nia mengatur napasnya kembali seraya menyeka ujung hidungnya yang sampai berair.

“Hih sampe ingusan, hahaha ….” Ledek Nana seraya turut menyeka air matanya dengan ujung jilbab.

“Bodo amat! Punya sohib dari kecil dicintai kek anak sendiri malah tiba-tiba ngilang nggak ada kabar sama sekali. Entah tinggal dimana pun orang nggak tahu, ditelponin nggak pernah diangkat, di smsin setiap hari juga nggak pernah dibales, sibuuuk terus teleponnya, mana gue nggak ada nomor baru lo lagi. Sadar nggak lo hah? Kenapa sih Na? Kenapa sampe kek gini? Lo nggak anggep gue lagi?”

Nana menggeleng kuat, tentu saja ia tidak pernah berpikir atau pun melupakan sahabatnya ini. Nia adalah sahabatnya dari kecil, namun harus terpisahkan karena Nia dan keluarganya pindah ke Pekanbaru saat mereka masih duduk di bangku SMP. Dan akhirnya mereka berjumpa lagi dibangku kuliah dengan jurusan yang sama pula.

“Nggak gitu Ni … aku nggak pernah punya maksud kayak gitu Nia, serius!”

“Terus apa? Ngilang sampe tiga tahun Na, bayangin tiga tahun! Lo pikir tiga tahun itu bentar? Setiap hari Na, nggak pernah nggak gue coba nelepon lo. Perasaan gue nggak pernah berubah, kadang … pernah kepikir juga, apa mungkin Nana udah nggak nganggep gue sahabatnya lagi? Apa mungkin Nana udah nggak mau berhubungan sama masa lalunya? Tapi kenapa? Di masa lalu lo kan ada gue, Na! Ada persahabatan kita! Jahat!”

Isak tangis Nana semakin mengencang mendengar ucapan Nia barusan. Rasa sakit didadanya pun semakin bertambah, begitu juga dengan air matanya yang semakin menderas. Rasanya apa yang sudah dilakukannya yaitu keputusan untuk menghilang dan menyendiri bukanlah keputusan yang baik, karena ternyata bukan hanya dirinya saja yang terluka, tapi sahabat dan kerabat yang coba diabaikannya juga.

“Yaa Allah ….” Batinnya lirih.

“Ma-maaf … aku pikir, keputusan ini yang tepat. Maaf … maaf Nia … aku nggak ada maksud buat kamu susah juga kayak gini ….”

“Kamu ternyata sampai coba ngehubungin aku terus tapi aku nggak tahu, ponselnya kumatikan. Nggak berani dinyalain, sakit Ni … sakit banget rasanya ditinggal sendiri di dunia yang bahkan nggak tahu kalau keluarga sedarahku semuanya udah nggak ada lagi ….” Tambah Nana.

Nia menarik napasnya dalam mendengar penuturan sahabatnya itu. Beginilah Nana, Nana biasanya dan akan selalu jadi tempat curhatnya bahkan untuk perihal yang kecil sekalipun, tapi apa? Wanita ini justru lebih sering memendam perasaannya dan berkutat dengan logikanya sendiri.

“Dasar! Dasar! Ngeselin! Memang cuma lo yang paling nyebelin Na! Nyebelin! Nyebelin-nyebelin tapi … gue sayang banget! Gue sayang banget sama lo Na … Lo nggak sendiri … gue akan selalu ada, tapi kenapa lo lupa? Lo yang bilang persahabatan kita bukan hanya persahabatan di dunia aja, tapi kita juga sahabat ke surgaNya kan Na?” tanyanya klise.

Ada ciprat senyum lega di sudut bibirnya saat mengatakan hal itu. Baginya hanya ada satu sahabat dan itu sudah cukup, yaitu Nana. Naisyila Putri. Atas ucapannya barusan, tangis Nana entah kenapa semakin mengencang, hingga wanita itu terdengar beberapa kali terisak kuat yang justru membuat Nia merasa bersalah. Mungkinkah ia sudah kelewatan marahin sahabatnya itu?

“Udah dong nangisnya, gue nggak beneran marah sama lo … perasaan gue seneng, seneng banget. Tapi entah kenapa pengen marahin kebodohan lo juga, nggak salah paham kan? Gue seneng Na, saking senengnya bisa bikin candi sekarang juga!” candanya hingga membuat tangis Nana mereda dan berganti dengan tawa renyah yang sangat enak didengar.

Ah iya, ngomong-ngomong dua perempuan ini sebenarnya punya karakter yang beda banget. Jadi, Nana itu lebih banyak diamnya tapi receh banget, jadi suka ketawa bahkan untuk hal sepele dan kecil sekalipun. Sebenarnya nggak pendiam banget sih, tipe introvert kalau sama orang baru tapi bisa asik banget diajak ngobrol kalau sama sahabat atau keluarga, nah begitu. Dan karena sudah kebiasaan juga dari kecil kalau ngomong itu bahasanya ‘aku, kamu’ beda sama Nia yang anaknya ekstrovert abis dan suka seru-seruan. Gaya ngomongnya juga kalau sama teman sejawat lebih sering pakai ‘gue, lo’.

“Nah, gitu kan enak ketawa. Hampir aja lo bikin gue takut Na. Oh iya, apa kabar sohib gue yang ngilangnya gak kira-kira? Sehat kan? Kalo gue sama keluarga alhamdulillah sehat semua ….” Tanya dan jelasnya kemudian.

Senyum Nana terulas sempurna mendengar ucapan sahabatnya barusan.

“Oh iya, ada satu sih yang nggak sehat,” tambah Nia lagi.

“Siapa? Om Ahmad baik-baik aja kan? Tante gimana?” buru Nana dengan napas tertahan.

Baginya, papa dan mama Nia sudah seperti orang tuanya sendiri, itu mengapa jika kondisi keduanya sampai tidak sehat sudah pasti akan membuatnya kepikiran juga.

“Alhamdulillah sehat, yang nggak sehat itu abang gue Na.”

“Emang abang kamu kenapa?”

“Umurnya udah tiga puluhan, tapi masih aja betah single. Kan gedeg gue liatnya, tu orang gila kerja banget! Na, daftar gih jadi kakak ipar gue, ya-ya-ya?”

Nana terkikik kecil seraya menggelengkan kepalanya mendegar ucapan sahabatnya itu. Ia sendiri juga belum ada kepikiran untuk menikah dan mereguk nikmat cinta lagi, apalagi jika itu cinta yang berasal dari manusia. Ia masih terluka dan masih takut jika harus mencintai dan kehilangan lagi.

“Ih kok ketawa aja sih lo? Ditawarin juga.” Dengus Nia sebal.

“Kek apa aja ditawarin, aku juga belum ada kepikiran mau nikah Nia. Oh iya, gurls gimana Ni? Kamu masih jaga kontakkan sama temen kuliahan kita kan?”

“Geng gurls lo kebanyakan udah pada nikah sih, tapi ada juga yang belum. Oh iya Na, gue ada permintaan dan ini harus diturutin. Plis, maksa!”

Tawa Nana semakin pecah mendengar ucapan Nia barusan, minta tapi maksa gimana ceritanya?

“Apa?” balas Nana santai.

“Ke pekanbaru ya? Plis … kangen banget. Pengen peluk, belanja bareng, makan terus curhat-curhatan lagi. Plis, gue tahu lo ada di Rokan Hilir sekarang, walaupun gue nggak tahu rumah lo tepatnya dimana yang sekarang, soalnya pernah kami cariin hari itu, jung-ujungnya nggak ketemu. Dan sekarang lo bisa ditelpon, alhamdulillah banget, dan sebagai gantinya … plis jan ngilang-ngilang lagi. Beresin pakaian lo, besok cus ke Pekanbaru. Oke?”

DEG.

...***...

Bab 1 ada dua? Iya, memang ada dua karena nggak sengaja keupload dua kali.

Selain itu, untuk tulisan bab 1 tidak bisa author perbaiki tulisannya karena naskahnya tidak sengaja terhapus di platform. Maaf atas ketidaknyamanannya, selamat membaca.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!