NovelToon NovelToon

Pendekar Pedang Kembar

Perampokan

"Berhenti.... berhenti..... berhenti...!!" terdengar suara lantang dan tegas memberikan komando.

"Berhenti ... berhenti........!!" perintah tersebut diulangi dengan volume yang ditingkatkan.

Sementara itu, di dalam sebuah kereta kuda, seorang wanita bangsawan dan seorang anak kecil tampak dicekam kepanikan dan ketakutan.

"Gerangan siapakah gerombolan itu, Kang?" tanya wanita itu kepada kusir kereta dengan nada cemas.

"Hamba kurang tahu, Den Ayu, namun gelagat mereka mengindikasikan niat yang tidak baik," jawab kusir kereta itu, seraya meningkatkan kecepatan laju kereta kudanya.

"Apa yang terjadi, Ibu?" tanya anak itu dengan polos.

"Ibu juga tidak tahu, anakku," jawab sang ibu dengan ekspresi yang sarat akan kekhawatiran.

Braaak....... !!! Terdengar suara benturan keras saat roda kereta kuda mengalami kerusakan.

Kereta kuda pun terguncang hebat akibat roda sebelah kiri yang hancur dan lajunya menjadi tidak terkendali.

"Ibu...!!!" teriak anak itu, dilanda ketakutan.

Sang ibu dengan sigap memeluk erat anaknya untuk mencegahnya terlempar, dan beberapa saat kemudian kereta kuda itu pun terhenti.

"Cepat, amankan semua barang berharga..!!" perintah pemimpin perampok itu dengan suara lantang.

Delapan orang turun dari kuda dan langsung merangsek masuk ke dalam kereta.

Tanpa membuang waktu, para anak buahnya pun turun dari kuda dan menghabisi kusir kereta tadi dengan kejam. Mereka kemudian menjarah semua barang-barang yang ada di dalam kereta itu.

Menyaksikan pembunuhan kusir kereta yang begitu brutal, wanita bangsawan itu dilanda ketakutan yang luar biasa.

"Tolong.... tolong.... Tolong!!" jerit wanita itu dengan histeris.

"Hahaha..., hahaha....!!" para perampok itu tertawa terbahak-bahak, menikmati ketakutan wanita itu.

"Siapa kalian dan apa tujuan kalian?" tanya perempuan itu dengan nada bergetar, diliputi ketakutan dan kepanikan yang luar biasa.

"Dengarkan baik-baik, kami adalah gerombolan perampok Macan Loreng, hahaha..hahaha..hahaha.....!!" jawab pemimpin perampok itu dengan tawa yang menggelegar.

Wajah perempuan itu seketika memucat, pucat pasi, mendengar pengakuan mereka. Ia sudah mengetahui reputasi mereka, bahwa Macan Loreng adalah gerombolan perampok yang terkenal dengan kebengisan dan kekejamannya.

"Semua barang berharga sudah diamankan, Ketua," lapor salah seorang anggota kawanan perampok itu.

"Bagus, bersiap untuk kembali ke markas," perintah sang ketua.

"Lalu bagaimana dengan nasib anak dan perempuan ini, Ketua?" tanya anak buahnya.

Hmmm........ sang ketua perampok tampak berpikir sejenak. "Terserah kalian saja, ingin diapakan wanita itu. Kalian bebas untuk memuaskan nafsu bejat kalian, atau langsung menghabisinya, itu terserah kalian," jawab ketua perampok itu dengan nada acuh tak acuh.

Mendengar titah sang ketua, para anak buahnya pun bersorak kegirangan, membayangkan kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka pada seorang wanita cantik.

Mereka pun segera menyeret perempuan itu secara paksa ke area semak-semak di sekitar lokasi. Wanita itu hanya bisa meronta-ronta dan menjerit histeris.

"Apa yang akan kalian lakukan? Lepaskan aku, lepaskan aku... tolong.. tolong..." teriak wanita itu, memohon belas kasihan.

"Lepaskan ibuku.... ibu... ibu...!

Kalian orang-orang jahat, lepaskan ibuku!" teriak anak kecil itu, berusaha melawan.

Haahahaa.... haahaa... semua anggota gerombolan itu hanya tertawa terbahak-bahak, mengabaikan teriakan anak kecil itu.

"Rangga, lari .... lari... lari dari sini nak, lari..!!" teriak sang ibu, memerintahkan anaknya yang bernama Rangga itu untuk menyelamatkan diri.

"Tidak ibu, Rangga tidak akan lari, aku akan menolong ibu..!" tekad Rangga, kemudian ia memungut sebuah batu dan melemparkannya. Weesss..... plak..!!, lemparan Rangga itu mengenai pelipis salah satu perampok itu hingga berdarah.

Tindakan berani Rangga itu sontak memicu kemarahan besar sang perampok.

"Kurang ajar, bocah sialan!!" makinya dengan penuh amarah.

Perampok itu segera menghampiri Rangga dan melayangkan pukulan keras. Plaaaak....!!!! pukulan telak itu seketika membuat Rangga jatuh pingsan.

Setelah melampiaskan amarahnya, perampok itu segera menyusul rekan-rekannya yang sedang menyiksa ibu Rangga.

Setelah puas melampiaskan nafsu bejat mereka dan menjarah semua harta benda, para perampok itu pun pergi meninggalkan lokasi menuju markas mereka. Mereka tidak hanya meninggalkan ibu Rangga dalam kondisi mengenaskan setelah diperkosa beramai-ramai, tetapi juga menghabisi nyawanya dengan kejam.

Beberapa waktu berselang, Rangga tersadar dari pingsannya. Teringat akan ibunya, ia bergegas berlari menghampiri ibunya yang berada di area semak-semak. Namun, betapa hancurnya hati Rangga saat mendapati sang ibu sudah terbujur kaku tak bernyawa.

"Ibu .. ibu.... bangun ..... ibu...! bangun ibu... bangun... jangan tinggalkan Rangga bu.. ibu..." teriak Rangga histeris, diiringi tangis pilu.

Ia menangis sejadi-jadinya... ia tak tahu harus hidup dengan siapa lagi, mengingat ibunya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Ia mencoba menggoyang-goyangkan tubuh ibunya, berharap sang ibu akan terbangun, namun usahanya sia-sia.

"Ibu... ibu.... ibu..." teriak Rangga, terus meratapi jasad ibunya.

Dengan sekuat tenaga, Rangga yang saat itu baru berusia 12 tahun, berusaha menggali lubang untuk memakamkan ibunya. Dengan cucuran air mata dan isak tangis yang tak henti, ia terus menggali, sesekali menatap jasad ibunya dengan harapan sang ibu akan bangkit kembali. Setelah berjuang cukup lama, akhirnya lubang itu selesai digali.

"Selamat jalan ibu... semoga ibu tenang di alam sana. Rangga berjanji pada ibu, Rangga akan tumbuh menjadi kuat dan membasmi orang-orang jahat, Ibu," ucap Rangga di hadapan pusara ibunya.

Setelah cukup lama termenung di hadapan makam ibunya, Rangga pun beranjak pergi.

Tiba-tiba, kakinya tanpa sengaja menginjak sebuah benda. Ia pun memungutnya dan menyadari bahwa benda itu adalah sebuah kalung dengan liontin berbentuk taring macan. Kalung itu milik salah seorang perampok yang terjatuh saat ibunya menariknya ketika diseret paksa.

Rangga mengambil dan menyimpan kalung itu di dalam bajunya.

Kemudian, Rangga melanjutkan perjalanannya meninggalkan tempat itu. Ia berjalan tanpa arah dan tujuan yang pasti, karena ia tidak mengenal daerah tersebut. Selain jauh dari pemukiman, tempat itu juga sangat sepi. Rangga terus melangkahkan kakinya tanpa tujuan yang jelas.

Hingga akhirnya, perjalanan Rangga membawanya sampai ke tengah hutan. Dilanda kelelahan, kelaparan, dan tubuh yang penuh luka, Rangga pun ambruk dan pingsan di tengah hutan. Sungguh memprihatinkan nasib anak sekecil itu.

Sementara itu, di sebuah sungai, seorang kakek bernama Raja Alam sedang mencari ikan. Ia adalah seorang pendekar sakti mandraguna yang pernah menggemparkan jagat persilatan.

Reputasinya yang tanpa kompromi terhadap para penganut aliran hitam membuatnya sangat ditakuti.

Namun, kini ia telah menarik diri dari dunia persilatan dan memilih untuk hidup menyendiri di hutan yang jauh dari keramaian, mencari ketenangan batin.

Setelah merasa tangkapan ikannya cukup banyak, Raja Alam memutuskan untuk kembali ke gubuknya. Dengan raut wajah yang ceria karena hasil tangkapannya yang melimpah, ia berjalan sambil bersenandung kecil.

Setelah beberapa lama berjalan, tiba-tiba di tengah perjalanan, samar-samar Raja Alam melihat sesosok tubuh yang tergeletak, yang ternyata adalah Rangga. Karena penasaran, ia pun menghampiri dan memeriksanya.

Raja Alam menempelkan telinganya ke dada Rangga untuk memastikan apakah ia masih hidup.

"Syukurlah, anak ini masih hidup," gumam Raja Alam, setelah merasakan denyut jantung Rangga.

Tanpa ragu, Raja Alam segera membawa Rangga pergi dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, bergerak secepat kilat.

Setibanya di gubuk, Raja Alam memeriksa kondisi Rangga dengan lebih seksama. Ia tidak menemukan luka serius, hanya luka memar biasa, yang membuatnya merasa lega.

"Tampaknya anak ini mengalami trauma psikis yang sangat berat," gumam Raja Alam pada dirinya sendiri.

"Hmmm.... kira-kira peristiwa tragis apa yang telah menimpa anak ini," gumamnya lagi, penuh tanda tanya.

"Lebih baik aku menanyakannya langsung setelah ia siuman," putusnya, kemudian ia beranjak pergi.

"Ibu.... ibu... ibu... jangan tinggalkan Rangga ibu.." Rangga mengigau, merintih dalam tidurnya, lalu ia pun kembali terlelap.

Mendengar igauan itu, hati Raja Alam tersentuh. Ia menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk pada ibu anak itu.

Beberapa hari kemudian, kondisi Rangga pulih. Ia mulai membantu Raja Alam mencari kayu bakar di hutan.

Trauma masa lalunya mulai terlupakan untuk sementara, meskipun terkadang kesedihan kembali menyergapnya saat teringat ibunya.

"Hai.. Rangga, tangkap ini!" seru Raja Alam sambil melemparkan buah-buahan ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Namun, dengan sigap dan cekatan, Rangga menangkap semua buah itu tanpa ada yang terjatuh.

"Bagus, bagus, ternyata kemampuan fisikmu sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan," puji Raja Alam dengan nada senang.

"Oh ya, bagaimana dengan kayu bakarnya, apakah sudah terkumpul semua, Rangga?" tanya Raja Alam.

"Sudah, Kek, sudah hamba ikat semua," jawab Rangga.

"Kalau begitu, mari kita pulang," ajak Raja Alam.

"Baik, Kek," jawab Rangga, seraya memanggul kayu bakar di atas pundaknya.

Rangga segera mengikuti Raja Alam yang berjalan di depannya. Ia membawa kayu bakar itu dengan mudah, tanpa kesulitan berarti.

Sepuluh tahun kemudian...

Pagi itu, langit tampak cerah. Di kejauhan, terdengar suara orang yang sedang berlatih silat dengan intens. Dia adalah Rangga. Anak kecil yang dulu ditemukan oleh Raja Alam, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang rupawan dan tangguh, setelah dua belas tahun ditempa dengan keras oleh gurunya.

Sementara itu, Raja Alam mengamati dari gubuknya, kepalanya mengangguk-angguk tanda puas.

"Hmm, bagus, bagus, ternyata seluruh ilmu yang kuajarkan telah dikuasainya dengan sempurna," gumam Raja Alam, merasa bangga. Ia pun menghampiri Rangga.

Melihat kedatangan kakek gurunya, Rangga menghentikan latihannya dan memberikan penghormatan.

"Ada keperluan apa, Kek?" tanya Rangga.

"Besok, kau akan kuajak ke suatu tempat. Ada ilmu baru yang akan kuajarkan padamu," jawab Raja Alam.

"Tapi, apakah jurus pedang hamba sudah sempurna, Kek?" tanya Rangga, memastikan.

"Tentu saja, Rangga. Jika belum, mana mungkin aku akan memberimu pelajaran baru," tegas Raja Alam.

"Baiklah, Kek," jawab Rangga, diliputi rasa gembira. Ia merasa puas karena telah menguasai jurus Tebasan Seribu Pedang yang selama ini ia pelajari dengan penuh dedikasi.

"Kek, setelah ini, bagaimana kalau kita pergi ke sungai untuk menangkap ikan?" usul Rangga.

"Boleh, boleh saja. Asalkan kau sudah membawa kayu bakar yang kemarin kau kumpulkan itu ke gubuk," jawab Raja Alam.

"Mmm.. bagaimana kalau kita langsung pulang dari sungai, sembari membawa kayu bakar itu, Kek?" tawar Rangga.

"Baiklah, tapi ingat, jangan sampai kau lupa," tegas Raja Alam, kemudian berlalu.

Setelah kepergian kakek gurunya, Rangga melanjutkan latihannya dengan penuh semangat hingga tengah hari. Setelah itu, Rangga dan Raja Alam pergi ke sungai untuk mencari ikan. Dalam perjalanan menuju sungai, Raja Alam tiba-tiba melesat cepat, meninggalkan Rangga di belakang. Ia ingin menguji kemampuan Rangga, apakah ia bisa mengejarnya. Merasa tertantang, Rangga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar Raja Alam.

Tak lama kemudian, Rangga berhasil memperkecil jarak dengan Raja Alam, meskipun belum bisa mendahuluinya.

"Bagus, Rangga. Ternyata kecepatanmu cukup mengagumkan," puji Raja Alam, kemudian mendarat.

"Huff... haaaah....!!! Tetapi, saya tetap tidak bisa mendahului Kakek," ujar Rangga dengan napas tersengal-sengal.

"Haaa... haaaa..... mana mungkin seorang murid bisa mengalahkan gurunya, Rangga. Sudahlah, cepat tangkap ikan-ikan itu. Aku akan menunggumu di sana," ucap Raja Alam, menunjuk ke sebuah tempat.

"Baiklah, Kek," jawab Rangga. Ia kemudian turun ke sungai, membawa sebilah bambu runcing untuk menangkap ikan.

Rangga dan kakek gurunya kembali ke gubuk saat hari mulai senja. Rangga tidak lupa membawa kayu bakar, sesuai janjinya kepada Raja Alam.

Jurus Pedang Kembar Tanpa Tanding

Keesokan harinya, sang Kakek mengajak Rangga pergi ke suatu tempat yang telah dijanjikannya kemarin. Tempat yang dijanjikan itu, ternyata menyimpan sebuah rahasia besar yang akan mengubah jalan hidup Rangga.

Sang Kakek bergerak cepat dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf sempurna, melesat bagaikan kilat. Sementara itu, Rangga yang melihat kakeknya sudah jauh di depan, tidak mau ketinggalan. Ia pun mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, berusaha mengejar ketertinggalannya. Langkah kakinya ringan bagaikan kapas, tubuhnya melesat mengikuti sang Kakek.

"Apakah kakek mau mengujiku lagi, seperti kemarin waktu ke sungai?" tanya Rangga dalam hati, sambil terus menambah kecepatannya. Dia menduga bahwa ini adalah ujian lanjutan dari sang Kakek.

"Suatu saat nanti, anak ini pasti akan menjadi pendekar pilih tanding, bahkan mungkin menjadi pendekar tanpa tanding yang melegenda," kata sang Kakek dalam hati, merasa bangga dan takjub setelah menyadari bahwa Rangga dapat mengimbangi kecepatannya. Dia melihat potensi besar dalam diri cucunya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, sampailah sang Kakek dan Rangga ke tempat yang dituju. Sebuah tempat yang tersembunyi, jauh dari keramaian dunia.

Melihat sang Kakek berhenti, Rangga pun ikut berhenti dan bertanya dengan penuh rasa ingin tahu, "Apakah kita sudah sampai di tempat tujuan, Kek?" tanyanya, menatap sekeliling dengan penuh keheranan.

"Sudah. Jangan banyak bertanya, ikuti saja langkah Kakek," jawab kakeknya dengan tegas, sambil terus berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang.

Tanpa banyak bertanya lagi, Rangga pun patuh mengikuti langkah kakeknya dari belakang. Ia penasaran dengan apa yang akan ditunjukkan kakeknya. Ternyata, mereka menuju ke sebuah gua yang tersembunyi, gelap dan misterius.

"Ternyata gua ini masih seperti yang dulu, tidak berubah sama sekali," gumam kakeknya dengan nada nostalgia, setelah mereka sampai di dalam gua yang pengap dan sunyi itu.

"Rangga, di sinilah Kakek akan mewariskan ilmu pamungkas, ilmu terakhir yang Kakek miliki, yaitu Jurus Pedang Kembar Tanpa Tanding," kata kakeknya memberitahu, matanya menerawang, menatap Rangga dengan penuh harap.

"Tapi sebelum Kakek menurunkan ilmu pamungkas itu kepadamu, ada beberapa hal yang harus kau ketahui dan pahami. Karena berhasil atau tidaknya kau menguasai jurus ini, tergantung pada usaha dan kerja kerasmu sendiri. Kau harus berlatih dengan tekun dan pantang menyerah," kata kakeknya menasihati dengan penuh kesungguhan.

"Oh ya, Rangga, satu hal yang perlu kau ingat baik-baik, jangan pernah sekali-kali kau berani keluar dari gua ini sebelum kau benar-benar menguasai jurus ini dengan sempurna. Karena jika kau melanggar pantangan ini, kau pasti akan mengalami kegagalan total. Kau tidak akan pernah bisa menguasai jurus ini," tegas sang Kakek, memberikan peringatan keras.

"Saya mengerti, Kek," jawab Rangga dengan penuh keyakinan dan tekad. Dia berjanji dalam hati untuk mematuhi semua nasihat kakeknya.

"Baiklah, kalau begitu kita mulai saja latihannya. Sekarang, perhatikan baik-baik, Kakek akan memperagakan bagian-bagian dari jurus ini," perintah sang Kakek, bersiap untuk mendemonstrasikan jurus tersebut.

"Baik, Kek," ucap Rangga singkat, dengan penuh perhatian.

Dengan sebatang kayu yang diambilnya dari dalam gua, sang Kakek langsung memperagakan bagian-bagian dari Jurus Pedang Kembar Tanpa Tanding. Gerakannya begitu cepat, lincah dan bertenaga.

Sang Kakek memainkan sebatang kayu itu dengan sangat cepat dan lincah, bagaikan sedang memainkan sebilah pedang pusaka yang tajam. Walaupun hanya dengan sebatang kayu biasa, tapi jika kayu itu mengenai tubuh lawan, bisa dipastikan akan menimbulkan luka yang serius, bahkan bisa berakibat fatal.

Rangga yang melihat itu merasa sangat kagum dan terpukau. Meskipun kakeknya sudah tua, namun gerakannya masih terlihat sangat cepat, gesit, dan bertenaga. Kekuatan dan kelincahannya tidak pudar dimakan usia.

"Benar-benar luar biasa, ilmu Kakek memang tiada duanya," ucap Rangga tanpa sadar, karena begitu kagum melihat sang Kakek memperagakan jurus itu. Dia terpesona dengan kehebatan kakeknya.

Sang Kakek mengayunkan batang kayu itu dengan kuat, lalu menyabetkannya ke arah samping dengan gerakan yang cepat dan bertenaga, dan duuuaaarrr..... sebuah batu besar yang berada di depannya langsung hancur berkeping-keping, bagaikan terkena ledakan dahsyat.

Sang Kakek kemudian menghentikan gerakannya setelah dirasa cukup dalam memperagakan jurus tersebut kepada Rangga.

Rangga terperanjat dan terkejut bukan main, melihat batu besar itu bisa hancur lebur hanya dalam sekali tebas. Dia tidak menyangka kekuatan kakeknya sedahsyat itu.

"Sungguh luar biasa kekuatan yang dimiliki Kakek. Ilmu yang sangat hebat," ucap Rangga dalam hati, semakin kagum dengan ilmu yang dimiliki oleh kakeknya.

"Sekarang, giliranmu, Nak. Coba kau peragakan kembali gerakan-gerakan yang telah Kakek ajarkan barusan," perintah sang Kakek, lalu memberikan batang kayu yang dipakainya tadi kepada Rangga.

"Baik, Kek," jawab Rangga dengan patuh.

Tanpa menunggu lama, Rangga pun memulai latihannya dengan penuh semangat. Dia berusaha keras menirukan gerakan-gerakan yang sudah dipertunjukkan oleh kakeknya dengan sebaik mungkin.

Awalnya, Rangga merasa kesulitan dan kebingungan dalam mempelajari jurus pedang itu. Karena gerakannya begitu rumit, kompleks, dan selalu berubah-ubah, tidak mudah untuk diikuti.

Namun, setelah sang Kakek memberikan beberapa petunjuk tambahan dan arahan yang lebih detail, Rangga pun mulai memahami sedikit demi sedikit inti dari jurus tersebut. Dia mulai bisa mengikuti alur gerakannya.

Jurus pedang ini sangat mengandalkan kecepatan, kelincahan, dan ketangkasan gerakan tangan. Selain itu, juga harus disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup besar. Itulah yang selalu diingat oleh Rangga, berdasarkan petuah dari kakeknya.

Hari demi hari berlalu dengan cepat, tanpa terasa Rangga pun telah menjalani latihan yang berat selama empat puluh hari lamanya. Hari ini adalah hari yang terakhir bagi Rangga untuk menyelesaikan dan menyempurnakan latihannya. Dia sudah berlatih sangat keras, mengorbankan waktu dan tenaganya.

Tiba-tiba, dari luar gua terdengar suara teriakan minta tolong yang sayup-sayup sampai ke telinga Rangga. Rangga yang mendengar suara itu, dengan sigap dan reflek, bergegas lari menuju sumber suara, berniat untuk menolong.

Namun, ketika hampir sampai di mulut gua, tiba-tiba ia teringat dengan pesan dan pantangan yang diucapkan kakeknya, "Ingat Rangga, selama kau masih mempelajari jurus ini, janganlah sekali-kali kau berani keluar dari gua ini, atau kau akan gagal!". Akhirnya, dengan perasaan bimbang dan berat hati, Rangga pun mengurungkan niatnya untuk keluar dari gua. Dia mengutamakan nasihat kakeknya. Anehnya, suara teriakan minta tolong itu pun tiba-tiba hilang begitu saja, lenyap ditelan kesunyian.

Genap sudah empat puluh hari lamanya, akhirnya Rangga pun berhasil menyelesaikan dan menguasai Jurus Pedang Kembar Tanpa Tanding dengan sempurna. Dia merasa lega dan bangga.

"Akhirnya selesai sudah latihanku yang berat ini," ucap Rangga dengan penuh kelegaan, berniat meninggalkan gua tempat ia berlatih selama ini.

Ketika Rangga hendak melangkahkan kakinya keluar dari dalam gua, tiba-tiba sebuah batu besar melayang ke arahnya dengan kecepatan tinggi, hampir mengenai tubuhnya. Dengan refleks yang sangat cepat, tanpa berpikir panjang, Rangga pun langsung menghancurkan batu besar itu dengan tebasan kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam. Batu besar itu pun hancur berkeping-keping, menjadi serpihan-serpihan kecil.

"Ternyata kau sudah berhasil menguasai jurus itu, Rangga. Kau memang cucu yang hebat," tiba-tiba terdengar suara dari luar gua, memuji keberhasilan Rangga. Mendengar suara yang tidak asing itu, Rangga tahu bahwa itu adalah suara kakeknya yang datang untuk menjemputnya.

Rangga pun segera berlutut dan bersujud hormat di depan kakeknya, "Bangunlah, Rangga. Selamat, kau telah berhasil menguasai Jurus Pedang Kembar Tanpa Tanding dengan sempurna. Kakek bangga padamu," kata kakeknya, merasa bangga dengan pencapaian Rangga.

"Terima kasih atas bimbingan dan kesabaran Kakek selama ini," ucap Rangga tulus. "Sudah, sudah, jangan bersikap formal seperti itu. Cepat bangun, cucuku. Ayo kita segera kembali ke rumah. Ada sesuatu yang ingin Kakek berikan kepadamu," kata kakeknya kemudian, tidak sabar ingin memberikan hadiah istimewa kepada Rangga.

Tanpa menunggu lama, Rangga pun melesat pergi dengan kecepatan gerakannya yang sangat sulit diikuti oleh mata manusia biasa, meninggalkan kakeknya di belakang. Dia tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Sang Kakek hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa kagum dengan kemajuan pesat yang dicapai Rangga.

"Ternyata, setelah empat puluh hari berlatih keras di dalam gua, tenaga dalamnya pun sudah meningkat dengan sangat pesat," kata sang Kakek dalam hati, sambil tersenyum bangga. Ia pun dengan cepat melesat menyusul Rangga, dengan kecepatan yang tidak kalah menakjubkannya.

Malam itu, di rumahnya yang sederhana, sang Kakek memberikan petuah-petuah dan wejangan yang sangat berharga kepada Rangga. Dia mengingatkan Rangga agar selalu menggunakan ilmunya dengan bijak.

"Rangga, semua ilmu yang telah Kakek ajarkan dan wariskan kepadamu, gunakanlah dengan sebaik-baiknya dan se-bijaksana mungkin. Gunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta menumpas semua bentuk kejahatan dan kezaliman. Dan satu hal yang perlu kau ingat, jangan pernah sekali-kali kau menyombongkan dirimu karena ilmu yang kau miliki. Tetaplah rendah hati. Karena setinggi-tingginya gunung, masih ada yang lebih tinggi lagi, yaitu langit," kata kakeknya menasihatinya dengan panjang lebar dan penuh kesungguhan.

"Akhir-akhir ini, kejahatan semakin merajalela dan semakin brutal. Banyak terjadi perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan di mana-mana. Itu semua sekarang menjadi tugas dan tanggung jawabmu untuk menumpas dan memerangi mereka, para penjahat itu," lanjut kakeknya, memberikan tugas mulia kepada Rangga.

Rangga mendengarkan semua petuah dan wejangan dari kakeknya dengan penuh khidmat dan saksama, tanpa berani memotong sedikit pun perkataan kakeknya. Dia menanamkan semua nasihat itu di dalam hati dan pikirannya.

Tidak lama kemudian, sang Kakek mengambil sesuatu dari dalam sebuah kotak kayu tua (peti) yang tersimpan rapi di dalam kamarnya. Ia mengeluarkan dua bilah pedang kembar yang berkilauan dari dalam kotak kayu itu. Pedang itu tampak sangat indah dan memancarkan aura yang kuat.

"Ambillah pedang kembar pusaka ini, Rangga. Pedang ini akan melengkapi dan menyempurnakan jurusmu. Dengan pedang ini, kau akan terbantu dalam usahamu untuk menegakkan kebenaran, memberantas kejahatan dan menolong mereka yang lemah dan tertindas," kata kakeknya sambil memberikan sepasang pedang pusaka itu kepada Rangga.

Rangga pun menerima pedang kembar itu dari tangan sang Kakek, lalu mengamatinya dengan penuh kekaguman. Dia terpukau dengan keindahan dan kekuatan yang terpancar dari pedang itu.

"Ada pedang lain yang lebih hebat dan lebih dahsyat lagi dari pedang kembar ini, Rangga. Jika suatu saat nanti kau berjodoh, mungkin kau akan menemukannya. Pedang itu akan menjadi pasangan yang sempurna untukmu," terang sang Kakek, mengungkapkan sebuah rahasia.

"Jadi, masih ada lagi pedang lain yang lebih hebat dan sakti dari pedang kembar ini, Kek?" tanya Rangga, penasaran dan tidak percaya.

"Benar sekali, Rangga. Tapi Kakek tidak tahu, apakah kau berjodoh dengan pedang itu atau tidak. Hanya waktu yang akan menjawabnya," jawab kakeknya dengan misterius.

"Agar pedang kembar ini tidak mengundang perhatian dan kecurigaan dari orang-orang jahat, sebaiknya kau sembunyikan dan satukan pedang itu dengan tubuhmu, Rangga," saran sang Kakek.

Mendengar perkataan kakeknya, Rangga menjadi bingung dan tidak mengerti maksud dari perkataan kakeknya. Bagaimana mungkin menyembunyikan pedang di dalam tubuh?

"Tapi, bagaimana caranya agar pedang ini bisa menyatu dengan tubuhku, Kek? Aku tidak mengerti," tanya Rangga, mengungkapkan ketidaktahuannya.

"Begini caranya, peganglah kedua gagang pedang itu erat-erat dan berkonsentrasilah dengan penuh. Pusatkan seluruh pikiran dan tenagamu. Lalu bayangkan pedang itu berubah wujud menjadi cahaya yang sangat terang. Bayangkan cahaya itu masuk dan menyatu ke dalam tubuhmu, maka dengan sendirinya, pedang itu akan menyatu dengan dirimu," jelas kakeknya dengan sabar.

Rangga pun melakukan semua yang diperintahkan dan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh sang Kakek. Dia memegang erat gagang pedang, memejamkan mata, memusatkan konsentrasi, dan membayangkan pedang itu berubah menjadi cahaya. Dan keajaiban pun terjadi, pedang kembar itu perlahan-lahan berubah menjadi cahaya yang sangat terang, lalu cahaya itu masuk dan menyatu ke dalam tubuh Rangga.

"Ternyata pedang pusaka itu memang berjodoh dengan dirimu, Rangga. Kau memang orang yang tepat untuk memilikinya. Nah, ketika kau akan menggunakan pedang itu, kau tinggal memusatkan pikiran dan membayangkan pedang itu berada di kedua tanganmu, maka pedang itu akan muncul dengan sendirinya di genggamanmu," kata kakeknya menjelaskan, merasa lega karena pedang pusaka itu jatuh ke tangan yang tepat.

Karena malam sudah semakin larut, akhirnya sang Kakek pun mengakhiri semua nasihat dan wejangannya kepada Rangga. Dia berharap Rangga akan menggunakan semua ilmu dan pusaka yang diwariskan kepadanya dengan sebaik-baiknya.

Awal Pengembaraan

Setelah mendapatkan semua ilmu dari kakek gurunya,kini tibalah waktunya bagi Rangga untuk turun gunung,walau pun dengan rasa berat hati dan sedih Rangga pun akhirnya menuruti semua perintah kakeknya.

Dan dengan langkah penuh kemantapan dan rasa percaya diri ia pun berjalan menyusuri jalan setapak melewati hutan belantara, terdengar suara burung burung berkicau seperti mengucapkan selamat datang kepadanya untuk menyambut dunia baru.

Setelah sekian lama berjalan di kejauhan terlihatlah rumah rumah penduduk ,ia pun memasuki perkampungan itu ,karena merasa lelah dan lapar serta haus ia pun memutuskan untuk mencari sebuah kedai untuk beristirahat dan mengisi perutnya yang sudah terasa sangat lapar.

Tak lama kemudian sampailah ia di sebuah kedai yang kebetulan hari itu tidak seramai hari biasanya yang penuh sesak dari dalam kedai itu dan tampaklah seorang pelayan datang menghampirinya.

"Mau pesan apa raden"tanya pelayan itu.

"Nasi dan minum Ki"jawab Rangga.

"Baiklah tunggu sebentar"kata aki' pelayan itu kemudian berlalu dari hadapannya.

Tak menunggu lama akhirnya pesanan Rangga pun datang.

"Silahkan ini makanan dan minuman den"kata pelayan itu.

"Terima kasih ki' "kata Rangga.

"Tunggu sebentar ki'"kata Rangga tiba tiba menghentikan langkah pelayan itu.

"Ada apa lagi den"tanya si aki pelayan kedai itu,

"Ini namanya desa apa ki'"tanya Rangga.

"Ini adalah desa Jatisari den"jawab aki' pelayan itu.

"Ada yang ingin di tanyakan lagi raden"ucap pelayan itu ganti bertanya,

"tidak ki' terima kasih,"ucap Rangga.

"Sama sama raden"jawab si aki' itu kemudian berlalu.

Sejurus kemudian Rangga pun menikmati pesanannya itu dengan lahapnya karena sudah kelaparan dan kehausan.

Sementara itu di sebuah kerajaan Martapura sang raja Dungga sedang berbincang bincang dengan putranya yaitu Arya Soma.

Raja Dungga sedang kesal dengan anaknya itu ,karena merasa dirinya sudah tua dan sering sakit-sakitan ,tapi sang anak belum mau menggantikan kedudukannya.

"Terus kamu mau bagaimana mana lagi ,terus terang saya tidak mengerti keinginan mu Arya"kata raja Dungga

"maaf romo saya sudah bilang berkali kali kepada romo bahwa saya tidak mau menjadi raja"kata Arya Soma.

"Apa kerajaan ini harus kosong tanpa pemimpin, kesaktian kamu sudah tinggi ,ilmu pemerintahan kamu sudah cukup ,apanya yang kurang"kata raja Dungga Ayahnya sangat kesal.

"Maaf sekali lagi romo ,kalau romo berkenan mengabulkan, saya punya permintaan romo" kata Arya Soma.

"Permintaan apa itu Arya "tanya Ayahnya.

"Begini romo saya mempunyai sebuah rencana untuk tidak menjadi raja tapi ,masih bisa ikut dalam pemerintahan kerajaan ini"kata Arya Soma kemudian.

"Rencana yang bagaimana maksud kamu Arya"tanya ayahnya itu tidak mengerti.

"Begini romo saya akan mengadakan sebuah sayembara ,bagi siapa saja yang bisa mengalahkan saya dan bisa mencabut keris pulang geni yang ada di halaman istana itu,saya rela dengan ikhlas memberikan hak raja saya bagi siapa yang memenang kan sayembara itu "kata Arya Soma memberikan penjelasan.

Sang raja tampak diam dan berfikir dengan perkataan Arya Soma itu .

"bagaimana jika nanti yang memenangkan sayembara itu orang jahat dan penuh angkara murka"gumam raja Dungga dalam hati.

Tapi dia percaya dan yakin bahwa siapa pun yang bisa mencabut keris pulang geni itu adalah orang yang berhati bersih dan yang di takdir kan para dewa untuk menjadi raja sesungguhnya di Martapura ini .

"Baiklah jika itu yang kau inginkan,tapi jika nanti tidak ada orang yang sanggup mencabut keris itu dan mengalahkan mu maka ,suka atau tidak suka kamu harus menggantikan kedudukan romo mu ini" kata raja Dungga ayahnya itu dengan tegas.

"Saya siap dan akan patuh pada perkataan romo jika nanti hasil dari sayembara seperti itu"jawab Arya dengan senang.

"Segeralah persiapkan segala sesuatunya untuk menyelenggarakan sayembara itu lebih cepat lebih baik"kata raja Dungga kemudian.

"Baik romo saya mohon pamit"kata Arya Soma lalu pergi dari hadapan ayahnya.

Raja Dungga tampak menggelengkan kepalanya melihat kepergian anaknya itu.

...----------------...

Di lain tempat di sebuah hutan terlihat pemuda seorang diri sedang bertarung dengan melawan sepuluh orang ,jika di lihat dari tampilannya sepuluh orang itu seperti gerombolan penyamun atau perampok.

Walaupun di keroyok tetapi pemuda itu belum juga ada tanda tanda akan kalah, malahan sepertinya ia yang mengendalikan jalannya pertarungan itu.

Jual beli serangan mu di lakukan kedua belah pihak, "ayo kerahkan semua ilmu kalian apakah cuma sampai di sini kemampuan perampok macan loreng yang katanya di takuti itu" kata pemuda itu dengan nada merendahkan.

" Ternyata macan loreng hanya sekedar macan ompong "kata lanjut pemuda itu mengompori para perampok itu.

"Kurang ajar beraninya kau berkata seperti itu ,ayo habisi dia dengan ilmu gabungan kita"teriak sang pemimpin perampok itu dengan sangat marah.

Pemuda itu tampaknya telah berhasil membuat para perampok itu kepanasan dan dia pun tidak mau main main lagi ,ia segera menghimpun tenaga dalamnya untuk menyambut serangan mereka.

"Kau akan menjadi orang pertama yang merasakan ajian andalan kami,jadi bersiaplah kau mati"kata ketua perampok itu.

Para gerombolan perampok itu segera bersiap siap mengeluarkan ilmu andalan nya,masing masing dari mereka menyilang kan kedua tangannya di depan dada tak lama kemudian bergetar tubuh mereka dengan hebat.

"Ajian petir membelah langit hiaaaat" teriak para perampok itu berbarengan melepaskan tenaga gabung mereka,tiba tiba angin bertiup sangat kencang,

"Sementara itu sang pemuda telah bersiap siap untuk melepaskan jurus andalannya yaitu ajian angin topan menyapu gunung .

Hiaaaat...... pemuda itu melepaskan pukulan nya dan dua ajian itu berbenturan terjadilah ledakan dahsyat dan besar..duuuaaarrr....duuuaaarrr..kedua belah pihak sama sama terpental kebelakang.

Si pemuda terpental sekitar dua puluh tombak dengan memegangi dadanya , sementara perampok cuma terpental sepuluh tombak kebelakang. Menandakan kekuatan gabungan para perampokan itu lebih kuat.

Mereka merasakan panas dan sesak pada dada mereka, baik pemuda mau pun para perampok sama sama merasakan hal itu.

Tanpa di sadari oleh mereka ternyata ada sepasang mata yang mengawasi pertarungan mereka itu.

Dia adalah Rangga yang secara kebetulan lewat jalan itu dan mendengar bunyi orang bertarung lalu ia memutuskan untuk berhenti dan melihat pertarungan itu.

"Ternyata bukan isapan jempol belaka, mereka benar benar perampok yang kuat "kata Rangga dari tempat persembunyiannya .

Uhuk..uhuk..pemuda itu batuk tapi tidak berdarah di lain pihak sang perampok sudah bangun dan siap siap akan menyerangnya kembali .

Dengan menggunakan ajian petir membelah langit untuk kedua kalinya,perampok itu ingin segera menghabisi pemuda itu.

Sang pemuda itu pun mencoba bangkit untuk berdiri tapi,"celaka tangan ku tidak bisa di gerakkan apakah aku akan mati di sini"kata pemuda itu dalam hati.

Dari arah depan pemuda itu ia melihat sekilas cahaya yang disertai angin kencang menuju ke arahnya,

"ternyata cuma sampai di sini pengembaraan ku maaf kan aku guru"kata pemuda pada dirinya sendiri seakan penuh dengan penyesalan.

Ia hanya bisa pasrah dan menunggu takdirnya, namun sebelum pukulan gabungan para perampok itu sampai pada pemuda itu, tiba tiba terdengar ledakan yang sangat dahsyat dua tenaga dalam berbenturan kembali duuuaaarrr......duuuaaarrr.... kali ini lebih dahsyat lagi.

Para perampok itu pun berhamburan dan terpental cukup jauh sekitar dua puluh tombak,sedangkan lawannya masih diam di tempat ,tapi tanah yang di pijak amblas setinggi lutut, menandakan tenaga dalamnya masih di atas para perampok itu.

"Uhuuk... Uhuuk..."kurang ajar siapa yang berani ikut campur dengan perampok macan loreng " kata ketua perampok itu sumpah serapah.

Asap tebal pelan pelan menipis dan hilang sama sekali lalu tampaklah seorang pemuda sedang berdiri di hadapan mereka,dia adalah Rangga.

"Ternyata hanya anak kemarin sore,mau apa kau ikut campur urusan kami"tanya ketua perampok itu.

Tanpa bicara Rangga langsung melemparkan sebuah kalung yang ia temukan pada waktu kecil dulu ke arah perampok itu , setelah ia melihat perampok itu memakai kalung yang sama.

Dan ternyata ketua perampok itu langsung mengenalinya, sebab kalung itu adalah milik salah satu anggotanya yang hilang beberapa tahun lalu.

"Apakah kalian masih ingat tentang seorang anak kecil dan seorang wanita yang dulu kalian nodai waktu itu dan kalian lalu membunuhnya"tanya Rangga.

Sang ketua perampok terdiam dan mencoba mengingat ingat kejadian itu.

"Lalu apa hubungannya dengan mu dengan wanita dan anak itu"tanya ketua perampok pada pemuda yang di hadapannya itu.

"Dengarkan baik-baik ,akulah anak itu "kata Rangga dingin.

"Apa.."!!! teriak mereka bersamaan karena terkejut .

"Jadi bersiaplah kalian untuk ku kirim ke neraka"ucap Rangga dingin tapi menakutkan.

"Oh ,,,jadi kamu mau menuntut balas, kami para perampok macan loreng tak mengenal rasa takut apa lagi sama anak kemarin sore "kata ketua perampok itu.

"Serang "teriak ketua rampok itu, lalu mereka maju bersamaan ,tanpa basa basi lagi Rangga langsung mengeluarkan kedua pedang kembarnya ,

Rangga langsung mengeluarkan pedang kembar nya dan langsung menyambut serangan para perampok itu dengan gerakan sangat cepat tanpa bisa di ikuti mata orang biasa , Rangga melewati mereka semua, dan langsung menghilangkan pedangnya kembali.

Melihat itu ,pemuda tadi yang di tolong oleh Rangga seakan akan tidak percaya dengan penglihatan matanya itu ,karena para perampok itu roboh semua tanpa kepala.

"Kapan dia melakukannya "tanya pemuda itu dalam hati,

"sungguh luar biasa kecepatannya pemuda itu"ucap pemuda itu dengan terkagum-kagum.

Setelah puas melihat para perampok itu roboh Rangga pun langsung menghampiri pemuda itu.

"Apakah andika tidak apa apa"tanya Rangga tiba tiba .

"saya tidak baik-baik dan saya ucapkan terima kasih atas pertolongan saudara pendekar"kata pemuda itu.

"Sudahlah simpan rasa terima kasih mu ,karena mereka pantas untuk mendapatkan semua itu"kata Rangga.

Akhirnya setelah itu, mereka pun saling berkenalan ,ternyata nama pemuda itu adalah lingga, dan mereka pun akhirnya berpisah untuk melanjutkan perjalanan mereka masing masing.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!