NovelToon NovelToon

Senja Untuk Arjuna

Prolog

Prolog

“Baby-nya bobo?” tanya anak lelaki berumur 7 tahun itu sambil menatap ke dalam box bayi berisi bayi perempuan yang sedang tertidur.

“Iya, baby-nya cantikkan?” tanya perempuan yang berdiri di depan box satunya lagi dimana tertidur dua bayi laki-laki yang salah satunya adalah kembaran si bayi perempuan.

“Iya, cantik kaya Bunda.”

“Hahaha.”

Kedua perempuan itu tertawa mendengar ucapannya.

“Cantikan mana Mamah sama Bunda?” tanya salah satu dari mereka membuatnya menatap mereka bergantian sebelum kembali menatap box bayi.

“Cantikan, Baby.”

“Hahaha.”

Mereka kembali tertawa mendengarnya, perempuan yang tadi bertanya membungkukkan badan sambil menatap putranya.

“Kalau Mas Juna sudah besar nanti, Mas Juna harus jaga Baby seperti Ayah menjaga Mamah dulu, ok!”

Anak lelaki yang dipanggil Mas Juna itu kini menatap ibunya sambil tersenyum dia berkata, “Siap, Jendral!” membuat kedua perempuan itu tertawa.

*****

“Senja, bukan bayi!” rengek anak perempuan berumur 4 tahun yang bernama Senja membuat semua orang tersenyum.

“Senja sudah besar, bukan bayi lagi.”

“Kalau sudah besar kenapa masih minum susu pakai dot?” tanya Juna yang sekarang sudah duduk di kelas 7, sedangkan si bayi perempuan yang dulu di panggil Baby baru saja masuk TK.

“Ini bukan dot, ini gelas ya, Mah?” tanya Senja sambil menatap perempuan yang sudah ia anggap seperti ibunya itu.

“Iya, Mas Juna tidak tahu kalau ini gelas hanya tutupnya saja pakai dot,” ucap perempuan yang sebenarnya adalah Ibu Juna membuat Senja tersenyum lebar penuh kemenangan menatap Juna sambil berkata,

“Mas Juna, gak gaul.”

Semua orang tertawa mendengar gadis kecil yang cantik dengan rambut hitam panjang itu.

“Bayiiii….” goda Juna sambil mengacak-acak rambut Senja hingga ia menjerit protes.

Di sisi lain terlihat dua orang anak lelaki seumuran Senja sedang membuat ruang keluarga itu menjadi berantakan seperti baru saja terkena angin topan, membuat ibu-ibu mereka membuang napas berat membayangkan bagaimana harus membereskannya nanti.

*****

Juna kini telah duduk di kelas 10 dan tumbuh menjadi lelaki yang dikaruniai wajah tampan dan tubuh tinggi seperti Papahnya serta kulit putih milik ibunya, membuat dia menjadi idola di antara kaum perempuan, sedangkan Senja dan dua anak lelaki seumurannya kini tengah duduk di kelas 3 SD.

“Dasar bayi, masa naik sepeda saja tidak bisa.”

“Bisa!” seru Senja sambil beberapa kali berusaha menyeimbangkan sepeda pink miliknya.

“Itu gak bisa.”

“Karena Mas Juna berisik! Kalau naik sepeda itu perlu konsentrasi,” ucapnya dengan wajah serius menatap depan membuat Juna tertawa sambil berkata,

“Dasar bayi.”

Sedangkan di sisi lapangan lainnya dua anak lelaki sedang tertawa bermain bola, beberapa saat Senja terlihat membulatkan tekadnya dia menatap Juna yang berdiri di belakangnya sambil memegang jok sepedanya.

“Pegangin jangan dilepas dulu, ok!”

“Iya, ayo buruan pegel nih!”

Senja beberapa kali mengambil napas sebelum akhirnya mulai melaju. Awalnya jalannya terlihat oleng tapi kemudian mulai bisa lurus membuatnya berteriak senang.

“Mas, lepasin sekarang!”

Juna-pun menurut dengan melepas pegangannya.

“Aaah, lihat! Lihat! Aku bisa!” teriaknya membuat dua orang anak lelaki menghentikan permainan mereka.

“Ayo, Senja! Kebut-kebut!” teriak Samudera, kembarannya Senja.

“Kurang kenceng!” kali ini Satria yang berteriak.

Satria adalah adiknya Juna yang kelahirannya hanya beda beberapa jam dari si kembar membuat mereka terlihat seperti kembar tiga.

“Jangan kenceng-kenceng!” seru Juna tapi tak dihiraukan Senja yang tengah tertawa sambil terus mengayuh sepedanya sampai akhirnya dia mulai berteriak.

“Aaa….h!!!”

“Ooo…. REM!” teriak mereka bertiga ketika melihat Senja terus melaju menuju tembok pembatas.

“Belok-belok!” kali ini mereka bertiga menyuruh Senja untuk berbelok, tapi tangan Senja seolah kaku tak tahu bagaimana caranya berbelok.

“Aaahhh…!!!” Senja juga seolah lupa dimana posisi rem membuatnya hanya berteriak dengan mata membulat menatap tembok yang semakin mendekat.

Bruug!!!

Semua orang terdiam mematung yang terdengar hanya suara desing ban sepeda yang berputar cepat.

“Huaaaa….!!!”

Teriakan tangis Senja membuat ketiganya tersadar dan langsung berlari ke arahnya.

“Senjaa!” teriak Juna sambil berlari.

“Sepedaa!” teriak Samudera dan Satria sambil ikut berlari di belakang Juna.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Juna ketika sampai di depan Senja yang menangis meraung.

“Sepedanya!” Seru Samudera dan Satria sambil sambil berjongkok di depan sepeda.

“Sepedanya gak apa-apa?” tanya Samudera yang kini berdua dengan Satria sibuk memeriksa keadaan sepeda melupakan Senja yang tangisnya semakin menjadi membuat Juna menjitak kedua anak lelaki itu.

Beberapa menit kemudian Senja sudah diam sambil menjelit es krim di atas punggung Juna yang menggendongnya sedangkan di belakang mereka, Samudera dan Satria terlihat cemberut sambil menuntun sepeda Senja.

Sesekali Senja akan menoleh ke belakang sambil menjulurkan lidah dan kembali menjilat es krimnya membuat kedua anak lelaki itu mendelik kepadanya, tapi itu malah membuat gadis kecil itu tersenyum penuh kemenangan.

****

Juna kini sudah berumur 17 tahun sedangkan trio S (Samudera, Senja, Satria) kini berumur 10 tahun. Pagi itu rumah keluarga Juna disibukan dengan persiapan pesta ulang tahun Juna, bukan pesta besar-besaran Juna hanya akan mengundang beberapa temannya untuk makan di rumahnya.

Bukan hanya Juna dan teman-temannya saja yang terlihat gembira hari itu tapi juga trio S karena banyak makanan enak. Rumah mereka yang bersebelahan membuat mereka bisa saling mengunjungi kapanpun mereka mau, terlebih lagi si kembar seperti sudah menjadi bagian dari keluarga Juna, begitu pula sebaliknya Juna dan Satria juga sudah seperti putra dari Bunda dan Ayahnya si kembar.

“Ja, semangkanya yang banyak,” ucap Samudera membuat Senja mengangguk sambil kembali mengambil potongan semangka ke atas nampan Samudera yang berisi piring-piring potongan buah yang menumpuk.

“Cheese cakenya!” kali ini Senja mengambil cheese cake dan menaruhnya di atas nampan yang dipegang Satria.

“Kue coklatnya lagi, Ja,” ucap Satria membuat Senja kembali mengambil kue coklat dan menaruhnya di atas nampan berisi setumpuk kue-kue mini yang menggungah selera.

Mereka bertiga menatap kedua nampan yang penuh oleh makanan dengan mata berbinar dan senyum lebar.

“Ayo!” Seru Satria sambil berjalan diikuti si kembar.

“Ja, minumnya!”

“Oh, iya!”

Senja berbalik kembali untuk mengambil minum dan dengan cepat menyusul kedua anak lelaki yang kini hanya berdiri mematung menatap ke arah kolam ikan koi.

“Ada apa?” tanya Senja penasaran sambil berdiri di samping Satria dan menatap ke arah dimana terlihat Juna sedang mencium seorang gadis membuat mata ketiganya membulat dengan mulut menganga beberapa saat sebelum akhirnya senja berteriak.

“Bunda! Mamah!”

Teriakan Senja itu mengejutkan Juna yang langsung menghentikan aktivitas dengan mata membulat menatap ketiga anak yang menatapnya dengan mata seolah-olah mau keluar.

“Bunda! Ma…”

Secepat kilat Juna membungkam mulut Senja dengan tangannya.

“Jangan beritahu mereka,” pinta Juna dengan tangan membekap mulut Senja dan mata menatap kedua anak lelaki yang masih menatapnya tak percaya, “Es krim! Aku akan membelikan kalian es krim!”

Mendengar itu Senja tak lagi berontak, mereka kini saling tatap dan akhirnya senyum mengembang dari wajah ketiganya termasuk Senja yang mulutnya masih dibekap Juna.

“Lepasin,” ucap Senja dengan suara teredam tapi dapat dimengerti Juna hingga diapun melepaskan bekapannya.

Mereka bertiga kini menatap Juna dengan senyum yang membuat Juna bergidik.

Satria : “Baiklah.”

Senja : “Es Krim”

Samudera : “Selama.”

Trio S : “Sebulan!”

Juna : ….. (mulut menganga) Seminggu.”

Satria : “Dua minggu.”

Juna :…. (menatap mereka mencoba mengiintimidasi).

Senja : “Maaa…”

“Iya, dua minggu!” seru Juna membuat ketiganya kini memperlihatkan senyum kemenangan sebelum berbalik dan berjalan menuju gazebo yang berada di dekat kolam ikan koi dengan nampan makanan mereka.

“Dasar, tiga bandit cilik,” umpat Juna sambil masuk ke dalam untuk bergabung bersama teman-temannya, dia berhenti sesaat ketika mendengar suara tawa dari arah gazebo yang membuatnya membuang napas kesal.

*****

Prolog 2

“Mas Juna, mau kemana?”

Senja berdiri di depan motor Juna yang telah siap duduk di atasnya lengkap dengan helm.

“Mau ke rumah teman.”

“Ckk... pasti mau pacaran.”

“Bayi gak boleh tahu, minggir sana sudah telat nih.”

“Ikut.”

“Gak boleh.”

“Ikut… Senja pengen naik motor, keliling-keliling saja.”

“Nanti saja sama Mang Udin, sekarang Mas Juna sudah ada janji sama teman.”

Wajah Senja langsung ditekuk dengan bibir cemberut membuat Juna menghela napas.

“Cuma keliling-keliling saja ya, terus pulang lagi.”

“Asiiik!”

Senja bersorak sambil naik ke atas motor Juna yang membawanya berkeliling sekitaran Sukajadi diakhiri dengan membeli es krim sebagai sogokan supaya Senja mau turun dari motor agar dia bisa pergi.

Di antara Samudera, Senja, Satria kedua orangtua mereka tak pernah membedakan kasih sayang, kalau orangtuanya membelikan Satria sesuatu maka si kembar-pun akan mendapat jatah yang sama, begitu juga sebaliknya.

Jadi bagi Juna si kembar sudah seperti adiknya sama seperti Satria, tapi diakui atau tidak Senja memang mendapat perlakukan sedikit berbeda dari semuanya mungkin karena hanya dia anak perempuan satu-satunya yang berada di dua keluarga itu, dimana kedua orangtua mereka dulunya adalah sahabat dekat.

Sampai akhirnya suatu hari, ketika itu Juna duduk di kelas 12 sedangkan yang lainnya kelas 5 SD. Untuk pertama kalinya Juna dipanggil kedua orangtuanya dan mereka berbicara cukup serius di ruang kerja Bapaknya.

“Mungkin kamu tahu, dulu Bunda dan Ayah sedikit sulit untuk mendapatkan si kembar.”

Juna mengangguk, dia ingat dulu Bunda hamil si kembar ketika usia pernikahan sudah menginjak usia 5 tahun.

“Sebelum Bunda hamil, Papah, Mamah, Bunda, dan Ayah sempat berbicara kalau misalnya Bunda memiliki anak perempuan…”

Pria yang terlihat gagah itu menatap istrinya yang juga menatapnya kemudian mengangguk agar suaminya melanjutkan ucapannya.

“Kami akan menjodohkannya denganmu.”

Seketika Juna terbelalak menatap kedua orangtuanya tak percaya, dia terdiam beberapa saat mencoba mencerna ucapan orangtuanya.

“Maksud Papah, Juna dan…” dia bahkan tak bisa melanjutkan ucapannya karena terkejut.

“Iya, kamu dan Senja telah kami jodohkan bahkan ketika Senja masih belum ada di dalam kandungan.”

Juna tak tahu lagi harus berkata apa, dia harap kalau ini hanya mimpi atau april mop, tapi dia ingat kalau sekarang bulan februari bukan april jadi itu tidak mungkin kecuali sekarang sudah ganti nama menjadi februari mop.

“Papah sama Mamah bercandakan?” akhirnya dia bisa bersuara ketika sembuh dari keterkejutan, “Bagaimana bisa Juna dijodohkan dengan Senja!”

“Mamah tahu, sayang, kamu pasti terkejut.”

“Dan Mamah berharap Juna tidak akan terkejut?” Juna menatap Ibunya yang menatapnya dengan rasa bersalah.

“Kami minta maaf kalau membuatmu kecewa.”

“Iya! Juna kecewa sama Papah dan Mamah juga Bunda dan Ayah… Juna pikir Papah dan Mamah akan membiarkan Juna menikah dengan perempuan yang Juna cintai seperti Papah mencintai Mamah, atau Ayah mencintai Bunda dimana cerita cinta kalian seolah telah mengalahkan segala cerita cinta klasik yang Juna baca selama ini, tapi ternyata…”

Juna menggelengkan kepala, wajahnya merah padam menahan amarah dan juga kekecewan yang teramat sangat.

“Dan yang kita bicarakan disini adalah Senja! Senja, Pah! Senja yang selama ini Juna anggap adik sendiri, Senja yang dari kecil sering Juna gendong melebihi Satria, Senja yang Juna sayangi layaknya adik perempuan satu-satunya,” Juna membuang napas berat dengan mata menatap kedua orangtuanya, “Dan sekarang Papah dan Mamah mau menjodohkan Juna dengannya?”

Mereka terdiam tak tahu harus berkata apa, sampai akhirnya Juna keluar dari ruangan itu dengan wajah marahnya.

“Juna… Juna!” Ibunya menghentikan langkah Juna, “Maafkan kami, sayang,” ucapnya sambil menatap Juna dengan sorot mata penuh penyesalan, “Mamah sama Papah akan membicarakan ini lagi dengan Bunda dan Ayah, dan Mamah rasa mereka akan sangat memahami kalau perjodohan ini dibatalkan.”

Juna terdiam beberapa saat menatap ibunya.

“Kalau Mamah mau, seharusnya Mamah sama Papah membicarakan ini sebelum memberitahu Juna seperti ini, Mah… Mamah harusnya tahu bagaimana Juna selama ini telah menyayangi Senja seperti adik kandung Juna sendiri, tapi sekarang Mamah…”

Juna tak bisa melanjutkan perkataannya.

“Mamah paham, sayang, maafkan Mamah… Mamah janji akan membicarakan ini dengan Bunda, kamu tidak perlu khawatir.”

Juna terdiam beberapa saat menatap ibunya kemudian mengangguk.

“Semua sudah terlambat, Mah, Juna rasa mulai sekarang Juna tak bisa melihat Senja seperti adik kecil lagi.”

“Juna…”

“Biarkan Juna sendiri dulu, Mah, Juna perlu menenangkan pikiran Juna.”

Ibunya mengangguk mengerti.

“Hati-hati, jangan melakukan hal yang aneh-aneh.”

Untuk terakhir kalinya Juna mengangguk lalu pergi meninggalkan ibunya menuju garasi dimana motornya terparkir, dia baru saja keluar dari gerbang hendak berbelok menuju jalan raya ketika Senja mencegatnya sambil merentangkan kedua tangan.

“Mas Juna mau kemana?” tanyanya dengan senyum lebar, tapi Juna hanya terdiam menatapnya.

“Minggir,” ujarnya ketus membuat Senja cemberut.

“Senja ikut, keliling-keliling saja ya?” Senja berusaha merayunya tapi kali ini Juna hanya menatapnya dingin.

“Minggir!” seru Juna dengan suara keras membuat Senja tersentak kaget karena ini untuk pertama kalinya dia melihat Juna seperti itu, dan biasanya sesibuk apapun Juna dia tetap akan mengajak Senja untuk berkeliling.

“Senja ikut.”

Senja kembali merengek dan entah kenapa melihat itu membuat amarah Juna kembali menyeruak membuatnya menggas motornya hingga suara mesinnya meraung dan itu membuat gadis kecil itu menyingkir ketakutan.

Melihat Senja kini tak menghalangi jalannya dia pun mulai melaju, tapi dia masih bisa mendengar suara gadis kecil itu memanggil namanya.

“Mas Juna, nakal!!!”

Juna terus melaju tak menghiraukan teriakan Senja sampai akhirnya dari arah belakang dia bisa mendengar suara decitan ban diikuti suara debuman keras, membuatnya merem motornya dengan jantung yang mulai berdetak menggila.

Dia menoleh kebelakang dan matanya membelalak ketika melihat sebuah mobil telah berhenti di depan tubuh gadis kecil yang berlumuran darah.

*****

Bab 1

Pernahkah kalian mengalami dijodohkan dengan lelaki yang selama ini sudah kalian anggap kakak sendiri, dengan perbedaan umur 7 tahun?

Jadi ketika kalian masih pakai popok, calon suami kalian sudah bisa gaya pakai celana jeans, ketika kalian masih merangkak calon suami kalian sudah pinter manjat pohon dan main sepeda, ketika kalian baru masuk TK calon suami kalian sudah SMP, dan yang pasti ketika kalian masih senang main masak-masakan calon suami kalian sudah mulai pacaran?

Ya, itulah yang aku rasakan sekarang, ketika usiaku menginjak usia 17 tahun dimana teman-teman yang lain sedang asyiknya menikmati cinta pertama, aku sudah memiliki calon suami yang telah bekerja sebagai pilot, dan panggilan ‘kesayangannya’ kepadaku adalah ‘bayi’.”

Oh! Aku hampir lupa, biar ku perkenalkan diriku… namaku Senja Nafeesa Humaira yang artinya Senja kemerahan yang berharga, kata Bunda dulu zamannya pacaran sama Ayah mereka suka sekali melihat matahari tenggelam dimana langit berwarna kemerahan, alhasil jadilah namaku Senja yang kemerahan, dan tentu saja aku putri mereka yang paling berharga.

Aku memiliki seorang kembaran yang bernama Samudera Kafin Nareswara, yang lahir 10 detik lebih dulu dariku atau lebih tepatnya ‘diangkat’ lebih cepat beberapa detik dariku, dan karena itu dia dipanggil Aa oleh Enin (Nenek) dan Aki (Kakek), dan dipanggil Andra (singkatan dari Aa Samudera) oleh yang lainnya termasuk teman-teman sekolah.

Bukan hanya Andra yang menjadi kembaranku, tapi aku berasa memiliki kembaran lain bernama Satria Adipati Pamungkas yang lahir beberapa jam setelah kami berdua. Dan yang perlu diingat Arya (panggilan Satria) adalah adik dari Arjuna Putra Adipati, lelaki yang dijodohkan kedua orangtuaku denganku, putra sulung dari Mamah Kekey dan Papah Yudha yang sudah seperti orangtuaku sendiri!

Aku mengetahui kami dijodohkan ketika aku kelas 5 SD saat itu Mas Juna yang menjengukku di rumah sakit berkata.

“Kamu harus sembuh, jangan sakit lagi… aku tak mau calon istriku sakit-sakitan.”

Saat itu aku belum mengerti apa yang dia katakan dan hanya menatapnya. Tapi setelah hari itu aku jadi jarang bertemu dengannya, apalagi setelah lulus SMA Mas Juna memutuskan untuk kuliah di Australia dan hanya pulang ke Indonesia setahun sekali itu juga dia sibukkan dengan bertemu teman-temannya, jadi aku paling bertemu denganya hanya beberapa jam saja selama dia berada di Indonesia.

Setelah lulus kuliah dia bekerja sebagai pilot di salah satu maskapai penerbangan international yang berkantor pusat di Sydney dan itu semakin membuatnya jarang pulang, kadang aku merasa kasihan kepada Mamah yang merindukan putra sulungnya itu, begitu juga Bunda yang sudah menganggapnya putra sendiri.

Sedangkan aku, tentu saja itu tak jadi masalah untukku karena dengan begitu aku menjadi bebas menikmati masa mudaku tanpa mengingat kalau aku telah dijodohkan dan itulah yang ingin ku ceritakan sekarang, tentang cinta pertamaku semasa SMA.

Saat ini bersama kedua sahabatku Mika dan Jasmin, aku tengah asik menonton pertandingan basket antar kelas 12.

“Kyaaaa, Kak Rio keren!” teriak Jasmin ketika melihat cowok yang dia sukai mencetak angka membuat para penonton yang kebanyakan adalah perempuan itu bersorak riuh.

“Kerenan Kak Aldo,” ucap Mika sambil berteriak memberi semangat, sedangkan aku… aku sibuk menyisir seluruh lapangan berharap pria yang ku suka ada diantara penonton karena tak mungkin dia berada di dalam lapangan.

“Ada gak, Ja?” tanya Mika dengan mata tetap fokus menatap lapangan, “Ayo, Kak Aldo!” serunya dengan suara lantang di antara teriakan pemberi semangat lainnya.

“Gak ada,” jawabku malas, pertandingan basket ini tak lagi menarik bagiku, “Ke kantin, yuk!”

“Bentar! Bentar lagi udahan nih.”

“Ayo-ah! Kalau nunggu selesai kantinnya nanti penuh.” ku tarik tangan Jasmin yang akhirnya berdiri sambil menarik tangan Mika, perlahan kami mulai meninggalkan lapangan basket walaupun sesekali mereka masih menengok ke belakang sambil berteriak.

“Kak Rio!”

“Kak Aldo!”

“Semangat!”

Aku menggelengkan kepala mendengar teriakan mereka, kedua kakak kelas kami itu memang keren mereka tampan, jago main basket, ramah, juga dari kalangan keluarga berada maka dari itu hampir semua siswi di sekolah kami menyukai mereka.

Tapi aku lebih menyukai seseorang yang terkesan dingin dan cuek, yang suka mengenakan topi hitam, kalau berpapasan denganku dia tak pernah tersenyum atau berusaha menggodaku seperti yang lainnya, tapi ketika ku lihat dia bersama teman-temannya dia akan tersenyum dan tertawa, dan saat itulah aku menyadari kalau dia memiliki senyum dingin yang membuat jantungku berdebar untuk pertama kalinya.

“Ja.”

“Apa.”

Aku berjalan sambil menunduk kecewa karena berharap tadi bisa melihatnya di lapangan basket tapi ternyata tidak ada, dan seharusnya aku tahu itu dia adalah tipe orang yang lebih suka berkumpul bersama teman-temannya sambil bermain gitar daripada nonton pertandingan basket.

“Senja!”

“Apa!” Aku berbalik menghadap kedua teman baikku.

Keduanya memberi tanda dengan kepala mereka ke arah depan.

“Apaan?”

“Itu!” bisik Mika dengan alis diangkat membuatku penasaraan.

“Apaan sih,” ucapku sambil melihat ke arah depan dan seketika jantungku berdetak menggila ketika tak jauh dari kami kulihat dia berada di sana! Ya Allah, dia terlihat keren seperti biasa dengan topi hitamnya, dia tengah tersenyum ketika tanpa sengaja mata kami bertemu membuatku langsung menggenggam tangan kedua temanku dengan kencang.

“Dion! Itu Dion!” bisikku sambil menggenggam tangan kedua temanku dengan sangat kencang.

“Ja… Ja, sakit, Ja!” bisik Mika sambil melepaskan genggaman tanganku.

“Tenang, Ja, tenang… dia ngelihatin kamu tuh,” kali ini Jasmin yang berbisik sambil melepaskan gengaman tanganku.

Aku mengambil napas dalam-dalam berusaha bersikap normal, tapi ya Allah kenapa jadi deg-degan?!

Kami kembali berjalan dan jantungku semakin menggila, sesekali aku menatap ke arahnya yang ku lihat juga diam-diam memperhatikanku membuatku salah tingkah dengan jantung seolah berpacu diatas rata-rata.

Jarak kami semakin dekat, jantungku semakin menggila, jarak kami lebih dekat ku rasa tanganku mulai gemetar, dan kini jarak kami hanya sekitar lima langkah ketika seseorang atau lebih tepatnya dua orang yang merangkulku dari belakang membuat jantungku seolah copot karena terkejut.

“Astagfirullah!” seruku karena terkejut membuat dua orang lelaki itu tertawa, “iiih!” ku pukul keduanya membuat mereka minta ampun sambil tertawa.

“Hahaha.” Andra kembali merangkulku dan berjalan melewati si topi hitam kemudian duduk di kursi persis di belakangnya.

“Ja, nanti pulang sendiri ya,” ucap Andra kembaranku dengan senyum lebar membuatku menatapnya.

“Kenapa?”

“Mau kerja kelompok dulu.”

“Kerja kelompok apaan?”

“Sosiologi.”

“Sosiologi?”

“Iya, tentang hubungan antar manusia terutama antara perempuan dan pria,” jawabnya sambil tersenyum dan mengangkat alis membuatku memutar bola mata karena tahu itu artinya dia mau pacaran dengan Nadia anak 11 IPS 3.

“Ckk…” aku mendelik kemudian menatap Satria yang duduk di samping Andra di hadapanku, “Ya, nanti pulang tungguin ya?”

“Sorry, aku juga mau kerja kelompok.”

“Kerja kelompok apa lagi? Sosiologi juga?”

“Bukan dong… biologi.”

“Biologi? Tugas apaan?”

“Riset tentang pengaruh detakan jantung ketika kita berdekatan dengan orang yang kita sukai.” Dia mengangkat alisnya membuatku kembali memutar bola mata.

“Nanti pesen ojek online saja kalau pulang.”

“Jangan naik taxi sendirian, nanti bisa-bisa kita berdua gak dapat uang jajan.”

Andra mengangguk menyetujui ucapan Satria kemudian berkata,

“Kalau naik angkot cari yang penuh.”

“Kalau penuh aku duduk di mana?”

“Di atas, terus diiket pake tali.”

“Hahaha.”

Semua orang tertawa mendengar ucapan kembaranku yang memang menyebalkan itu.

“Emang dus!” ucapku sambil cemberut.

“Bukan dus, tapi karung sayur,” ucap Satria sambil tertawa kembali membuat semua orang tertawa.

“Hahaha.”

Bukan hanya satu tapi aku seolah memiliki dua orang kembaran yang menyebalkan. Tanpa banyak bicara ku ambil ponselku kemudian menghubungi seseorang.

“Wa’alaikumsalam, Bunda.”

“Ja… Ja!” ku lihat mereka berdua mulai panik, mereka menyilangkan tangan hingga membentuk x dan sekarang giliranku yang tersenyum.

“Bun, Mamah ada di rumah gak?” Aku bertanya sambil menatap keduanya yang kini berusaha merebut ponselku.

“Coklat-coklat!” ucap Andra tanpa suara yang mendapat anggukan setuju dari Satria, membuatku tersenyum penuh kemenangan sambil memasukan kembali ponselku ke dalam saku kemeja seragam membuat keduanya menganga.

“Jadi tadi bohong?”

Aku mengangguk sambil tersenyum penuh kemenangan menjawab pertanyaan Andra.

“Pokoknya coklat yang gede, ok! Kalau tidak, aku akan benar-benar menghubungi Bunda atau Mamah.”

Ku lihat Andra dan Satria menghela napas tanda menyerah membuatku tersenyum lebar. Mereka berdua memang menyebalkan, tapi sepertinya aku juga menyebalkan bagi mereka.

*****

"Trio S" jadi pemenang Votingnya dengan perolehan suara cukup jauh, jadiii... selamat membaca SENJA UNTUK ARJUNA, mudah"an suka ya, sama seperti kisah orangtua mereka.

Love

A.K

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!