Dengan langkah terburu-buru Tria yang mengenakan seragam putih abu-abu bergegas jalan menuju sekolahnya.
Terburu-buru bukannya ia takut akan di marahi oleh guru jika terlambat datang ke sekolah, yang ia takutkan adalah akan berdempetan dengan teman sekolahnya saat berkerumun di depan dinding mading.
Hari ini adalah hari berita kelulusan bagi siswa dan siswi SMA kelas tiga. Berita kelulusan tersebut di umumkan pada dinding mading sekolah.
”Rusnani, Rusmini, Satrio Nugraha, Sutrisno, Tria Handayani,” senyum Tria merekah seketika saat membaca namanya, ”Yes, Alhamdulillah aku lulus.” Ia sangat gembira. Senyumnya tidak pernah lepas dari sudut bibirnya.
”Tria, kamu lulus?” terdengar suara seseorang bertanya padanya. Tria menoleh melihat si pemilik suara tersebut. Dia adalah Nani.
Di genggamnya erat jemari tangan Nani dan berkata, ” Iya, Nan. Alhamdulillah, aku lulus...”
Nani menyambut senang. ”Alhamdulillah, aku senang untuk mu. Gimana dengan aku, apa lulus?” Nani maju selangkah ke depan mading sebelum mendengar jawaban Tria.
Tangan kanan Tria bersandar di bahu Nani dan menjawabnya, ”Iya, kamu lulus. Em, yang lainnya juga lulus, loh!!” Tangan Tria berpindah memeluk erat tubuh Nani seraya berkata, ”Aaaa... aku sangat senang Nani! Upaya belajar kita dalam sebulan untuk menghadapi ujian, tidak sia-sia.”
Nani masih belum merespon Tria. Matanya sedang membaca daftar nama-nama yang tertera di selembaran kertas, di dinding Mading tersebut.
Matanya terbuka lebar saat menemukan namanya dan melihat nilai nya sangat bagus. Ia berbalik menghadap Tria, di peluknya tubuh Tria yang masih memeluk dirinya dan berkata, ”Ah... nilai ku tidak mengecewakan. Aku sangat senang! Alhamdulillah kita semua lulus....”
”Sudah pasti nilai kita bagus-bagus! Kalau tidak...percuma dong kita belajar sungguh-sungguh sebulan ini,” Tria menanggapi. Pelukan mereka telah terputus. Mereka kembali melihat papan mading.
Nani dan Tria menoleh ke belakang saat merasakan bahu mereka bertengger sebuah tangan dan terdengar suara yang bertanya pada mereka, ”Apa kalian berdua lulus?”
Nani dan Tria berbalik badan menghadap wanita tersebut. Mereka memandang Mini dengan wajah bersinar bahagia dan sama-sama menjawab Mini, ”Iya. Alhamdulillah, kami berdua lulus. Kamu, Rio, dan Risno juga lulus kok!! Nilai kita juga sangat bagus!”
”Iya, kah? Coba ku lihat.” Mini maju selangkah ke depan, ia membaca nama-nama yang tertera di selembaran kertas putih tersebut.
”Ah, benar! Kita semua lulus! Wah, nilai kita memang sangat bagus-bagus! Usaha belajar satu bulan terakhir gak sia-sia.” Mini berbalik ke belakang memeluk erat kedua sahabatnya, melepaskan bahagianya.
”Oh, jelas!!” Tria dan Nani merespon.
”Sabar!” Mata Mini mencari sosok seseorang. Kening Nani dan Tria mengerut mengikuti arah mata Mini memandang. ”Di mana dua pria tampan milik kita? Apa belum datang?” tanya Mini.
”Oh, kamu sedang mencari kedua pria itu?” Nani menanggapi. Mini mengangguk.
”Kedua pria kita belum datang. Mungkin sedang dalam perjalanan ke sini. Kenapa? Rindu?” Tria ikut menanggapi, menggoda Mini. Mini tersipu malu.
Nani terkekeh geli melihat Mini yang tersipu. Ia ikut menggoda sahabatnya itu, ”Ah, iya. Kamu benar, Tria. Rindunya Mini pasti sudah menumpuk untuk Risno. Kira, selama satu bulan penuh tidak bertemu dengan sang kekasih. Dan lagi, selama ujian sekolah berlangsung mereka berdua selalu bertolak belakang datangnya jika kita berkumpul. Di saat Mini ataupun Risno yang datang, salah satu di antara mereka sudah pulang duluan.”
Mini terdiam, menunduk malu di godain sama kedua sahabatnya itu. Ia tidak mengelak, ucapan kedua sahabatnya benar. Dia merindukan Risno, Sutrisno, yang sudah ia pacari.
”Wah, pagi-pagi sudah menggoda orang! Gak kasian apa?” terdengar suara seseorang dari arah belakang mereka bertiga.
Ketiga wanita tersebut tersenyum merekah dan berbalik melihat pria yang barusan bicara, pria yang sudah mereka tunggu kedatangannya. Terutama Mini, gadis itu terasa sangat bahagia melihat kekasihnya datang.
”Ah, Risno! Em...akhirnya... pria tampan ku datang juga.” Nani menyenggol lengan Mini, masih dalam mode menggoda sahabatnya itu. Tria hanya tersenyum saja.
”Udah... udah! Jangan di godain terus dong temannya! Makanya... punya pacar juga jadi tahu gimana rasanya rindu.” Risno membela Mini, kekasihnya.
Mini merasa senang di bela oleh Risno. ”Iya, benar tuh! Betah bangat menjomblo.” Ia mencibir Tria dan Nani, sahabatnya tersebut.
Tria terdiam, senyumnya berubah kecut. Ia berkata dalam benaknya. Tidak perlu berpacaran baru bisa merasakan rindu. Meski teman, tapi...jika pria itu kita sukai, bila tidak bertemu...rasa rindu akan mengobrak-abrik hati...meminta untuk bersua... matanya mencari sosok pria yang ia cintai.
”Idih, mentang-mentang ada pembela...merasa jago dia.” Nani balas mencibir Mini. Tria kembali memperhatikan ketiga sahabatnya, saat sosok yang ia cari belum terlihat.
”Eh, udah...udah! Gimana, apa kalian bertiga sudah melihat hasil pengumuman? Apa kita semua lulus? Gimana dengan nilainya? Apakah memuaskan?” Risno sengaja mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau melihat wajah kekasihnya yang menahan malu di godain terus sama Nani dan Tria.
”Eh, iya hampir lupa. Iya, Ris, ucapan mu sebelumnya benar! Kita semua memang lulus dan nilai kita bagus-bagus, loh!” jawab Tria.
”Iya, kah? Alhamdulillah! Berarti sesuai dengan perkataan sebelumnya ya, siapa nih yang janji mentraktir makan?” Risno melirik Mini.
”Rusmini...” jawab Tria dan Nani.
”Ok, tenang...tenang! Aku orang yang menempati janji kok, gak akan ingkar!” Mini tidak mengelak. Matanya mencari seseorang. Ia melanjutkan ucapannya, ”Tapi... kita harus tunggu Rio, pria itu kenapa belum datang ya?”
”Hah, apa sih yang membuat Rio sampai telat? Kita janjian jam 07.00 tepat harus sudah berkumpul disini. Kok, dia belum datang ya?” Nani berkomentar kesal.
”Udah...udah! Kita tunggu aja lagi, ini juga baru jam 06 : 46 menit. Masih ada waktu 15 menit lagi untuk dia datang.” Tria merespon.
”Baiklah, tapi... sebaiknya kita nunggunya di kantin aja deh,” usul Risno.
”Ok,” sahut Nani, Tria, dan Mini. Mereka semua berjalan menuju kantin. Sesekali Tria menoleh kebelakang, melihat sosok pria yang di nantinya itu.
Apakah sesuatu terjadi padanya? Tidak biasanya dia datang terlambat, bukankah dia yang selalu datang lebih awal? Rio... benak Tria.
Hati Tria berdetak tidak menentu memikirkan pria itu.
*
*
*
Perkenalan tokoh.
Tria Handayani Marzuki adalah seorang gadis yang mandiri, berusia 18 tahun, dan menyukai sahabatnya sendiri, Rio. Ia anak satu-satunya dari pasangan Marzuki dan Nur Hasanah.
Satrio Nugraha, ia adalah anak tunggal dari seorang pengacara, Fadillah dan Mina. Berusia 20 tahun, ia sangat menyukai sahabatnya, Tria.
Rusmini, merupakan sahabat Tria. Dia adalah kekasih dari Risno. Usianya 18 tahun, penampilannya sedikit tomboi.
Sutrisno, atau yang biasa di panggil Risno, kekasih dari Mini. Usianya 19 tahun, lebih muda satu tahun dari Rio. Dulunya, dia adalah seorang anak jalanan.
Rusnani, sering di panggil Nani, usianya 18 tahun. Ia sangat membenci lelaki yang mendekatinya untuk mengajak pacaran. Karena itulah, ia selalu lengket dengan Rio. Hingga orang berpikir Nani dan Rio berpacaran.
Tria, Nani, Mini, Risno, dan Rio, adalah sahabat semenjak masa orientasi siswa-siswi baru di sekolahnya. Mereka begitu akrab dan menjalin persahabatan sampai sekarang. Meskipun kadang persahabatan mereka sering diuji, mereka selalu bisa melewati permasalahan yang ada dengan kepala dingin dan saling mendengarkan antara satu sama lain. Itulah kekompakan diantara mereka dan yang penting lagi, mereka selalu berbagi suka dan duka bersama-sama dan saling membantu satu sama lain.
*
*
*
Di kantin sekolah.
Nani, Tria, Mini, dan Risno melangkah masuk ke dalam kantin. Mereka duduk di tempat biasa, ketika mereka datang ke kantin di jam-jam istirahat ataupun di saat nongkrong.
”Kamu pesan apa Tria?” tanya Bagas, saat ia melihat Tria dan teman-temannya duduk di kursi.
”Em... nanti, Mas. Sementara... kami duduk-duduk aja dulu. Masih menunggu teman datang,” jawab Tria.
”Oh, kalau sudah ingin pesan... bilang saja ya.” sahut Bagas. Tria mengangguk.
Bagas adalah kemenakan dari Bu Inah, sang pemilik kantin. Ia adalah seorang mahasiswa akhir yang kuliah di salah satu Universitas ternama di Medan. Ia memiliki sebuah bengkel dan juga depo air, usahanya yang ia rintis sendiri.
Bagas merupakan orang yang baik, tampan, ramah dan tidak sombong. Bagas sering sekali menyempatkan waktu untuk ketempat Bu Inah hanya untuk bertemu ataupun bercengkrama dengan Tria. Bagas sangat menyukai Tria dan sudah dua kali ia mengajaknya untuk berpacaran tapi Tria selalu menolak dengan alasan masih sekolah.
”Apa perlu menunggu Rio baru kita pesan makanan?” tanya Nani sambil melihat Risno, Mini, dan Tria. ”Jujur, aku sudah lapar,” ucapnya lagi memelas.
”Ok, kalau begitu kita makan saja. Bagaimana dengan kamu Tria? Mau makan atau nunggu Rio dulu?” tanya Risno.
”Kalau kalian mau makan, ya... kita makan bersama saja. Rio... biar dia datang baru dia makan.” jawab Tria. Namun, di hatinya berkata lain. Sebenarnya, ia ingin menunggu Rio baru makan. Tetapi, ia tidak ingin ada temannya ataupun Rio sendiri menyadari jika ia menyukai pria pemilik nama tersebut.
”Mas Bagas,” Risno memanggil Bagas saat Bagas kembali dari belakang. Bagas melangkah menghampiri Risno.
”Bagaimana?” tanya Bagas.
”Kami mau memesan makanan,” Risno melihat tiga wanita di depannya. ”Ayo, pesan apa yang ingin kalian makan,” ucapnya lagi pada ketiga wanita tersebut. Bagas melihat Tria, Nani, dan Mini, menunggu mereka berbicara.
”Aku pesan makanan yang biasa aku makan aja, Mas. Minumannya juga masih tetap,” ucap Tria, Nani, dan Mini.
Mereka tidak perlu menyebutkan satu persatu makanan dan minuman apa yang ingin mereka makan dan minum. Karena mereka tahu jika Bagas sudah mengetahui makanan dan minuman favorit dari mereka semua. Apalagi untuk menu kesukaan Tria, Bagas sangat hafal.
”Aku juga Mas, seperti biasa juga.” Risno memesan makanan dan minumannya setelah tiga wanita tercintanya.
”Oh, baiklah! Aku siapkan dulu.” Bagas berlalu dari hadapan mereka.
Dengan telaten, Bagas membantu Bu Inah menyiapkan pesanan Risno, Tria, Nani, dan Mini.
Risno mengenal Bagas karena Bagas adalah teman dari abangnya dan Bagas sering datang bermain kerumahnya. Karena itulah, Risno mendukung Bagas untuk menjalin hubungan dengan Tria, saat ia tahu Bagas menyukai Tria.
Bu Inah dan Bagas membawakan pesanan Tria dan temannya. Setelah menata makanan mereka di atas meja, Bagas ikut bergabung duduk dengan mereka.
Trrtrtrrt trrtrt! Bunyi suara handphone milik Tria berdering saat sedang menikmati makanannya. Semua mata melihat Tria.
Tria mengambil handphone dan melihat di layar tertera mama is calling. Ia menekan tombol hijau menjawab panggilan tersebut.
”Halo, Ma. Assalamu 'alaikum.”
”Wa 'alaikum salam!!” Karmila menjawab kasar.
”Ada apa Ma?” Tria tetap berkata lembut pada Karmila, meski Karmila berlaku kasar padanya.
”Cepat pulang! Sekarang!!” Karmila memutuskan sambungan telfon, setelah ia berbicara.
”Tapi Ma, Aku... Tut tut tut,” Tria terdiam saat mendengar suara sambungan telfon terputus. Ia menghela nafas sambil menarik benda pipih dari telinganya. Ia melihat layar handphonenya dengan sedih, Karmila telah memutuskan sambungan telepon di saat ia masih bicara.
Tria memasukan kembali handphone ke dalam sak celananya, wajahnya cemberut dan tampak berpikir.
Ada apa dengan mama? Mengapa menyuruh ku pulang secepatnya? Apakah ada sesuatu lagi? benaknya.
Nani, Bagas, Risno, dan Mini mengerutkan kening melihat Tria seraya bertanya serentak pada Tria, ”Kenapa?”
Tria melihat temannya dengan tersenyum di paksakan dan menjawab, ”Tidak apa-apa. Mama yang menelfon barusan, mungkin ada hal yang penting di rumah. Aku harus pulang.” Ia berdiri.
”Makanan mu?” Nani, Mini, Risno menatap Tria dengan iba.
”Em...” Tria bingung untuk menjawabnya. Ia melihat makanannya masih tersisa sedikit. Dia ingin habiskan, tetapi perintah mamanya dia harus pulang secepatnya.
”Biar saja tidak apa-apa. Aku berikan pada kucing bi Inah saja.” Risno merespon cepat melihat Tria yang bingung. Tria mengangguk.
”Maaf, aku harus pulang.” Tria merasa tidak enak meninggalkan temannya. Risno, Nani, dan Mini mengangguk terpaksa.
”Aku antar ya?” tawar Bagas.
”Tidak usah Mas. Nanti merepotkan mu,” tolak Tria.
”Tidak ada kata-kata repot untuk mu. Jangan menolak! Aku tetap mengantar mu pulang....” Bagas bersikeras.
Tanpa menunggu jawaban dari Tria, Bagas beranjak berdiri. Ia mengambil kunci motor di dalam laci Bu Inah lalu ia kembali ke meja makan Tria dan temannya.
Bagas melihat Tria dan berkata, ”Aku tunggu kamu di halaman parkir.” Ia segera pergi setelah berucap.
Tria menatap teman-temannya seakan meminta tanggapan mereka atas ajakan Bagas.
”Pulanglah! Biarkan saja Bagas yang antar kamu pulang. Kamu ingin cepat sampai di rumah juga, kan?” Nani berkomentar. Tria mengangguk.
”Jadi... pergilah dengan Bagas.” ucap Nani lagi.
Tria kembali mengangguk dan berkata, ”Baiklah, Aku pulang duluan ya. Maaf loh... aku gak bisa ikut pembahasan dengan kalian.” Ia menampakan wajah sedihnya. ” Nanti kalian beritahu aku ya hasil dari pembahasan kalian,” ucapnya lagi memelas.
”Ok. Kamu pulanglah,” sahut Risno. Nani dan Mini mengangguk mengiyakan.
Tria bergegas pergi ke halaman parkir sekolah, Bagas sudah menunggunya di sana.
*
*
*
Di halaman parkir sekolah.
”Maaf, sudah membuat mu menunggu.” Tria merasa tidak enak pada Bagas.
”Tidak apa-apa. Nih, pakai helmnya.” Bagas menyerahkan helm pada Tria. Tria mengambil dan memakai helmnya, lalu, ia naik ke atas motor.
”Pegangan!” ucap Bagas lagi. Tria menurut, ia berpegangan pada baju Bagas.
”Jangan ngebut ya, Mas,” pinta Tria.
”Iya, sayang...” sahut Bagas gemes. Ia mulai menjalankan motornya.
Tria sudah terbiasa dengan panggilan sayang yang keluar dari mulut Bagas untuknya. Ia juga tidak menyangkal kalau Bagas masih menaruh hati padanya. Meskipun sudah sering ditolak, Bagas tak pernah menyerah. Ia terus berusaha untuk memikat hati Tria.
Bukan! Bukan Tria tidak menyukai Bagas, tapi ia tidak bisa menerima dan membalas perasaan Bagas. Bukan juga karena Tria tidak berani untuk membuka hati kepada pria manapun, juga bukan karena ia takut akan patah hati jika sudah mulai mencintai. Tapi ia sudah memiliki satu pria yang menghuni relung hatinya.
*
*
*
Di kantin sekolah.
Nani, Risno, dan Mini sangat kesal karena mereka sudah lama menunggu kedatangan Rio, tapi, pria itu belum juga datang. Mereka telah lama menunggu bahkan sampai mereka telah selesai makan, Rio belum juga datang.
”Di mana Rio, ya?” Nani sudah sangat kesal. Ia melihat pintu masuk kantin, menunggu sosok Rio melewati pintu tersebut. ”Kok, Rio belum juga datang? Ini sudah lewat dari jam 07 : 00 loh.”
”Aku coba ulang telfon Rio.” Risno merogoh hapenya dari sak celananya, ia menggeser layar mencari kontak Rio.
”Hum. Telfon dia deh, sudah suntuk nih nungguin dari tadi.” Mini ikut merespon. Risno menunjukkan layar hapenya pada Mini yang menghubungi Rio. Telfon tersambung.
”Halo, Bro! Posisi di mana?”
”Masih di jalan, Bro! Bentar lagi nyampe di sekolah.”
”Oh, ok, buruan! Sudah lama nih nungguin kamu. Langsung ke kantin biasa ya kalau sudah nyampe di sekolah...”
”Ok, Bro! Siap!”
”Ok!” Risno mengakhiri panggilannya dan menyimpan kembali handphonenya.
”Bagaimana? Apa katanya? Di mana dia?” tanya Mini.
”Dia lagi di jalan, bentar lagi nyampe. Kita tunggu saja,” jawab Risno.
”Oh.” Hanya itu sahutan Mini dan Nani. Mereka menunggu kedatangan Rio.
Beberapa menit berlalu. Rio berjalan masuk ke dalam kantin.
”Sori, Bro! Aku telat.” Rio menepuk bahu Risno dan duduk di sampingnya.
”Santai aja Bro!” sahut Risno.
”Sori... aku telat! Aku salah, jangan ngambek lagi dong! Mukanya jelek bangat tau.” Rio membujuk kedua teman wanitanya yang sedang merajuk. Tapi, ia tidak berhasil memujuk Nani dan Mini, mereka masih cemberut.
”Tunggu... tunggu! Loh, kok cuman kalian berdua, di mana Tria?” Rio baru sadar jika Tria tidak ada di sana.
”Tria... Tria sudah pulang setelah mendapat telfon dari mamanya.” Risno menunjuk piring makanan Tria. ”Tuh lihat, makanannya aja gak di habis kan.”
Kening Rio mengerut melihat piring makanan Tria yang masih tersisa. Dalam benaknya ia berkata, Ada apa dengannya, ya? Apa lagi yang akan di lakukan mamanya, padanya?
Sebagai sahabat, mereka tahu tentang kehidupan yang di jalani oleh Tria. Gadis itu, hanya bersama dengan mereka saja bisa tertawa lepas dan tersenyum bahagia. Sedangkan di rumahnya, ia begitu tertekan dan terbebani oleh kedua orang tua dan kedua saudaranya.
Mereka ingin sekali membantu Tria, tapi, Tria selalu menolak. Tria tidak menginginkan itu, dia masih bisa atasi sendiri permasalahan yang menyangkut diri pribadinya.
Dan itu merupakan masalah keluarganya, mereka tidak bisa ikut campur tanpa dimintai langsung oleh Tria. Itu adalah salah satu perjanjian mereka agar persahabatan diantara mereka tetap terjalin, mereka harus saling menghormati privasi masing-masing meskipun tentang cinta.
Di perjalanan mengantar Tria pulang.
”Bagaimana, Tria? Apa sekarang kamu sudah bisa menerima cintaku?” Bagas memberanikan diri untuk bertanya setelah lama ia dan Tria terdiam.
Dia selalu menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan cintanya yang kesekian kalinya pada Tria. Selama ini di saat dia mengatakan perasaannya, Tria selalu menolak dengan alasan masih sekolah.
”Maaf, Mas. Aku gak bisa membalas perasaan Mas.” Tria menunduk saat Bagas melihatnya dari kaca spion.
”Kenapa? Apa ada pria lain yang sudah mengisi hatimu?”
Tria terdiam. Iya, Mas. Ada seorang pria yang sudah mengisi hatiku dan pria itu adalah temanku sendiri, SATRIO NUGRAHA. Dia yang sudah mengisi relung hatiku benaknya.
Ciit! Bagas mengerem motor secara tiba-tiba.
”Astaghfirullah, Mas! Mengagetkan aja!” Tria memukul punggung Bagas dengan marah. Wajahnya nampak kesal, ia hampir terjatuh jika saja tidak memegang lengan Bagas. Ia sangat terkejut saat Bagas menghentikan motornya secara mendadak.
Bagas tertawa. ”Maaf, Maaf! Aku minta maaf, habisnya kamu gak jawab pertanyaan aku. Kamu justru melamun, apa yang kamu lamun kan?” tanyanya.
”Uda, Mas! Jalan lagi... nanti aku telat nyampe di rumah,” Tria masih berwajah kesal.
”Jawab dulu pertanyaan ku, baru aku lanjut jalan.” Bagas turun dari motor. Membuat Tria juga ikut turun dari motor.
Tangan Bagas memegang kedua bahu Tria seraya bertanya, ”Apa sudah ada pria lain yang mengisi hatimu?” Bagas serius menatap Tria. Selama beberapa menit mereka saling menatap.
Tria menepis tangan Bagas. ”Apaan sih, Mas! Gak ada siapapun yang mengisi hatiku. Aku hanya fokus saja dengan urusan sekolah ku selama ini...”
”Sekarang kan kamu sudah lulus. Jadi... bisakah kamu membalas perasaan ku sekarang?” Bagas menatap penuh harap pada Tria.
”Maaf, Mas. Aku tetap tidak bisa membalas perasaan Mas,” jawab Tria dengan tegas.
Tatapan Bagas berubah kecewa menatap Tria, ini sudah kesekian kalinya Tria menolaknya.
”Apa yang kurang dari ku, Tria? Tolong katakan padaku, apa yang kurang dariku, yang membuat mu tidak puas padaku?”
”Gak ada, Mas. Gak ada yang kurang darimu, kamu tampan, baik, sempurna. Tapi... maaf, aku yang tidak bisa menerima perasaan Mas. Menyerah lah Mas dengan perasaan mu. Itu akan menyakiti hati Mas sendiri...”
”Aku gak akan menyerah, Tria! Gak akan! Aku akan berusaha lagi untuk membuat mu menyukai ku dan mau menerimaku. Jangan melarang ku untuk tidak mencintai mu, aku tidak bisa....”
Tria terdiam melihat Bagas, ia bingung harus bagaimana lagi untuk membuat Bagas menyerah padanya.
”Mas, Mas tidak usah berusaha apapun. Tria gak akan bisa membalas perasaan Mas sampai kapan pun, kita hanya sahabat, jangan berharap lebih dari ini, Mas...”
Bagas menggeleng. ”Tidak, Tria. Aku akan tetap berusaha meyakinkan mu kalau aku layak untuk mu untuk menjadi kekasih mu.”
Tria dan Bagas masih saling memandang. Entah ucapan seperti apa yang harus di ucapkan Tria agar pria di depannya itu berhenti berharap banyak padanya.
”Kita lanjut jalan aja, Mas. Aku ingin cepat sampai di rumah. Kalau Mas gak mau... biar aku balik naik ojek saja.”
”Ayo naik, aku antar.” Bagas naik ke atas motor.
Tria juga kembali naik ke atas motor. Bagas melanjutkan perjalanan nya mengantar Tria pulang. Hening! Itulah suasana sekarang yang menemani perjalanan mereka berdua.
Bagas menghentikan motor tepat di depan pagar rumahnya Tria, suasana masih tetap hening. Tria turun dari motor, melepas helm dan memberikannya pada Bagas. Bagas mengambilnya tanpa bersuara.
”Terima kasih, Mas. Sudah mengantar ku pulang, dan maaf, aku sudah menyakiti hatimu dengan menolak mu kesekian kalinya.” Ucap Tria namun, Bagas tidak merespon ucapan maafnya. Pria itu malah menatapnya dengan sedih.
”Mas, aku tahu kamu sedang marah padaku. Aku menerima kemarahan mu. Sekali lagi aku ucapkan permohonan maaf ku. Maaf, sudah membuat mu marah dan kecewa.” Ucap Tria lagi.
Bagas masih terdiam menatap Tria. Tria menyerah dengan diamnya Bagas, ia memutar badan, membelakangi Bagas.
”Aku akan maafkan kamu... asal kamu menerima ku menjadi kekasih mu.”
Tria kembali menghadap Bagas, melihat pria itu dengan bingung. ”Maaf, aku tidak bisa.” Ia memutar badan dan melangkah cepat masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah.
Tria melihat Bagas dari balik jendela rumah. Ia berkata dalam benaknya, Maaf Mas, aku tidak bisa membalas perasaan kamu. Sedangkan perasaan aku saja untuk Rio hanya tersimpan di relung hati. Hidupku di atur oleh kedua orang tua angkat ku. Dan mas sendiri sudah ku anggap kakak untuk ku. Bagaimana bisa aku menerima Mas sebagai pacar? Sedangkan aku juga tidak menyukaimu.
Tak sadar setetes air mata keluar dari pelupuk matanya. Entahlah, hal apa yang membuat gadis itu menangis? Apakah karena tidak bisa membalas perasaan Bagas? Atau karena orang tua angkatnya? Ataukah perasaannya sendiri yang terpendam untuk Rio?
”Baru pulang kamu?” Terdengar suara Yuli dari belakangnya.
Tria segera menghapus air matanya, ia berbalik menghadap Yuli. ”Iya, kak. Aku baru saja pulang. Mama di mana kak? Kenapa Mama memintaku untuk segera pulang?”
”Mama lagi keluar. Cepat sana pergi ke dapur, buruan masak! Aku dan Rahma sudah sangat lapar.” Yuli menjawab ketus. ”Siapa yang kamu lihat dari jendela?” Ia penasaran, ia ikut melihat keluar. Tidak ada sesiapa di sana.
”Bukan siapa-siapa kak.” jawab Tria.
”Belum juga pergi ke dapur?” bentak Yuli.
”Iya, kak. Ini baru mau pergi.” Tria menurut. Ia bergegas pergi ke dapur.
Yuli dan Rahma adalah kakak angkat Tria. Mereka anak kandung dari pasangan Karmila dan Burhan, orang tua angkat Tria.
Burhan adalah adik angkat dari almarhum Marzuki, ayah kandung Tria. Sedangkan ibu kandung Tria adalah Nur Hasanah.
Nur Hasanah meninggal ketika Tria masih duduk di kelas 3 SD. Setelah ibunya meninggal, Tria tinggal bersama ayahnya. Namun, ayahnya juga pergi meninggalkan Tria ketika ia baru masuk kelas 6 SD, karena sebuah penyakit yang di deritanya.
*
*
*
Di dapur.
Tria bergegas memasak untuk Yuli dan Rahma sekaligus memasak untuk dirinya sendiri. Ia belum sempat memakan habis makanannya saat di kantin sekolah bersama temannya tadi.
Ayah, Ibu, jika ayah dan ibu masih hidup, apakah kehidupan yang Tria jalani masih sama seperti sekarang? Ayah, Ibu, Tria merindukan ayah dan ibu. benak Tria.
Tria kembali mengingat hari sebelum dimana Marzuki, ayahnya meninggal dunia. Dengan suara yang terbata-bata dan lemah menahan rasa sakit, Marzuki memaksakan diri untuk berbicara pada Tria, membujuk anaknya itu untuk tabah menerima semuanya.
Di rumah sakit.
”Nak, A__ayah sudah ti__tidak kuat lagi menahan ra__rasa sakit ini....”
Tria menggeleng. ”Tidak, Ayah! Ayah jangan berbicara seperti itu! Ayah harus kuat demi Tria, Ayah! Demi Tria, putri Ayah satu satunya, Ayah harus kuat! Hu.. hu..hu...” Ia terisak sedih.
Tria menggenggam erat tangan ayahnya yang terlihat kurus. Ia semakin menangis melihat kondisi ayahnya yang semakin menurun.
”Ayah harus kuat hu...hu....”
Marzuki ikut menangis melihat anaknya yang menangis begitu pilu. Penyakit yang di deritanya membuatnya menyerah pada kehidupan. Ia tidak dapat menahan rasa sakitnya lagi. Pengobatan yang ia jalani tidak membuatnya kunjung sembuh.
”Ma__maaf, Nak! A__ayah sudah tidak kuat. Ra__rasa sakitnya semakin membuat Ayah menderita! A__ayah sudah tidak sanggup lagi. A__apa kamu tidak mendengar ka__kata dokter?”
Tentu saja Tria sangat ingat perkataan dokter, kalau waktu ayahnya sudah tidak akan lama lagi. Untuk kesembuhan ayahnya hanya 10 %, karena penyakitnya sudah menjalar dengan cepat dan menyerang jantung juga organ penting lainnya.
Tria menggeleng. ”Hidup dan mati bukan di tangan dokter, Ayah! Asalkan Ayah punya keinginan kuat untuk tetap hidup, Ayah pasti bisa sembuh! Tria yakin Ayah akan sembuh.” Tria menguatkan dan menyemangati ayahnya.
”A__ayah sudah tidak kuat lagi, Nak! A__ayah sudah tidak sanggup... menahan sakitnya...” Nafasnya tersengal membuat Tria terkejut dan takut.
”Ayah...!” Tria histeris.
”T__Tria, a__apa pa__paman mu su__sudah datang, Nak?” tanya Marzuki lemah, suaranya terbata-bata.
Tria menggeleng lemah. ”Belum, Ayah. Mungkin paman masih dalam perjalanan ke sini, Ayah...”
Ceklek!! Suara pintu ruangan terbuka. Tria menoleh melihat ke arah pintu. Ia melihat pamannya, Burhan berjalan masuk ke dalam.
”Ayah, Paman sudah datang.”
”Ma__mana dia? Burhan....”
”Aku disini, Bang.” Burhan memegang pelan tangan Marzuki yang kurus dan lemah. ”Bang, bagaimana keadaan mu, Bang?” Ia menatap Marzuki dengan iba.
”I__ni ka__kamu, Bu__Burhan?” Marzuki memastikan.
”Iya, Bang. Ini aku, Burhan. Aku baru saja datang, Bang. Bagaimana keadaan mu, Bang?” Tangan kanannya memegang wajah Marzuki.
Marzuki memegang tangan Burhan, menggenggamnya, genggaman yang nampak lemah.
”Bu__Burhan, sebelum a__ajalku menjemput. A__aku... aku akan menitipkan putriku, Tria ke__ke kamu. To__tolong... tolong ka__kamu rawat putriku se__seperti a__anak mu sendiri.” Marzuki terbata-bata memohon pada Burhan.
Tria menggeleng. ”Tidak, Ayah! Ayah jangan bicara sembarang! Tria gak mau Ayah pergi meninggalkan Tria... Tria gak mau Ayah....”
”Tria juga gak mau tinggal bersama paman, Ayah... Tria mau tinggal bersama Ayah... hu...hu...hu.. jangan tinggalin Tria, Ayah....” Tolaknya. Ia enggan untuk tinggal bersama pamannya.
Marzuki memaksakan senyum melihat anaknya. Ia sangat yakin jika Burhan bisa menjaga dan merawat anaknya dengan baik. Meskipun Burhan hanyalah adik angkatnya saja.
”Kamu bicara apa, Bang? Kamu harus sembuh, Bang. Kamu harus kuat demi putrimu, Abang. Sembuh lah, rawat Tria hingga besar, Bang. Tria membutuhkan mu sebagai ayahnya.” Burhan juga menolak halus permintaan Marzuki.
Marzuki melihat Burhan, pandangannya sudah buram. Rasa sakit semakin menjalar di urat nadinya, lebih sakit dari yang pertama.
Tangannya gemetar meraih tangan putrinya dan meletakkan tangan Tria di atas telapak tangan Burhan.
”Tria, mu__mulai sekarang pa__pqnggil papa untuk Paman mu,” pintanya. Tria menggeleng, tangisnya semakin menjadi.
”Bu__Burhan, to__tolong ra__awat pu__putri ku...Bu__Burhan,” pintanya lagi pada Burhan di nafas terakhirnya. Tangannya terkulai lemas, terpisah dari genggaman Burhan.
Tubuh Burhan melemas seketika, ia tidak menduga pertemuannya kali ini dengan Marzuki merupakan pertemuan yang terakhir kalinya.
”Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ucapnya. Ia meletakan kedua tangan Marzuki dengan benar di atas dada Marzuki. ”Aku berjanji akan merawat putri mu dengan baik, Bang...”
”Paman, apa yang Paman lakukan? Ayah ku masih hidup! Paman jangan mendoakan Ayahku sembarangan!” Tegur Tria dengan marah.
Burhan memeluk tubuh kecil Tria. ”Ayahmu sudah pergi, Nak. Ayahmu sudah tiada, sudah meninggalkan kita...”
Tria menggeleng. ”Tidak! Paman bohong!!” Ia melepas pelukan Burhan, beralih memeluk tubuh Marzuki, ayahnya.
”Ayah, paman jahat! Paman bilang Ayah sudah meninggal. Paman jahat, Ayah... Tria gak mau tinggal sama paman. Ayah bangun...” Tria menggoyangkan tubuh Marzuki, membangunkannya. Namun, Marzuki tidak merespon.
Burhan mengelus kepala Tria dengan lembut. Pandanganya juga iba melihat putri kecil Marzuki itu. Ibu kandungnya telah tiada sekarang, ayah kandungnya ikut meninggalkan gadis kecil itu.
Tria menggoyangkan terus tubuh Marzuki, membangunkannya ”Ayah... bangun Ayah! Jawab Tria, Ayah! Jangan diam saja. Ayah, bangun...hu...hu...bangun Ayah... bangun....”
Burhan kembali meraih tubuh mungil Tria dan memeluknya. ”Sudah, Nak! Ikhlaskan ayahmu pergi...biarkan ayahmu pergi dengan tenang ya.” Ia membujuk Tria.
”Tidak...!! Ayahku masih hidup, Paman jahat!! Ayah tidak pergi tinggalkan Tria! Ayahku masih hidup!” Tria melepas kasar pelukan Burhan. Ia memeluk tubuh kaku ayahnya.
”Ayah, bangun Ayah! Jangan tinggalin Tria sendiri, Ayah! Tria mohon, bangunlah Ayah! Hu...hu...hu... Ayah, jangan tinggalin Tria!! Bangun, Ayah...” Tria memukul-mukul pelan dada Marzuki.
Pintu rumah sakit terbuka, tidak lama dari ketika Burhan memencet tombol pemanggil suster.
”Suster, tolong urus jenazah Marzuki.” ucap Burhan pada suster yang berjaga di sana. Suster mengangguk. Ia menutupi tubuh Marzuki dengan kain panjang putih.
”Tidak!! Ayah...” Tria semakin histeris saat kain panjang tersebut menutupi hingga kepala Marzuki.
Burhan ikut menangis melepas kepergian kakak angkatnya, ia tidak percaya lelaki kuat dan setangguh dia kini sudah tiada.
Burhan kembali mengingat ketika pertama kali ia dan Marzuki bertemu.
Di jalan yang sempit Burhan sedang di keroyok oleh beberapa orang, ia di pukul terus menerus dan di ejek karena badannya yang kotor dan dekil.
Marzuki yang kebetulan ada di situ, ia menolongnya. Marzuki mendekati Burhan, ia membalas memukul orang yang memukul Burhan dan mengusir orang-orang yang mengejek Burhan. Anak-anak kecil yang sebaya dengan mereka, yang memukuli Burhan, lari ketakutan akibat di pukuli Marzuki.
Marzuki mendekati Burhan. ”Kamu baik-baik saja?”
”Aku... aku baik-baik saja.” jawab Burhan sambil menunduk. Ia mendongak sebentar melihat rupa dari pria yang sudah menolongnya itu, setelah melihat wajahnya, ia kembali menunduk.
Marzuki tersenyum, tangannya terjulur ke depan. ”Perkenalkan, namaku Marzuki.” Ia mengajak Burhan berkenalan.
Burhan tidak menyangka akan ada saatnya, ada sebuah tangan yang mau mengajak berteman dan merangkul dirinya. Selama ini, ia hanya sendirian tanpa teman, tanpa keluarga, tanpa orang tua.
Dengan malu, ia menyambut uluran tangan Marzuki, mereka bersalaman dan dia berkata, ”Namaku Burhan.”
”Kamu tinggal dimana? Biar ku antar.” Tawar Marzuki.
Burhan menggeleng. ”Aku... aku tidak punya rumah,” jawabnya menunduk malu.
Marzuki melihat Burhan seakan tidak percaya dengan apa yang baru di dengarnya.
”Marzuki... kamu dimana, Nak?” Terdengar suara pria memanggil nama Marzuki. Burhan dan Marzuki menoleh ke arah suara tersebut.
”Aku disini, Ayah.” Marzuki melambaikan tangannya, memudahkan sang ayah menemukan keberadaannya. Abdul melangkah besar menghampiri anaknya.
”Kamu di sini rupanya.” Abdul melirik anak kecil yang menunduk malu, anak itu sebaya dengan anaknya. Marzuki menyadari itu.
”Ayah, kenalkan ini temanku namanya Burhan. Maukah Ayah mengangkatnya sebagai adikku?” Marzuki memperkenalkan Burhan pada ayahnya, sekaligus meminta ayahnya untuk mengadopsi Burhan.
Burhan tertegun melihat Marzuki. Ia juga melihat sebentar pria yang menjadi ayah Marzuki itu. Setelah melihat wajah pria itu, ia kembali menunduk.
Abdul terdiam melihat Burhan. Marzuki hanyalah seorang diri, ia merupakan anak tunggal dari Nurul dan dirinya. Karena suatu peristiwa, Nurul tidak bisa mengandung lagi.
Abdul mengangguk. ”Baiklah,” ia langsung menyetujuinya.
”Hore...!!! Aku punya adik!” Marzuki merangkul Burhan. Ia nampak senang dan bahagia miliki saudara lelaki.
Abdul berjongkok, sejajarkan diri dengan tingginya Burhan. ”Di mana orang tua mu, Nak?” tanyanya. Ia berniat akan meminta izin pada orang tua Burhan untuk mengangkatnya sebagai anak angkat.
Burhan menggeleng. ”Aku tidak tahu mereka. Aku tidak punya orang tua,” jawabnya.
”Apa benar begitu?” Abdul memastikan kembali. Burhan mengangguk.
”Kalau keluarga mu?”
Burhan kembali menggeleng. ”Aku tidak punya.”
Abdul melihat Marzuki. ”Ayo, bawa Burhan ke rumah. Mulai hari ini...dia adalah adikmu. Sebagai kakak...kamu harus menjaganya,” ucapnya menasehati Marzuki.
Marzuki sangat senang mendengarnya, ia memeluk ayahnya. ”Terima kasih, Ayah. Marzuki janji akan menjaganya,” sahutnya.
Hari itu juga, Abdul membawa Burhan pulang ke rumahnya. Dan mengangkat Burhan sebagai adik angkat dari Marzuki yang sah.
Abdul dan Nurul memperlakukan Marzuki dan Burhan dengan adil, tanpa membedakan mereka berdua. Apapun yang mereka belikan untuk Marzuki, mereka juga membelikannya untuk Burhan.
Sedih, itu pasti yang di rasakan oleh Tria. Gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas 6 SD itu, harus merasakan kekejaman takdir yang menghampirinya.
Ketika ia duduk di bangku kelas 3 SD, ia sudah menyandang status sebagai piatu karena di tinggal oleh ibunya. Dan sekarang, ia pun di tinggal oleh ayahnya, sehingga menjadikannya sebagai anak yatim piatu.
Tria masih terduduk lemas di depan tanah gundukan tempat istirahat terakhir ayahnya. Ia enggan meninggalkan kuburan itu.
Sebuah tangan menyentuh bahunya, ”Nak, mari kita pulang.” Tria menoleh melihat Burhan, ia mengangguk dan segera berdiri setelah melihat kembali kuburan di depannya itu.
Tubuhnya masih terasa lemas, tatapannya kosong, senyum pun hilang dari bibir mungilnya.
Menangis? Ia ingin sekali menangis, tetapi, air matanya seakan sudah mengering untuk keluar lagi. Status yatim piatu yang di sandangnya tidaklah berat, yang ia pikirkan adalah bagaimana ia akan menjalani hidup ke depannya?
Apakah paman dan bibinya juga saudara sepupu yang kini telah menjadi saudara angkatnya itu bisa menyayangi dirinya? Bisakah mereka akan menerima dirinya dengan baik dalam keluarga? Ia sama sekali tidak ingin tinggal bersama paman dan bibinya, akan tetapi, amanah dari ayahnya membuat ia harus bertahan hidup bersama mereka.
*
*
*
Di kediaman Marzuki.
Tria menatap kosong pada rumah megah yang ada di hadapannya itu. Suara canda tawa bersama ayah dan ibunya terngiang di telinganya. Bayang wajah ayah dan ibunya tergambar jelas di pelupuk matanya. Seketika ia merindukan kehangatan ayah dan ibunya.
Burhan merasa iba melihat Tria yang seakan kehilangan separuh hidupnya setelah kepergian Marzuki, kakak angkatnya.
”Assalamu 'alaikum, Nak Tria, Pak Burhan, Bu Karmila.” Terdengar suara seorang pria dari arah belakang mereka.
Tria, Burhan, dan Karmila menengok ke belakang, melihat orang yang baru saja menyapa mereka.
”Wa 'alaikum salam, Pak Fadil.” Burhan bersalaman dengan Fadil, pengacara dari Marzuki.
”Saya tidak perlu memperkenalkan diri saya lagi. Tentunya, Pak Burhan sudah mengenal siapa saya.”
”Hahaha, Pak Fadil bisa bercanda juga. Em...mari Pak, kita bicara di dalam rumah saja. Tidak baik kita hanya berdiri dan berbicara di sini.” Burhan mengajak Fadil masuk ke dalam rumah.
”Iya, Pak Burhan. Alangkah bagusnya seperti itu.” sahut Fadil.
”Iya. Mari-mari, mari masuk.” ajak Burhan, ia melangkah masuk ke dalam rumah, Fadil menyusul di belakangnya. Tria dan Karmila ikut masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, ruang tamu.
”Mari duduk, Pak Fadil.” Burhan menunjuk kursi sofa untuk Fadil. Ia sendiri telah duduk. Tria juga duduk di kursi panjang bersama Burhan. Fadil segera duduk di kursi sofa tunggal.
”Bagaimana, Pak Fadil? Apa tujuan Bapak datang kemari?” Burhan melihat map yang baru saja di keluarkan Fadil dari dalam tas. Ia bisa menebak apa isi dari map tersebut.
”Saya datang kemari untuk membicarakan tentang surat wasiat yang dituliskan oleh almarhum pak Marzuki. Sebelum sakit beliau bertambah parah, beliau membuat surat wasiat untuk mu, Pak Burhan.” Fadil menyimpan map itu di atas meja.
Karmila baru datang dari arah dapur dengan membawa nampan berisi minuman.
”Silahkan di minum kopinya, Pak Fadil.” Karmila meletakkan secangkir kopi di hadapan Fadil. Ia juga membagikan kopi kepada Burhan, suaminya. ” Pa, kopinya.”
”Iya. Terima kasih, Bu Karmila.” Fadil tersenyum ramah sambil meraih cangkir kopi tersebut. Ia meminumnya satu teguk, dua teguk, tiga teguk, lalu ia letakan kembali cangkirnya di atas meja.
”Sama-sama, Pak Fadil.” Karmila duduk di samping Tria.
”Pak Burhan, untuk mempersingkat waktu, saya langsung saja membacakan isi surat wasiat dari almarhum ya.” Fadil menggeser cangkir kopinya sedikit, ia membuka lembaran map.
”Ah, iya. Silakan, Pak.” Burhan mempersilahkan. Ia dan Karmila sudah tidak sabar lagi ingin mendengar apa isi dari surat wasiat tersebut.
”Saya, Marzuki bin Abdul yang bertanda tangan dibawah ini, memberikan seluruh warisan harta ku kepada putriku satu satunya, Tria Handayani Marzuki. Akan tetapi, karena anakku masih kecil dan masih berusia 12 tahun, untuk sementara, saya memilih dan menunjuk langsung Burhan untuk menjadi wali warisnya. Burhan, selaku adikku dan sebagai paman dari anakku, Tria. Setelah Tria dewasa dan berusia 20 tahun, maka warisan itu resmi menjadi hak dari Tria Handayani Marzuki. Atau jika Tria telah menikah, ia berhak mendapatkan warisannya meskipun usianya belum genap 20 tahun.” Fadil membacakan isi wasiat itu dengan jelas dan tegas.
”Itulah isi wasiat dari almarhum Marzuki.” Fadil menutup map setelah membacanya. Burhan dan Karmila tampak senang mendengar isi dari wasiat yang di tulis oleh almarhum Marzuki. Terutama Karmila, ia sangat amat bahagia mendengarnya.
Karmila sangat tahu apa saja yang menjadi kekayaan Marzuki, saudara ipar angkatnya itu. Marzuki pergi dengan meninggalkan perkebunan teh yang luasnya 5 hektar, yang hasil perbulannya sangat menggiurkan. Marzuki juga memiliki 1 bidang tanah yang di atasnya di dirikan rumah sewa dua susun. Marzuki juga memiliki mobil mewah, rumah megah, dan masih ada lagi harta yang lainnya.
”Sesuai dari isi suratnya, maka, saya akan datang lagi ke sini untuk menyerahkan langsung wasiat tersebut kepada Tria, setelah Tria berusia 20 tahun. Saya harap, Pak Burhan dapat menjalankan kewajiban Bapak sebagai wali waris dengan bijaksana. Dan mohon, kiranya Pak Burhan mempergunakan dengan bijak atas harta dari almarhum. Dan juga, merawat Tria dengan baik seperti Pak Burhan merawat kedua putri Bapak,” nasehatnya untuk Burhan.
”Baik, Pak Fadil, saya akan menjalankan kewajiban saya dengan baik dan akan merawat Tria dengan baik pula.” Burhan dengan percaya dirinya menyanggupi tanggung jawabnya.
”Baik. Pak Burhan, ini ada beberapa aset yang telah di tandatangani oleh almarhum Marzuki, silahkan Bapak pelajari.” Fadil memberikan beberapa buah map yang berisi aset Marzuki kepada Burhan.
”Baik, Pak Fadil, saya akan mempelajarinya.” Burhan mengambil dan membukanya. Ia membaca sekilas apa yang tertulis di sana. Burhan sangat senang karena ia sebagai kepala dari perkebunan dan juga sebagai kepala dari beberapa usaha lainnya yang dilakoni oleh Marzuki.
”Pak Burhan, urusan saya sudah selesai. Saya permisi dulu, Insya Allah, saya percaya Bapak akan merawat Tria dengan baik dan memberikan Tria kebahagiaan dalam keluarga Bapak.” ucap Fadil. Ia memasukkan kembali surat wasiat yang di bacanya tadi ke dalam tasnya. Ia menghabiskan kopinya.
”Hahahaha! Pak Fadil ini bicara apa? Tentunya saya akan menjaga dan memberikan kebahagiaan untuk Tria. Tidak ada perbedaan antara anak kandung saya dan anak dari abang saya. Saya akan merawat dan membesarkan mereka bertiga dengan adil.” sahur Burhan.
Fadil mengangguk dan tersenyum, tapi... entah mengapa hatinya merasa perkataan Burhan bertentangan dengan nalurinya.
Pasti ini hanya perasaan ku saja! Marzuki percaya pada Burhan, makanya ia menitipkan Tria padanya, bukan padaku. Jadi...aku juga harus percaya pada Burhan. benak Fadil.
”Syukurlah jika begitu. Saya tidak perlu khawatir lagi tentang Tria,” Fadil melihat Tria sebentar lalu, ia kembali melihat Burhan. ”saya permisi dulu,” pamitnya. Ia berdiri.
”Bu Karmila, terima kasih atas kopinya. Pak Burhan, kita akan bertemu lagi delapan tahun yang akan datang,” lanjut Fadil berucap.
”Baik, Pak Fadil. Terima kasih atas waktu Bapak berkunjung kemari.” Burhan mengulurkan tangannya, Fadil menyambut tangan Burhan dengan tersenyum. Mereka saling berjabat tangan.
Fadil kembali melihat Tria dan berkata, ”Tria, bisa antar Paman sampai di depan rumah?”
Tria melihat Fadil sebelum akhirnya ia menjawab, ”Bisa, Paman.”
Tria segera berdiri menyambut tangan Fadil yang terulur. Mereka melangkah bersama keluar dari rumah.
Karmila mengikuti langkah mereka. Ia penasaran kenapa Fadil mengajak Tria yang mengantarnya ke depan, bukan dirinya ataupun Burhan.
Di teras rumah Burhan.
Fadil menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badan menghadap Tria. Bahkan ia berjongkok agar tingginya sejajar dengan tinggi badan Tria, saat melihat Karmila di bibir pintu, sedang melihat mereka.
Fadil menggenggam tangan Tria dan memberikan kartu ke tangan Tria. Tria sempat menolak, tapi, Fadil menggenggam tangan Tria yang memegang kartu tersebut. Fadil memeluk Tria.
”Ini adalah kartu kredit milik ayahmu, kamu pegang lah. Jangan berikan kartu ini kepada mama dan papa mu. Juga... jangan sampai mereka tahu tentang kartu ini. Kartu ini adalah milikmu, kamu akan membutuhkannya nanti. Kartu ini tanpa batas, tiap bulannya akan terisi secara otomatis dari setengah hasil perkebunan ayah mu. Kamu mengerti?!” bisik Fadil di telinga Tria.
Tria mengerti, ia mengangguk dan menggenggam erat kartu yang ada di tangannya itu.
Fadil melepas pelukannya dan berdiri. Ia tersenyum melihat Karmila yang masih berada di bibir pintu. Ia kembali melihat Tria dan tersenyum padanya. ”Jaga dirimu, Tria. Paman pergi dulu,” pamitnya.
”Iya, Paman. Hati-hati di jalan, Paman.” sahut Tria.
”Iya, sayang.” Ia membelai kepala Tria. Fadil melangkah keluar dari kediaman Marzuki, yang kini di huni oleh Burhan. Karmila memutar badan kembali masuk ke dalam rumah.
Tria menyimpan kartu yang di berikan Fadil ke dalam sak celananya. Ia masuk ke dalam rumah.
*
*
*
Di dapur, kediaman Burhan.
”Auh sakit!” Tria menjerit kecil, jarinya teriris pisau saat memotong sayur. Hal itu juga menyadarkannya dari ingatan masa lalunya.
Tak terasa, air matanya jatuh membasahi pipinya, mengingat bagaimana kehidupan yang ia jalani sekarang. Semua berbanding terbalik dari kata-kata Burhan yang di ucapkannya dulu di hadapan Fadil, pengacara ayahnya.
Beruntung, ia memiliki kartu limited milik ayahnya yang di berikan oleh Fadil kala itu. Tria menggunakan uang itu untuk membangun sebuah Kafe sederhana ketika ia menginjak kelas 1 SMA. Kafe tersebut di jaga oleh Aisyah, adik sepupu dari Nani yang kebetulan tidak sekolah lagi. Tria juga menggunakan kartu itu untuk menambah uang jajannya.
”Hidup bersama orang tua angkat dan orang tua kandung... rasanya... memang berbeda....”
Tria tertawa kecil, mengejek dirinya sendiri. ”Ternyata, mama menelfon, menyuruh ku pulang hanya untuk mengerjakan ini? Memasak untuk kedua putrinya yang sudah besar itu.” Ia menghela nafas kesal.
”Tria, Cepat! Aku sudah lapar! Lama bangat sih, masaknya!” Terdengar suara teriakan Yuli dari meja makan.
”Iya, kak! Bentar lagi, tinggal sedikit lagi masakannya sudah selesai!” jawab Tria. Ia menghapus air mata dan melanjut memasak.
Lima menit kemudian, masakan Tria telah selesai. Ia menata semua masakannya di atas meja makan.
”Kak, makanlah,” ucapnya pada Yuli. Tria sudah duduk dan menyendok makanan untuknya sendiri.
”Masak makanan segini saja...lama banget!” Omel Yuli dengan ketus. Ia mengambil makanannya. Tria hanya menghela nafas sabar, menanggapinya.
”Panggilkan Rahma sana! Bilang ke dia untuk turun makan, aku menunggunya,” titahnya pada Tria.
Tria menghentikan suapannya, ia menyimpan kembali sendok itu di atas piring. Ia berdiri melangkah keluar dari dapur. Ia pergi ke kamar Rahma.
Di kamar Rahma.
Tok tok tok! ”Kak, kak Rahma,” panggilnya. Namun, tak ada sahutan dari sang empu kamar. ”Mungkin dia masih tidur.”
Ceklek! Tria membuka pintunya dari luar, ternyata pintunya tidak terkunci. Ia masuk ke dalam kamar, ia melihat Rahma yang masih tertidur. Ia berjalan mendekati Rahma.
”Kak Rahma, ayo bangun untuk sarapan.” Tria membangunkan Rahma dengan menggoyangkan bahu Rahma, dengan pelan.
”Apaan sih! Ganggu aja!” Gerutu Rahma dengan kesal. ”Sana sana sana! Keluar!” Bukannya bangun, Rahma justru mengusir Tria.
Tria menghela nafas. ”Kak Rahma, ayo bangun, kita makan dulu! Kak Yuli sudah menunggu mu di meja makan,” ucapnya lembut membujuk Rahma.
”Berisik!” sahut Rahma ketus. Terpaksa ia bangun, ia turun dari ranjang dengan kesal. ”Beresin kamar ku,” perintahnya. Ia keluar dari kamar. Tria kembali menghela nafas.
Mengapa dia kesal dan marah? Aku seperti pembantu di rumah ku sendiri. Dan ini sudah berjalan selama beberapa tahun ini semenjak ayah ku meninggal dan tinggal bersama mereka. benaknya.
Ia membersihkan kamar Rahma, ia tidak berani menolak untuk tidak mengerjakannya. Ia takut akan kena marah lagi sama Karmila jika ia menolak.
”Oh, ya Allah, begini kah jalan hidup dari takdirku? Kenapa takdir begitu mempermainkan ku? Apa aku tidak pantas untuk hidup bahagia?”
Tria telah selesai membersihkan kamar Rahma. Ia kembali ke dapur, bergabung kembali di meja makan melanjutkan makannya yang tertunda.
”Sudah beresin kamar ku?” tanya Rahma.
”Sudah, Kak.”
Mereka makan dalam diam. Setelah selesai makan, Rahma dan Yuli pergi menonton televisi di ruang keluarga. Sedangkan Tria, wanita itu membersihkan dapur dan meja makan.
”Alhamdulillah, akhirnya selesai juga.”
Meskipun Tria sering dibentak dan dimarahi oleh keluarga angkatnya, ia tidak pernah membenci ataupun dendam pada mereka. Begitulah Tria, ia diajarkan kebaikan, ketulusan, dan keikhlasan dari orang tua kandungnya, Nur Hasanah.
Tria mengingat kembali pesan Nur Hasanah, ibu kandungnya kepadanya, saat ia baru masuk kelas 1 SD.
”Tria, sayang. Anak Mama, dengarkan pesannya Mama baik-baik, ya.” ucap Nur Hasanah, ibunya Tria.
”Iya, Mama. Tria akan dengar.” sahut Tria kecil.
”Tria, anak Mama yang cantik. Ingat, kita harus menjadi orang yang baik, kita tidak boleh jahat sama orang, meskipun orang itu berbuat jahat kepada kita. Dan kita harus tulus juga ikhlas dalam menjalani ataupun melakukan sesuatu. Karena, apapun yang kita alami, kita lalui, itu adalah ujian dari Allah. Dan juga takdir yang sudah ditentukan untuk kita. Ingatlah, Nak! Allah tidak akan menguji hamba-Nya di batas kemampuannya. Dan orang yang sudah jahat pada kita, biarlah Allah yang akan membalasnya. Jadi... bersabarlah dalam menghadapi apapun.” Nur Hasanah menasehati Tria.
”Iya, Mama. Tria akan selalu ingat pesan Mama ini.” Tria memeluk ibunya, ” Tria sangat sayang pada Ibu dan ayah.”
”Ibu dan ayah juga sangat sayang pada mu, Nak.” Nur Hasanah balas memeluk Tria dengan erat.
Tria tersenyum sendiri saat mengingat kembali momen berdua dengan ibunya. ”Aku merindukan ibu,” gumamnya sedih.
Tria kembali ke kamar setelah ia membersihkan dapur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!