NovelToon NovelToon

Love And Secret Mission

Chapter 1: The Eagle Eyes

Tahun-tahun datang dan pergi, setiap orang harus tahu apa yang telah berubah.

Dunia berputar sesuai waktu yang ditentukan, banyak hal baru yang terjadi dan mengubah situasi, termasuk dalam sebuah organisasi di Amerika Serikat.

Nama Chelsea Nathalie, mulai dibicarakan di agensinya, CIA sejak aksinya berhasil menjaring seorang hacker hebat di masanya.

Chelsea dikenal sebagai 'The Eagle Eyes'. Ibarat elang yang selalu mengintai mangsanya dengan mata yang tajam dan menghasilkan begitu banyak informasi yang berguna meski laporannya tidak lengkap. Tidak ada seorang pun di CIA yang tidak tahu namanya.

Di usianya yang menginjak dua puluh tiga tahun, Chelsea sudah tergolong sebagai agen senior dan masuk dalam daftar khusus agen paling berbakat di agensinya.

Dengan karakternya yang acuh dan minim sosialisasi, tidak membuat semua orang menjauh darinya. Mereka hanya ingin tahu lebih banyak tentang siapa dia sebenarnya, tetapi tidak ada yang cukup gila untuk menanyainya.

Menyinggung Chelsea sama saja dengan membuat marah monster cantik. Wajah yang dimilikinya adalah topeng untuk menyembunyikan kekejaman yang melekat padanya. Sudah menjadi rahasia umum betapa kejamnya Chelsea jika musuh yang dia tuju tidak ingin mengikutinya ke penjara, maka tidak ada yang akan mendengar nama orang itu lagi.

Namun, yang paling membuat kagum semua orang adalah, jika Chelsea bertindak, akan sangat sulit untuk menghentikannya. Sifat keras kepala cenderung dilihat sebagai karakter yang identik dengan dirinya.

Di tahun ketiganya setelah menginjak usia dua puluh, banyak yang dipelajari Chelsea termasuk kematian. Ketika ada saat di mana Chelsea merasa dia harus mati dengan semua rasa sakit yang dia alami, tapi Tuhan terlalu baik untuk memberikan kematian itu padanya.

Chelsea sadar, dia telah membunuh banyak orang. Membunuh adalah tindakan yang merenggut jiwa, melakukan pencideraan terhadap alam, atau dengan kata lain menghilangkan tugas malaikat maut. Hanya saja, Chelsea tak bisa menghentikan apa yang mungkin dia sebut sebagai hal biasa.

Hampir ratusan orang meninggal karena itu, bagaimanapun, Chelsea selalu menghindari pengakuan bahwa membunuh adalah suatu yang baginya sangat berkesan.

***

Hari itu, saat matahari tepat berada di atas kepala, sinarnya memancar dari segala penjuru tempat membuat orang berdecak karena panas yang menyengat.

Meski begitu, terlihat sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi di Texas, Austin dengan penuh semangat, seolah mengabaikan teriknya matahari yang menyinari bumi.

Lebih tepatnya, di Congress Avenue Bridge, suara peluru saling menyahut, mengejutkan semua pengendara yang lewat.

Setelah selesai menyeberangi jembatan, pengendara motor sport itu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan melemparkan granat ke mobil pick-up yang dikejar.

BLUARRR !!!

Ledakan yang terjadi menyebabkan mobil meledak dengan hebat, efek ledakan tersebut memaksa semua benda disekitarnya terlempar jauh. Pengendara sepeda motor itu tersenyum puas.

Namun, sudut bibirnya kembali membuat ekspresi bengis ketika seseorang keluar dari mobil dengan berantakan dan mengalami beberapa luka bakar.

"Jangan sampai kehilangannya, Chelsea, kami membutuhkan lebih banyak informasi." sebuah suara datang dari Earpiece yang dikenakan Chelsea.

Tanpa menjawab, Chelsea kembali melajukan motornya saat orang yang dikejar berlari terbirit ke gang sempit.

Tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang tercengang dan bercampur ketakutan, Chelsea terus melaju sampai yang dia temukan membuatnya mengambil arah yang benar ke dalam gang yang lebih sempit dan lebih sunyi dari sebelumnya.

Pikiran dan kemampuannya yang sangat matang tentu tidak membuat Chelsea kehilangan akal. Ia memacu gas pada motornya dan segera melonggarkan kendali yang membuat motornya melaju semakin kencang.

Orang yang dia kejar tampak panik ketika ternyata yang dia pilih itu jalan buntu. Saat jarak antara motor Chelsea dan tembok itu 5 meter, orang itu sejajar dengan Chelsea.

Chelsea menyeringai, dia berdiri di kursi dan melompat ke punggung pria itu, melepaskan motor yang penyok langsung ke dinding.

BRUKKK

Pria itu terjatuh saat punggungnya terkena tendangan Chelsea. Di matanya ada jejak ketakutan saat gadis muda itu mencengkeram kerahnya dan mengeluarkan pisau lipat.

"Aku yakin kau memiliki apa yang ku ingin." Chelsea berbicara dengan nada dingin tanpa senyuman saat dia mengusapkan ujung pisau ke wajah orang yang diancamnya.

"Aku ... aku ..." orang itu hanya tergagap karena dia secara tidak sadar mengerti bahwa Chelsea sedang mengancamnya. Terlebih lagi, melihat wajah iblis tanpa belas kasihan di wajah gadis di depannya membuat jantung dan denyut nadinya menegang.

"Izinkan aku memberi tahu mu bahwa kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti selama kau tidak merasakan sakit yang membuat mu memohon untuk mati." baru sekarang Chelsea tersenyum, senyuman yang membuat nafas orang itu semakin mengaum.

"Hilton Garden Inn Austin Downtown, kamar nomor 201, Weida Weiheng." pria itu sepertinya tidak punya pilihan lain selain mengatakan informasi yang seharusnya dia lindungi.

"Well, Thank you, Mr. Fai." Chelsea mengeluarkan pistol di bawah jaket yang menutupi pinggangnya.

"Kau!" orang itu berteriak tetapi hanya untuk beberapa saat sebelum,

DOR!

Satu butir timah panas menunjuk ke kepala dan mengenai dahi seorang pria yang kini dibunuhnya.

"I'm sorry about that." Chelsea tak segan-segan meninggalkan jasad orang itu dan mendatangi hotel Hilton Garden Inn Austin Downtown.

Tidak ada ekspresi penyesalan atas apa yang dilakukannya. Bagi Chelsea orang yang dibunuhnya adalah orang yang pantas mati.

ILUSTRASI FROM: PINTEREST

Chapter 2: Weida Weiheng

Suasana di Hilton Garden Inn Austin Downtown langsung mencekam saat Chelsea mengepung seluruh hotel dengan 10 pasukan khusus yang dibawanya.

Semua kamar hotel diperiksa dan tidak ada yang diizinkan masuk atau keluar selama penyelidikan.

Chelsea membuat ulah ketika dia menyadari bahwa dia telah ditipu oleh orang yang dia selesaikan beberapa waktu lalu. Pihak hotel mengatakan bahwa tidak ada kamar yang dipesan dengan nama 'Weida Weiheng'.

Kamar 201 hanyalah sebuah kamar yang disewa oleh salah satu pengusaha terkemuka di Austin. Pasukan khusus yang dia bawa saling memandang saat Chelsea keluar dari hotel dengan wajah kusut.

"Kau tidak menemukan apa pun Chelsea?" tanya pusat komando yang bisa dia dengar melalui Earpiece di telinganya.

"Secara istilah di sebut belum." Chelsea menjawab. Ketika dia menyadari sesuatu, dia kembali ke hotel dan berdiri di depan meja resepsionis yang takut melihat wajahnya yang kejam.

"Periksa sekali lagi atas nama Fai Parlan." Chelsea memesan tanpa mengalihkan pandangannya ke wajah resepsionis wanita.

Segera, dengan tangan gemetar, wanita itu mengetikkan nama yang diucapkan Chelsea. Dia tidak berani melihat Chelsea.

"Tidak atas nama Fai Parlan Nona." katanya dengan suara rendah bercampur gugup.

"Periksa lagi." Chelsea masih terlihat tajam.

"Tapi Nona-"

"Aku bilang cek!" bentak Chelsea. Kedua matanya sudah menyipit seolah mencurigai sesuatu.

"Cepat lakukan apa yang diperintahkan, jangan cari masalah!" seorang pria berambut putih datang dan berteriak pada resepsionis.

"Ahk, Nona, silahkan duduk dulu. Kami akan melayanimu dengan pelayanan terbaik."

Chelsea terkekeh, dia bukan orang bodoh. Lelaki tua itu tak bisa menyembunyikan wajah penjilat dari Chelsea yang memiliki tatapan tajam.

"Aku di sini bukan untuk makan. Kurasa kau harus tahu bahwa memanggil polisi ke sini tidak ada gunanya." tepat setelah Chelsea mengatakan itu, suara sirene polisi berbunyi dan berhenti tepat di depan hotel.

Lima pria berbadan besar berseragam polisi dengan rompi tentara resmi masuk, salah satunya menodongkan pistol ke kepala Chelsea.

Pria yang menjadi manajer itu tersenyum puas, ia merasa berhasil menjebak Chelsea hingga tertangkap polisi. Chelsea mengangkat jari telunjuknya dan menurunkan pistol yang diarahkan ke dahinya.

Dia mengeluarkan kertas dari sakunya dan memberikannya kepada polisi. Seseorang yang menodongkan pistol ke Chelsea tiba-tiba berdiri diam. Sekarang dia mengerti bahwa semua yang terjadi adalah tindakan resmi salah satu agensi terkemuka di Amerika Serikat, bahkan mungkin di dunia.

Chelsea menyeringai ketika polisi pergi dan berkata bahwa semua ini adalah urusan Negara yang seharusnya tidak dipersulit. Manajer yang telah menjebaknya gemetar, dia secara tidak langsung mengganggu utusan Negara untuk bertugas.

Chelsea kembali ke meja resepsionis wanita yang kini berkeringat dingin. Dia meraih kerah wanita itu dan mengeluarkan pistol di pinggangnya. Wajah iblis tanpa belas kasihan kembali. Sudut bibirnya menyeringai ganas.

"Kau sepertinya harus pergi ke alam baka setelah mencoba menipuku." Chelsea berucap dengan nada dingin. Resepsionis semakin ketakutan.

"Aku ... maafkan aku. Aku..ini hanya perintah." gemetar ketakutan tapi itu hanya membuat Chelsea puas.

"Katakan padaku." kalimat pendek dari bibir indah bisa membuat kejujuran keluar.

"224." jawab resepsionis.

"Aku akan memberimu pilihan. Berada di penjara atau mati." Chelsea membuat tawaran.

"Lebih baik mati."

DOR! ...

Hanya butuh satu detik sebelum sebuah tubuh tak bernyawa terbaring di meja resepsionis. Orang yang melihatnya gemetar ketakutan, tetapi orang yang melakukannya hanya meminta salah satu pasukan yang dia bawa untuk menjaga lift utama.

Chelsea naik ke lantai 11, menuju kamar 224 untuk mengejar Weida Weiheng. Salah satu anggota mafia yang membunuh seorang agen CIA di Jepang saat bertugas. Namun, tidak sesederhana itu jika Chelsea ingin terlibat.

BRUKK!!!

Chelsea memaksa membuka pintu nomor 224 dengan tergesa. Tidak ada rasa terkejut ketika seorang wanita berkulit coklat dengan rambut disanggul menodongkan pistol ke arahnya. Dia sudah menduga akan seperti ini.

"Wow, Wow, Wow, a woman. Kupikir kau seorang pria." Chelsea menatap tajam sambil sesekali mengamati situasi.

"Aku bukan seseorang yang bisa diajak berbasa-basi." Weida menjawab dengan tangan yang masih memegang pistol.

"Maka aku juga tidak akan berbasa-basi. "

Tepat setelah Chelsea berkata, tendangan kaki mengenai lengan Weida yang menyebabkan senjatanya jatuh.

Mereka terlibat dalam pertempuran sengit. Hal itu terbukti dari hidung berdarah Chelsea yang terkena kepala Weida yang berusaha melepaskan diri saat Chelsea hendak memukulnya.

DORR!! ...

PRANKK !!!

Tembakan yang keluar dari pistol Chelsea saat tangannya secara tidak sengaja menekan pelatuk karena Weida yang mengendalikannya memecahkan kaca besar kamar nomor 224.

BRUK !!

Entah apa yang membuat Weida bergelantungan di lantai dari kaca yang rusak. Chelsea memegang tangannya. Bagaimanapun, dia tetap membutuhkan informasi dari wanita Jepang itu.

"Katakan siapa bosnya!" Chelsea berteriak. Tubuhnya berkeringat karena hampir tidak bisa mengangkat tubuh Weida yang harus dia angkat dengan satu tangan.

Weida tidak menjawab, dia sudah berjanji untuk setia. Meskipun dia seorang kriminal, dia tetaplah manusia yang selalu menepati janjinya.

SWINGGG

Telapak tangan yang digunakan Chelsea sudah berkeringat, dan itu membuat cengkeramannya licin. Weida jatuh dari lantai 11 dengan naas. Chelsea mengutuk, dia belum mendapat informasi apapun saat Weida mati lebih dulu.

"He die." Chelsea berkata pada pusat komando.

Dia secara paksa melepas Earpiece dan membuangnya begitu saja. Nafasnya mengejar lelah, angin malam yang dingin menerpa rambut hitam kecokelatan nya. Chelsea mempelajari kamar 224 dengan cermat. Butuh beberapa saat bagi sudut matanya untuk menangkap laptop terlipat di tempat tidur.

Dia membuka laptop dan menyalakannya tetapi tidak menemukan apa pun, bahkan data, laporan, atau pesan. Sambil mencerna otaknya, dia mencari sesuatu di ruangan itu sampai sebuah memori kecil yang dia temukan di balik sebungkus merek rokok di laci. Saat Chelsea hendak pergi, dia kembali melihat sebuah kotak yang menariknya.

Chelsea membuka kotak itu dan menemukan senjata yang hanya berisi satu peluru, dia mengambilnya dan memasukkannya ke dalam saku jaket dengan sedikit memori yang dia temukan sebelumnya. Dia mengambil dua potong tisu untuk menyeka darah di hidungnya.

"Siapkan penerbanganku ke Virginia malam ini." Chelsea berkata kepada salah satu pasukan khusus yang dia tempatkan di lift saat Chelsea berada di luar hotel.

"Ya Nona." dia menjawab dengan patuh.

Chelsea keluar dari tempat parkir hotel bersama 5 pasukan khusus lainnya, sedangkan sisanya sedang membereskan mayat Weida yang jatuh dan mengurusi semua kekacauan yang dilakukan Chelsea untuk menjalankan misi.

Chapter 3: Richenle Company

Penerbangan dari Texas, Austin ke Langley, Virginia nyatanya tak membuat Chelsea lelah. Dia tiba sekitar pukul 11 ​​malam di Bandara Nasional Ronald Reagan Washington.

Kantor CIA sepi di malam hari, tapi itu dari luar. Nyatanya, masih banyak staf dan petugas yang masih bekerja. Langkah kaki Chelsea membawanya ke ruang kerja Elena yang masih terang benderang, menandakan bahwa orang-orang di dalamnya masih belum ada di rumah.

Elena tersenyum ramah melihat Chelsea masuk ke kamar. Sudah tiga tahun mereka menjadi pasangan yang cocok karena sifat mereka yang mirip. Keberhasilan setiap misi Chelsea pasti memiliki orang-orang di belakangnya, dan salah satunya adalah Elena.

Elena, agent di bawah Departemen Freya yaitu Divisi Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu menyediakan setiap senjata yang diminta Chelsea dan memodifikasi benda sehari-hari agar memiliki fungsi tambahan.

"Apa yang kau butuhkan?" Elena bertanya tanpa basa-basi ketika dia melihat Chelsea berdiri tepat di depan mejanya.

Chelsea meletakkan kantung kain di atas meja yang berisi pistol Weida Weiheng. Elena mengambil dan memperhatikan pistol itu dengan cermat saat dia membalikkannya.

"Pistol itu memiliki identifikasi sidik jari. Aku tidak bisa menggunakannya, jadi ku bawa ke sini." Chelsea mengetukkan jari telunjuknya di atas meja.

"Aku yakin tidak sesederhana itu." Elena melipat tangannya di atas meja sambil menatap Chelsea.

"Alasan yang sama membuat ini terlalu rumit untuk kau ketahui." jawaban Chelsea sederhana namun mampu membuat Elena tak mau ikut campur.

"Yah aku tidak bisa menjelaskan tentang ini tapi yang pasti, peluru di dalamnya adalah peluru tajam yang bahkan bisa menembus rompi anti peluru." Elena menjelaskan.

"Lalu bagaimana dengan sensor sidik jarinya?" Chelsea menatap ujung pistol.

"Kenapa kau harus bertanya padaku? Tuan Ford menciptakan divisi baru yang menyediakan analisis senjata, kan? Tanya saja mereka." Elena menjawab, teringat pada divisi baru yang dibuat oleh Ford yaitu Departemen Investigasi dan Analisis Senjata.

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi." Chelsea langsung keluar dari ruangan Elena ke Divisi Investigasi dan Analisis Senjata.

Elena menggeleng pelan melihat Chelsea bisa melupakan Divisi yang dibentuk 2 tahun lalu.

Chelsea tiba di sebuah ruangan yang cukup unik. Ada banyak meja dan kursi dengan peralatannya masing-masing. Orang-orang di divisi ini lebih sibuk dari biasanya. Mereka terlihat sedang memeriksa dan menguji senjata di papan target di dinding ruangan sebelah kanan.

Chelsea mendekati salah satu meja, dia meletakkan pistol di atasnya sambil duduk setelah menarik salah satu kursi lainnya.

"Apa yang bisa ku lakukan untukmu?" seseorang bertanya saat Chelsea duduk di seberangnya.

"Peluru dan senjata ini. Cari tahu fungsi tambahan apa yang ada di sana dan yang terpenting pelurunya." Chelsea menunjukkan gagang pistol dan peluru yang telah dia keluarkan.

Petugas itu mengangguk dan mulai melakukan pekerjaannya. Tidak ada alasan baginya untuk tidak mengikuti keinginan Chelsea, salah satu agen senior dan yang bisa disebut sebagai As CIA.

Jam menunjukkan pukul 12 siang saat Chelsea mendapat hasil dari Divisi Investigasi Senjata. Menarik sudut bibirnya saat dia berjalan, Chelsea melangkah ke ruangan Chief nya, Myra yang kebetulan ada Alice, seorang agen di bawah Departemen Myra untuk pengumpulan informasi.

"Mengapa kau tidak mengirimkan laporan mu?" Myra memprotes ketika Chelsea tidak memberikan laporan apapun setelah mengincar Weida di Texas.

"Karena tidak ada yang bisa ku laporkan sebelum aku mendapatkan ini." Chelsea mengangkat klip plastik berisi peluru dan kertas.

"Aku yakin kau punya penjelasan." Myra melirik kursi di sebelah Alice, meminta Chelsea untuk duduk.

“Peluru dari pistol yang ku temukan di kamar Weida bukanlah peluru biasa. Peluru ini bisa menembus rompi anti peluru bahkan melubangi dinding. Karena itulah agen kita yang di bunuh langsung mati meski hanya satu peluru yang menempel di jantungnya." Chelsea menjelaskan, mengeluarkan peluru dari klip plastik itu.

"Richenle Company." narasi Alice menarik perhatian Chelsea dan Myra ke arahnya.

"Richenle?" Chelsea mengulangi.

“Ya, perusahaan pemasok senjata legal terbesar Amerika Serikat yang telah merambah ke berbagai Negara. Mereka menjual kebutuhan tempur berupa senjata, bom, atau kendaraan kepada pemerintah Amerika yang didistribusikan ke seluruh Negeri. Perlu kau ketahui bahwa CIA juga membeli senjata dari mereka ... " Alice menyahut sambil melihat ke bagian peluru yang bertuliskan nama Richenle Company.

"Ini akan menjadi sangat rumit. Weida adalah anggota mafia Jepang yang bertugas membunuh agen kita Roy. Roy berbakat dalam mencari informasi tentang pemerintah asing. Jika dia berhasil mencium organisasi mafia, maka tentu saja pemerintah tidak akan tinggal diam." Chelsea menggelengkan kepalanya dengan ringan.

"Pertanyaannya, bagaimana mereka bisa membeli senjata seperti pistol dengan sistem sidik jari di Richenle Company? Tidak sembarang orang mampu membeli senjata mereka. Khususnya untuk kelompok organisasi pemberontakan." Myra meletakkan kertas yang berisi analisis tentang senjata yang dibawa Chelsea.

"Itulah yang membuat semua ini tidak sederhana. Yang ku tahu mereka hanya membeli peluru tapi tidak pistolnya." balas Chelsea yang tentunya mengundang tanda tanya.

“Richenle Company, perusahaan pemasok senjata terbesar, tentu tidak akan membuat senjata sidik jari hanya untuk satu pelanggan. Jika benar mereka menjual senjata, mereka akan menjualnya per pak. Membuat pistol dengan sistem sidik jari yang dimana pembelinya harus ada selama periode produksi .... Itu tidak masuk akal." Chelsea mulai menganalisis apa yang ada dalam pikirannya.

"Dia benar, Myra. Apa keuntungan dari Richenle Company yang hanya menjual satu senjata semi-otomatis dengan sidik jari." Alice menambahkan seolah-olah setuju dengan analisis Chelsea.

"Terlepas dari itu, bagaimana kau menjelaskan peluru ini?" Myra bertanya sambil melirik peluru yang tergeletak di atas meja.

"Kamuflase, tentu saja." Chelsea menjawab dengan enteng.

"Kamuflase?" Alice mengulangi dan Chelsea mengangguk sebagai jawaban.

"Kau bilang mereka menjual senjata kepada pemerintah. Jadi pasti ada penyusup yang menyamar sebagai petugas saat berkemas untuk mengirimkan senjata." Seringai Chelsea membuat Myra dan Alice saling memandang.

"Kalau begitu, kasus pembunuhan Roy selesai dengan terbunuhnya Weida. Kita tinggal menunggu informasi dari agen Leela untuk penyelidikan mafia di Jepang. Kuharap kau tidak mengacau jika ingin tahu lebih banyak tentang teka-teki ini. " Myra menatap tajam Chelsea yang mengangguk.

Alice menggelengkan kepalanya perlahan, dia bukanlah orang yang tidak tahu bahwa Chelsea selalu dapat menemukan informasi apapun yang dia inginkan. Dan benar saja, Chelsea kembali ke ruangannya hanya untuk mengecek memori yang didapatnya dan bermain dengan laptop yang selama ini selalu menjadi andalannya.

***

Sementara pada malam hari di Jepang, atau lebih dikenal dengan Negeri Sakura, mobil di kawasan Narusawa melaju kencang seolah menghindari sesuatu hingga akhirnya berhenti di Aokigahara, hutan lebat di sisi Gunung Fuji.

Lima pria dengan pakaian tempur keluar ketika mobil lain berhenti. Ada tembakan keras saat lima pria yang mengenakan rompi dengan logo itu perlahan mundur ke dalam hutan karena musuh membalas tembakan.

"Kita kehabisan amunisi! Mundur!" teriak salah satu dari mereka.

Perlahan kelima orang tersebut mundur dan masuk lebih dalam ke dalam hutan, namun musuh yang mereka hadapi juga maju sambil terus melepaskan tembakan.

Hingga akhirnya langkah kelima pria itu terhenti ketika 10 orang berpakaian hitam seperti ninja menghadang mereka dengan cara melompat dari pohon ke pohon.

"Tidak ada harapan, kita tidak bisa menghubungi siapa pun!" teriak satu dari lima orang yang terkepung.

SRETTT

Satu per satu kelima orang itu jatuh saat tebasan pedang ninja mengenai urat leher mereka. Kehidupan demi kehidupan mati tanpa perlawanan berarti menghadapi betapa lincahnya para ninja yang sudah terlatih.

"Ini adalah balasan untuk CIA karena membunuh rekan kita. Kematian Weida Weiheng tidak akan sia-sia." salah satu Ninja berbicara sambil menyeringai ketika logo CIA terlihat di senapan yang tergeletak, setelah 5 agen utusan Leela tewas mengenaskan.

Leela adalah Chief atau Kepala Divisi CIA yang memimpin Departemen Pengumpulan Informasi Pemerintah Asing, sehingga semua informasi yang didapat CIA tentang masalah di luar Amerika tentu berasal dari agen-agen Leela yang tersebar luas di seluruh dunia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!