Afnaya adalah gadis periang. Namun, setelah dirinya mengalami kecelakaan hebat, membuatnya menjadi sosok wanita yang mudah menyerah. Afna gadis yang masih muda, berusia dua puluh empat tahun yang belum lama telah menyelesaikan pendidikannya. Afna masih ingin mengejar cita citanya setinggi mungkin. Tetapi sang pacar mendesaknya untuk segera menikah. Dengan berat hati, kedua orang tua Afna mengizinkan putrinya untuk segera menikah.
Disaat pernikahannya yang tinggal menunggu beberapa waktu lagi, nasib buruk tengah menimpanya. Sebuah kecelakaan yang harus Afna terima dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Disaat hari bahagianya akan mendekati, kenyataan pahit harus diterima oleh Afnaya. Sang calon suaminya tiba tiba memintanya untuk membatalkan pernikahannya. Afna sangat terpukul saat calon suaminya memintanya untuk membatalkan pernikahannya yang sudah hampir mendekati tanggal yang sudah ditentukan.
Afna hanya berdiam diri membisu, bibirnya tidak dapat untuk berucap. Tatapan matanya pun kosong, hari bahagia yang sudah dinanti nantikan nya harus pupus begitu saja.
Keluarga Afna sangat terpukul terutama sang Ayah yang begitu mencintai Afna putri kesayangannya, dan sang Ayah akhirnya meminta pertanggung jawaban dari keluarga pihak laki laki. Orang tua Afnaya semakin emosi karena pembatalan pernikahan putrinya secara tiba tiba. Ditambah lagi dengan kondisi Afna yang sangat memprihatinkan. Mau tidak mau, keluarga pihak laki laki harus bertanggung jawab atas penggagalan hari pernikahan yang sudah ditentukan.
Keluarga dari calon suami Afna harus siap menerima permintaan dari keluarga Afna yang tidak lain adalah keluarga Danuarta.
Sedangkan yang akan jadi penggantinya yang tidak lain adalah adik dari calon suami Afna yang bernama Zayen Arganta.
Zayen Arganta berusia dua puluh empat tahun memiliki sifat yang sangat dingin dan juga terlihat angkuh. Semua wanita tidak ada yang berani mendekatinya.
Berbeda dengan sang kakaknya yang bernama Seynan Arganta berusia 26 tahun, sifat dan sikap yang sangat berbeda jauh diantara keduanya. Hanya saja sama sama memiliki ambisi yang sangat kuat namun ambisi yang berbeda.
Afna masih mematung diri dan bersandar di atas tempat tidurnya, seakan dunia Afna menjadi gelap. Harapan yang sudah ia rangkai, kini harus hancur seketika. Afna lebih banyak diam dan memilih untuk tidak banyak bicara. Kedua orang tua Afna sangat sedih melihat kondisi Afna yang tidak seperti dulu yang periang.
Dengan pelan, sang ibu mendekati Afna untuk menghiburnya. Namun, tetap saja tidak mendapat respon dari Afna.
"Afna, sampai kapan kamu akan mengurung diri dikamar ini? lihatlah, masa depan kamu masih panjang.
"Apa..!! masa depan Afna, mama bilang. Tidak! Afna tidak lagi memiliki masa depan, semua sudah hancur masa depan Afna. Afna tidak lagi percaya dengan masa depan! ma." Ucap Afna dengan suara meninggi.
"Afna, kamu harus sadar. Kamu tidak boleh putus asa, nak.." ucap sang ibu langsung memeluk putrinya. Afna sendiri segera menepis kedua tangan ibunya yang hendak memeluknya.
"Mama lebih baik keluar! Afna tidak ingin berbicara dengan siapapun. Pergi...!!" Teriak Afna kemudian mengganti posisinya untuk mengalihkan pandangannya kearah samping.
"Aw! aaaaaa." Afna menahan rasa sakit pada bagian kakinya dan berteriak sekeras mungkin untuk melampiaskan amarahnya. Sang ibu segera mendekatinya lagi dan memeluknya dengan erat, berusaha untuk menenangkan putrinya agar tidak menjadi lebih histeris.
"Afna sayang, tenangkan pikiranmu. Kamu jangan paksakan kakimu untuk bergerak, jika kamu tidak mampu untuk menahan rasa sakit." Ucap sang Ibu yang berusaha menenangkan putrinya.
Sang Ayah yang mendengarkan teriakan putrinya pun, Beliau merasa tidak ada guna menjadi seorang Ayah. Secepat mungkin segera menemui putri kesayangannya yang berada didalam kamar.
"Afna," panggil sang ayah dengan terburu-buru masuk ke kamar putrinya.
"Ada apa dengan Afna, Ma." Dengan nafasnya yang susah untuk diatur, sang Ayah langsung duduk disebelah putrinya.
"Afna, maafkan Papa. Papa janji akan selalu berusaha untuk kesembuhan kamu. Bersabarlah, kamu pasti bisa untuk melewatinya." Ucapnya lalu memeluk putri kesayangannya, Afna pun tidak ada penolakan dengan sikap sang Ayah terhadap dirinya.
"Pa... kenapa Seynan tidak pernah mendatangiku?" tanya Afna tidak bersemangat. Kemudian, sang Ayah melepaskan pelukannya dan menatap lekat wajah putrinya yang terlihat begitu sedih.
"Afna, maafkan Papa. Bahwa Seynan..." tiba tiba kalimatnya menggantung, bibirnya sangat berat untuk berucap.
"Afna," suara yang dirindukan Afna telah terdengar jelas di telinganya. Afna segera menoleh ke sumber suara.
"Seynan, benarkah itu kamu?" senyum mengembang, Afna memanggil sosok yang sangat dirindukannya. Dengan pelan, orang yang sangat dicintai Afna kini mendekatinya. Kedua orang tua Afna segera menyingkir untuk memberi waktu kepada putrinya agar bisa melepas rindu dengan calon suaminya.
Seyn duduk didekat Afna, terlihat senyum merekah di bibir merah Afna yang manis.
"Seyn, kenapa kamu baru menjengukku? kamu tahu? aku sudah sangat merindukanmu. Aku sudah tidak sabar dengan pernikahan kita, sebentar lagi kita akan menjadi suami istri. Rasanya aku benar benar sudah tidak sabar bersanding denganmu. Aku pasti sangat bahagia, dan aku akan berusaha untuk segera sembuh. Agar aku tidak membuatmu malu saat dihari pernikahan kita, aku akan semangat dan berusaha." Sambil memegangi tangan Seynan, Afna tidak henti hentinya mengharapkan sesuatu yang akan membawanya ke titik kebahagiaan.
Seyn masih saja terdiam, mencoba menjadi pendengar setia untuk Afna. Mau tidak mau, Seynan segera membuka pembicaraannya.
"Afna, maafkan aku." Dengan menatap lekat wajah Afna, Seynan berusaha untuk mengatakannya.
"Maaf, maaf untuk apa?" tanyanya yang masih menyimpan rasa penasarannya.
"Sepertinya pernikahan kita...." ucapannya pun menggantung. Afna yang sudah mendengarnya serius pun harus dibuatnya penasaran.
"Pernikahan kita? aku masih belum mengerti, apa mau dimajukan tanggal pernikahan kita?" tanya Afna menatapnya dengan lekat. Seyn yang menatap wajah Afna sedikit merasa tidak tega untuk mengungkapkannya.
"Afna, kedatanganku kemari sebenarnya aku mau membatalkan pernikahan kita."
"Apa!" teriak Afna dan mencengkram seprei dengan kuat. Ucapan Seyn terasa cambuk yang begitu dahsyat di telinga Afna. Nafasnya terasa sesak, detak jantungnya bergemuruh hebat. Seakan ingin melayangkan tangannya ingin segera menampar wajah tampan milik Seyn. Namun Afna tidak kuasa melakukannya, dirinya hanya berusaha mencoba untuk menahannya.
Afna sendiri masih terdiam membisu, bahkan bibirnya terasa berat untuk berucap. Dirinya seakan ingin tuli dan buta sekaligus, agar apa yang ia dengar itu salah dan apa yang ia lihat juga salah. Namun, apa hendak dikata dirinya tidak bisa berbuat apapun. Hanya bulir bulir air matanya yang bisa ia tumpahkan dan untuk menuangkan rasa sakit yang telah ia dengar.
Seyn yang menatapnya merasa menyesal akan ucapannya yang tengah menyakiti perasaan Afna dengan terang terangan, bahkan dengan kondisi Afna yang terbilang sangat memprihatinkan itu. Seyn ingin menarik ucapannya kembali agar Afna dapat memaafkannya. Namun, amarah Afna terlihat jelas pada diri Afna.
"Afna, maafkan aku. Jika ucapanku barusan telah melukai perasaan kamu, aku benar benar meminta maaf." Seyn masih berusaha meminta maaf kepada Afna dengan serius.
BUG!
Sang kakak pun tidak tinggal diam ketika mendengar penuturan dari Seyn. Tanpa pikir panjang, sang kakak langsung meninju pada sudut bibir Seyn dengan amarah yang semakin memuncak. Sedangkan Seyn tidak membalasnya, hanya saja mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya itu.
"Apa maksudnya kamu membatalkan pernikahanmu dengan Afnaya, hah!" bentaknya dengan sorotan matanya yang tajam.
"Aku tidak mencintai adikmu, puas!" ucapnya dengan lantang.
BUG
Sang kakak melayangkan tinjuannya ke arah Seyn kembali.
"Cukup!" bentak Afna sekeras mungkin, keduanya terdiam. Kemudian, kedua orang tua Afna segera masuk kedalam kamar karena terdengar sangat ricuh.
"Ada apa ini? ha!" bentak sang Ayah yang juga ikut emosi saat melihat wajah Seyn yang sudah terlihat memar.
"Kazza, apa yang kamu lakukan terhadap Seyn? ha!" dengan sorot mata yang tajam dari sang Ayah membuat Kazza semakin geram.
"Tanyakan saja pada calon menantu papa ini." Kazza dengan kesal terpaksa menjawabnya.
"Katakan Seyn, apa yang membuat kalian berdua berkelahi?" tanyanya. Lalu, kedua matanya tertuju kepada putrinya yang kini sudah berada di dekapan sang Ibu. Terlihat sangat jelas, bahwa Afna tengah menangis.
"Saya ingin membatalkan pernikahan dengan Afna, Paman."
Seketika, semua yang mendengarnya terasa tersambar petir disiang bolong tanpa disertai mendung.
"Apa! kamu ingin membatalkan pernikahan kamu dengan Afna, putriku? Ha! kamu pikir pernikahan itu sebuah mainan." Ucapnya dengan keras disertai emosi dan mencengkram kerah baju milik Seyn.
"Maaf Paman, saya mau meminta maaf." Jawabnya sambil mencoba menahan kerah bajunya.
"Apa kata kamu, minta maaf. Segampang itukah kamu mengucapkan kata maaf didepanku? ha!" ucapnya lagi sambil menatap tajam dihadapan Seyn.
Kazza yang melihatnya pun masih di sertai amarah yang memuncak. Kedua tangannya masih mengepal dengan geram, sorot matanya masih terlihat tajam. Sedangkan Afna masih dalam pelukan Ibunya dan menangis sesunggukkan.
"Maaf, Paman. Saya tidak mencintai Afna, dan saya mau membatalkan pernikahan dengan Afna." Seyn berusaha mengecilkan suaranya agar Ayah Afna segera melepaskan cengkramannya pada kerah bajunya. Tuan Tirta langsung melepaskan cengkramannya serta mendorong dengan kasar.
"Pergi sekarang juga! aku muak melihat wajahmu." Usir tuan Tirta yang sudah habis kesabarannya.
Tanpa berpikir panjang, Seyn segera pergi meninggalkan rumah Tuan Tirta begitu saja tanpa permisi.
Afna masih berada dipelukan sang Ibu, dengan pelan sang Ayah mendekati putrinya.
"Setelah ini, apa yang harus aku lakukan, Pa? aku tidak terima atas penghinaan semua ini, dan aku akan segera melenyapkan Seyn." Tanya Kazza dengan suara yang masih terlihat sangat kesal karena ulah Seyn.
"Papa akan segera menemui tuan Arga, sekarang juga." Jawabnya yang masih penuh diliputi rasa emosi.
"Jangan, Pa. Pokoknya jangan pergi sekarang. Tenangkan dulu pikiran Papa, karena mama tidak ingin emosi Papa semakin memuncak saat berhadapan dengan Tuan Arga." Imbuhnya berusaha menenangkan sang suami agar tidak terjadi permusuhan.
"Baiklah, mungkin besok." Jawab Beliau. Lalu segera keluar dari kamar Afna, sedangkan Kazza mencoba mendekati sang adik yang masih terlihat shok atas penuturan dari calon suaminya itu.
"Kazza, keluarlah. Tinggalkan adikmu, biarkan ibu yang akan menemaninya." Perintah sang ibu untuk tidak menambah beban pikiran putrinya.
"Afna, maafkan aku yang tidak bisa menyelidiki calon suami kamu sebelumnya. Maafkan aku, Afna. Beristirahatlah, jangan paksakan dirimu untuk berpikir yang tidak penting." Ucap Kazza, lalu segera keluar dari kamar adiknya.
Didalam kamar, tinggal lah sang Ibu dan Afna. Perasaan Afna masih dirundung kesedihan, seakan dirinya malas untuk berucap sepatah kata pun.
"Afna, istirahatlah. Kasihan dengan kesehatan kamu, jika kamu terus terusan menangisi Seyn. Kamu mendengarnya sendiri, 'kan?" pinta sang ibu yang juga ikut bersedih atas keputusan dari Seyn. Afna sendiri masih terdiam membisu, begitu berat untuknya berucap walau sepatah kata.
"Afna, Dengarkan Ibu. Kamu jangan siksa fisikmu karena Seyn, kamu masih mempunyai masa depan yang panjang. Percayalah, Papa pasti akan melakukan yang terbaik untuk kamu. Masih ada Ibu dan juga kakak kamu, Kazza." Ucap Ibunya mencoba menenangkan putrinya agar tidak terlalu berpikir buruk akan nasibnya.
Afna masih berdiam diri, tatapan kedua matanya terlihat kosong. Harapannya hancur seketika, apa yang sudah dinantikannya kini sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkannya.
"Afna, jangan kamu hukum fisik kamu. Percayalah dengan mama, semua akan ada jalan keluarnya. Kamu harus ingat itu, Afna." Ucap sang ibu berkali kali menguatkan putrinya yang sedari tadi hanya melamun saat kepergian Seyn dari hadapannya.
"Ma... apa karena Afna cacat, Afna yang tidak lagi sempurna." Afna yang tiba tiba berucap dan menangis, membuat sang Ibu teriris hatinya saat Afna mengatakan keadaan fisiknya.
"Kamu pasti akan sembuh, percayalah terhadap Mama." Jawabnya sambil mengusap rambutnya dan mencium pipi Afna penuh kasih sayang.
"Tapi, Ma... sampai kapan Afna akan bertahan dalam kondisi seperti ini. Lihatlah, kaki Afna yang satu sangat sulit untuk berjalan dengan normal. Afna sudah tidak memiliki harapan yang sempurna, Ma." Ucap Afna tidak bersemangat.
"Secepatnya, papa pasti akan melakukan pengobatan dan mencarikan Dokter yang dapat menyembuhkan kaki kamu." Jawab sang ibu berusaha menyemangati putrinya.
"Benarkah? Afna merasa tidak yakin." Ucap Afna masih tidak bersemangat, ditambah lagi Seyn dengan terang terangan mengungkapkan perasaannya bahwa Seyn tidak mencintainya. Afna yang mengingatnya pun masih merasakan sakit dalam hatinya. Mau tidak mau Afna harus melupakan Seyn, meski perasaannya masih mencintainya.
"Tentu saja benar, apa kamu meragukan Papa dan kakak kamu, Kazza?" jawabnya lalu bertanya.
"Afna yakin, jika kak Kazza dan papa pasti akan melakukan yang terbaik untuk Afna. Tetapi..." ucapnya menggantung.
"Tetapi kenapa, Afna. Apa kamu masih tidak percaya?" tanya sang ibu penasaran.
"Bagaimana dengan pernikahan Afna, Ma?" tanyanya lirih dan terasa berat untuk menanyakan akan pernikahannya yang terpaksa harus dibatalkan.
"Biarkan Papa dan Kazza yang akan menyelesaikan masalah pernikahan kamu. Yang harus kamu lakukan adalah beristirahat dan jangan banyak pikiran yang bisa memicu kesehatan kamu. Percayalah sama Mama, bahwa Papa dan Kazza dapat menyelesaikan semua masalah." Jawab sang Ibu berusaha untuk meyakinkan putrinya.
"Afna ingin sendiri dulu, ma. Afna ingin beristirahat, Afna capek." Pinta Afna yang sudah merasa jenuh akan memikirkan nasib buruknya yang sudah menimpanya.
"Baiklah, Mama akan segera keluar. Maafkan Mama yang tidak bisa berbuat apa apa untuk kamu. Mama hanya bisa mendoakan kamu dan menyemangati kamu." Jawab sang Ibu berusaha menenangkan pikiran putrinya.
"Maafkan Afna, Ma. Afna yang sudah membuat Mama dan Papa mendapat masalah sebesar ini. Mungkin jika Afna tidak buru buru meminta untuk segera menikah, mungkin tidak seperti ini kejadiannya." Ucapnya merasa bersalah.
"Sudah, kamu tidak perlu menyalahkan diri kamu sendiri. Kamu tidak bersalah, dan lebih baik sekarang kamu beristirahat. Kalau begitu, mama pamit untuk beristirahat. Tidak apa apa, 'kan? jika kamu membutuhkan sesuatu tinggal tekan tombol seperti biasa. Mama pasti akan segera datang." Jawab sang ibu mencoba menenangkan dan meyakinkan putrinya, agar tidak larut dalam kesedihannya dan tidak menyalahkan dirinya sendiri.
Dipagi hari, dengan langkah kaki yang terburu buru. Tuan Tirta segera pergi ke rumah Tuan Arga untuk dimintai tanggung jawabnya atas pembatalan pernikahan putrinya dengan Seyn.
"Papa, kenapa terburu buru. Kita sarapan dulu, Pa..." ucap sang istri menghentikan langkah suaminya yang hendak pergi begitu saja.
"Papa tidak lapar, mama sarapan saja dengan Kazza." Jawabnya yang langsung segera pergi.
"Pa, Kazza ikut." Ucap Kazza yang juga menghentikan langkah kaki sang ayah.
"Tidak, biar Papa yang akan menemui Tuan Arganta sendirian. Kamu cukup temani Mama kamu untuk sarapan, dan hari ini kamu cukup pergi ke Restoran." Jawabnya, lalu segera pergi dari rumah.
Kazza yang mendapat perintah dari sang Ayah hanya bisa nurut dan tidak membantah.
Setelah tuan Tirta sudah pergi, Kazza ikut duduk di ruang makan menemani ibunya untuk sarapan pagi.
Dengan cekatan, Kazza telah selesai menikmati sarapan paginya. Meski hanya berdua dengan sang Ibu, Kazza tetap lahap menikmati makanannya.
"Ma, bagaimana kondisi Afnaya? apakah semakin murung, atau.... sudah tidak begitu murung." Tanya Kazza yang masih cemas memikirkan keadaan sang adik, yang tidak lain Afna adalah saudara kembar Kazza.
"Kondisi Afna tidak ada perubahan, Afna masih merasakan sakit pada bagian kaki kanannya. Mama tidak tahu harus berbuat apa lagi untuknya. Ditambah lagi, undangan pernikahannya bersama Seyn sudah tersebar luas." Jawab sang ibu terlihat murung, Kazza sendiri pun bingung untuk mengatasi permasalahan yang begitu rumit untuk dipecahkan.
"Apa perlu, Kazza meminta Seyn untuk mencabut kembali ucapannya. Kazza tidak ingin membuat Afna terluka, Ma.
"Itu tidak mudah untuk Afna, bukankah kamu sudah tahu sendiri seperti sifat Afna. Mama juga tidak ingin Seyn mencintai Afna dengan berpura pura, itu akan menyakitkan Afna. Apa kamu tega, Afna bersuami namun tidak mendapatkan cintanya." Jelas sang ibu, kemudian menarik nafasnya agar tidak begitu sesak untuk menghirup udara.
"Mama benar, tapi bagaimana dengan rasa malu keluarga Danuarta. Lalu, apa yang dilakukan kepada papa di rumah Seyn. Sepertinya papa tetap menyelenggarakan pernikahan Kazza, soal entah siapa calon suaminya nanti." Terang Kazza berusaha mencoba menerka nerka.
"Kita tunggu saja sampai Papa pulang. Kalau begitu, Kazza mau pergi ke Restoran dulu. Takut ada sesuatu yang dibutuhkan oleh karyawan." Ujarnya, lalu segera beranjak pergi meninggalkan ruangan makan untuk bersiap siap. Sang Ibu hanya menganngguk mengisyaratkan menyetujui apa yang diucapkan oleh putranya.
Meski Kazza dan Afna telah dilahirkan bersama. Namun, nama diantara keduanya tidak seperti anak anak lainnya yang ikut identitas nama kembar. Nama yang sangat jauh berbeda meski keduanya kembar, Afnaya dan Kazza. Tetapi keduanya saling menyayangi satu sama lain, dan rasa sakit yang dirasakan oleh Afnaya pun Kazza merasakannya. Namun, Kazza selalu berusaha untuk menutupinya. Karena dirinya tidak ingin terlihat bodoh didepan Afnaya, saudara kembarnya.
Sedangkan Afna, dirinya sedang berbaring dengan posisi miring di tempat tidurnya, Afnaya merasa tidak ada guna lagi. Afna merasa sudah banyak merepotkan keluarganya, karena keadaannya yang masih saja belum ada perubahan.
Setelah menyelesaikan sarapan paginya, sang ibu segera bergegas masuk ke kamar Afna dan membawa sarapan pagi untuk putrinya.
Sang ibu membuka pintu kamar. Dilihatnya Afnaya putri kesayangannya masih belum bangun, dengan pelan sang ibu mendekatinya dan berusaha membangunkan Afna.
Dengan pelan, sang ibu meletakkan sarapan pagi untuk Afna di atas meja kecil yang tidak jauh dari tempat tidur.
"Afna, bangun. Sudah pagi ini loh, apa kamu tidak ingin menghirup udara yang segar dipagi hari?" panggil sang Ibu sambil meyelipkan rambut panjang milik Afna kesamping telinganya agar tidak mengganggu wajah cantik milik putrinya.
Sedangkan Afna masih belum juga merespon panggilan dari sang Ibu yang tengah membangunkannya. Afna masih tertidur pulas. Tidak berselang lama, kemudian Afna mencoba membukakan kedua matanya dengan pelan.
Dilihat oleh Afna, ada sang Ibu yang sudah berada didekatnya dan membuatnya merasa tenang.
"Afna, bangun. Sudah pagi, apakah kamu tidak ingin menghirup udara segar? sayang sekali jika kamu melewatkan pagi yang begitu cerah dan hangat. Dan tentunya sangat baik untuk kesehatan." Ucap sang ibu kembali membangunkan putrinya dan berusaha untuk menyemangatinya, agar tidak larut dalam kesedihannya.
Afna mengucek kedua matanya, kemudian tersenyum sambil menatap sang Ibu.
"Mama..." panggil Afna sambil mengucek kedua matanya.
"Sudah bangun, sayang. Bagaimana pagimu hari ini, masih mendung?" tanya sang ibu sambil mengusap usap lengan Afna.
"Masih sama, Ma. Afna ingin duduk dan bersandar, supaya ototnya tidak terasa kaku." Jawabnya sambil berusaha untuk duduk dan menyandarkan tubuhnya, sang Ibu pun membantu Afna untuk duduk dengan nyaman.
"Tunggu sebentar, mama ambilkan sikat gigi dan air untuk cuci muka."
"Tidak perlu, Ma. Afna sudah bisa ke kamar mandi sendiri kok, ma."
"Tapi, Afna.."
"Tidak apa apa kok, Ma. Afna harus membiasakan diri dengan kondisi Afna yang sekarang, Afna tidak ingin selalu merepotkan yang lainnya." Jawab Afna sambil mencoba untuk turun dari tempat tidurnya.
"Afna, hati hati. Jangan dipaksakan jika kamu masih belum kuat untuk berjalan, biar mama bantu."
"Lepaskan, Ma. Afna ingin belajar berjalan tanpa ada yang menuntun Afna."
"Baiklah, hati hati. Jika kamu belum kuat, jangan dipaksakan."
"Mama tenang saja,"
Bruug... "awww! sakit." Afna menjerit dan meringis kesakitan.
"Afna! sudah pernah aku katakan, jangan jalan sebelum Dokter mengizinkan. Kenapa kamu masih nekad untuk jalan. Lihatlah kaki kamu, kamu belum diizinkan untuk jalan." Ucap Kazza yang tiba tiba sudah berada didalam kamar dan mengangkat tubuh Afna ke atas tempat tidur.
Afna sendiri hanya bisa berdiam tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Afna, bersabarlah. Jangan kamu ulangi lagi yang seperti kamu lakukan tadi. Jika kamu membutuhkan sesuatu panggil aku. Kamu tahu hidupmu adalah hidupku, kita terlahir bersama dan didalam satu rahim ibu. Aku akan selalu menjagamu sampai kamu sembuh." Ucap Kazza yang tidak terasa air matanya jatuh membasahi pipinya.
"Maafkan aku, kak. Maafkan aku yang sudah menyusahkan kakak, aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Jawab Afna yang juga ikut menangis, Kazza segera memeluk Afna untuk menenangkan adik kesayangannya.
"Aku minta, apa yang ibu katakan kepadamu jangan pernah menolaknya. Ini semua demi kesembuhan kamu. Jika kamu terus membangkang, kapan kamu akan sembuh. Kamu mengerti, kan? kamu ingin segera sembuh, 'kan?" ucap Kazza berusaha memohon.
"Iya kak, aku tidak lagi membangkang terhadap kalian. Maafkan aku, maafkan." Jawab Afna tertunduk lesu.
"Sekarang biar Kazza yang akan mengambilkan sikat gigi dan air untuk cuci muka. Mama lebih baik duduk dan temani Afna. Nanti Kazza akan carikan teman untuk merawat Afna. Kamu mau, kan? jangan khawatir soal yang akan merawat kamu. Akan aku carikan yang seumuran dengan kamu, agar kamu memiliki teman." Ucap Kazza berusaha untuk membuat sang adik tidak selalu menyendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!