NovelToon NovelToon

My Partner'S Diary

Prolog

04.30

Hari pertama terbangun di kota orang, hampa rasanya. Hanya detak jarum jam dan dering alarm yang belum sempat kumatikan.

Dingin, satu kata yang pertama kali terlintas saat nyawa mulai mengumpul. Gadis yang masih berada di bawah naungan selimut itu membuka matanya perlahan, tangannya bergerak mematikan alarm di nakas samping tempat tidurnya.

Gia Annatasya Putri, nama yang tertera di sebuah buku di atas meja belajar. Mahasiswi baru di salah satu universitas terkenal di kota tempatnya terbangun tadi.

06.54

Bergegas, terburu-buru menyiapkan semua hal yang wajib dibawa untuk hari pertamanya. Entah setan apa yang merasukinya, sampai bisa tertidur lagi setelah solat subuh tadi. Beginilah jadinya, jika tidak ada alarm alami yang membangunkan.

“Gila, gila, gila! Kenapa bisa telat, sih?” ujarnya frustasi.

Beberapa saat berdiri risau di pinggir jalan, sampai akhirnya ada satu motor yang berhenti tepat di depannya.

Dia lantas meminta tukang ojek yang membawanya untuk mempercepat laju motor, tidak peduli sekacau apa wajah frustasinya sekarang ini. Gadis itu tetap sama kekeh meminta kecepatan tinggi agar cepat sampai di tujuannya.

***

Bersambung.

First Story'🌷🙏

See u next chpt. 🖤

Bab 1

“Kemana arahnya ini?" gumam gadis yang tengah dalam kebingungan itu.

Diarahkan pandangannya ke segala penjuru, hingga matanya menangkap sosok yang berpakaian sama dengannya. Segera, dengan langkah cepat dia menghampiri teman seangkatan yang belum ia ketahui namanya itu.

“Hay,” sapa Gia dengan sedikit senyum.

“Eh ... hay juga,” jawab gadis yang ia sapa.

“Kamu mahasiswi baru juga, kan? Kok, baru dateng?” lanjutnya sambil melihat keadaan sekitar yang tidak terlalu ramai.

“Iya, baru sampe, tadi telat sedikit,” jawab Gia dengan mata yang melihat ke arah jam di pergelangan tangan kirinya itu.

“Oh ya, kumpulnya di mana? Dari tadi aku lihat, kok, di sini sepi?” lanjut Gia bertanya dengan raut wajah bingung.

“Aula di gedung sebelah sana, ayo bareng aja!” jelasnya menunjuk arah gedung bagian barat.

“Oh ya, makasih ehmm–”

“Renata,” potong gadis di depannya sambil mengulurkan tangan kanannya.

“Makasih Renata, aku Gia. Salam kenal,” sahutnya semangat tak lupa membalas uluran tangan didepannya.

***

Setengah hari berlalu begitu saja dengan cepat bagi Gia, gadis itu telah sampai di kos-kosannya dengan napas yang masih memburu karena lelah dan muka yang sudah tidak secerah pagi tadi.

Gadis berkerudung hitam yang masih belum melepas sepatunya itu menghela napas dan membanting dirinya di sofa kecil yang tersedia disana.

Merogoh tas, dia membuka loock screen HPnya dengan mata berbinar terang, entah apa yang dia dapat, sampai melupakan lelah yang menderanya tadi. Menekan satu nomor di sana, dia tidak meninggalkan senyum manis yang menghiasi wajahnya.

Setelah beberapa saat terlibat perbincangan dengan seseorang di seberang telfon sana, sampai terdengar suara azan dia memutuskan menghentikan sambungan teleponnya dan segera bergegas melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah.

***

Melangkahkan kaki menuju kaca besar dengan berbagai macam perlengkapan di sana, mengambil sisir dan mulai menyisir rambut lurusnya itu.

Setelah beberapa menit lalu menyelesaikan kegiatannya, dia membuka buku di atas nakas yang terletak di tengah-tengah antara meja rias di sebelah kanan dan tempat tidur di sebelah kirinya.

Dilihatnya buku itu, teringat pesan dari sang pemilik buku untuk membacanya. Dia mulai membuka satu persatu lembar buku dengan cover berwarna hitam itu.

Halaman pertama, dia menemukan nama sang pemilik buku, dan semua tentangnya. Perlahan dia membaca, walau sudah tau semuanya, tetapi, dia tetap membacanya.

“Calvin Arriza Adhitama, putra kedua dari Adhitama Saputra dan Vina Malika. Kakaknya bernama Dikisyah Putra, dan punya adik perempuan bernama Keyra Malika Putri. Dan yah ... jangan lupakan marga Adhitama dibelakang setiap nama,” gumamnya pelan sambil membaca halaman pertama buku itu.

Senyumnya mengembang kala dia melihat tulisan yang ada dibhalaman sebaliknya.

***

'*Pagi! Langkahnya terdengar pasti menyusul keramaian yang teman-temanku ciptakan. Saat dia masuk, hening ... semua tatapan menuju ke arahnya, pintu yang terbuka itu kini terhalang oleh seorang gadis cantik dengan kerudung putih.

Kulihat dia sekilas, tak ada senyuman di wajahnya, tapi tatapannya hangat dan meneduhkan. Wajahnya yang tenang dan pembawaannya yang dewasa membuat sebagian siswa di kelasku terdiam takjub dengannya*.

Kutundukan pandanganku memandang ponsel yang sempat kuabaikan beberapa saat lalu, dia masuk menuju tempat duduk di depan meja Guru yang sudah terisi oleh salah satu teman terdekatnya. Dia, Gia Annatasya Putri. Gadis cantik yang berhasil mencuri pandanganku pada saat pertama kali aku melihatnya.'

Tertanda

Calvin Arriza Adhitama

***

Gia tersenyum. Baginya, tulisan ini sangat berarti. Tentu dia masih ingat, bagaimana pertemuan pertama mereka yang hanya dapat membuatnya melihat sebagian dari wajah tampan itu. Dia ingat betul, hari dimana dirinya memulai cerita baru dalam hidupnya, masa SMA.

***

Pagi itu, di ruang kelas X.IPS.1, riuh terdengar sampai ke luar kelas karena para penghuni baru yang meributkan tempat duduk dan bercanda ria dengan teman temannya. Terdengar samar langkah kaki halus yang menuju ke arah ruangan mereka, sejenak, mereka terdiam dan saling pandang dengan sesamanya.

Satu ... dua ... tiga ....

“Assalamualaikum,” salam seorang gadis cantik yang baru saja masuk kedalam ruang kelas itu.

'Aneh!' batin gadis itu mengernyit.

Tentu aneh, dia mengucap salam, tapi, tidak ada yang menjawabnya. Hanya tatapan anak murid satu kelas itu yang ia dapat, entahlah ada apa dengan mereka. Sampai ....

“Gia!” pekikan itu terdengar riang di telinganya, tidak asing lagi. Itu adalah teman dekatnya sedari SMP dulu.

Gadis itu tak lain adalah Gia, Gia Annatasya Putri. Dia yang akan memulai lembaran baru hidupnya dengan bersekolah di sini, bersama dengan teman-temannya nanti.

“Hai,” sapa Gia sembari berjalan ke arah orang yang memanggilnya tadi.

Sedang di ujung kelas itu, ada sesosok yang terdiam. Terpaku dengan pemandangan di depannya tadi, dengan cepat dia mengalihkan atensinya dari gadis yang baru saja berhasil mencuri pandangannya.

Dia Riza, Calvin Arriza Adhitama. Remaja yang baru saja menginjakkan kakinya di bangku SMA yang sama dengan Gia itu dikenal dengan sifat dinginnya, dia hanya punya dua teman dekat, tetapi, dia lebih suka menyendiri.

Tidak tau apa masalahnya, tapi dia terlihat enggan saat disuruh untuk berbicara, bahkan, untuk melihat ke arah lawan bicaranya saja dia tidak berminat. Dia lebih suka menatap benda pipih yang dimiringkan dengan jarinya yang tak berhenti bergerak.

Kelas kembali ramai, sambil melangkah Gia sesekali mengedarkan pandangannya, hingga matanya sekilas menatap sosok yang menurutnya ... berbeda.

Bukan! Bukan makhluk halus yaa. Hanya saja, di musim panas seperti ini, dia masih betah memakai jaket hitam? Kepalanya juga sedari tadi menunduk memandang ponsel di tangannya, seakan tidak ada orang lain di sekitarnya, dia acuh dengan apa yang terjadi. Gia memilih acuh.

"Hai, Nel.”

Nela Faranisya, teman dekat Gia yang baru saja memekikkan namanya saat dia masuk kelas tadi.

“Gia ... astaga! Lo dari mana aja? Kenapa nggak ada kabar selama liburan, hah?”

“Nggak kemana mana la–" ucapnya terpotong.

“Nggak kemana mana tapi hp mati, dihubungi nggak bisa, di-chat nggak bales. Kebiasaan ... kumat lagi pasti ya," tukasnya memotong ucapan Gia.

“Nel ....”

Gia langsung duduk di sebelah Nela, baru saja dia akan berbicara, tetapi, dia mengurungkan niatnya karena kedatangan gurunya.

“Selamat pagi, semua,” salam seorang Guru yang baru saja masuk.

“Selamat pagi, Bu ...,” jawab serentak para murid.

“Saya ucapkan selamat datang di sekolah tercinta kita ini,” sapanya sembari menulis sesuatu di papan tulis.

"Ini biodata saya, dan di sini saya yang akan menjadi wali kelas kalian selama satu tahun ke depan. Ada yang mau ditanyakan?” jelasnya diakhiri pertanyaan.

“Tidak ada, Bu!”

“Baik, jika tidak ada yang mau bertanya, kita langsung pemilihan ketua kelas aja, gimana?” tanya sang guru menengahi keributan yang hanya dijawab anggukan dari para murid.

“Oke! Ada yang mau jadi kandidat ketua kelas?” tanyanya sambil mengedarkan pandangannya.

“Bu.” Pemuda dengan name tag Bagas Sadewa yang duduk di bagian belakang itu mengacungkan tangan dengan tinggi.

“Iya, kamu mau nyalon jadi ketua kelas?”

“Jangan, Bu. Kalo dia jadi ketua kelas, yang ada ancur kelas ini!” seru seseorang dari seberang mejanya, Dafa.

“Ngomong apa lo barusan, heh ... ngatain gue ya!” tukas Bagas tak terima dengan ejekan dari temannya itu.

“Haha sans lah bro ... gue cuma ngasih saran doang, kok," balas Dafa dengan wajah tanpa dosa.

“Kurang asem lo, Fa!" teganya sambil melambungkan kepalan tangan ke udara.

Sedang yang lain hanya bisa diam menyimak apa yang diributkan dua orang itu.

“Eh ... udah kalian ngga usah ribut, ok. Bagas, bener kamu mau nyalon jadi ketua kelas?” lerai sang Guru yang juga mendengar perdebatan unfaedah dari dua muridnya itu.

“Heh, ya nggaklah, Bu! Saya sadar diri, kalo saya jadi ketua kelas nanti fans saya nambah, cukup yang sekarang aja, Bu. Udah banyak kok," jawabnya santai tanpa beban, tetapi, menimbulkan pekikan sorakan dari murid yang lain.

“Gede rasa,” decak Nela membuat Gia terkekeh.

“Ada-ada aja kamu, trus tadi ngapain angkat tangan?”

“Saya nggak nyalon jadi ketua kelas, tapi nih yang ada disebelah saya. Dia yang bakal jadi ketua kelas,” jawab Bagas dengan yakin.

“Heh ... apaan, lo, main tunjuk? Nggak mau gue!” Dafa menyaut dengan kesalnya.

“Bukan lu ege ... nih, si Riza," jawabnya dengan menepuk punggung orang disamping tempat duduknya.

***

Bersambung..

See u next chapter🖤

Bab 2

“Bukan lu ege ... nih, si Riza,” jawabnya dengan menepuk punggung Riza yang ditunjuknya.

Helaan napas kaget terdengar lolos dari mulut si empu yang namanya disebutkan.

“Riza?” beo Bu Fatin—wali kelas mereka—dengan bingung.

“Iya, Bu. Calvin Arriza Adhitama!” jelas Bagas.

“Hmmm ... bagus juga rekomendasi kamu, Gas. Gimana, Riza, kamu mau?" tanya Bu Fatin setelah menatap Riza agak lama.

“Nggak!”

Semua terkejut mendengar suara datar dan dingin itu, mereka sama-sama menatap Riza yang masih saja santai di tempatnya.

“Nggak sopan!” ungut seorang gadis yang duduk jauh di depan sana. Gia.

Gia tidak suka, bukan karena penolakannya, Gia juga tidak peduli dengan siapa yang akan menjadi ketua kelas nantinya. Namun, suara Riza yang tadi menjawab pertanyaan sang Guru membuatnya kesal dan ingin marah.

“Eh ... kenapa?” tanya Bu Fatin setelah sadar dari keterkejutannya.

“Hehe aduh ... maaf yha Bu, teman saya si Riza ini emang kaku orangnya, pendiam dia itu, Bu." Dafa menjawab dengan tidak enak mewakili sang teman yang sudah memasang wajah jengkelnya.

"Maaf, Bu, Riza ini emang datar orangnya, dan lo yang di depan!" timpal Bagas sembari melihat ke arah tempat Gia duduk.

“Sorry, nih, ya ... bukannya dia nggak sopan, udah dasarnya aja bicaranya gitu. Jadi, jangan main judge aja, oke?” bela Bagas dengan masih menatap Gia dan Nela.

'Kenapa diem? ke mana lidahnya? kualat kan tuh ngomong kasar ke orang tua.' Gia membatin dengan tatapan datar yang ia tujukan untuk Riza.

“Ekhmm untuk sementara pemilihannya ditunda dulu saja ya, biar nanti nggak ada ribut-ribut lagi, sekarang kita masih ada waktu buat pengenalan saja yha," tutur Bu Fatin menengahi.

*****

Lampu menyala, keadaan di luar sudah sangat gelap, entahlah ada apa dengan sang penghuni kamar ini. Dia masih belum terlelap walau hari sudah larut, dia kembali membuka buku yang tadi sore dibacanya, dia membuka halaman ke-dua.

'Gia Annatasya putri, kau tau? Kau sangat menyebalkan. Kupikir kau gadis dewasa, ternyata, sama saja seperti gadis lainnya. Kau tetap saja menyebalkan, aku menyesal pernah memujimu di awal pertemuan kita. Gia ... kau menyebalkan!'

Tertanda

Calvin Arriza Adhitama

“Dasar bodoh,” gumam Gia yang melihat namanya tertera di buku itu.

Bukannya tidur, Gia malah kembali membaca diary itu. Lihat, sekarang dia kembali ke masa lalunya lagi, tunggulah sampai kapan dia sadar.

***

“Riza!" teriakan yang sama terdengar untuk ke sekian kalinya di pagi itu. Tentu, siapa lagi pelakunya kalau bukan bocah absurd bernama Bagas.

“Ija ... ****t lo! Denger, nggak, sih, gue panggil dari tadi?” sungutnya dengan kesal.

“Hmmm.” Hanya deheman yang keluar sebagai balasan dari Riza.

“Ck, keterlaluan lo, Za! Udahlah ... nih, sapu. Piket sono, enak aja gue nyapu sendirian dari tadi."

“Berisik!” decak Riza kesal.

Dia menyambar dengan cepat sapu itu dan mulai menyapu kelasnya.

“Gila, lo, ya. Si Riza gitu lo suruh dia nyapu?” ujar seseorang menepuk pundak belakang Bagas, Dafa.

“Biarin ajalah ... ngurus tempat gede aja bisa, masa nyapu doang nggak sanggup.” Bagas menjawab tanpa beban.

“Dih, gue laporin Mak-nya nanti lo bully dia.”

“Lah ... situ gila, belum gue bully udah gue yang dibanting, cok!”

“Miring otak lu, Gas!”

Riza terlalu fokus dengan kegiatan menyapunya, sampai dia tidak melihat ke arah pintu arahnya menyapu

“Eh ... gila kamu ya!” pekik seseorang mengagetkannya.

Gia yang baru saja sampai disambut dengan debu yang beterbangan karena kipasan sapu yang terlalu kuat, tentu dia marah.

“Gue nggak gila,” balas Riza datar.

Gia merotasikan bola matanya dengan malas. “Percuma ngomong sama batu kayak kamu.”

“Gue manusia!” Entahlah ... Riza pikir akan menyenangkan jika dia menyahuti perkataan gadis di depannya ini

“Manusia berhati batu,” balas Gia dengan santainya menyulut emosi sang lawan bicara.

“Jaga omongan lo!” balas Riza yang mulai kesal dengan ucapan Gia.

“Dan jaga sikapmu ... Calvin.” Gia menjawab masih dengan nada santainya.

“Weh, apaan ni ... ngajak ribut lo?" ketus Bagas dengan pandangan menjengkelkan menatap Gia.

“Ohh ... situ yang mau ribut sama temen gue, sini maju lo!” timpal Nela yang tiba-tiba sudah berada di belakang Gia.

“Gila, lu jin ya! Muncul nggak bilang-bilang," sungut Bagas yang terkejut dengan gaya memegang dadanya.

“Nggak usah lebay lo ... sini kalo mau ribut, gue ladenin!” balas Nela tegas.

“Oh ... berani lo sama gue, hah? Dasar betina! ngomong doang berani, aslinya gemeter, kan, tuh?” ejek Bagas mengundang tawa dari beberapa anak laki laki yang sudah ada di kelas itu.

“Gia ... kok lo diem sih?” tanya Nela yang terdesak.

“Ada apa ini?”

Pertanyaan itu menengahi perdebatan mereka. Dengan kompak, mereka menoleh pada seseorang yang berada di depan pintu masuk kelas mereka.

“Nggak ada apa-apa, kok, Kak. Cuma lagi ngobrol biasa,” bohong Bagas.

“Bohong itu ... ya kali, Kak, dia ngejak ribut aku sama Gia," balas Nela dengan menatap remeh pada Bagas.

“Heh ... Kalo ngomong, lo yang ngejak ribut tadi woy!" jawab Bagas tak terima dengan tuduhan Nela.

“Udahlah, Gia. Ayo, ikut kakak!”

Dengan lancangnya, tanpa menunggu persetujuan Gia, pemuda yang mereka tau sebagai kakak kelas mereka itu menarik tangan Gia ke luar kelas.

'Gila!' batin Riza mengiringi langkah Gia dan kakak kelas itu pergi.

***

“Ada apa, Kak?” tanya Gia mengawali pembicaraan.

“Panggil biasa aja, deh. Nggak ada orang lain di sini," jawab pemuda dengan nama Hanif Edo Ardinant itu.

Dia memang membawa Gia ke perpustakaan, pagi hari seperti ini tentu saja perpustakaan masih sepi.

“Ya, mau ngapain, sih? Nggak enak tau, tadi diliatin temen-temen Abang,” decak Gia pada Edo.

“Cuma mau ngingetin, jangan deket sama cowok lain. Ingat itu, dan yah, pulang sekolah tunggu abang, jangan nyelonong duluan!” perintahnya tegas.

“Ck, kan, bisa lewat HP. Kenapa harus gini, sih? Ribed banget jadi orang.”

“Gia, inget kata abang.”

“Iya, Bang Edo, iya! Gia ingat, kok. Udah, ya, mau ke kelas, nih.”

***

Bersambung

See u next chapter..🖤

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!