NovelToon NovelToon

GUS IDOLA

Gus tampan yang menjadi Idola

GUS IDOLA

Setiap bulan suci ramadhan aku akan berpindah ngaji kepondok lain untuk sementara selama bulan puasa, atau biasa disebut dengan Pasan.

Aku berasal dari pesantren Roudlotul Jannah yg terletak disebuah desa pinggir kota.

Ramadhan ini Ibuku menyuruhku untuk pasan dipesantren milik sahabat Abahku dulu waktu mondok di Kediri. Letak Pesantren sahabat Abahku tersebut terbilang jauh dari pondokku namun tidak terlalu jauh dengan rumahku. Pondok Pesantren Al-Kautsar. Butuh waktu sekitar 1 jam perjalanan dari rumahku.

Biasanya aku pasan bersama indri, sahabatku itu selalu mengekoriku kemanapun aku pergi. Dia sahabatku sejak aku mondok di Roudlotul Jannah.

3 hari menjelang bulan puasa aku dan indri sudah berada dipesantren Al-Kautsar. Pesantren ini cukup luas, ada taman kecil yang indah menghiasi pelataran setiap asrama dan didepan musholla.

Sejak hari pertama kedatanganku aku sudah dihebohkan dengan tingkah unik mbak-mbak pondok disini.

Sore itu selepas sholat Ashar berjamaah, salah seorang santri heboh memanggil santri yang lain.

"Gus Abdi..mbak.. Gus Abdi..!"

Seru Ika yang kini tengah berdiri dibalik jendela kayu semi kaca asrama. Tak lama kemudian beberapa mbak pondok bergerumbul ikut mengintip dari balik jendela.

Aku yang melihatnya hanya bisa tersenyum heran melihat tingkah mereka. Ingin ikut mengintip tapi aku malu.

Muhammad Abdillah, atau biasa dipanggil Gus Abdi. Pria berkulit putih, hidung mancung, bibir yang tipis serta mata yang talup.

Dia adalah putra semata wayang dari Kyai Dzulqurnain dan Ibu Nyai Maryam, pengasuh pondok pesantren Al-Kautsar.

***

"Ndri.. anterin aku belanja yuk, aku lupa beli odol sama sabun". Ajakku pada indri.

"Boleh, aku juga mau beli beberapa camilan nih".

Setelah izin kepada pengurus, aku dan indri langsung pergi dengan berjalan kaki karena letak toko tidaklah jauh dari pondok.

Setelah dari toko kami pun berniat langsung pulang, tapi mataku tertuju pada pedagang cilok disebelah toko tadi. Aku yang memang penggemar cilok tak akan melewatkan kesempatan untuk segera membelinya.

Dua bungkus cilok panas sudah terkantong dalam satu kresek kecil.

Kami bergegas kembali ke pondok karena hari sudah sore, sebentar lagi adzan ashar berkumandang.

Bruukkk...!!!!

"Aaww...!!!". Aku terjatuh ketanah dan cilokku pun berserakan dan tumpah dari plastiknya.

Kepalaku mendongak keatas, ingin melihat siapa yang sudah menabrakku hingga aku jatuh.

Lelaki kulit putih bermata sipit, Gus Abdi.

Dia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata pun bahkan hanya untuk sekedar meminta maaf. Dongkol hatiku dibuatnya.

Sedangkan indri, matanya menatap punggung Gus Abdi yang berlalu meninggalkan kami dan cilok kami yang sudah tumpah, tidak bisa dimakan lagi.

"Indri..!" Aku yang masih terduduk ditanah semakin jengkel melihat indri yang tak kunjung menolongku.

"Eh.. iya Hil, maaf. Sini aku bantu". Indri menarik tanganku agar aku bisa bangun.

"Yah.. ciloknya tumpah. Beli lagi?"

"Nggak usah. Udah nggak nafsu". Jawabku ketus.

Adzan Ashar berkumandang, aku dan indri bergegas masuk agar tidak ketinggal sholat berjama'ah.

***

Besok adalah tanggal 1 ramadhan, hari pertama dijalankannya ibadah puasa wajib bagi umat islam yang beriman. Dan malam ini kegiatan-kegiatan khusus bulan ramadhan telah dimulai. Ada beberapa jadwal kegiatan ngesahi kitab kuning, ngesahi yaitu memberi makna kitab-kitab gundul yang akan dibacakan ustadz pondok.

Ba'da subuh ada 2 jadwal, selain itu ba'da dzuhur, Ashar dan selepas sholat tarawih masing-masing satu jadwal.

Kegiatan ba'da ashar berbeda dengan waktu-waktu lainnya, karena pada waktu ini bukan diisi dengan ngesahi kitab melainkan tadarus Al-qur'an yang akan langsung diterjemahkan oleh ustadz nantinya. Dan yang mengisi jadwal ini adalah Gus Abdi.

Semenjak kejadian sore itu aku masih merasa jengkel dengan Gus itu, Dia benar-benar pria paling sombong yang pernah kutemui.

Apesnya lagi, aku akan sering bertemu dengannya karena..

Mencintai pria misterius

Apesnya lagi, aku akan sering bertemu dengannya karena setiap hari aku akan mengambil makananku di ndalem.

Ibu Nyai Maryam telah berbaik hati dengan memberiku makan gratis untuk berbuka piada dan sahur setiap harinya karena Ibuku juga merupakan sahabat dekat beliau dulu sewaktu mondok, jadi aku sudah dianggap seperti tamu disini.

Sebenarnya aku menolak karena tidak enak dengan santri lainnya, namun beliau tetap kekeh memaksaku untuk menerimanya. Katanya beliau ingin memuliakan tamu seperti anjuran Rasulullah saw. Jadi ku iyakan saja agar tidak menyinggung hatinya.

Saat mengambil makananku, seringkali aku tidak sengaja berada dalam satu dapur dengan Gus Abdi.

Namun sepertinya dia tidak suka bila bertemu denganku karena setiap kali aku bertemu dengannya dia akan buru-buru pergi, seperti menghindar dariku.

Ah, masa bodo. Aku tidak peduli, toh aku juga tidak ingin melihatnya.

***

Jika hari-hari biasa dipesantren ini santri hanya boleh membawa ponsel saat hari jum'at. Maka dibulan puasa ini semua santri diperbolehkan membawa ponsel selama bulan ramadhan sampai setelah lebaran. Peraturan ini sama persis dengan peraturan yang ada dipesantrenku, Raudlatul Jannah. Dengan syarat jika waktunya kegiatan mengaji harus tetap disiplin dan ponsel harus disimpan, hanya boleh digunakan saat tidak ada kegiatan.

Pukul 11.00 malam, kegiatan ngesahi kitab gundulan telah berahir. Tapi mataku masih enggan untuk tidur, kuambil ponsel yang kuletakkan didalam lemari lalu kurebahkan badanku diatas kasur.

Seperti biasa aku akan berchating ria dengan sesorang yang telah mengisi hari-hariku selama 5 bulan terahir ini.

"Dek..". Sebuah chat inbox masuk sekitar 10 menit yang lalu.

"Dalem kang, maaf baru balas. Baru pulang ini". Kubalas pesan sambil mengulum senyum.

Tak menunggu lama, chatku mendapat balasan.

"Sudah ngantuk apa belum?"

"Belum kok". Aku menguap.

"Alhamdulillah, nggak sia-sia aku nungguin dek Hilya dari tadi, hehe." Balasnya lagi.

Aku pun tersenyum kegirangan membacanya.

"Masa sih, ditinggal bentar aja udah kangen. Haha..". Kugoda saja sekalian.

"Iya, kangen pengen ketemu. Kepengen menatap mata dek Hilya secara langsung".

Ya Allah.. aku klepek-klepek.

Jujur saja aku belum pernah bertemu dengannya didunia nyata. Selama ini kami hanya berbalas pesan lewat inbox pesbuk, sebenarnya aku ingin meminta nomor whatsappnya tapi aku gengsi, diapun juga tidak pernah meminta nomorku. Ya sudahlah, ber-inbox ria pun sudah cukup bagiku, asalkan bisa chating dengannya.

Berawal dari saling berbalas komentar disebuah grub terbuka dipesbuk, grub yang penghuninya santri dan satriwati maupun alumni dari berbagai pondok pesantren, hingga ia berani mengirimkan pesan inbox padaku dan masih berlanjut hingga sekarang.

Entah mulai kapan hubungan kami terasa dekat meski belum pernah bertemu sekalipun.

Akupun tidak tau seperti apa rupanya, karena dia hanya memasang foto profil seekor kucing imut berbulu belang telon. Kulihat album fotonya juga hanya ada foto pemandangan dan kata-kata mutiara. Dia tidak pernah memposting foto pribadinya maupun mengupdate status. Heran juga, dengan cara apa dia memanfaatkan aplikasi pesbuknya.

Nama profilnya "Kawulo Gusti", entah siapa nama aslinya aku juga tidak tahu menahu, saat kutanya dia malah menjawab,

"Panggil saja Kangmas ganteng dan imut". Hah..sebel aku jadinya.

Sedangkan dia sudah pasti hafal dengan wajahku karena aku sering memposting fotoku, kadang juga bersama teman-temanku. Setiap kali aku memposting foto atau update status pasti selalu ada dia dikolom komentar.

Kembali lagi ke chat tadi.

Aku mulai mengetik balasan,

"Saya juga kepengen ketemu njenengan kang".

Ah, jangan deh. Kuhapus lagi lalu kuganti dengan kalimat,

"Alah.. palingan juga njnengan tidak berani ketemu denganku". Kupencet tombol kirim.

"Belum saatnya dek, nanti. Kalau jodoh pasti ketemu kok".

Jodoh? Membaca kalimat tersebut jantungku seketika berdegub kencang.

Ya Allah.. perasaan apa ini.

"Hil.." suara Indri sedikit mengagetkanku. Aku mendongak keatas,

"Dalem".

"Anterin aku ke kamar mandi yuk," Indri turun dari ranjang atas.

"Ayo". Aku beranjak dari tempat tidur lalu mengantarkan indri ke kamar mandi serta kubawa ponselku.

Sambil menunggu indri selesai menuntaskan hajatnya, aku hendak membalas pesan dari si Dia. Sejenak jempolku yg bertugas mengetik terdiam, aku bingung harus membalas apa.

"Aamiin". Kupencet tombol kirim.

Dug..dug..dug.. Jantungku rasanya ingin melompat dari tempatnya, tanganku seketika dingin. Aku senyum-senyum sendiri.

"Hilya..!" Indri menepuk pundakku. Aku menoleh.

"Dari tadi dipanggil nggak nyaut-nyaut. Ngapain kamu senyum-senyum sendiri, jangan bikin aku takut dong. Kita lagi dikamar mandi ini". Indri merangkul lenganku, nampaknya dia sedikit ketakutan.

"Masa sih, maaf aku nggak denger kalau kamu manggil."

"Yuk, buruan balik ke kamar. Lama-lama kamu bisa kesurupan kalau kelamaan disini, dari tadi senyam senyum nggak jelas". Kata indri sambil menarik lenganku untuk segera kembali ke kamar.

Saat aku hendak menarik selimut terdengar getaran notifikasi pesan dari poselku, lalu aku membukanya.

Kangmas ganteng dan imut itu mengirimkan sebuah foto yang membuat aku tercengang.

Dia disini?

Kuamati betul-betul foto tersebut. Meski mataku mengantuk tapi aku masih bisa melihat dengan jelas. Difoto tersebut terpampang sebuah bangunan asrama dimana tempat aku tinggal sekarang. Meski tidak begitu jelas karena foto diambil saat malam hari namun masih bisa terlihat karena cahaya lampu yang ada diteras asrama. Pintu, jendela, teras, tanaman bunga-bunga semuanya terlihat sama.

Seketika aku bergegas keluar kamar, kuraih jilbab segi empatku. Kusampirkan dikepalaku sekenanya.

Aku keluar ke teras asrama. Mataku beredar hendak mencari seseorang, namun tak kulihat siapapun. Saat mataku melihat kearah barat ndalem Ibu Nyai, kulihat bayangan seseorang berjalan kearah selatan menuju area pondok putra.

Asramaku menghadap keselatan, tepat berhadapan dengan kediaman Ibu Nyai dengan jarak sekitar 20 meter. Ndalem Ibu Nyai memiliki dua pintu utama. Satu menghadap pondok putri dan satunya lagi menghadap pondok putra, hal ini bertujuan agar memudahkan para tamu laki-laki dan perempuan saat bertandang ke ndalem pengasuh pesantren ini, karena ruang tamu antara laki-laki dan perempuan terpisah.

Posisi ndalem Ibu Nyai tepat berada ditengah-tengah antara pondok putra dan putri. Dan disamping kanan rumah ada sebuah pintu yang langsung menuju dapur.

Disamping kiri rumah terdapat tembok pembatas setinggi sekitar 2 meter, disana terdapat pintu kecil yang menghubungkan pondok putra dan putri. Disitulah aku melihat bayangan orang itu yang entah siapa aku tidak tahu, aku kehilangannya karena terhalang tembok pembatas.

"Mungkinkah dia disini?" Batinku.

Kulihat lagi ponselku, kulihat akunnya sudah off. Padahal aku belum sempat bertanya darimana dia mendapatkan foto tersebut.

"Njenengan kok bisa dapat foto itu darimana? Jangan-jangan njenengan memata-matai kulo ya?". Kubalas pesannya meski akunnya sudah off. Tak apalah biar dia membalasnya besok.

Aku kembali lagi ke kamarku, indri ternyata masih belum naik ke panggung tempat tidurnya.

"Ada apa Hil, kok kamu sampai keluar keteras? Wes malam lho." Tanya indri dengan suara yang lirih karena takut membangunkan teman yang lainnya.

"Nggak kok, cuma nyari signal." Kilahku.

"Ooh.." indri membulatkan mulutnya.

"Ya wes. cepetan tidur. Nanti bisa telat bangun sahur lho." Imbuhnya lagi.

Aku mengangguk. Kubaringkan badanku lalu kutarik selimut, akan tetapi rasa kantukku seketika hilang gara-gara foto itu.

Hatiku gelisah tak menentu, sebentar miring kekiri, sebentar lagi miring kekanan hingga ranjang tidurku menimbulkan suara decitan halus. Entah jam berapa aku mulai terlelap aku tak ingat lagi.

Keesokan paginya aku baru mendapat balasan darinya, kubuka pesan mesenger diaplikasi pesbuk.

"Kulo mondok disini juga dek,"

Aku sedikit terkejut membaca pesan darinya, kenapa bisa sampai kebetulan dia mondok disini juga. Terbesit dalam pikiranku mungkinkah kami memang jodoh dan dipertemukan disini. Aku mengulas senyum sambil membayangkannya.

"Iya kah?, tapi dulu njenengan bilangnya mondok di Jombang?"

"Sampun pindah sejak 2 bulan lalu, hehe.."

"Kenapa pindah kang?" tanyaku lagi

"Biar lebih deket rumah".

Aku baru ingat dulu dia memang pernah mengatakan kalau dia tinggal di kota ini.

"Hem...nggeh pun". Balasku singkat. Tapi sebenarnya aku juga ingin mengatakan kalau aku sangat ingin bertemu dengannya, namun rasa malu dan gengsi mengusai diriku saat ini.

"Ya wes. mandi sana. Baunya itu lho nyampek sini, haha.." ledeknya dengan dimbuhkannya emoticon tertawa. Tau aja kalo aku belum mandi.

"Yee... fitnah. Tapi bener ding". Kusematkan emoticon tertawa lebar sambil nangis-nangis. Malu juga sih ketahuan belum mandi.

"Nggeh pun, sana mandi".

Dia pun mengakhiri percakapan mesenger kami.

***

Tidak terasa puasa ramadhan telah memasuki lima hari, delapan hari sudah aku berada dipondok pesantren ini. Aku cukup betah disini, mbak-mbak pondok disini ramah semua dan tak segan untuk saling membantu satu sama lain.

Namun satu hal yang membuat telingaku risih, setiap saat setiap yang jadi topik pembahasan adalah Gus Abdillah. Mereka selalu membicarakan ketampanan Gus Abdi dan berandai-andai betapa beruntungnya jika bisa menjadi pendamping hidupnya.

"Ganteng apanya, orang kayak cewek gitu. Kulit putih bibir tipis, yang cewek aja kalah." Gerutuku dalam hati.

Jika mengingat kejadian waktu lalu saat Gus Abdi menabrakku dan meninggalkanku begitu saja tanpa sepatah katapun, hatiku merasa dongkol. Kok bisa-bisanya seorang Gus bersikap seperti itu. Sombong.

Apalagi setiap kali Gus Abdi mengajar dipondok putri, beberapa santri akan bergerumbul didekat jendela musholla untuk mengintip Gus Abdi lewat. Setiap kali ia lewat, bau parfumnya menyeruak menusuk hidung meski orangnya sudah menghilang.

"Gus iki mandinya pakek minyak wangi palingno, hidungku langsung mampet gini." Gerutuku setiap kali mencium bau parfum Gus Abdi. Indri yang mendengarnya hanya tertawa sambil geleng-geleng.

"Jangan terlalu benci, nanti bisa jadi cinta lho Hil," indri tertawa diakhir kalimatnya.

Dia memang sangat suka menggodaku.

"Amit-amit jabang bayik..!!" Aku mengetuk-ngetuk kepalaku sendiri.

"Orang sombong kayak gitu kok banyak yang nyenengin, heran aku. Mereka itu sudah dibutakan dengan fisiknya saja." Aku mulai senewen.

"Jangan su'udzon dulu dong Hil, mungkin waktu itu Gus Abdi lagi buru-buru jadi gak sempet minta maaf."

"Orang cuma bilang maaf butuh waktu berapa lama sih ndri," ujarku kesal.

"Ya, wes. Terserah kamu lah, aku mau balik ke kamar". Indri berlalu meninggalkanku yang masih senewen didalam musholla.

Ketika aku akan melangkah keluar menyusul indri tiba-tiba ekor mataku melihat seekor kucing yang tertidur diserambi musholla, aku melihatnya lewat jendela kaca samping musholla.

Kuhampiri kucing dengan corak bulu belang telon itu lalu kuciumi saking gemasnya.

Kucing itu sepertinya kucing yang sama dengan yang kulihat dulu didapur ndalem lebaran tahun kemaren. Saat itu aku sedang bersilaturahmi halal bi halal kesini bersama keluargaku. Waktu itu aku habis dari kamar mandi karena kebelet. Letak kamar mandi dan dapur berdampingan.

Bedanya dulu ia masih agak kecil, sekarang sudah gembul dan bulunya lebat sekali. Mungking dia ini kucing blasteran, ibunya anggora bapaknya kucing kampung biasa atau sebaliknya.

"Tapi sepertinya aku pernah melihat kucing ini ditempat lain, dimana ya?" Gumamku.

Dan tiba-tiba aku teringat sesuatu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!