“Kapan mau mencari kerja?” tanya Rasta pada suaminya—Bayu.
“Kapan-kapan,” jawab Bayu.
“Sampai kapan kamu jadi pengangguran? Apa kamu enggak malu dengar omongan tetangga?” Rasta kembali bertanya dengan suara yang sedikit meninggi.
“Terserah gue lah. Lagi pula, ngapain gue kerja? Kan masih ada lo. Jadi istri harus berbakti!” seru Bayu.
Rasta terdiam. Kedua tangannya mengepal, emosinya tersulut karena selama ini suaminya tidak pernah memberikan nafkah dan ia harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.
“Suami tidak berguna! Lebih baik kamu mati,” erang Rasta dengan rahang yang mengeras.
Rasta menarik lengan Bayu, lalu menendang bokongnya hingga tersungkur ke lantai.
“Berani sekali kamu menendangku!” teriak Bayu tidak terima.
“Kau tidak pantas dihormati,” balas Rasta lalu tersenyum simpul.
PLAK!
Bayu menampar wajah Rasta hingga meninggalkan luka lebam. Namun, Rasta hanya diam sembari menatap Bayu dengan wajah murka.
“Istri tidak tahu diri,” cemooh Bayu.
Bayu menarik rambut Rasta, lalu mendorong tubuhnya hingga membentur tembok.
“Kau harus mati!” Bayu tersenyum sinis, kemudian ia mengambil sebuah pisau dan berjalan mendekati Rasta.
Rasta berjalan mundur ke belakang, berusaha menjauh dari Bayu. Namun, Bayu menarik tangannya dan mengunci seluruh tubuhnya.
“Selama ini aku sudah cukup sabar dengan hinaan yang kamu ucapkan tapi sekarang ... Aku harus membunuhmu,” ucap Bayu.
Bayu mengarahkan pisau ke leher Rasta, sedangkan Rasta tidak bisa berbuat apapun selain meminta perlindungan kepada Tuhan.
“Ucapkan selamat tinggal pada dunia yang gelap ini.” Bayu melayangkan pisau tersebut dan hendak menancapkannya di perut Rasta. Namun tiba-tiba pintu terbuka dan nampak seorang anak kecil yang berlari mendekati mereka.
“Berhenti Ayah!” teriaknya lalu berdiri membelakangi Rasta.
“Ngapain kamu ke sini? Pergi! Ini bukan urusan anak kecil,” titah Bayu.
“Aku enggak mau pergi sebelum Ayah berhenti sakiti Ibu!” sahutnya.
“Kalau kamu berani ikut campur, Ayah akan membunuhmu!” ancam Bayu pada putri semata wayangnya.
“Lebih baik aku mati daripada kehilangan Ibu,” jawabnya.
Anak itu tidak gentar. Ia tetap berdiri di depan Rasta, melindungi Rasta dari pisau yang hendak melukainya.
“Saya juga tidak sudi punya anak songong seperti kamu,” sahut Bayu.
Bayu mendorong putrinya hingga tersungkur ke lantai.
“Apa yang Ayah lakukan?” tanyanya dengan bibir bergetar serta berusaha menahan butiran air mata yang memaksa keluar.
“Saya mau menyingkirkan anak tidak berguna sepertimu!” jawab Bayu.
Bayu berdiri di hadapan putrinya, kemudian ia menginjak tangan putrinya hingga merintih kesakitan.
“Sakit Ayah ....” Anak itu berkata dengan suara lemah dan air mata yang mengalir deras.
“Itulah akibat jadi anak durhaka,” ucap Bayu.
Bayu tersenyum puas. Ia tidak mendengar semua rintihan yang putrinya keluarkan, sedangkan Rasta terpaku menatap peristiwa paling mengenaskan dalam hidupnya.
“Kalian harus mati,” ucap Bayu.
Bayu kembali melayangkan pisaunya dan hendak menusuk anaknya. Namun, tiba-tiba Rasta memukul kepala Bayu menggunakan vas bunga.
Setelah itu, Rasta mendorong Bayu dan mendekati putrinya.
“Ayo, kita pergi.” Rasta mengulurkan tangan, putrinya menerima uluran Rasta dan kembali berdiri.
Rasta hendak melangkah tetapi Bayu menarik kakinya. Namun, Rasta menginjak tangan Bayu dan bergegas mengemas barang-barangnya.
“Kalian tidak bisa kabur dariku!” teriak Bayu.
Rasta mengabaikannya dan berlari keluar bersama putrinya.
“Akhirnya kita bebas juga dari orang gila itu,” ucap Rasta lega.
“Sekarang kita tinggal di mana, Bu?” tanya putrinya.
“Kita tinggal di rumah majikan Ibu. Ayaka enggak perlu takut, mereka baik dan sayang sama anak kecil.” Rasta menjawab seraya mengusap lembut kepala putrinya.
“Selama ada Ibu, Ayaka pasti ikut. Ayaka enggak mau Ibu kesepian,” jawab Ayaka.
Rasta tersenyum, ia senang karena masih memiliki putri seperti Ayaka. Selama ini Ayaka adalah penyemangat hidupnya dan alasan dia masih bertahan dengan Bayu.
Tapi setelah melihat tindakan keji Bayu terhadap Ayaka, ia semakin mantap untuk menceraikan Bayu karena ia tidak rela melihat anaknya disakiti. Sekalipun orang yang menyakiti adalah suaminya sendiri.
Ayaka berada di sebuah rumah mewah yang memiliki desain seperti rumah-rumah dalam film Disney yang dia tonton.
Ayaka terpana melihat keindahan halaman rumah yang penuh dengan bunga yang harum nan cantik.
“Ibu emangnya enggak papa kalau kita tinggal di sini?” tanya Ayaka.
“Enggak papa sayang. Ibu udah bilang sama majikan Ibu kok dan mereka mengizinkan,” jawab Rasta.
Ayaka mengangguk mengerti, tatapannya tertuju pada bunga-bunga cantik yang memiliki beragam macam warna. Sedangkan Rasta ikut senang melihat senyuman yang terukir di bibir mungil Ayaka.
“Ayo, ikut ibu ke dalam. Kita harus bertemu majikan ibu,” ajak Rasta.
Rasta menggenggam tangan Ayaka, lalu membawanya masuk ke kediaman keluarga Yokohama. Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh pembantu lain terutama Bi Ijah yang sudah Rasta anggap sebagai ibunya sendiri.
“Eh ada Ayaka. Kamu cantik banget kayak Ibu,” puji Bi Ijah.
Ayaka tersipu malu. "Nenek juga cantik,” jawab Ayaka.
“Ini anak kamu?” Tiba-tiba seorang wanita paruh baya mendekati mereka. Wanita itu adalah istri dari Tuan Yokohama.
“Iya, Bu. Ini anak saya,” jawab Rasta seraya menunduk hormat.
“Cantik seperti Ibunya,” pujinya.
Wanita itu mendekati Ayaka, lalu membungkuk untuk menyamakan posisinya dengan Ayaka.
“Siapa nama kamu?” tanyanya.
“Nama aku Ayaka Vidyanata tapi Ibu manggil aku Aya,” jawab Ayaka memperkenalkan dirinya.
“Oke Aya, Mulai sekarang kamu panggil saya Grandma Lisa, anggap saya seperti nenekmu sendiri.” Dia mengelus puncak kepala Ayaka.
“Iya, Grandma.” Ayaka tersenyum simpul, lalu menatap Lisa dengan wajah polosnya.
“Sekarang Aya istirahat dulu ya. Pasti Aya capek,” ujar Lisa.
“Iya, Grandma. Aya bobo dulu ya, papay Grandma.” Ayaka melambaikan tangan dan berjalan mengikuti Rasta menuju kamar yang sudah disiapkan.
Lisa sengaja memberikan satu kamar khusus untuk Ayaka karena sebenarnya Lisa ingin mempunyai cucu tapi putra semata wayangnya enggan menikah walaupun sudah dikenalkan dengan berbagai wanita yang sederajat dengan keluarganya.
***
Rasta sedang menyiapkan makan malam untuk keluarga Yokohama. Ia menghidangkan menu khas Jepang karena anak majikannya datang.
Tanpa sadar, ada seseorang yang tengah memandangnya dari jauh.
“Seksi banget,” batinnya.
Pria itu mendekati Rasta, lalu memeluk Rasta dari belakang. Rasta terkejut dan menoleh ke belakang, ia melihat Rendy—anak majikannya—berada tepat di belakangnya.
“Tu—tuan kenapa memeluk saya?” tanya Rasta dengan nada bergetar. Takut ada orang yang melihatnya.
“Saya tertarik denganmu. Maukah kau tidur denganku?” tanyanya dengan sedikit berbisik.
“T—tapi Tuan—”
“Jika kamu menolak, saya akan menyuruh Ibu saya untuk pecat kamu!” ancamnya.
Rasta diam, ia bingung mau menjawab apa karena ancaman Tuannya pasti tidak main-main.
“Bagaimana? Apa kamu mau bermain denganku?” tanyanya sekali lagi.
“I—iya,” jawab Rasta gugup.
Dia tersenyum seringai, lalu mempererat pelukannya. Dia meraba-raba bagian sensitif, sedangkan Rasta berusaha fokus mencuci piring. Namun, putra dari majikannya justru meremas gumpalan lemak di dada yang menciptakan suara desau.
“Jangan diremas,” ujar Rasta.
Rasta berusaha menahan diri agar tidak terbawa suasana. Tetapi anak majikannya semakin liar dan menjilat seluruh bagian sensitif yang menciptakan ketegangan.
“Ayo desau lagi sayang.” Dia menjelajahi tubuh Rasta hingga tangannya masuk ke helaian kain yang menutupi tubuh Rasta.
Rasta kembali mengeluarkan desau membuat permainan semakin memanas. Rasta menggenggam jari-jemari Tuannya, kemudian mereka bercumbu mesra.
“Astagfirullah, Rendy!” Pekikan seorang wanita terdengar dari arah belakang. Spontan Rasta dan pria itu menoleh ke sumber suara, mereka terbelalak saat mengetahui Lisa berdiri di ambang pintu dapur.
“Bunda!” Rendy terkejut. Ia melepas pelukannya dan menjauh dari Rasta.
“Jadi seperti ini perbuatan kalian di belakang saya?” tanya Lisa menatap Rasta dan Rendy bergantian.
“Ini tidak seperti yang Bunda lihat,” ucap Rendy mencoba mengelak.
“Cukup! Pokoknya Bunda akan menikahi kalian!” tegas Bunda membuat Rendy dan Rasta terkejut.
“Apa? Bunda mau nikahi aku sama pembantu jelek kayak dia? Please Bunda, aku cuman khilaf.” Rendy menolak seraya berjalan mendekati Lisa.
“Perbuatan yang kamu lakukan sudah kelewat batas dan Bunda tidak mau tau, kalian harus bertanggung jawab atas perbuatan tidak senonoh di rumah ini!” tegas Lisa.
Lisa berjalan menjauh dari dapur, sedangkan Rendy terus mengikutinya dan membujuk Lisa. Namun, keputusan Lisa sudah bulat.
Ia akan tetap menikahi putranya dengan Rasta karena ia tidak suka perbuatan zina yang dilakukan oleh Rendy dan Rasta.
Enam bulan kemudian.
Kediaman keluarga Yokohama ramai dengan para tamu undangan. Hari ini adalah hari pernikahan Rendy dengan Rasta, dan mereka sudah tidak bisa menolak satu sama lain.
Rasta duduk di depan meja rias bersama putri kecilnya yang sibuk bermain boneka baru yang dibelikan oleh Tuan Yokohama.
“Kamu beruntung bisa mendapatkan Tuan Rendy. Selama ini Tuan selalu menolak untuk dijodohkan dan sekarang Tuan melepas masa lajangnya oleh janda sepertimu,” ucap Bi Ijah.
“Ini karena salah paham. Seharusnya kami tidak pernah melakukan itu,” tutur Rasta dengan wajah sedih.
“Jangan menyalahkan dirimu. Mungkin ini takdir juga jawaban atas doa-doamu. Bukankah kamu selalu minta diberikan kebahagiaan? Dan sekarang Tuhan mengabulkannya,” imbuh Bi Ijah dengan lembut.
Rasta mengangguk, ia mencoba menerima takdirnya menikah dengan seorang berondong yang berusia 10 tahun lebih tua darinya. Ia tidak berharap dicinta oleh Tuan Rendy, setidaknya Tuan Rendy menjamin kehidupannya bersama Ayaka.
Setelah selesai dirias, Rasta menuruni anak tangga dan berjalan menuju lantai bawah bersama BI Ijah yang setia memegang gaun putihnya.
Rasta melihat Rendy dari kejauhan. Tatapan Rendy begitu mengerikan, seperti elang yang ingin memakan mangsanya. Namun, Rasta menahan rasa takutnya dan terus melangkah hingga sampai di hadapan Rendy.
“Kamu sangat cantik. Pantas Rendy jatuh hati padamu,” puji tamu yang berstatus sebagai Paman Rendy.
“Cantik sih cantik tapi setidaknya jangan menikahi pembantu juga. Janda anak satu pula,” celetuk tamu lain—Bibi Rendy.
Rasta hanya tersenyum, ia menyimpan rasa sakit demi masa depan putrinya. Jika pernikahannya dengan Tuan Rendy gagal, ia akan dipecat dan diasingkan secara tidak hormat dari kediaman Yokohama.
“Kamu kok mau sama janda anak satu? Kayak enggak ada perempuan lain saja,” ucap Bibinya.
“Berisik banget lu. Terserah gue mau nikah sama siapa, emang lu yang biayai pernikahan gue?” ketus Rendy.
Rendy menatap sinis Bibinya. Ia membenci orang yang ikut campur dengan hidupnya. Ia memang tidak suka dengan janda anak satu itu tapi orang lain tidak pantas ikut campur dalam permasalahannya.
“Cukup! Daripada berdebat, mending kita mulai proses ijab kabul nya.” Lisa berusaha melerai dan menenangkan Rendy yang tersulut emosi.
Rendy membuang muka, lalu berjalan menuju tempat untuk proses ijab kabul. Rendy duduk berhadapan dengan penghulu, sedangkan Rasta berada di samping Rendy.
“Sudah siap?” tanya penghulu.
Rendy mengangguk, lalu menjabat tangan dengan Paman Rasta.
“Saudara Rafa, saya mewakilkan pada Anda untuk menikahkan keponakan saya Rasta Vidyanata binti Desta Mahendra dengan saudara Rendy Yokohama bin Nathan Yokohama dengan mas kawin uang tiga ratus juta rupiah dibayar tunai.”
“Saya terima pernikahan dan perkawinan ini untuk saya dengan mahar yang telah disebutkan dibayar tunai,” ucap Rendy lantang.
“Bagaimana para saksi sah?” tanya penghulu.
“Sah,” jawab tamu serempak.
Rendy memasangkan cincin kawin di jari manis Rasta, kemudian Rasta memasangkan jari manis di jari manis Rendy. Selama beberapa detik, mereka beradu pandangan untuk melakukan sesi pemotretan. Setelah itu, Rendy kembali membuang muka.
“Akhirnya, anak Bunda nikah juga. Sebentar lagi Bunda mau punya cucu nih,” goda Lisa. Namun dibalas dengan tatapan sinis dari Rendy.
“Apa sih Bunda. Aku enggak mau punya anak!” seru Rendy.
“Loh tujuan menikah untuk punya anak. Memangnya kamu enggak mau kasih keturunan buat Bunda dan Ayah?” tanya Lisa.
“Aku menikah juga karena paksaan dari Bunda jadi jangan harap aku mau punya anak dari janda ini!” tegas Rendy lalu beranjak dari duduknya.
Rendy melangkah meninggalkan Rasta yang terpaku memandangnya. Rasta berusaha terlihat tegar meskipun hatinya perih setelah mendengar ucapan Rendy.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!