Tolong gali lah kembali pepatah perkataan seorang Musafir.
"Hidup itu sebenarnya mudah, bahkan sangat mudah, hanya kita saja yang membuatnya rumit selama ini." Bukan kata saya, tapi kata seorang 'musafir' yang lagi berteduh menunggu hujan sedikit reda. Lalu pergi entah musafir itu akan kemana.
****
•KOTA TUA 2012
Aku bukanlah orang jahat, juga bukan orang yang tak bermartabat. Pun aku adalah orang yang berhasrat, akan hal yang aku yakini dengan erat…
Jika pun kalian adalah sekumpulan orang-orang hebat yang menggenggam kuasa dunia ini, maka aku. Sebagai bocah buangan akan selalu berdiri kuat tanpa ragu tak peduli jika nanti aku mati konyol sekalipun, karena bagiku kekalahan serta kesedihan sudah biasa ku jumpai dengan mesra.
Aku bukanlah orang hina, yang biasa kau injak layaknya manusia tanpa guna. Sedikit demi sedikit aku juga akan terus melawan serta berdiri paling depan, tak peduli semua yang ku lakukan itu salah atau benar, hingga ada masanya untuk ku suatu saat pulang.
Ironisnya hampir semua teman sekelas tidak menerima bocah itu (zim) untuk bergabung serta bercanda gurau layaknya seorang kawan, bahkan buruknya, mereka juga tega membuat bocah itu tersungkur hanya karena alasan jijik, dengki, hina. Seakan bocah itu merasa terasingkan dinegeri tanah kelahirannya sendiri.
Keluh kesah dengan suara lirih serta mata yang berkaca-kaca. Zim kecil pulang duluan dari sekolahnya membawa kesedihan, terlihat air mata mengguyur pipinya yang penuh dengan goresan luka dan curat-coret ulah temannya sendiri.
Terpaksa zim kecil selalu mendapatkan perlakuan layaknya seorang babu yang di suruh suruh, agar bisa merasa aman dari perlakuan temannya walaupun itu hanya berlangsung sesaat.
Hari demi hari keceriaan itupun semakin memudar, terlihat keruh tanpa adanya setitik kebahagian baginya, termenung dalam penderitaan, kesepian, kehampaan, semuanya bercampur aduk berujung keputusasaan yang terekat dalam kebencian.
Sementara dilain sisi orang yang telah membesarkannya sedari kecil, sama sekali tidak menyadari bahwa putra semata wayangnya itu selalu mendepatkan penderitaan. Bukan karena tak peduli, melainkan Zim sendirilah yang sengaja tetap bersikeras menutupi seluruh masalah pribadinya hanya karena alasan tidak ingin orang tuanya turun tangan dan teman temannya semakin membenci.
Mereka hanya tahu bahwa Zim kecil adalah anak yang tidak pernah bergaul, dia hanya suka berdiam diri di rumah sambil menonton televisi. Ibunya adalah pemilik toko besar yang tidak jauh dari rumahnya sedangkan Ayahnya bekerja sebagai seorang wiraswasta.
Zim kecil tinggal di rumah yang megah, dan yang pastinya terlahir dari keluarga yang terbilang sangat kaya serta mapan dalam urusan pekerjaan. Maka, tidak heran pula jika temannya pun sangat senang memalaki uang bocah itu sembari mengejeknya dengan celaan 'sultan'.
****
Di sekolah temannya tidak ada yang mau menemani serta menerima ia untuk bisa bermain bersama, selayaknya anak-anak kecil yang sebaya dengannya, sungguh malang nasibnya, seolah dunia ini tidak pernah berpihak padanya, untuk menerima kehadiran bocah itu.
Apabila ia merasa sangat kesepian, maka yang dilakukan bocah itu hanyalah termenung meratapi kehidupannya yang hampa. Maka sudah menjadi kebiasaannya menyendiri bersahabat dengan teman ilusi yang ia anggap wujud, ada keberadaannya.
Sudah hampir 6 tahun lamanya dia duduk di bangku Sekolah Dasar, dan pada akhirnya ia pun lulus meski tak memiliki kenangan indah bersama teman temannya.
****
Suatu hari Zim seorang bocah hina berkeinginan untuk memulai perjalanan barunya, dimana ia bisa pergi jauh dari kampung halaman nya dan masuk ke pondok pesantren dimana ia juga bisa belajar untuk memahami ilmu agama, maka berkata lah bocah itu kepada ibunya yang sedang duduk-duduk saja.
"Ibu masukan lah aku ke pondok pesantren, katanya di kampung halaman ibu sekarang sudah banyak pesantren pesantren di daerah sana." Bocah itu berseru setengah memohon kepada ibunya agar keinginannya itu bisa terkabulkan. Namun dikala melihat wajah ibunya yang tercengang seketika, ia pun melanjutkan perkataannya lagi agar bisa lebih meyakinkan keinginannya itu.
"Janganlah ibu merasa cemas padaku bu, jangan merasa takut jika aku nanti merasa menderita di sana." Sambungnya meyakinkan dengan penuh keseriusan tanpa ada keraguan sedikitpun. karena keputusan nya kini sudah bulat, ia memilih jalannya sendiri dengan keegoisan nya dan jika pun orang tuanya tidak mengizinkan dia akan bersikeras tetap pergi meninggalkan kampung halamannya sendiri.
Mau tidak mau, meski terasa berat rasanya ibunya pun akhirnya mengizinkan anaknya pergi dan berkata penuh kasih, sambil membelai rambut halus yang dimiliki oleh putranya itu.
"Ya sudah memangnya kamu ingin pergi kapan nak?" tanya ibu kepada anaknya
"Secepatnya bu!" jawab zim kecil dengan antusias.
"Syukur jika hari ini kamu ada kemauan nak, jujur ibu sangat merasa senang mendengarnya."
Tok! tok! tok!
Bunyi suara ketukan pintu terdengar dari arah salah satu pintu sambil mengucapkan salam.
"Assalamualaikum!" sapa ayah dari luar. Lantas dengan cepat ibunya pun menjawab salam itu sambil memutar handle pintu.
"Duduk lah dahulu, ada yang ingin aku bicarakan dengan mu!" kata ibu tanpa berpanjang lebar.
"Jadi bagaimana apa bapa setuju jika anak kita satu satunya dibiarkan pergi?"
Namun disaat mendengar pertanyaan dari ibu, seketika raut wajah ayah berubah menjadi merah padam, matanya menatap tajam ke arah putranya yang tengah bersembunyi dibalik pintu kamar, seolah tatapan matanya itu berkata sama sekali tidak mengijinkan putranya pergi, lantaran kepribadiannya yang pendiam serta tak banyak bicara.
"Mana bisa gitu bu, kalau anak kita di sini juga jarang bergaul! jawabnya marah dengan intonasi suara yang sengaja ayah naikan beberapa oktaf. Sehingga membuat bocah malang itu terciut kembali dari keinginannya.
Sang ibu yang melihat putranya kembali menampakan raut wajahnya dengan sedih, sontak langsung menjawab dengan tegasnya kepada ayah. Demi, membuat perasaan anaknya kembali bersemangat kembali. "Coba kau heningkan kembali jalan pikiranmu suamiku, dan gali lah kembali pikiran mu, lihatlah putra kita itu, setelah sekian lamanya ia tidak pernah meminta apapun kepada kita, maka tolong kabulkan lah permintaannya itu untuk pertama kalinya saja."
"Hallah, ibu sama anak sama aja, ya sudah, biarkan saja dia pergi, palingan juga tidak akan betah!" cela ayahnya.
Sementara bocah malang itu yang mendengar obrolan kedua orangtuanya dari dalam kamar, sontak membuat hatinya kembali merasa senang, meskipun dilain sisi ayahnya berpendapat kurang menyetujui.
****
Hari demi hari pun berlalu, zim kecil bersiap siap membawa pakaian dan bekal serta kartu rekening milik ibunya untuk keperluan sehari-hari.
"Nak, maap ibu dan ayahmu tidak bisa mengantarkan kamu ke sana, kami hanya sekedar bisa memberi bekal untuk mu saja, nanti kamu berkunjung lah ke rumah paman terlebih dahulu, biarkan paman nanti yang memasrahkan mu sampai ke surau." kata ibunya sambil membelai anaknya penuh kasih sayang.
"Iya Bu tidak masalah, nanti kalau sudah sampai di rumah paman, nanti pasti akan aku kabarkan kembali." Maka bocah itupun mulai melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ibunya yang masih saja berdiri mematung didepan rumah mewahnya yang sebelumnya ia tinggali. Sontak membuat agak sedikit kalut perasaan ibunya itu dan bergumam dalam hatinya mendoakan. "Semoga kau sukses nak, dan jadilah orang yang sangat berguna diwaktu kelak nanti kau beranjak dewasa..."
Maka, apabila bocah itu sudah sampai ditengah-tengah keramaian kota, iapun berdiri sejenak dipinggiran jalan raya sambil memandangi bangunan bangunan besar kota tua cikarang. "Mungkin suatu saat aku akan rindu dengan tempat ini..." gumamnya sambil menyeret koper besarnya pergi meninggalkan kampung halaman, tidak ada yang bisa membantah keputusan bocah itu yang sudah terlanjur bulat akan meninggalkan kota demi meraih masa depannya yang cerah, Maka, disinilah perjalanan awal ceritanya dimulai.
Sebuah bis pariwisata berhenti di depannya yang sedang duduk disebuah kursi panjang yang terbuat dari besi, Ia pun langsung masuk kedalam bis itu tanpa berkata apapun, seraya duduk di bangku paling belakang sembil memandangi kearah kaca-kaca mobil yang masih berembun, terlihat suasana kota tua yang ia tinggalkan semakin menjauh dari penglihatannya.
Skip
Tak terasa 4 jam dalam perjalanannya hingga pada akhirnya zimi kecil turun dari bis, dan langsung berjalan menulusuri setiap perkampungan mencari dimana kediaman rumah paman tinggal. Hingga datanglah sang penunjuk jalan setelah bocah itu bertanya kepada salah seorang wanita paruh baya, dan berkata sambil menunjukan jari telunjuknya ke arah rumah yang terlihat sederhana. "Oh jadi ini kah rumah paman..." gumamnya.
"Assalamualaikum!" sapa zimi mengucapkan salam sambil mengetuk pintu
"Wa'alaikumsalam," jawab didalam rumah, seperti suara dari seorang wanita, lalu pintu yang terbuat dari kayu yang sudah mulai rapuh pun terbuka, dibuka oleh bibinya mengizinkan keponakannya masuk.
"Mari silahkan duduk dulu nak!" sahut bibinya mempersilahkan Zim untuk duduk terlebih dahulu disebuah kursi kayu.
Bibinya pun langsung membawakan air putih untuk keponakannya.
"Tadi ibumu juga ada menelpon kalau zimi akan datang mengunjungi" ucap bibinya
"Oh." pandangan bocah itu melihat ke kanan serta ke kiri.
"Kamu mencari apa nak?"' tanya bibi
"Paman dimana bi."
"Oh, nanti paman mu pulang, istirahat lah saja terlebih dahulu disini."
"Iya bi." balas zimi sambil tersenyum pada bibinya
****
Selang beberapa detik. Pamannya pulang dengan keadaan pakaian setengah kotor, lantaran sebagian pakaiannya masih tertutup oleh lumpur sembari memegang cangkul ditangan kanannya.
"Eh, kamu udah ada di rumah nak, tadi ibumu menelpon kami, bahwa kamu ingin sekali diantarkan ke surau (pondok pesantren) katanya?" ucap paman sambil mengganti pakainya yang terlihat lusuh
"Hehe iya paman, maap kalau agak merepotkan, soalnya orang tuaku sibuk bekerja di sana."
"Santai saja. memangnya mau berangkat kapan nak?"
"Lebih baik sore saja paman."
"Ya sudah kamu istirahat lah saja dahulu,
kamu pasti lelah kan dari perjalanan sampai kemari?" ajak pamannya.
"Hehe, Iyah paman!" balasnya sambil tertawa canggung.
Pamannya datang mengunjungi rumah salah seorang guru yang terkenal akan ke alimannya terlebih dahulu, seraya memasrahkan serta mendidik bocah itu, yakni salah seorang bocah jauh, bocah terbuang yang sengaja datang ke negeri orang selama 3 tahun dalam pengabdiannya menuntut ilmu.
Kedua jelaga bola matanya melihat-lihat sekeliling suasana pondok yang bertopang kayu dan beralaskan samak panggung, yang mana semuanya terlihat lah sangat sederhana. Namun, dari kesederhanaan tempat ini, tersimpan kekayaan yang perlu orang-orang butuhkan akan hal itu.
"Apa ini tempat dimana aku akan berubah? padahal kalo dilihat dari santrinya serem-serem banget ya Aloh,
gue gak yakin!"
keluhnya merasa cemas serta berusaha menelan ludahnya sendiri berkali-kali.
Maka tak lama setelah ia melihat-lihat suasana pondok, beranjak lah ia menemui seorang guru yang terkenal akan kepandaian dalam mengajar ilmu bahasa Arab.
Untuk mempersingkat waktu akan kehadirannya dirumah pak kiyai maka berkata lah, pamannya tanpa terlalu banyak berbasa-basi.
"Maap menggangu sebelumnya, saya hanya ingin memasrahkan keponakan saya, tolong didik dan ajarkan dia layaknya santri-santri yang lainnya di sini."
"Alhamdulillah, syukur kalau begitu, siapa nama kamu nak."
"Zim pak kiyai."
"Mudah mudahan betah ya."
"Insyaallah, saya pasti akan betah di sini."
Selang beberapa menit, pamannya pun bersalaman serta pamit untuk pulang dan berkata dengan halusnya sambil mengelus-elus rambut bocah itu sebelum pergi. "Jaga diri baik-baik ya nak!" ujar pamannya, lalu pergi mulai melangkahkan kakinya meninggalkan bocah itu yang sedang berdiri sendirian, menggendong tas besarnya berisikan pakaian.
"Tidak usah kau khawatir kan, aku pasti akan baik baik saja disini..." gumam hatinya tanpa ada keraguan.
****
Saat menjelang Maghrib tepat disaat warna jingga menyelimuti seluruh langit seraya disusul oleh gemuruh lantunan suara adzan yang tengah dikumandangkan dari dalam masjid.
Terlihat banyak sekali warga kampung durian runtuh, ramai mengantri mengambil air dari dalam kulah untuk berwudhu terlebih dahulu. Namun tidak dengan seorang bocah baru itu, dirinya masihlah terlihat tertidur pulas didalam kamarnya lantaran masih merasa kelelahan. Sehingga mengundang pandangan yang kurang jernih menatap kearah bocah itu seketika. "Dasar kaya sultan aja gayanya!" Namun mekipun begitu mereka tetap saja memilih untuk tidak ada satupun murid yang membangunkan bocah itu.
"Biarkan saja dia tertidur pulas didalam, jangan ada satupun santri yang berani membangunkannya!" ancam salah satu senior kepada murid murid lainnya.
"Ma, maap kak, tapi sekarangkan sudah waktunya untuk berjamaah sholat?" tanya murid yang berambut panjang dengan tergagap.
"Sudah jangan membantah, lagi pula dia masih murid baru disini, jangan terlalu menekan kannya terlalu keras, yang ada nanti dia pasti tidak akan pernah merasa nyaman tinggal disini!" seru senior sehingga membuat para santri lainnya diam tersentak.
"Sudah pergi kalian jangan memperhatikannya terus." Sambungnya menyuruh seluruh santri pergi.
.
.
.
.
.
.
•skip
Di keesokan harinya.
"Assalamualaikum!" sapa seorang senior yang baru saja masuk kedalam kamar.
"Wa'alaikumsalam." Bocah itu menjawab kembali. Terlihat ia masih terpokus menatap ke arah kitab dengan polosnya, seraya mengerutkan keningnya karena merasa kebingungan tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang bocah itu baca.
Bahasa apaan ini, alien kah? pikirnya.
"Apakah boleh kita berkenalan?" tanya senior angkat bicara terlebih dahulu pada bocah kecil itu.
"Zim bang."
"Salam kenal ya, semoga kau lekas merasa nyaman tinggal disini!"
"Iya insyaallah bang, terimakasih lantaran sudah sudi abang datang kemari." Bocah itu menjawab dengan polosnya.
"Ekhm.
Untuk sementara waktu, disini aku lah yang di amanah kan oleh pak kiyai untuk terus membimbing keseharian mu mulai saat ini!" sambungnya kemudian.
"Memangnya Abang siapa?"
"Kan tadi gue udah kenalan!!!"
"Tapi kau tidak memperkenalkan dirimu siapa?"
"Oh iya, panggil aku Bang–ke."
"Iya Bang–ke."
Selang beberapa bulan selama perkembangan bocah itu tinggal di sana.
Tersohorlah namanya sebagai bocah sultan, bukan karena ingin dipuji lantaran banyaknya uang, justru malah menjadi hinaan baginya.
Seluruh kenangan suram bocah itu seakan teringat kembali, akan penyiksaan nya selama 7 tahun kebelakang. Namun, hal itu tidak pernah menyulutkan sedikit pun keyakinan bocah itu ingin tetap tinggal meski banyak orang yang mencela nya penuh dengan penderitaan, ia lebih sering menganggap hinaan itu sebagai lelucon masa lalu atau yang lebih tepatnya berpura-pura untuk lebih tidak memperhatikan ocehan semua orang padanya.
Untuk menghindarkan muka yang kurang jernih, maka bilamana para santri lainnya ke sawah, maka ia juga ikut ke sawah, bila orang ke ladang, dia pun ikut ke ladang. Dalam pada itu, ia juga tak lupa untuk menambah pelajaran perkara agama selama pengasingan hidupnya dinegeri orang.
Sementara kegiatannya yang paling mencolok selama tinggal di pesantren, yakni membantu pembayaran keuangan jika ada masalah uang kas dalam bidang kebendaharaan tidak terkumpul saat bulan awal untuk keperluan logistik. Lantaran bagi murid yang lain terbilang sangat susah untuk membayar uang kebendaharaan meski hanya dua puluh lima ribu perorangan nya, namun tidak baginya, yang hanya tinggal mengeluarkan kartu debit milik keluarganya yang terbilang kaya.
.
.
.
Sebagaimana yang telah ia lakukan pada saat pagi hari tadi. Zim kecil sudah berhasil menguasai tata caranya memasak serta mencuci dengan benar, walaupun masih meninggalkan sedikit noda di kerah pakaiannya. Tapi hal itu sontak menjadi kebanggan tersendiri baginya, yang dahulu tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bergantung pada orang lain. Mungkin memang sudah seharusnya Zim untuk berubah dan meninggalkan semua kehidupannya yang serba mewah dan manja.
Berbagai ilmu dasar telah ia kuasai meskipun hanya cara mengucapkan harap Hijaiyah secara shohih dan menghafal satu ayat dari surat alfatihah. Maklum dirumahnya zimi tidak pernah sama sekali ikut mengaji karena takut diancam dan ditekan oleh temannya terus-terusan, oleh karena itu ia terbilang murid yang paling bodoh di sana, sekalinya mampu menguasai satu ilmu Zim merasa paling pintar seraya mendapatkan kepopuleran yang tinggi atas semua ilmu yang baru saja ia kuasai.
"Oke sudah dipastikan, gue bakalan jadi ajengan ngora sebentar lagi!" ucapnya berkata pada diri sendiri, lagi.
Zim mulai membuka kitabnya lagi, lalu membaca seharaf dua haraf logat yang baru saja ia tuliskan menggunakan pena, meski terlihat tidak jelas, tanda panah hampir menutupi setiap samping kitab seperti layang-layang asal-asalan. sementara pertengahan harap diisi seperti kulit jebra yang terlihat belang, karena kosong tertinggal tidur bersandar dibalik papan. "Barusan gue nulis apaan ya?" keluhnya dalam hati.
"Bang—ke, tolong minta seratan yang barusan tadi di terangin dong!" pintanya memohon penuh harap dan melas.
"Makanya jika guru sedang menerangkan jangan tidur!" cemoohnya marah-marah.
Bang—ke memberikan secarik kertas yang berisi seratan dari semua penjelasan maksud yang ada pada dalam kitab. "Terimakasih." Ucap Zim memasangkan senyum kebohongan lalu mulai menyalin kata apa saja yang telah Bang—ke tuliskan sebagai jawaban atas pertanyaannya. Meski terbilang teledor dan keras kepala, namun semangatnya akan keinginan untuk bisa menguasai ilmu tidaklah main-main. Bahkan tanpa diketahui semua orang, bocah itu sering ikut belajar tambahan di waktu yang senggang secara diam-diam dimalam hari.
Semakin berjalannya waktu, hari demi hari bang—ke salah satu senior sekaligus guru yang selalu sabar membimbingnya, melihat banyak sekali perubahan pada bocah kecil yang diajarinya selama berbulan-bulan. Maka terlihat lah perkembangannya secara lambatlaun akan seluruh pengetahuannya semakin bertambah, dan lagi munculnya kedewasaan pada dirinya yang terlihat dari kepribadian bocah itu bersama dengan sopan santun nya budi bahasa kepada orang yang lebih tinggi/tua darinya.
Tak dinyana. Disisi lain dirinya pun merasa bangga akan semua keberhasilannya itu, murni tanpa bantuan doa ataupun kecurangan dalam diri.
Jauh berbeda seperti Bang–ke dahulu, yang mengamalkan suatu doa untuk kecerdasan semata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!