Syafi atau Fiy, panggilan akrab orang-orang memanggilku. Aku bekerja di salah satu Restoran yang ada di kota Barabai. Restoran Indah Rasa. Milik temanku yang bernama Erliana. Bekerja dari jam 11 siang, sampai jam malam. Rehat hanya waktu salat tiba. Sungguh menyenangkan bekerja di Restoran ini. Selain hobby teriak-teriak tanpa arah tersalur. Hobby rayuan mukidi juga tersalur pada siapa saja yang ada.
Rayuanku memang manis, membuat gula darah korbanku langsung naik. Jagan tanya masalah hati. Ucapan I love you, I miss you, hanya di mulut saja. Kalau mereka mengenal siapa Syafi. Pasti mereka faham. Syafi alias Fiy. Suka merayu tapi belum pernah jatuh hati. Uhukkk!
Aku punya teman baik. Namanya Mayfa, identitasnya goib. Tiga bulan lalu, aku menemukannya di Terminal kota, karena dia terlihat putus asa. Seketika hati ini terketuk untuk mendekatinya.
Eh, ternyata aku masih punya hati. Kok susah banget ya jatuh cinta sama laki-laki?
Saat berkenalan dengan Mayfa, ternyata dia pribadi yang asyik. Firasat hati ini yakin, kalau dia orang baik-baik, hanya berada dalam keadaan yang kurang baik. Al-hasil, aku mengajaknya bekerja di Restoran milik Temanku.
Aku bukan pribadi yang kepo. Tidak pernah introgasi Mayfa darimana dia, dan mau kemana dia. Membuat perteman kami terasa asyik. Waktu terus berjalan, Mayfa memutuskan menyewa kamar sendiri. Karena dia sudah punya pekerjaan.
Kami sibuk dengan tugas masing-masing. Di pintu masuk terlihat Arman, dia pelanggan setia Restoran ini. Segera ku ambil buku menu sambil membenarkan celemek yang melingkar di pinggangku. "Selamat siang kak Arman …." Dengan senyuman yang paling manis, sampai yang memandang pun ikut mual karena gula darah naik drastis, hampir over dosis manisnya.
Arman melirik Arloji yang melingkar di pergelengan tangannya. "Baru jam 11:15, belum siang. Menurut pembagian waktu ini masih pagi," protes Arman.
"Itu kan bagi orang, karena matahari orang begitu. Lah kalau aku … matahari aku bersinar terang tepat di depan mata aku." Ku tutup wajahku dengan buku menu yang ada dalam pelukan.
Pletak!
Rasanya ada sesuatu yang menimpa kepalaku. Saat menegakkan wajah, sambil mengusap kepala yang kena ciuman benda goib, karena belum di ketahui benda apa itu. Terlihat Mayfa berdiri tepat di sampingku.
"Kasian, buku menu yang tidak bersalah, harus kena aib karena mencium kepala Syafi yang penuh kotoran." Tanpa rasa bersalah Mayfa sibuk mengusap buku menu yang dia pakai untuk memukul kepalaku.
Daripada mengurusi teman somplak, mendingan salurkan hobby pada pelanggan tampan yang masih beridiri di depan mata. "Arjunaku … mau pesan apa?" Dengan raut wajah di buat semanis mungkin dan suara mendesah manja.
"Menu biasa aja Fiy." Arman segera duduk di tempat favoritenya.
Berjalan mendekati Arman sambil mencatat menu pesanan Arman. "Iya sayang … hati dan perasaan aku, komplit sama rasa cinta dan sayang yang hanya tersaji khusus buatmu." Aku tersenyum jail, dan segera melanjutkan tugasku.
***
Author POV
Mayfa menghembuskan kasar napasnya. Rasanya sesak saat melihat Syafi melepaskan rayuan mautnya. Takut lawan Syafi orang yang tidak kuat mental. "Gak mual kamu, Arman? Perasaan kamu selalu dia gombalin."
"Perasaan bukan cuma aku aja, May. Sepertinya siapa aja dia sasar sama gombal mukidi dia." Arman tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Iya sih …." Mayfa memilih melanjutkan tugasnya. "Arman, aku tinggal ya, selamat menunggu pesanan."
Tidak berselang lama pesanan Arman selesai. Arman baru mulai menyantap makananya, terlihat di depan sana Adian, salah satu langganan Restoran yang lain, datang bersama istrinya. Dengan sigap, Syafi segera menjalankan tugasnya.
"Selamat datang, bu Adian dan Pak Adian …." ucap Syafi.
"Makasih Fiy, tumben kamu gak gombalin suami saya?" Istri Adian sangat hafal keisengan Syafi.
Syafi duduk di kursi di dekat Adian. "Berdosakah … bila aku katakan … aku jatuh cinta … kepada dirimu … walaupun kau tak sendiri lagi …." Nyanyian Syafi.
"Heleh mama … pake di ingetin lagi, gelonya Syafi jadi kumat!" Keluh Adian. Walau merasa terhibur dengan keisengan Syafi.
"Buukan tak mampuuu, mencari yang lain, tapi melihat dirimu, ku sudah bahagia … hatiku bahagiaa," sambung Syafi.
"Fiy …." Panggil Arman.
"Iya sayang … jangan takut, cinta aku masih banyak! Muach …." Melempar ciuman jarak jauhnya.
Dari kejauhan Mayfa rasanya ingin sekali mengeluarkan isi perutnya melihat tingkah temannya itu. Sedang Syafi kembali melanjutkan pekerjaannya. Mencatat pesanan Adian dan istrinya.
Selesai dengan tugasnya, Syafi segera membawa catatan menuju koki yang bertugas. Sempat saja dia menggoda Arman yang sedang menikmati makanannya. "Kak Arman jangan cemburu … hati Syafi mah buat kak Arman seorang, tapi kalau seyum aku buat semua orang …." candanya.
"Fiy, sudah weih … kasian Arman sedang makan," tergur Alea.
"Santai aja Al, ini yang bikin aku ketagihan makan di sini, karena rayuan Syafi bagaikan micin yang menyedapkan makanan," bela Arman.
"Kebanyakan micin lo kelewat pinter, Arman!" tegas Mayfa.
Sedang yang di maksud sudah melenggang bebas menuju dapur. Apalagi kalau bukan ngegombalin koki Harun. "Abang Harun … masak apa?" Dengan nada yang di paksa agar suaranya terdengar manja.
"Ati sambel goreng kentang, pesanan meja nomer 26."
"Lah, ati ayam aja abang perhatiin, di kasih bumbu biar sedep. Hati adek kapan abang perhatiin?"
"Sini hati lo, gue cincang!" Lugas Erli.
"Janganlah kak, kalau kakak cincang, bagaimana bang Harun menerimanya …." Syafi memberikan senyuman yang menurutnya manis.
Erli lebih memilih menghindari Syafi. Semakin dia nasehati yang ada ini anak semakin akut korseletnya.
"Pesenan Pak Adian dan istri bang …." Syafi memberikan catatannya pada koki Harun. Asisten koki pun langsung mengerjakan tugasnya. Sedang Syafi melakukan tugas yang lain.
Minuman pesanan Adian dan istri sudah tertata di nampan. Dengan semangat Syafi membawa minuman pesanan Adian dan istri. "Mas Adiannthayank …." Meletakkan satu gelas minuman di hadapan Adian. lalu meletakkan satu gelas lain di bagian tengah meja. "Oh ya mas … ini punya calon maduku, mas jangan minum ya … soalnya ini sudah aku kasih racun!" Syafi mengedipkan sebelah matanya pada Adian.
Istri Adian tersenyum sendiri, ini yang membuatnya senang ikut makan di Restoran ini. Dia meraih gelasnya, langsung meminum minumannya. "Khekk!" Aktingnya seolah kena racun. Pelanggan sekitar bukan takut. Malah ikut tertawa lepas melihat adegan itu.
Mayfa sedang bertugas mengantar makanan pada pelanggan yang tidak jauh dari meja Adian. Hanya bisa membuang kasar napasnya sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan Syafi. "Kasian sekali bu Adian malah ketularan somplak …." keluhnya.
"Emang kamu gak Somplak, May?" Tanya Adian.
"Somplak saya masih ada rambu-rambu, Pak. Tapi, tu anak …." Mayfa memandang kearah Syafi yang masa bodoh dengan keadaan sekitar.
"Tapi, banyak yang bahagia dengan kelakuan dia," ucap Adian.
"Iyaaa, kalau kita kenal siapa Syafi … orang songong yang mudah bercanda. Tapi, bagaimana kalau dia kebencandain orang yang mudah bapper?"
"Itu derita orang yang waferan, May … bukan salah Syafi," ucap istri Adian.
Bagi orang yang mengenal siapa Syafi, hal lumrah bagi mereka. Tapi, bagi mereka yang belum kenal. Ada yang mengaku demam karena rayuan mautnya.
Restoran Indah Rasa, milik Erliana mengikat kerja sama dengan kontraktor yang mengerjakan perumahan di pinggir jalan lingkar Walangsi-Kapar. Sehingga beberapa petingginya makan siang dan makan malam di Restoran milik Erlia. Jam menunjukkan lewat pukul 1 siang. Keadaan mulai hening. Saatnya giliran Syafi dan Mayfa untuk melaksanakan tugas zuhur mereka di mushalla kecil milik Restoran ini. Letaknya di bagian samping Restoran.
Sebelum menuju mushalla, keduanya berjalan menuju toilet perempuan. Masih sibuk membersihkan wajah dari polesan make-up di toilet . Mayfa memandangi jeli wajah Syafi.
"Gue tau, gue cakep. Dah seberapa lama-pun lo mandang gue, kecantikkan gue gak akan luntur." Tetap fokus memandangi cermin yang ada di depan matanya.
"Fiy, kurangin napa gombalan kamu, over dosis tau nggak …." Tegur Mayfa.
"Gombalan mukidi sebagian napas aku May. Kamu minta kurangin … sama aja nyuruh aku kurangin narik napas. Dengan begitu aku lupa--" Syafi sengaja tidak meneruskan ucapannya.
"Lupa apa?"
"Ayok ke musolla, waktu istirahat kita ntar habis di pake buat Ghibah." Syafi merapikan peralatan tempur yang biasa dia pakai memoles wajah dan juga beberapa peralatan untuk menghapus olesan itu. Lalu menyeret Mayfa menuju mushalla.
****
Sebelum bingung sama cerita ini, saran aku, baca bagian bonus chapter novel aku 'Istri Kedua Yang Dirahasiakan'
Di sana, ada sedikit bagian dari novel ini, walau novel ini bukan lanjutannya. Bonus Chapternya cuma 6 eps, Kuy tengok aja🤗
Untuk Karya ini, aku gak bisa janji bisa up rutin. Ini aja syusyah bingit membangun kembali mood nulis aku, karena kelamaan mabok GC.
Selamat berjumpa kembali di karya aku 🤗🤗🤗🤗🤗
Akhirnya tugas zduhur mereka selesai. Setelah memanjatkan do'a, dua wanita cantik itu segera merapihkan mukena mereka. Saat ingin meninggalkan mushalla, Syafi sadar meninggalkan pouch make-upnya di tempat wudhu. Melihat sepasang sendal jepit di depan matanya, Syafi langsung memakainya lalu berlari kearah tempat wudhu.
"Fiy, itu sendal jepit orang bukan punya Restoran!" teriak Mayfa. Percuma Syafi sudah pergi kearah tempat wudhu.
Tidak jauh dari posisi Mayfa berada, terluhat seorang laki-laki berumur lebih 40 tahunan, celengak-celenguk mencari sesuatu. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Anak gadisnya yang tiga bulan ini dia cari-cari malah ada di depan matanya. "Mayfa?" panggilnya.
Merasa namanya dipanggil, Mayfa menoleh kearah suara tersebut.
Duggggg!
Rasanya jantung Mayfa berhenti berdetak. "Ayah …." Wajah Mayfa pucat, melihat sosok yang berdiri tidak jauh darinya.
"Alhamdulillah, perlengkapan tempur aku masih ada." Ucapan Syafi membuat keadaan canggung itu buyar.
Mayfa berusaha mengontrol perasaannya yang kacau. "Fiy, balikin itu sendal! Itu sendal punya ayah gua!" omel Mayfa.
"Ya salam, aku jadi cinderella hari ini, mencuri sendal milik pangeran …." oceh Syafi. Dia melepaskan sendal jepit yang dia pinjam.
Plakkk!
Pukulan mendarat di pundak Syafi.
"Ini Ayah gua!"
"Ayah gua juga lu gombalin?" Rasanya Mayfa ingin sekali mencekik Syafi. Yang di omelin sama sekali tidak peka, dia malah memasang sepatunya tanpa menghiraukan kekesalan Mayfa.
"Ma'af … sebaiknya kita bicara di sana." Syafi menunjuk kearah jejeran bangku yang ada dekat Restoran.
Mayfa juga menurut, dia tidak mau mengundang keributan di tempat ini karena gombalan Syafi, dan sekarang Ayahnya malah menemukan dirinya. Mereka bertiga berjalan menuju samping Restoran, duduk bersama di bangku panjang yang biasa di pakai para karyawan Restoran untuk istirahat.
Syafi merasa kikuk berada diantara ayah dan anak ini, pastinya ada pembicaraan pribadi antara mereka. "May. Kamu bicara dulu sama Ayah kamu di sini. Kalau bicara privacy-nya selesai, kamu ajak Ayah kamu kedalam," usul Syafi.
Mayfa hanya menganggukkan kepalanya. Setelah Syafi menjauh, rasanya dia ingin lari dari sini sekarang. Tapi percuma. Selama tiga bulan ini, berteman dengan Syafi, bekerja bersama dengan wanita itu. Mayfa merasa aman. Ternyata Ayahnya kini malah menemukan dia.
"Fa …."
"Maaf Ayah. Aku gak bisa menerima perjodohan!" Mayfa langsung saja mengungkapkan perasaannya.
"Tapi, Fa ...."
"Ayah … tolong mengerti aku Ayah …." Wajah yang biasa tersenyum itu saat ini menampakkan tangisnya lagi. Air matanya terus berderai. Menghiba kepada sang Ayah, agar membatalkan perjodohannya.
"Adai Ayah bisa. Tapi … ini janji Ayah pada keluarga Bu Leti, kalau Ayah akan menikahkan salah satu putri Ayah dengan anaknya." Berulang kali Ayah Mayfa menjelaskan hal ini.
"Tapi kenapa harus aku, Ayah …." keluh Mayfa.
"Ayah tidak tau Nak."
"Beri Mayfa waktu ya, Ayah …."
"Ayah akan tingal ditempat kamu, sambil memberi kamu waktu. Fa … kalau kamu sayang sama Ayah, terima saja, banyak kok mereka menikah karena perjodohan, malah mereka sangat bahagia."
"Maaf ...." Mayfa mengusap air mata yang menetes di wajahnya.
Merasa obrolan penting bersama Ayahnya selesai, Mayfa mengajak Ayahnya masuk ke Restoran. Memasuki area dalam Restoran, keadaan nampak lengang, karena banyak pelanggan sudah selesai makan siang. Mayfa meminta Ayahnya duduk di salah satu kursi. Sedang dirinya langsung meminta izin pada bu Erli, untuk menemani Ayahnya yang baru datang. Izin di dapat, makan siang gratis pun Mayfa dapat. Dia segera menemui sang Ayah.
Syafi menikmati makan siangnya di meja yang tidak jauh dari Harun. Harun tersenyum melihat Syafi yang terlihat sedikit Normal. "Ternyata gombal mukidi lo gak keluar ya? Itu cowok yang sama Mayfa gak kamu gombalin …." ledek Koki Harun.
"Itu bapaknya Mayfa …." jelas Syafi.
"Tumben … biasanya mah kamu gak pandang siapa korban kamu," ledek Harun.
Syafi tidak terima di ledek seperti ini. "Aku makan dulu bang ... ngegombal juga butuh tenaga …." Syafi membela diri.
"Penasaran aku sama reaksi Mayfa, saat Ayahnya kamu gombalin."
"Abang lakukan tugas abang sana … gimana aku yakin Bang Harun imam yang baik bagi aku, bagi diri sendiri aja Abang gak bertanggung jawab." Tanpa melihat kearah Harun, Syafi terus menikmati makan siangnya.
"Ya salam … aku lagi yang kena rayuan mak kidi," keluh Harun.
Dari kejauhan Mayfa terlihat mendekat kearah Syafi. Dengan senyuman termanisnya Syafi menyambut temannya itu. Teman di kost-an juga teman kerjanya.
"Fiy, aku mau minta tolong …." ucap Mayfa.
"Ya udah, bilang apaan. Kalau aku bisa, insya Allah aku tolong, kalau di luar batas kemampuan aku, aku bantu lewat do'a."
"Ikut aku kesana, sekalian kenalan sama Ayah aku. Tapi jangan di gombalin kayak tadi, kasian Ayah aku bisa demam …."
Syafi dan Mayfa segera menghampiri meja yang di tempati Ayah Mayfa. "Assalamu'alaikum. eh … ketemu lagi ama aku yang cantiknya gak ketulungan, dan manisnya bisa bikin orang mual," ucap Syafi.
"Wa'alaikumsalam." Ayah Mayfa hanya membalas dengan senyuman. Entah jijik dengan tingkah teman anaknya atau apalah itu.
"Duduk, mode normal ngapa … ini ada Ayah aku, gesrek sama somplaknya di kresekkin dulu …." keluh Mayfa.
"Tidak bisa May … kau meminta aku jadi normal, sama aja kamu nyiksa aku …." goda Syafi.
"Huh …." Hembusan kasar napas yang Mayfa lepas terdengar jelas. Dia memandang kearah Ayahnya. "Ayah … sebelum Ayah semakin demam karena ni orang …." Mayfa meng-isyarat pada Syafi. "Ayah kuatkan hati, karena ni orang kalau lihat cowok, bucin dia kumat, rayuan mukidinya juga lepas landas, Ayah ingat di mushalla tadi 'kan?" ucap Mayfa.
"Masya Allah … akhirnya salju turun di bumi Murakata …." Tatapan mata Syafi ter arah pada Ayah Mayfa.
"Salju? Mana?" Ayah Mayfa menoleh kearah luar, yang ada matahari bersinar terik di luar sana. "Teman kamu memang aneh Fa, masa panas terik begini ada salju."
"Hati aku tiba-tiba dingin dan hampir membeku saat melihat Anda, Ayah …." ucap Syafi.
Brukkk!
Mayfa menelungkupkan wajahnya keatas meja. Kesal dengan Syafi yang sama sekali tidak punya rambu-rambu. Saat yang sama, pekerja yang melihat dan mendengar kejadian tadi, hanya bisa tepuk jidat, karena kelakuan Syafi.
"Kamu ini ada-ada aja, saya ini orang yang setia. Saya hanya setia sama mamanya anak-anak …." terang Ayah Mayfa.
"Ayah … dia orang gelo, dah jangan didengerin …." pinta Mayfa.
"Gak apa-apa Ayah, andai boleh poligami lebih dari 4, aku jadi yang ketujuh pun Rela. Bersama Ayah … seakan kebahagiaan separu isi bumi ini aku miliki …." Syafi memasang wajah sok manis. Tanpa perduli bagaimana masamnya wajah Mayfa, melihat ayahnya kena gombal temannya.
"Baru beberapa menit ketemu, Ayah dah mimisan ini Fa …." ucap Ayah Mayfa.
"Fiy, ini bapak gua loh … mode normal dikit lah …." rengek Mayfa.
"May, Ayah kamu kerja apa?" tanya Syafi.
"Punya beberapa saham pencetak uang!" jawab Mayfa asal-asallan.
"Owh … aku kira guru …." Syafi mengambil buku resep, lalu menutup wajahnya.
"Kenapa Guru?" sela Ayah Mayfa.
"Aku merasa signal menguat," jawab Syafi.
"Signal?" Ayah Mayfa terlihat bingung sendiri.
"Signal … kalau Guru dalam kehidupan aku berada tepat di depan mata aku …." Hiyaaa hiyaaa
"Arghttt!!" Mayfa geram.
"Maaf ya Ayah, sampai di sini dulu gombalannya. Kenalkan … saya Syafi, teman geludnya anak Ayah. Sehari gak Gelud, rasanya hidup ini hampa, Ayah ...." Syafi mengulurkan tangannya menjabat tangan Ayah Mayfa.
"Nama saya Rifqi Said Maulana, orang biasa memanggil saya Pak Said." Ayah Mayfa mengenalkan diri.
menyambut jabatan tangan Syafi.
"Saya manggilnya Ayah aja, boleh gak?"
"Apa saja," ucap Pak Said.
"Tadi mau minta tolong apaan May?" tanya Syafi.
"Minta tolong, supaya kamu jadi mama sambung bagi Mayfa, adik-adiknya, juga kakak-kakaknya." Pak Said membalas candaan Syafi.
"Ya salam … Ayah gua yang normal ketularan somplak karena dekat ma Lu, padahal baru beberapa menit …." dumel Mayfa.
"Saya jangan di ladenin Ayah, semakin Ayah lawan, saya semakin kumat." Syafi menoleh kearah Mayfa. "Kamu mau bicara apa? Waktu istirahat kita bentar lagi habis." Syafi mengintip jam tangannya.
"Ayah gua mau nginep di sini, jadi gua mau minta tolong sama lu, apa lu mau pinjemin kamar buat Ayah gua? Cuma sementara, pleas …." Wajah Mayfa terlihat sangat serius.
"Jangankan kamar aku, hati dan perasaan aku aja dah aku kasih buat Ayah kamu." Syafi berusaha menahan gelak tawanya.
"Ya Salam …." Rasanya Mayfa ingin sekali melempar Syafi dari puncak gedung tertinggi, berharap bisa normal dan mengurangi rayuan asinnya.
Syafi berulang kali mengatur napasnya. Agar berhenti tertawa. Entah … jika bersama Mayfa walau hanya melihat jempol Mayfa rasanya tawanya tidak bisa berhenti. Entah kenapa hal itu sangat lucu.
"Ya sudah … begini saja … kamu minta izin sama bu Je, kalau kamar kamu di tempatin buat Ayah kamu, nah … selama Ayah kamu masih di sini. Kamu tidur di kamar aku. Kalau Ayah kamu yang pindah ke kamar aku, aku kasian …." oceh Syafi.
"Kasian karena kamar lu jorok?" ledek Mayfa.
"Bukan … kasian kalau Ayah kamu gak sabaran pengen nikahin aku, secara pesona aku itu luar biasa." Syafi memasang wajah sok cantik.
"Astaghfirullah … teman kamu ini langka, Fa …." Pak Said menggeleng melihat kelakuan Syafi yang pedenya ketinggian.
"Jangan mandang lama-lama Ayah … kalau Ayah jatuh cinta, Ayah yang repot. Restu dari mama Mayfa belum kita dapat." Syafi menelungkupkan wajahnya keatas meja. Merasa puas membuat Mayfa kesal.
"Arggggt!" Mayfa mencekik leher Syafi.
"Uhukkk! Anak tiri gak ada akhlak, sekarang anak tiri yang nyiksa mak tiri bukan mak tiri yang menyiksa anaknya!" rengek Syafi.
"Anak tiri modern, ya gini … masih minat lu jadi mak tiri gua?" Mayfa melepaskan tangannya dari leher Syafi. "Kasian tanganku yang suci jadi ternoda …." oceh Mayfa.
Syafi membenarkan rambutnya yang acak-acakkan karena ulah Mayfa. "Kapan kamu antar Ayah kamu ke kost? Sekalian minta izin dulu. Kalau orang tua yang datang mah pasti di kasih izin sama bu kost."
"Sekarang aja, Ayah aku pasti capek." ucap Mayfa.
"Sana, kamu minta izin sama bu Erli," usul Syafi.
Setelah mendapatkan izin dari pemilik Restoran. Mayfa dan Ayahnya pergi menuju kost-an yang selama ini Mayfa tempati. Beruntung kost-an itu memiliki parkiran khusus yang luas. Sehingga Mayfa tidak perlu pusing memikirkan untuk memarkir mobil Ayahnya. Keduanya belum turun dari mobil.
"Selama ini kamu sembunyi di sini?" Tangan Pak Said masih memegang setiran mobilnya.
"Maaf Ayah … Mayfa tidak bisa menerima perjodohan itu. Mayfa harap Ayah mau mengerti. Pernikahan nanti Mayfa yang menjalaninya, bukan Ayah." Mayfa segera turun dari mobil. Dia melangkah cepat menuju kediaman khusus milih ibu kost mereka. Bu Jaenab. Yang akrab di panggil bu Je.
"Assalamu'alaikum." salam Mayfa.
"Wa'alaikum salam." Seorang wanita cantik keluar sambil menggendong putranya yang berumur tiga tahun. "Mayfa? Tumben sendiri, Syafi mana?"
"Syafi masih kerja bu. Saya pulang karena saya minta izin sama sama bu Je."
"Izin apa?"
"Perkenalkan, ini Ayah saya …." tunjuk Mayfa pada laki-laki yang bediri di sampingnya. "Beliau baru datang dari kota Banjarmansin. Saya minta izin, agar Ayah saya bisa menginap beberapa hari di kost saya. Saya nanti pindah ke kamar Syafi selama Ayah menginap di sini."
"Kamu urus izin sama Pak RT dulu, kalau di kost mah, selama itu anggota keluarga pasti saya kasih izin," ucap bu Jaenab.
"Ayah … Ayah duduk dulu di sini, siniin KTP Ayah, aku mau ke rumah Pak RT dulu." Mayfa menadahkan tanganya menunggu benda yang dia pinta. Setelah mendapat benda yang dia maksud, Mayfa segera pergi menuju rumah Pak RT mengurus izin menginap buat Ayahnya.
"Pak, saya izin kedalam ya …."
"Silakan, bu. Saya numpang duduk di sini sambil nunggu Mayfa," ucap Pak Said.
Hampir 30 menit menunggu, akhirnya Mayfa menampakkan kembali batang hidungnya. Terlihat membawa selembar kertas putih. "Ayok Ayah … ikut aku, ini izin sudah di dapat."
"Apa perlu pamit sama ibu kost kamu dulu?" tanya Pak Said.
"Hemm, gak usah Ayah. Sepertinya ibu kost lagi riweh, kesini kan cuma minta izin dia."
Pak Said segera mengikuti langkah kaki putrinya, hingga mereka sampai di sebuah bagunan bertingkat dua. Melewati banyak pintu berjejer, hingga sampai di pintu paling ujung.
"Ini kamar aku, Ayah. Ayah istirahat dulu, aku mau kerja lagi. Nanti malam aku pulang bawain makan malam buat Ayah. Kamar mandi segalanya lengkap di dalam."
"Selama ini kamu bekerja sebagai pelayan Restoran?" Gurat kesedihan terlihat jelas di wajah Pak Said.
"Tapi, aku bahagia Ayah. Di sini aku punya teman yang gak perduli siapa aku dan darimana aku. Satu lagi … aku tidak akan bisa menerima perjodohan, selama Ayah tidak membatalkan perjodohan, selama itu pula aku gak akan pulang." Mayfa mengusap air mata yang terlanjur menetes lagi. "Assalamu'alaikum, Ayah. Aku balik kerja."
"Wa'alaikumsalam." Pak Said memilih masuk kedalam kost-an Mayfa. Rasanya punggungnya pegal, selama 3 hari menempuh perjalanan menelusuri Hulu Sungai Tengah. Harapannya bisa menemukan anak keempatnya. Akhirnya kerja kerasnya selama 3 bulan ini membuahkan hasil. Setelah pencariannya dari propinsi kota, pelosok Banjarmasin, hingga sampai di kota kecil ini. "Alhamdulillah Ya Allah …." Segala puji syukur selalu terucap dari lisan Pak Said. Sangat bahagia bisa menemukan Mayfa yang menjadi borunan keluarga selama tiga bulan ini.
***
Setelah meninggalkan Ayahnya di kost-an. Mayfa naik ojek online menuju Restoran. Sesampai di sana, keadaan mulai terlihat ramai. Karena jam menuju Ashar ini, Restoran mulai di penuhi anak-anak SMA yang baru pulang sekolah. Mereka kumpul bersama sekedar ghibahin tugas sekolah yang tiada habisnya. Kadang Ghibah betapa ganteng guru mereka. Ada juga yang sekalian mengerjakan tugas kelompok mereka.
"Kak Mayfa dari mana?" Sapaan itu berhasil menyita perhatian Mayfa.
"Kakak pulang ke kost tadi bentaran," jawab Mayfa.
Di ujung sana, Syafi sibuk membagikan jus yang di pesan para pelajar yang menempati meja di sana. "Makin ganteng aja kamu Ilham …." puji Syafi. Yang dipuji hanya mengukir senyuman di wajahnya.
"Kakak makin yakin ini. Kakak jomblo gini karena nungguin jodoh kakak berproses menuju dewasa," goda Syafi. "Awh!" Ringisan itu lolos dari mulut Syafi. Belum izin undur diri Syafi terpaksa mengikuti tarikan yang berpusat pada ikatan rambutnya. Syafi memeluk erat nampan kosong yang dari tadi dia pegang. "May …." jerinya.
Mayfa melepaskan cengkramannya dari rambut Syafi. "Fiy … pleas kurangin!" pinta Mayfa.
"Maaf, gak bisa …."
"Tu anak masih kecil, masa lu gombalin juga ...."
"Sudah balig umur segitu, bukan kecil."
"Pleas Fiy, kurangin! Kamu ini perempuan, aku takut suatu saat orang malah merendahkan harga diri kamu karena ke-isengan kamu ini." Mayfa sangat kesal jika mendengar cacian orang pada Syafi.
"Aku memang rendah, di rendahin orang wajar. Aku gak sedih. Kita tidak bisa memaksa orang agar suka sama kita, biar aja orang ber-agumen dengan pikiran mereka masing-masing."
"Aku gak suka Fiy … karena mereka yang nilai kamu jelek, mereka belum kenal siapa kamu."
"Biar aja … aku tetap jadi diri aku sendiri. Aku memilih menikmati hidup dengan senyuman dan kebahagiaan. Ogah ah kalau galau-galau dan sedih-sedihan. Karena bahagia dan sedih itu sama-sama gratis!"
"Ya salam … waktu bonus istirahat dari saya masih kurang ya? Perasaan di Restoran, atau di kost-an kalian ghibah … mulu! Gak ada habisnya apa bahan ghibahan kalian?" tegur Erli, pemilik Restoran ini.
Sontak kedua gadis itu segera menjalankan tugas mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!