NovelToon NovelToon

CINTA WINARSIH

1. Cita-cita Winarsih

Dari Penulis :

Dengan membaca cerita ini artinya pembaca telah menyatakan bahwa telah cukup umur untuk menilai isi bacaan.

Novel ini sepenuhnya fiksi. Jika ada kesamaan tempat dan nama tokoh, itu hanya kebetulan semata.

Jangan mengaitkan isi cerita dengan agama, suku atau golongan tertentu.

Terima kasih karena telah mampir ke novel ini.

*****

"Bu, Winar kasihan sama Yanto. Harusnya Yanto bisa bersekolah di tempat khusus anak-anak yang spesial. Tapi di desa kita nggak ada. Mestinya Yanto sudah bisa lebih mandiri di usianya," tutur Winarsih kepada ibunya yang sedang mencuci kaki di sebuah mata air dekat pematang sawah.

"Lantas kamu maunya bagaimana, Win? Kamu, kan, sudah tahu kalau mata pencaharian kita cuma mengerjakan sawah-sawah milik orang. Untuk makan saja kita masih kurang," jawab Bu Sumi sendu.

"Mas Utomo ngajak Winar kerja ke kota, Bu. Ke Ibukota. Mas Ut bilang ke Winar, setelah Mas Ut melewati masa kontrak kerjanya dua tahun, Mas Ut akan melamar Winar," ucap Winarsih antusias sambil mengangkat cangkul dan ember yang baru selesai dicuci ibunya.

"Kamu cuma tamatan SMP mau kerja apa di kota? Utomo saja cuma tamat SMA dan jadi buruh di sana. Kamu nggak khawatir malah bakal merepotkan dia?" Bu Sumi terlihat tidak bersemangat karena membayangkan anak perempuan satu-satunya akan pergi dari rumah.

"Bu ... Ibu sudah tahu, kan, kalau Winar sangat suka belajar? Ibu tahu juga kalau Winar dari SD adalah murid yang berprestasi? Winar nggak mau kita hidup begini-begini aja. Sejak Ayah meninggal untuk ngasi Yanto makanan bergizi pun kita nggak sanggup. Apalagi kalau nanti Yanto sakit. Sekali ini aja Ibu percaya sama Winar. Winar mau ngasi keluarga kita kehidupan yang lebih layak. Lagipula, Winar khawatir kalau Mas Utomo nantinya bakal kecantol gadis kota. Dia bakal lupa dengan Winar." Winarsih cemberut dengan raut wajah manja demi meluluhkan hati ibunya.

"Kamu pasti pulang, kan, Win?" Bu Sumi berhenti membereskan cangkul serta wadah makan siang untuk menatap wajah putrinya.

"Ya, pastilah, Bu. Desa Beringin ini tempat Winar dilahirkan dan dibesarkan. Desa ini tempat di mana semua orang yang Winar sayangi melewati hari-harinya. Di desa ini juga almarhum ayah dimakamkan. Winar pasti balik lagi untuk jemput Ibu dan Yanto. Cita-cita Winar hidup di dunia ini cuma ingin melihat Ibu hidup tenang dan bahagia. Itu aja. Winar kasihan lihat Ibu tiap hari mandi peluh di tengah sawah yang bahkan bukan milik Ibu lagi." Winarsih menunduk.

Bu Sumi kembali membereskan peralatan. Wanita tua itu memasukkan wadah makan siang yang dibawakan Winarsih siang tadi ke dalam sebuah ember besar dan meletakkan ember itu di atas kepalanya.

“Ayo, pulang. Sudah sore. Kasihan Yanto mungkin sudah lapar setelah seharian mengupas kayu manis,” ucap Bu Sumi kemudian berjalan mendahului putrinya untuk keluar dari pematang sawah menuju jalan utama desa.

“Jadi Ibu izinkan Winar, kan?” desak Winarsih lagi.

“Kamu mau kerja apa di kota, Win? Meski kamu pintar, tapi kamu cuma lulusan SMP.” Bu Sumi kembali mengingatkan Winarsih.

“Winar jadi asisten rumah tangga, Bu. Itu bahasa kotanya. Kalau di desa kita orang menyebutnya sebagai pembantu atau babu. Winar nggak apa-apa, kok, Bu. Yang penting gaji Winar lumayan. Kerjanya pun nggak terlalu capek dan banyak. Kata kenalannya Mas Utomo, majikan Winar nanti seorang pejabat, Bu. Keluarga yang sudah kaya turun-temurun. Pembantu di rumahnya banyak. Winar cuma bantu-bantu di dapur karena Winar bisa masak. Kata Mas Utomo rumah majikan Winar nanti besar sekali. Mirip istana. Saking besarnya rumah itu, bisa aja Winar nggak akan pernah ketemu dengan majikan Winar nanti. Winar boleh berangkat, kan, Bu? Mas Utomo pasti jagain Winar di kota. Mas Utomo juga bisa jenguk Winar tiap akhir minggu.”

Winarsih menerangkan panjang lebar kepada Ibunya yang masih bergeming.

"Sebenarnya dari dulu kamu sudah tahu kalau ibu kurang setuju kamu dekat dengan dia. Maumu jadi aneh-aneh, Win,” kesal Bu Sumi saat mendengar Winarsih berkali-kali menyebut nama Utomo yang seolah terus mempengaruhi anak perempuannya untuk pergi ke kota.

“Maksud Mas Utomo baik, Bu. Mas Utomo juga selalu baik ke Winar. Ibu nggak boleh begitu menilai orang lain." Winarsih kembali cemberut.

“Kamu yakin bisa jaga diri di kota?” tanya Bu Sumi lagi-lagi tanpa melihat putrinya.

“Yakin Bu,” tegas Winarsih

“Ibu nggak pernah nuntut apapun dari kamu dan Yanto. Kalian lahir ke dunia ini karena ibu yang menginginkannya. Ibu nggak mau kebahagiaan ibu jadi beban kalian," ucap Bu Sumi saat menghentikan langkahnya.

Bu Sumi menoleh ke arah Winarsih yang sedang menunggunya untuk berbicara. Sesaat lagi mereka akan tiba di depan gang yang menuju rumah.

“Win, Ibu nggak bisa nahan kamu untuk nggak pergi dari desa ini sementara enggak ada yang bisa ibu tawarkan. Pergi kalau kamu yakin mau pergi. Jaga diri kamu sebaik-baiknya. Jangan percaya siapa pun selain diri kamu sendiri, termasuk Utomo. Percaya sekedarnya saja. Jangan menggantungkan hal apa pun pada orang lain. Dan ingat, Win ... saat kamu sudah memutuskan sesuatu, itulah takdir yang harus kamu jalani. Jangan pernah menyesalinya. Sebanyak apa pun usia kamu, kamu tetap putri kecil ibu yang berharga. Kamu paham, Nak?”

Nasehat panjang lebar nan lembut yang baru saja selesai diucapkan oleh Bu Sumi berhasil membuat mata Winarsih memanas. Matanya sudah berkaca-kaca hendak menangis dan bulir air mata langsung jatuh tak terbendung.

Winarsih tak sanggup menjawab perkataan Bu Sumi. Kepalanya hanya mengangguk berkali-kali.

“Jangan nangis. Itu Yanto sudah melambai-lambai dari depan rumah. Nanti melihat kakaknya menangis dia malah ikut menangis.”

Bu Sumi menghapus air mata di pipi Winarsih dengan tangan kiri. Tangan kanannya masih memegang ember besar yang berada di puncak kepala.

“Ibu mau dimasakin apa untuk makan malam?” tanya Winarsih.

“Gayamu nanya mau makan apa, memangnya setiap hari yang kita makan berbeda?” sindir Bu Sumi.

“Hari ini ada yang beda, telur asin yang Winar buat minggu lalu sudah bisa dimakan hari ini," sahut Winarsih riang sambil memeluk bahu ibunya.

Yanto yang melihat kedatangan ibu dan kakaknya melompat-lompat girang. Remaja pria 14 tahun pengidap down syndrome itu langsung menyongsong Bu Sumi untuk mengambil ember bawaan ibunya itu.

Meski Yanto adalah seorang anak dengan keistimewaan spesialnya, sehari-hari Yanto mengambil upahan untuk mengupas kayu manis.

Setiap pagi petani kayu manis mengantarkan beberapa keranjang berisi kayu manis yang harus dibersihkan dengan pisau.

******

Malam itu Winarsih telah berjanji akan menemui Utomo di sebuah pondok bekas pos ronda yang terletak hampir di perbatasan desa tetangga mereka. Jaraknya agak jauh dan Winarsih berencana hendak meminjam sepeda tetangganya seperti biasa.

Winarsih dan Utomo sering bertemu di sana diam-diam sejak awal mereka berpacaran tiga tahun yang lalu.

Pondok bekas pos ronda itu sering dijadikan tempat bertemu untuk pasangan yang belum mendapat izin dari orang tua mereka.

Bu Sumi tak pernah mengizinkan putrinya untuk berpacaran dengan Utomo. Meski sebenarnya Bu Sumi mengetahui hubungan Winarsih dengan salah satu anak tengkulak di desa itu, Bu Sumi tak pernah menunjukkan sikap menyetujuinya dengan alasan Winarsih masih terlalu muda untuk menjalin hubungan serius.

Wanita tua itu tak ingin putrinya menikah terlalu cepat seperti kebanyakan gadis di desa mereka.

Dan Utomo yang memahami sikap Bu Sumi tak pernah memaksa Winarsih untuk segera membujuk sang ibu agar menerimanya sebagai calon menantu.

Alhasil, pria 24 tahun itu tak pernah mengapeli Winarsih pada sabtu malam seperti kebanyakan pasangan pacaran di desa mereka.

Winarsih mengenal Utomo sejak baru pertama kali menamatkan SMP dan berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya ke satu-satunya SMA di wilayah mereka.

Saat itu, Winarsih yang begitu antusias pergi mengunjungi SMA baru, menggunakan sepeda dengan beberapa temannya.

Tiba di depan gerbang sekolah, mereka bertemu dengan beberapa pemuda yang ternyata adalah murid SMA yang baru saja lulus dan hendak mengambil ijazahnya.

Winarsih yang remaja berusia 15 tahun kala itu begitu terpukau saat berkenalan dengan Utomo yang dinilainya sangat tampan dan macho.

Beberapa kali pertemuan selanjutnya turut meluluhkan hati Winarsih untuk menerima Utomo sebagai pacarnya.

Winarsih adalah wanita manis berkulit kuning langsat dengan tinggi 160 sentimeter. Rambutnya yang ikal sebahu, selalu dikuncirnya membentuk ekor kuda tinggi.

Untuk wanita yang bertubuh berisi dan montok, Winarsih bisa dikatakan cukup gesit dan sigap dalam bekerja.

Bentuk wajahnya oval sempurna dengan bibir penuh dan sorot mata yang memancarkan kecerdasan.

Beberapa pemuda di desanya terang-terangan menyukai Winarsih dengan beberapa kali datang berkunjung ke gubuknya.

Tapi Winarsih tetaplah Winarsih yang hanya mengenal Utomo sebagai pria yang berada di dalam hatinya.

Tahun demi tahun berlalu, hubungan mereka telah masuk tahun keenam. Dan selama itu juga, Utomo telah bekerja di sebuah pabrik sebagai mandor.

Untuk ukuran kehidupan di desa mereka, pekerjaan dan gaji yang diterima Utomo sudah cukup memuaskan.

Tapi tidak bagi Utomo. Pria itu memiliki impian untuk bisa tinggal di kota besar dan punya kehidupan yang lebih mapan lagi.

Utomo harus mengumpulkan uang gajinya sebagai modal untuk berangkat kerja ke ibukota dan melanjutkan pendidikannya di sana meski tanpa persetujuan sang ayah.

Ayah Utomo menginginkan Utomo mewarisi serta mengelola beberapa hektar sawahnya. Ayahnya bahkan telah memilihkan seorang gadis untuk dinikahkan pada Utomo kelak.

Winarsih yang miskin melarat tak pernah masuk ke dalam hitungan ayah Utomo dalam memilih kandidat calon menantunya.

Ayah Utomo; Pak Mukhlis tak ingin Utomo menanggung beban kehidupan keluarga Winarsih yang dikatakannya ‘terlalu miskin’.

******

“Kok, kamu lama sekali?” tanya Utomo pada Winarsih yang baru saja tiba di pondok bekas pos ronda.

Winarsih menyandarkan sepeda pinjamannya di salah satu tiang pondok. Wanita itu menghampiri Utomo yang duduk merapat ke dinding pos yang mirip gubuk di tengah sawah agar tak terlihat dari kejauhan.

“Tadi aku menyuapi Yanto lebih dulu sebelum ke sini. Manjanya sedang kumat," ujar Winarsih sembari duduk di sebelah kekasihnya.

“Gimana? Ibu kamu sudah memberi izin?” tanya Utomo tak sabar.

“Sudah,” jawab Winarsih tersenyum.

“Serius? Serius kamu jadi berangkat bareng aku ke kota?” tanya Utomo lagi untuk meyakinkan apa yang baru saja didengarnya.

“Serius,” ujar Winarsih kembali dengan mata berbinar.

Utomo langsung menarik Winarsih ke dalam pelukannya. Beberapa saat lamanya sepasang insan itu berpelukan dalam kegelapan.

“Aku senang sekali, Win,” ucap Utomo sambil menciumi rambut kekasihnya.

“Aku juga senang, Mas. Apalagi Mas Ut bilang, Mas Ut akan melanjutkan kuliah di ibukota. Aku sabar nunggu Mas Ut. Aku juga udah janji ke Ibu suatu hari nanti akan bawa Yanto menjalani terapi di kota,” ujar Winarsih dengan naif dan antusias pada Utomo.

Utomo melepaskan pelukannya pada tubuh Winarsih. Dia memandang gadis yang memakai kemeja bermotif bunga-bunga dan rok panjang di bawah lutut yang berwarna merah itu dengan dahi mengernyit.

“Maksud kamu, kita menikah sesudah aku selesai kuliah? Begitu?” tanya Utomo.

“Iya, Mas. Aku sabar, kok. Setidaknya kita harus mengantongi restu dari kedua orang tua kita. Mas harus buktikan pada ayah Mas Ut kalau pilihan Mas Ut untuk berangkat ke kota itu tidak salah. Kita harus membuktikan pada orang tua kita, Mas.”

Winarsih menatap mata Utomo dalam kegelapan.

“Lagipula, aku masih 21 tahun Mas. Waktu kita menabung masih banyak,” sambung Winarsih.

“Tapi aku mau kita menikah dalam waktu dekat ini, Win.”

“Harus secepat itu, Mas?” tanya Winarsih.

“Aku ingin kamu segera jadi istriku. Dua tahun menunggu kontrak kerja berakhir saja mungkin aku sudah tidak sanggup," pungkas Utomo.

Aku tidak tahan harus terus-menerus menahan diri tiap berduaan dengan kamu, ucap Utomo dalam hati.

Laki-laki mana yang tahan berdekatan lama-lama dengan Winarsih yang cantik dan bertubuh molek ini, pikirnya.

"Cita-citaku masih banyak, Mas. Aku ingin membahagiakan Ibu dan Yanto lebih dulu. Mas Ut tau sendiri sejak Ayahku meninggal hidup kami sangat kekurangan. Aku kasihan lihat Ibu harus berpanas-panasan di sawah yang bahkan bukan miliknya." Winarsih menerawang menatap pepohonan di depannya.

"Kalau sudah menikah nanti, aku pasti membantu ibumu dan Yanto, Win. Lagipula aku khawatir kalau enggak buru-buru menikahimu, kamu malah kepincut laki-laki lain," ujar Utomo.

Winarsih menatap kekasihnya dengan pandangan setengah tak percaya. Utomo yang berada di hadapannya saat ini ternyata adalah seorang pria yang ia nilai egois.

Sejak tadi pria itu seperti tak berusaha untuk mengerti apa yang ia katakan.

**To** be continued

2. Persiapan

Dari penulis :

Ini adalah novel bergenre romantis 21+ (adult-romance)

Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.

Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.

...____________________...

"Jadi kapan kita menikah?" tanya Utomo.

“Sabar Mas, jodoh nggak akan kemana,” sahut Winarsih tersenyum memandang wajah Utomo yang malam itu terlihat sangat tampan di bawah cahaya rembulan.

“Aku sering kangen kamu Win, beberapa hari ini aku teringat kamu terus. Hubungan kita sudah lama, tapi sepertinya kita cuma begini-begini saja," keluh Utomo.

“Nanti kalau sudah di kota, kita bisa pacaran seperti yang di tv-tv itu Mas! Kita bisa nonton ke bioksop, bisa makan di restoran.” Winarsih tergelak karena perkataannya sendiri.

“Iya, nanti kita bisa seperti itu. Sekarang aku ingin minta lebih sedikit saja. Boleh?” tanya Utomo manja sambil menggeser duduknya agar lebih merapat pada Winarsih.

“Apa?” tanya Winarsih berpura-pura tak mengerti padahal sedari tadi dia telah merasakan gelagat aneh Utomo.

“Jangan yang macem-macem, Mas. Enggak boleh. Kita belum menikah. Kalau Mas Ut begitu, berarti Mas Ut enggak sayang sama aku,” rajuk Winarsih, bergerak menjauhi Utomo yang matanya mulai sayu.

Utomo mengangkat tangannya ragu kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Winarsih.

“Win, aku ingin merasa lebih dekat denganmu malam ini. Boleh ya, Win? Sebentar saja,” pinta Utomo.

Meski dalam kalimatnya pria itu meminta izin tapi kenyataannya tangan Utomo mulai berpindah menuju ke pangkuan Winarsih.

Utomo telah membayangkan hal ini sepanjang enam tahun yang mereka jalani. Utomo tak tahan berlama-lama berbicara dengan Winarsih tanpa rasa detak jantungnya yang berdebar-debar tak biasa.

Sering sahabat-sahabatnya meledek dan bertanya pada Utomo, telah melakukan apa saja bersama Winarsih.

Mereka tak tahu kalau Utomo harus menahan diri sebisa mungkin karena Winarsih adalah tipe wanita yang meski polos tetapi memiliki pendirian yang sangat kuat. Meruntuhkan pertahanan Winarsih dan keyakinannya sangatlah sulit.

Utomo baru bisa mengecup pipi Winarsih setelah mereka berpacaran selama 4 tahun.

Sebelum-sebelumnya, Utomo harus puas hanya bisa menggenggam tangan wanita itu.

“Aku mau mengecup bibir kamu, Win,” ucap Utomo yang dengan gesit langsung menarik kekasihnya mendekat.

Utomo harus buru-buru agar Winarsih tak segera berubah pikiran. Dalam pikirannya, Winarsih pasti tetap melarang dan mengatakan apa yang sedang dilakukan Utomo adalah hal yang salah.

Utomo mulai mencoba menjelajahi badan kekasihnya dengan tatapan. Pandangan Utomo yang mulai terlihat berbeda membuat Winarsih mulai risi. Utomo bersandar ke bahu Winarsih dan menyentuh wajah wanita itu untuk lebih mendekat.

Winarsih enggan melakukan hal itu. Ia beringsut karena ingin menyudahi apa yang dilakukan kekasihnya.

Namun kemudian kepala Utomo dengan cepat menunduk hendak mengecupnya di bagian dada.

Antara muak dan benci, Winarsih mengedikkan bahu. Berusaha mengusir Utomo dengan cara paling halus. Ia juga tak ingin kekasihnya itu tersinggung.

Namun Winarsih tetaplah seorang wanita yang harusnya tidak terlalu mempercayai gejolak penasaran seorang pria. Dengan sangat cepat tangan Utomo sudah berpindah ke dadanya. Menyentuh dan memijat dengan sangat cepat disertai kecupan di lehernya. Winarsih terkesiap. Terkejut dan tubuhnya kaku seketika.

Dengan mata yang setengah terbelalak, Winarsih tersadar kalau tangan Utomo semakin berani. Jari pria itu mulai menelusuri tepian kerah pakaiannya. Winarsih mendapat kekuatan mendorong tubuh Utomo menjauh. "Aku enggak mau, Mas!" seru Winarsih. Utomo belum mau bergerak. Malah kecupannya di leher semakin cepat dan buru-buru. "Aku bilang aku enggak mau, Mas!" Kali ini dorongan Winarsih lebih keras. Utomo tersentak dan menatapnya seperti orang bodoh.

“Sudah. Cukup. Aku mau pulang. Besok siang kita bertemu lagi. Malam ini kamu sudah teler," kesal Winarsih, cepat-cepat berdiri.

“Enggak, Win. Aku bakal antar kamu pulang. Pasti." Utomo ikut berdiri dan merengkuh tubuh Winarsih. Di kepalanya sudah melintas macam-macam kenikmatan yang bisa dilakukannya. Setengah mendorong, ia memaksa Winarsih kembali duduk ke pondok. Dorongan itu rupanya terlalu kuat sampai lantai bambu itu berbunyi cukup keras ketika kepala Winarsih menghantamnya.

"Aduh ... kepalaku sakit, Mas. Kamu memang sedang dirasuki setan. Aku enggak mau di sini. Aku pulang!" Kembali berusaha bangkit dan membereskan pakaiannya yang sedikit acak-acakan. "Aku pulang sekarang. Besok kalau Mas sudah kembali normal kita bisa bertemu lagi. Siang-siang bertemunya. Aku enggak mau ketemuan di sini," ujar Winarsih, meraih sepedanya yang tersandar di tiang pondok.

"Maafkan aku, Win. Aku khilaf." Utomo bergumam seraya setengah menarik lengan Winarsih. Ia masih berusaha membujuk.

"Aku juga khilaf sudah mau bertemu di tempat sepi ini. Aku pulang sekarang. Kalau Mas Utomo enggak keberatan, aku minta nomor kontak majikanku di ibukota. Biar aku aja yang menghubungi mereka. Aku enggak mau merepotkan Mas Utomo." Winarsih sudah menaiki sepedanya dan bersiap-siap pergi dari tempat itu.

"Maafkan aku, Win. Aku janji enggak akan begitu lagi sampai kita menikah dan sah jadi suami istri. Aku terlalu takut kehilangan kamu, Win. Aku selalu merasa bangga karena kamu memilih aku di antara banyaknya lelaki yang naksir kamu di kampung ini. Kamu juga setia nunggu aku. Aku cuma enggak sabar ingin memiliki kamu seutuhnya." Bujukan Utomo terdengar benar-benar tulus di telinga Winarsih.

"Aku pulang dulu, Mas ...." Winarsih mulai mengayuh sepedanya.

"Aku sendiri yang akan nganter kamu ke rumah majikanmu nanti, Win! Kamu jangan khawatir!" Utomo berteriak pada punggung Winarsih yang kian menjauh.

Winarsih mengangkat sebelah tangannya tanda bahwa dia mendengar perkataan Utomo barusan.

******

Malam itu, Winarsih tak bisa tidur memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Jijik membayangkan Utomo yang menggerayangi badannya. Ia juga merasa bersalah karena membiarkan dirinya hanyut. Secara tak langsung ia sendiri yang membiarkan Utomo jadi selancang itu. Kepalanya menggeleng-geleng tak membenarkan.

"Mas Utomo kasar," bisik Winarsih. Teringat bahwa ia tadi didorong karena tak memenuhi permintaan Utomo untuk bermesraan. "Apa selama ini Mas Utomo memang pria kasar? Sesudah enam tahun ... kenapa baru sekarang?" Tatapan Winarsih menerawang langit-langit.

******

"Apa semua pakaianmu sudah dikemas, Win?"

Bu Sumi bertanya sambil menyibak tirai pintu kamar dan melongokkan kepalanya melihat Winarsih yang sibuk berkutat mencatat sesuatu.

"Sudah, Bu. Semuanya sudah. Baju Winar, ke, enggak banyak. Lagipula di kota Winar mau kerja, bukan liburan. Winar lagi mencatat sesuatu biar Ibu nanti bisa bawa kertas ini ke mini market," tukas Winarsih, menunduk di lantai untuk mencatat di buku kecil.

"Apa itu?" tanya Bu Sumi.

"Nanti setiap di awal bulan ... tanggal enam, Ibu bisa bawa kertas ini buat ngambil uang kiriman dari Winar ke mini market di dekat pintu masuk desa. Winar akan kirim uang ke Ibu melalui jaringan mini market itu. Setiap tanggal enam ya, Bu. Jangan lupa. Tunjukkan aja kertas itu ke kasir mini market. Mereka sudah tau apa maksud tulisan di sana." Winarsih merobek selembar kertas dari buku catatannya.

Bu Sumi tak bisa membaca. Wanita itu hanya menatap tulisan demi tulisan di atas kertas yang sedang dipegangnya dengan pandangan kosong.

“Pokoknya Ibu tenang aja. Winar akan nabung sebanyak-banyaknya buat biaya terapi dan pengobatan jantung Yanto. Kalau Winar sudah mapan di kota, Ibu enggak usah kerja jadi buruh tani lagi. Ibu sudah tua. Winar mau ibu di rumah aja ngerawat Yanto. Kemarin Winar dapet kabar dari Mas Utomo kalau para pegawai di rumah majikan Winar nanti mnerima gaji tanggal tiga setiap bulan. Majikan Winar orang hebat di ibukota. Jadi ... Ibu enggak usah khawatir. Seenggaknya, Winar enggak akan kelaparan di sana.” Winarsih terus berbicara sambil melipat beberapa pakaian dalam dan memasukkannya ke dalam sebuah tas jinjing yang terbuat dari kain perca batik.

Bu Sumi diam memandang putrinya. Wanita itu tak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan winarsih sebelum kepergiannya ke kota besok. Jika boleh jujur, hatinya berat sekali melepas putri sulung semata wayangnya.

"Ibu enggak apa-apa kalau setiap hari harus makan nasi putih dan lalapan sayur seperti selama ini. Hidup serba kekurangan asal bersama Winar dan Yanto ... Ibu enggak apa-apa, Win. Tapi Ibu juga kasihan sama kamu. Ibu enggak sanggup memberikan sesuatu yang harusnya diberikan orang tua buat anak gadisnya. Apalagi anak gadis Ibu sangat manis." Air mata Bu Sumi sudah meleleh.

"Bu ... jangan nangis." Winarsih berdiri mengudao air mata ibunya.

"Buat Ibu ... hidup serba kekurangan bersama kalian masih bisa bahagia ketimbang hidup cukup tapi harus berjauhan." Suara Bu Sumi tercekat. "Tapi keinginanmu terlalu kuat, Win. Keras kepalamu itu ...."

"Ibu tahu kalau Winar sanggup melewati berbagai kesulitan dengan seluruh keyakinan yang Winar punya, kan? Winar enggak pernah minder dengan ejekan-ejekan yang sering dilontarkan orang buat Winar dan Yanto. Bagi Winar ... kebahagiaan Ibu dan Yanto adalah yang paling utama. Ibu jangan nangis lagi."

Winarsih tak pernah melawan atau menjawab apapun perkataan orang padanya. Terutama perkataan soal Yanto yang down syndrome. Winarsih hanya diam dan menjauhkan adiknya itu dari mulut-mulut jahil orang yang kadang menghina keadaannya. Buat Yanto, Winarsih adalah pahlawan baginya. Dan bagi Bu Sumi memiliki seorang putri seperti Winarsih adalah anugerah.

“Win,” panggil Bu Sumi.

“Ya, Bu ...." Winarsih mendongak menatap ibunya.

“Sudah siap untuk berangkat besok?”

“Sudah, Bu.”

“Ingat-ingat pesan Ibu ya, Win. Harus selalu yakin dengan dirimu sendiri. Di mana pun berada tetaplah jadi orang jujur.”

Winarsih tersenyum. "Winar akan selalu ingat pesan Ibu."

“Ibu mungkin enggak pernah ngomong ke kamu dan Yanto. Tapi sebelum kamu berangkat, Ibu mau ngomong sesuatu." Bu Sumi merasa tenggorokannya tercekat. "Ibu sayang Winar dan Yanto. Ibu dan Ayah mohon maaf pada kalian kalau sampai detik ini ... kami belum bisa memberikan kehidupan layak seperti yang dimiliki anak-anak lain dari orang tuanya. Kamu harus putus sekolah dan kerja di bawah matahari. Kamu gadis cantik dan ceria tapi Ibu bahkan enggak sanggup membelikan kamu pakaian bagus meski cuma sepasang. Ibu mohon maaf sama Winarsih.” Bu Sumi menangis sesegukan.

Winarsih berdiri dan meraup tubuh kurus ibunya ke dalam pelukan. Memeluk tubuh itu erat-erat. Tubuh yang terasa begitu kurus dan rapuh meringkuk dalam pelukannya.

Tanpa ia sadari bobot ibunya telah jauh menyusut sejak wanita itu kembali bekerja di sawah. Apa yang akan dikatakan ayahnya jika melihat bahwa ia tak becus merawat sang ibu?

Winarsih menggigit bibir menahan tangis. Dadanya terasa sesak. Air matanya tak bisa dicegah keluar. Tanpa memandang ibunya, Winarsih menangis diam-diam.

“Kalau suatu hari nanti kamu lelah kerja di kota, pulang kapan saja kamu mau. Jangan takut atau malu karena dinilai enggak berhasil oleh orang-orang di kampung ini. Ibu masih sanggup menanggung hidup anak-anak Ibu.” Bu Sumi bicara di sela-sela isak tangisnya.

Winarsih mengangguk-angguk dan membenamkan kepalanya di bahu sang ibu. Anak dan ibu itu menangis bersama.

Yanto yang tak menyadari apa yang sedang terjadi hanya duduk diam membersihkan kulit kayu manis di depan sebuah televisi rusak ditemani sebuah obat nyamuk bakar yang menyala di dekatnya.

To be continued

3. Perjalanan

Winarsih berada di bus bersama utomo yang duduk di sebelah kanannya. Sesaat lagi mereka akan tiba di terminal. Sepanjang perjalanan itu mereka tak banyak bicara. Utomo hanya sesekali menunjukkan suatu tempat yang mereka lewati dan menjelaskan tentang tempat itu sedikit.

Utomo yang lumayan sering ke ibukota mengurus usaha orangtuanya, tampak begitu bangga ketika menjelaskan tempat-tempat yang pernah ia kunjungi.

Sedangkan Winarsih yang baru sekali bepergian jauh meninggalkan rumah, mendengarkan uraian Utomo dengan cermat. Sorot matanya yang cerdas begitu antusias meski terlihat lelah.

Ketika bus melewati jajaran perkebunan sawit dan tanaman karet, keduanya kembali membisu.

Pikiran Winarsih kembali mengingat saat berpamitan dengan ibunya dan Yanto kemarin sore. Bahkan setelah menghabiskan satu malam di dalam bus, tak membuat Winarsih melupakan wajah sendu sang ibu yang menatap kepergiannya yang menumpangi ojek dengan memeluk tas jinjing perca.

Kini Winarsih menatap ke luar jendela dengan terkantuk-kantuk dan pikiran melayang ke rumah. Sudah makankah Yanto? Apa yang dimasak Ibu untuk adiknya hari ini?

Utomo memandang bagian belakang kepala Winarsih yang memunggunginya. Sejujurnya, saat ini Utomo masih merasa canggung dan malu mengingat apa yang telah ia lakukan di pondok bekas pos ronda kemarin malam.

Dia benar-benar tak bermaksud buruk pada kekasihnya. Ia cinta Winarsih dan menginginkan wanita itu menjadi istrinya kelak. Hanya saja ia sering tak bisa menahan diri jika berduaan dengan kekasihnya itu belakangan ini.

Winarsih menyadari apa yang membuat Utomo begitu kaku dan gelisah sepanjang perjalanan mereka. Pasti karena kejadian kemarin malam. Winarsih cemberut. Sumpah ia tidak mau mengingatnya lagi.

Dalam hati, dia telah memaafkan Utomo dan dirinya sendiri. Tak mau berlarut-larut merasa tak enakan dengan Utomo. Bagaimanapun juga, dia masih mencintai kekasihnya itu seperti sebelumnya. Meski sekarang Winarsih sedikit merasa was-was jika berduaan terlalu lama dengan Utomo.

Perjalanan dari desa mereka menuju ibukota menghabiskan waktu hampir 18 jam dengan perjalanan darat yang berganti dua kali. Harusnya dalam perjalanan panjang itu, Winarsih bisa bermanja-manja dengan Utomo mengingat kini mereka bebas berpacaran setelah keluar dari desa.

Di ibukota, tak akan ada yang mengenali ataupun melarang mereka kontak fisik terang-terangan seperti bergandengan tangan, berpelukan atau bahkan berciuman.

Tapi karena sikap canggung Utomo, Winarsih jadi ikut-ikutan canggung dan risi. Bahkan saat tidur di bus kemarin malam, Winarsih menggerak-gerakkan kepalanya mencari sandaran tidur dengan gelisah. Ia tidur bersandar ke dinding bus hingga pagi sampai lehernya terasa pegal karena terlalu lama berada di posisi yang sama selama berjam-jam.

“Kita sudah sampai, Win.” Utomo menggamit lengan Winarsih agar berdiri. Ia lalu berjalan menyusuri deretan kursi bus yang sudah nyaris kosong sambil membantu membawakan tas kain perca kekasihnya.

Penumpang bus turun satu-persatu melalui pintu depan dan belakang. Winarsih yang dari rumah tadi mengenakan rok berwarna hitam dan kaos lengan panjang berwarna merah tampak celingak-celinguk memperhatikan tiap sudut terminal yang ramai.

Baru kali itu Winarsih menginjak salah satu terminal di ibukota. Biasanya saat membawa ayahnya berobat, Winarsih hanya mampir di sebuah perhentian bus kecil di kabupaten.

Utomo memegangi lengan Winarsih sepanjang berjalan keluar terminal. Langkahnya melambat ke tempat beberapa taksi yang parkir menunggu penumpang.

“Ke alamat sini bisa, Pak?” Utomo mengulurkan sebuah kertas kepada salah seorang supir taksi yang pertama kali mereka temui di luar pintu terminal.

Beberapa saat membaca tulisan pada kertas yang disodorkan Utomo, supir taksi tadi mengangguk.

“Ini enggak jauh. Bawaannya mana? Biar saya taruh di belakang," kata supir taksi.

“Bawaannya cuma sedikit, Pak. Masih bisa dipangku. Nggak apa-apa," jawab Utomo yang kemudian membukakan pintu belakang taksi agar Winarsih bisa segera masuk.

Taksi berjalan membelah kepadatan ibukota yang saat itu telah lewat tengah hari. Perut mereka berdua sebenarnya sangat lapar, tapi rasa canggung dalam diri mereka kini telah bertukar menjadi rasa tegang yang mengalahkan kebutuhan lambung.

Winarsih merasa tegang dan antusias sekaligus dalam perjalanan menuju rumah majikannya. Hatinya terus bertanya-tanya orang-orang seperti apa yang bakal menjadi majikannya kelak. Bagaimana jika dirinya nanti tidak mendapat perlakuan baik di sana. Atau bagaimana kalau ia merindukan keluarganya? Semua pikiran itu datang saat dirinya nyaris tiba.

Seperti mengetahui kekhawatiran hatinya, Utomo meraih tangan kiri Winarsih dan menggenggamnya.

“Kantorku nanti di Jakarta Pusat. Enggak jauh dari tempat kamu bekerja. Mess yang disediakan kantor buat kami juga nggak jauh dari rumah itu. Di rumah majikanmu ini banyak telepon yang bisa dipakai. Kamu bisa menghubungi ponselku kalau ada keperluan apa pun. Aku juga sudah menyimpan nomor telepon khusus ruangan belakang yang biasa digunakan para pegawai di rumah itu. Kamu nggak perlu khawatir. Jaga diri kamu ya, Win. Ingat semua hal yang aku bilang malam itu. Aku bakal nunggu."

Utomo semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Winarsih. Winarsih menoleh ke arah Utomo dan bibirnya menarik senyuman hangat.

Tak berapa lama kemudian taksi yang mereka tumpangi masuk ke perumahan yang ukurannya besar-besar. Semua rumah yang berjajar di kanan-kiri jalan nyaris berukuran sama besar dengan tampilan sama mewahnya.

Seumur hidup baru kali itu Winarsih melihat rumah yang benar-benar mirip seperti istana di film-film yang ia tonton. Tak ada satu pun pedagang kaki lima yang ia lihat melintas di jalanan. Sepanjang jalan yang mereka lalui sangat bersih dan rindang.

Taksi berhenti di sebuah rumah putih besar bergaya klasik yang memiliki delapan tiang tinggi di terasnya. Pagar rumah itu tingginya hampir tiga kali pria dewasa. Dengan warna hitam kombinasi emas dan model besi meliuk-liuk yang amat rumit. Bagian teras depan rumah itu tak tampak dari jalan karena tertutupi pagar tembok yang sama tingginya. Depan pagar tembok ditumbuhi beberapa pohon palem yang letaknya bersisian dengan trotoar jalan raya.

Utomo masih membantu Winarsih menjinjing tas kain batik perca. Setelah membayar ongkos taksi, Utomo menggandeng Winarsih mendekati sisi pintu pagar yang bersebelahan dengan pos satpam.

“Pak! Permisi ...." Utomo memanggil salah seorang satpam yang baru keluar dari pos di sisi kanan pagar.

“Ya ...? Ada yang bisa dibantu?” tanya satpam dengan menjengukkan kepala sedikit menoleh ke arah Utomo dan Winarsih.

“Saya Utomo dari Desa Beringin; temannya Jaka dari Grup Cahaya Mas yang sudah punya janji dengan pemilik rumah ini. Bu Amalia. Saya yang membawakan calon asisten rumah tangga bagian dapur," jelas Utomo pada satpam yang sepertinya masih enggan menggeser pagar.

Mendengar penjelasan Utomo, satpam itu mengangguk dan berkata, “Sebentar saya telepon ke dalam dulu.”

Tak lama kemudian satpam tadi kembali keluar dari pos dan menghampiri pagar. Kali ini satpam itu bersedia menggeser pagar besinya yang tampak begitu berat. Urat-urat di tangan satpam itu seketika menonjol keluar saat mendorong mundur pagar besi.

Winarsih melihat pagar yang terbuka sudah lebih dari cukup untuk ia lewati bersama Utomo. Tapi satpam itu membukanya terlalu lebar.

“Maaf, Mas, Mbak, bisa minggir sedikit? Mobil Pak Dean sebentar lagi lewat,” ujar satpam yang bernama Rojak. Winarsih melirik bordiran nama yang menempel di seragam satpam itu.

Ternyata pemilik rumah itu yang akan lewat, pantas saja pagar itu langsung terbuka lebar, pikir Winarsih.

“Pemilik rumah ini?” tanya Utomo spontan.

“Pak Dean, anaknya Bu Amalia dan Pak Hartono. Yang punya rumah ini, ya Pak Hartono. Ya tapi secara tidak langsung, rumah ini milik Pak Dean juga, sih.” Rojak meringis ke arah Utomo yang terus melongok ke arah jalan seolah turut menanti kedatangan anak pemilik rumah tersebut.

Winarsih terus meringis sambil menyipitkan mata karena silau. Cahaya matahari pukul dua siang tengah menaungi mereka semua. Tubuhnya terasa gerah dan lengket. Perutnya mengeluarkan suara kriuk-kriuk tanda kelaparan.

Saat Winarsih sedang menunduk menatap flat shoes murahan yang membungkus kakinya, sebuah SUV putih bertuliskan RANGE ROVER memasuki gerbang. Rojak mengangguk ke arah mobil dari sisi seberang di mana Winarsih dan Utomo berdiri.

Dengan cekatan, Utomo menarik lengan Winarsih agar sedikit merapat ke pagar dan memberi ruang terhadap mobil yang akan masuk.

Saat Utomo menarik lengannya, Winarsih menegakkan kepala melihat ke arah mobil. Dirinya penasaran ingin mengetahui bagaimana rupa bentuk salah satu calon majikannya.

Sejenak matanya tertuju pada sosok pria penumpang di kursi bagian belakang. Pria itu sempat beradu pandang melalui kaca dengannya selama beberapa detik. Kemudian pria itu kembali menunduk menghadap satu benda persegi yang memantulkan cahaya ke wajah tampan pria itu.

Winarsih terhenyak. Bagaimana mungkin ketampanan, kemewahan dan keangkuhan yang seolah membalut pria itu menjadi satu, bisa menghadirkan paduan yang begitu sempurna. Meski hanya melihat sekilas, Winarsih sudah bisa membayangkan seberapa menyebalkan anak majikannya itu.

Winarsih terpukau dengan pemandangan yang baru saja ia lihat. Selama ini dia selalu melihat Utomo sebagai pria paling tampan yang ia temui. Tapi hari ini keyakinan Winarsih selama ini terpatahkan.

Utomo yang berdiri di sebelah Winarsih menghela napas panjang saat RANGE ROVER putih itu berlalu dari hadapan mereka dan berhenti tepat di depan teras.

“Bagus sekali, ya,” gumam Utomo.

“Apanya, Mas?” tanya Rojak.

“Mobilnya, Pak.” Utomo tersenyum malu karena menyadari telah menyuarakan pujiannya begitu jelas. Winarsih ikut tersipu saat Utomo mengatakan hal yang menurutnya tidak perlu dikatakan saat itu.

Ternyata Utomo ini termasuk pria yang isi kepala dan kata-katanya selalu sama, pikir Winarsih.

“Ayo, Mas, Mbak ... itu Bu Amalia baru pulang bersama Pak Dean. Mari ikut saya.” Rojak berjalan di depan mendahului Winarsih dan Utomo.

Setelah menurunkan majikannya, RANGE ROVER putih tadi pergi berlalu menuju ke sisi kiri rumah.

“Maaf, Bu ... ini ada yang cari Ibu. Katanya rekan Pak Jaka dari Desa Beringin yang mau mengantar asisten rumah tangga bagian dapur.” Rojak sedikit bergeser ke samping letak agar majikan perempuannya bisa melihat calon asisten rumah tangga bagian dapur yang sedang berdiri tegak tersenyum manis. .

“Kamu calon pegawainya? Bisa masak? Umur berapa kamu?” tanya Bu Amalia.

Dean masih berdiri di teras rumah bersama ibunya. Sejak tadi pandangannya tak beralih dari sebuah tablet yang terus-menerus ia gulir dan ia pencet.

“Dua puluh satu tahun, Bu,” jawab Winarsih masih dengan senyum termanisnya. Kedua lesung pipinya di kanan-kiri menjadi nilai tambah siang itu mengingat penampilannya sudah sangat acak-acakan.

“Ini suami kamu?” selidik Bu Amalia sembari melihat ke arah Utomo.

“Bukan, Bu. Kami masih berpacaran dan berasal dari desa yang sama,” jawab Winarsih polos.

Saat Winarsih mengatakan ‘kami masih berpacaran' pandangan menyelidik Dean berpindah dari Winarsih ke Utomo. Lalu kembali menatap sepasang kekasih di depannya bergantian.

“Dua puluh satu tahun dan belum menikah. Sebenarnya kamu terlalu cantik untuk jadi pembantu. Saya, kok, jadi kurang sreg. Tapi ya sudahlah. Susah sekali cari orang kerja yang cocok zaman sekarang. Kamu ngapain masih di sebelah Mama?” Bu Amalia yang tadinya berbicara kepada Winarsih dan Utomo kini menyadari kehadiran Dean yang belum beranjak dari sisinya.

“Ya udah, Jak ... kamu bawa aja si....siapa nama kamu?” tanya Bu Amalia pada Winarsih.

“Winarsih, Bu.”

“Iya. Ya sudah kamu ikut Rojak ke kamar yang di bawah, ya. Yang di sayap kiri, Jak. Terus bawa ke dapur buat diperkenalkan ke Mbah.”

Bu Amalia mengibas tangan kemudian pergi menggandeng lengan putra bungsunya itu.

Sesaat sebelum Dean berjalan di sebelah ibunya, pria dua puluh sembilan tahun itu sempat menoleh dan melihat tajam ke arah Winarsih.

Utomo ternyata menangkap basah pandangan Dean barusan dan saat itu juga wajahnya langsung berubah masam.

“Belum apa-apa ... anak majikan kamu sudah begitu mandangin kamu, Win,” sungut Utomo.

“Begitu bagaimana? Kan, wajar, Mas. Aku bakal bekerja di rumahnya. Masa Pak Dean tadi enggak boleh melihat aku bicara dengan ibunya?" Winarsih menghela napas kasar. Sedikit jengkel dengan Utomo yang kekanakan. “Kalau kamu begitu terus ... kamu bisa stres, Mas. Aku juga lama-lama bakal capek,” sambung Winarsih.

“Sudah berantemnya? Kalau sudah ... mari saya antar ke kamarnya Mbak Winarsih. Untuk kali ini Mas-nya boleh mengantarkan sampai ke kamar; dengan pengawalan saya tentunya. Tapi lain kali kalau ingin bertamu, silakan hubungi saya di pos atau telepon ke nomor khusus asisten di ruangan belakang. Nanti bakal bertemu dengan si Mbah," terang Rojak ramah kepada Winarsih dan Utomo yang hanya mendengar dan mengangguk-angguk.

“Soal Pak Dean ... Tidak usah sering-sering dibahas. Pak Dean itu punya pacar. Cantik sekali. Khas kota.” Rojak menekankan kata ‘khas Kota’ demi meyakinkan Utomo yang baru saja mencemburui pacarnya. Pria Desa Beringin itu hanya tersenyum-senyum.

Tak sampai lima menit berjalan, tibalah mereka di sebuah kamar yang letaknya sangat terpencil di sayap kiri rumah. Meski terlihat sangat kecil, Winarsih bahagia karena kamar itu bakal ditempatinya seorang diri. Akhirnya, meski harus menjadi seorang pembantu rumah tangga, Winarsih bisa memiliki kamarnya sendiri.

Winarsih sangat berharap, kamar itu akan menjadi rumah keduanya setelah sepetak kamar lusuh di Desa Beringin.

To be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!