..."Dasar manusia tidak memiliki hati. Aku hanya berharap Tuhan membalasmu segera."...
...Aprilia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Pelet Janda Penggoda Episode 01...
Aprilia menangis tersedu-sedu, memeluk lutut di sudut kamar kontrakannya. Dia baru saja manjadi seorang janda, di tinggalkan suami tercinta yang pergi ke pangkuan wanita lain. Aprilia terus membenamkan wajahnya di antara sela-sela lututnya yang menopang rahang wajahnya. Dia meneteskan air matanya, membasahi ubin lantai.
"Mas, tega tinggalkan aku dalam kontrakan seperti ini. Tak kau nafkahi lagi aku dan anakmu!" keluh Aprilia setengah berteriak dengan memukul dadanya kemudian. Dia menangis tersedu-sedu lebih keras dan mulai mejambak dirinya sendiri. Bukan hanya hati yang sakit. Namun, setiap ingatan yang manis di kepalanya bagai peluru yang menerobos jiwanya. Kenangan manis yang biasa membuat dirinya tersenyum, kini menjadi peluru yang melubangi hatinya.
"Dasar janji manis pembohong!" ujar Aprilia yang lalu beranjak bangun mengangkat kepalanya, mengedar acak matanya ke seluruh penjuru ruangan, dan tatapan akhir terminalnya jatuh pada sosok anak lelaki yang tertidur pulas di atas kasur.
Sedih. Aprilia menangis tersedu menatap buah hatinya yang berusia baru setahun. Seakan tiada kesukaran di sana. Wajah Dimas, anak lelakinya terlihat damai dalam tidurnya yang pulas.
Aprilia menghampiri anak lelakinya dan duduk di sisi ranjang, mencium kening anak lelakinya dan tangannya meraba setiap fitur lima indera pada wajah anak lelakinya, "Kau sangat mirip ayahmu, nak. Tetapi, jangan lah sifatmu mengambil dirinya. Dia pria tidak tahu diri."
Aprilia jatuh miring kembali ke lantai, dengan tangan yang meremas jantungnya hingga berdarah-darah, membuat air matanya terus berlinang dan berderai-derai membanjiri lantai.
"A-aku harus bangun," tekad Aprilia menyeka air matanya. "Mencari pekerjaan dan hidup baru di atas kehidupan pria gila itu."
...****************...
Lima Tahun Kemudian ....
Aprilia dengan ibu jarinya mulai menjelajahi jendela media sosialnya, dia dengan hati-hati mencari lowongan pekerjaan. Karena keterbataaan ijasah yang dia miliki hanyalah tamatan Sekolah Menengah Atas, membuat dirinya hanya mengacu pada staf pembantu administrasi di kantor. Lalu, dia segera menyerahkan aplikasi lamaran online melalu email yang tercantum.
Sebelumnya, Aprilia telah mengajukan banyak lamaran. Entah, setiap lamaran miliknya, hanyalah terkirim tanpa ada pemanggilan kerja. Dia menghabiskan hidup 5 tahunnya menganggur, dan menjadi asisten rumah tangga untuk orang lain, serta menjadi simpanan bebas pakai oleh sang pemilik kost.
Aprilia mengehela napas. Dia kembali ke pikiran nyata. Kembali, menatap layar ponselnya. Dia pun segera menekan tombol kirim ke email yang tertuju.
Lamaran online terkirim. Aprilia menarik napas lega, dan hanya berharap HRD perusahaan itu akan segera memanggilnya dan gaji itu dapat memenuhi kehidupan dirinya dan anaknya. Dia tidak perlu bergantungan pada Sadewa, sosok pria genit yang menyukai dirinya. Namun, dalam satu bulan saat ini, Sadewa tidak pernah mengunjunginya lagi. Pria itu terlihat telah melirik janda baru yang lain, yang tinggal di kost yang sama dengan dirinya.
Sabar. Aprilia memohon pada dirinya sendiri.
Aprilia menyeka air matanya lagi. Pergi ke dapur kontrakan kecilnya, dan mulai membuat nasi goreng. Karena, merasa ekonominya begitu terpuruk sangat dalam. Dia menangis kembali dengan banyak air mata yang jatuh ke wajan gorengannya.
"Jangan menangis," dukung Aprilia pada dirinya sendiri, dan punggung tangannya bergerak terus menyeka air matanya sampai bersih.
Tok! Tok!Tok!
Pintu kamar kontrakan di gedor-gedor dengan tinju yang mengepal dan seakan-akan menghancurkan pintu, jika Aprilia tidak segera membuka pintu.
"Maaf, Nyonya Santi," ucap Aprilia dengan sopan bercampur rasa takut.
Santi adalah istri sah Sadewa.
Mata sang pemilik kontrakan itu terlihat mendelik kesal, dan menggerutu segera dengan bibirnya, "Kontrakanmu sudah tiga bulan. Jika tak punya uang. Hari ini, aku akan usir kalian."
Deg! Aprilia mengerjapkan matanya sekaligus hatinya lagi dan lagi. Tagihan kontrakan membuat dirinya, harus memohon kembali meminta belas kasihan wanita paruh baya ini.
"Maaf, Nyonya Santi. Bulan ini tidak bisa."
Sang pemilik kontrakan melotot marah dengan biji mata bersiap keluar, "Kalau begitu, kalian keluar!"
"Nyonya Santi, kasih waktu sedikit ...," mohon Aprilia. Namun, sang pemilik kontrakan terlihat gusar dan tuli. Dia mendorong tubuh Aprilia dari garis pintu. Lalu, menerobos masuk. Membuka lemari dan menjatuhkan seluruh pakaian yang tersusun rapi ke lantai satu demi satu.
"Keluar kalian!" teriak pemilik kontrakan. Lalu, dia melihat anak lelaki yang terlihat masih tidur di kasur, dia segera menghardik, "Anakmu pemalas sekali. Jam segini masih tidur!"
"Jangan bangunkan, Nyonya Santi. Anak saya sedang demam," mohon Aprilia dengan langkah tergopoh-gopoh menghampiri sang pemilik kontrakan dan jatuh bersimpuh memeluk erat betis besar wanita paruh baya tersebut.
"Harus bangunlah! Karena kalian harus keluar dari rumah ini!" Pemilik kontrakan menepis tangan Aprilia, dan pergi ke sisi ranjang dan membangunkan anak lelaki tersebut, "Bangun!"
Dimas membuka matanya dengan raut wajah terlihat di rundung ketakutan. Wajah anak lelaki tersebut terlihat putih seperti kertas. Dia segera turun dari ranjang memeluk erat perut ibunya.
Aprilia dapat merasakan tubuh panas anak lelakinya yang tersentuh kulitnya. Dia pun segera duduk berlutut, memohon belas kasihan, "Jangan usir kami. Kasihani kami."
Pemilik kontrakan tersenyum malas, dan hanya memungut semua pakaian berserakan di lantai dan melemparnya ke teras kontrakan, dan dia pun menarik paksa Aprilia dan anak lelakinya keluar dari kontrakannya, dan mendorong melewati garis pintu. Lalu, dia kembali sebentar ke dalam kontrakan, hanya untuk melemparkan koper dan tas milik Aprilia.
Dengan raga yang berdiri di hadapan dua orang yang terlihat sangat kecil statusnya, membuat dirinya terlihat seperti raksasa kesombongan, dia pun mencibir, "Pergilah dan cari tempat yang bisa menampung kalian."
"Kemana kami harus pergi,bu?" Aprilia
"Kuburan misalnya," ketus wanita itu menjawab. Dia terlihat membenci Aprilia. Karena beberapa waktu yang lalu, dia mendengar gosip jika suaminya Sadewa pernah memasuki wisma yang sama dengan Aprilia.
Aku jijik sekali dengan wanita ini. Lebih baik aku mengusirnya, daripada dia melingkar pada suamiku.
"Kalian segera pergi!"
Aprilia menoleh ke langit. Langit terlihat hitam dan gelap, dan awan menggumpal bewarna abu-abu gelap pekat, akan bersiap menetaskan air langit yang akan deras.
"Selanjutnya akan hujan deras. Jadi, lebih baik kalian segera pergi dan mencari tempat tinggal," lanjut sang pemilik kontrakan, dan bunyi klek terdengar. Dia telah mengunci pintu kontrakan, dan dia berlenggang melangkahi dua sosok kecil yang telah dia usir.
Aprilia menatap punggung yang menjauh dengan sepasang mata merah dan akan meludah api, sekaligus dia berkaca-kaca kasihan untuk dirinya sendiri.
Dasar manusia tidak memiliki hati. Aku hanya berharap Tuhan membalasmu segera.
Aprilia membantu Dimas duduk di pinggir teras. Sementara itu dia memulai memungut satu demi satu pakaian miliknya dan anak lelakinya, dan menyusun rapi dalam koper kemudian.
Setelah semua pakaian penuh mengisi berdesak-desakan dalam koper bewarna biru malam itu. Aprilia menarik kancing dan mengunci dengan sandi yang biasa yang dia gunakan.
"Ayo, nak. Kita pergi."
"Kemana Bu?"
Aprilia hanya diam. Tidak ingin menjawab. Hanya tangan kirinya menyeret koper dan tangan kanannya menggenggam tangan Dimas untuk melangkah bersamanya meninggalkan kontrakan.
Baru beberapa menit telah berlalu, dengan sepasang kaki wanita dan sepasang kaki anak kecil menyusuri sepanjang jalan trotoar jalan raya yang terlihat ramai dengan lalu lintas arus kendaraan dan bunyi klakson yang kadang terdengar.
"Bu! saya lelah," adu Dimas yang merosotkan tubuhnya duduk di pinggir trotoar. Aprilia menghela napas, menyeka air matanya lebih dulu. Barulah, dia duduk di sisi Dimas. Membawa kepala anak lelakinya bersandar di dadanya. Deg! hati Aprilia terbakar seketika ketika telapak tangannya menyentuh kening Dinas yang terasa sangat panas.
"Dimas, apa kepala kamu pusing, nak?"
Dimas hanya mengangguk kecil dengan ufuk kepala yang melekat di dada ibunya. Wajahnya terlihat putih pucat.
......................
Bersambung ....
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini sampai dengan episode ini. Besar harapannya author sih, readers terus mengikuti dan membaca, dan jangan lupa berikan hadiah 🎁, Vote 🎫, Like 👍, dan Coment setelah membaca yah .
Besar dukungan kalian sangat di harapkan Lo
..."Apa kesialanku harus menanggung beban hidup dua orang yang terlihat gelandangan."...
...Puspa [Nana]...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Pelet Janda Penggoda Episode 02...
"Dingin, buk ...," keluh Dimas merapatkan tubuhnya.
Aprilia merangkul erat Dimas dan berjalan sambil memeluknya. Berharap angin tidak menampar dan membuat anaknya menjadi terpuruk lebih sakit.
Berjalan di sepanjang median yang tidak menentu arahnya. Dia tidak memiliki tujuan bersama anak dalam rangkulannya.
"Bu ...," lirih Dimas memanggil dan akhirnya tubuhnya terhuyung tak sadarkan diri. Aprilia cemas dan gugup seketika, mendapatkan puteranya jatuh dalam pelukan tangannya.
Gugup. Dia merogoh ponselnya asal. Menghubungi semua kerabat miliknya dalam daftar kontak. Namun, tidak satupun yang bersedia menanggapi panggilannya. Bahkan sebagian keluarganya menolak panggilannya.
Aprilia mengacak rambutnya bingung, dan mulai tersedu menatap langit malam yang mulai memunculkan awan-awan bewarna hitam.
"Bahkan langitpun enggan bersahabat denganku!"
Tik ... Tik ... Tik ...
Hujan rintik mulai turun membasahi bumi dengan tetesan kecil yang mengejutkan jantung Aprilia. Dia menatap puteranya dalam rangkulan tangannya, dia pun segera menghubungi mantan suaminya.
Beeep! Baru saja nada tersambung, berakhir dengan penolakan panggilan. Deg! Jantung Aprilia bagai di tusuk jarum panjang. Tidak ingin putus asa, dan hanya berharap manta suaminya masih peduli akan Dimas, dia pun mengirim pesan.
Mas, Dimas sedang sakit! Mohon kau ringan hati mengantar Dimas ke rumah sakit!
Setelah menulis dua baris kalimat permohonan nya, Aprilian menekan dial hijau. Pesanpun terkirim. Dengan hati gelisah, dan tangan yang menutupi tubuh dingin Dimas dengan jaket berbahan parasutnya yang menjadi atap teduh menghalay hujan. Aprilia berharap mendapatkan balasan pesan.
Beep! Satu pesan masuk. Tertera nama Gusti di layar ponsel.
Deg! Mendapatkan pesan dari sang mantan suami. Tetap membuat Aprilia berdegup kencang dan rindu menusuk raganya yang telah lama kosong di tinggalkan pria tersebut yang telah merekuh wanita lain, dan membentuk keluarga kecil lebih dulu darinya, padahal tinta perceraian mereka belum kering sama sekali.
Mas Gusti sedang tidur. Dia lelah! Uruslah anakmu sendiri.
Aprilia menggengam ponselnya. Lebih tepat meremas ponselnya, karena mendapatkan balasan demikian dari istri Gusti saat ini.
Tik! Kali ini air mata Aprilia jatuh tersamar bersama air hujan yang jatuh mengguyur bumi. Aprilia mengadahkan kepalanya menatap langit yang hitam pekat dengan kilat cahaya yang berkedip panjang, dan gemuruh mulai menakuti dirinya.
"Ya Tuhan ..., perih sekali derita seperti ini." Aprilia berjongkok, dan memposisikan Dimas bersandar pada punggungnya, dan dia perlahan menggendong tubuh puteranya, menyusuri jalan yang terlihat ramai.
Seketika tiap angkot datang, menyembunyikan klakson, dan menawarkan tumpangan. Aprilia akan segera menggelengkan kepala. Dia tidak memiliki uang sama sekali, bagaimana dia berani menerima tumpangan.
Aprilia hanya berjalan sembarang dan acak tanpa tujuan jelas. Sampai dia begitu lelah dengan punggung yang terus menekannya dirinya dengan beban yang perlahan mulai tak sanggup dia pikul.
Bertahan! Bertahan! pekik Aprilia dalam hati, seraya berjalan menyebrangi jalan yang terlihat lenggang. Namun, baru saja dia menyebrangi setengah jalan. Pandangan matanya perlahan mulai berbayang-bayang dan semua yang awalnya terlihat terang benderang, mulai terlihat kabur, bergoyang, dan berangsur-angsur gelap.
Brukkkk! Aprilia jatuh miring ke samping dengan tubuh Dimas merosot lebih dulu ke aspal. Di saat itu pula sorot cahaya mobil terlihat silau dan menyoroti jalanan.
Mobil itu berhenti. Seorang wanita muda di balik kemudi, terlihat memukul kemudi, dan mengumpat, "Sialan ... apa yang telah aku tabrak!"
Wanita muda itu turun dari mobilnya. Sepasang kakinya terlihat jenjang dengan telapak kakinya di bungkus highells bewarna merah dengan tumit tinggi sekitar dua belas centimeter.
Wanita muda itu turun dan segera menengok ke depan bemper mobilnya. Dia melihat seorang wanita muda dengan puteranya yang tergeletak di jalan beraspal. Dia menutup mulutnya sebentar. Berpikir ingin segera pergi. Namun, hatinya bergerak ingin memeriksa lebih dulu. Diapun perlahan berjongkok memeriksa napas di bawah hidung.
"Masih hidup." wanita muda dengan rambut gelombang bewarna merah tua itu turun membalikan tubuh yang tergeletak di jalan itu, perlahan bergeser ke samping.
"Tidak ada darah ataupun luka. Jadi dia hanya jatuh kaget dan pingsan." Sang wanita muda dengan teliti memeriksa lagi, dan kala dia menyentuh tubuh anak lelaki tersebut. Wajah wanita muda itu berkerut masam, "Dia demam."
Wanita muda itu berdiri kembali. Sedia kala akan pergi meninggalkan. Namun, karena tiba-tiba saja banyak mobil dan sepeda motor menepi. Membuat dirinya di tuntut tanggung jawab, dia tidak boleh lari begitu saja.
"Ada apa dengannya?" tiba satu suara bariton mengejutkan.
Wanita muda itu menoleh dan mendapati seorang pria bertubuh tegap dengan seragam cokelatnya.
"Dia jatuh pingsan. Aku belum menabraknya, sumpah!"
"Berikan identitasmu, Bu!"
Wanita muda itu berbalik masuk ke dalam mobilnya.Merogoh-rogoh dompet dalam tasnya.Menemukanua. Dia segera membuka dompet dan memberikan kartu identitasnya. Buru-buru dia menyerahkan kartu identitas dengan tangan sedikit gemetar dan gugup.
"Ini pak!"
"Puspa Dewi," sebut pak Polisi menerangkan nama sang pemilik identitas. Kemudian, dia menyerahkan kembali dan memeriksa dua sosok yang masih tergulai lemas dan tak sadarkan diri.
"Sebaiknya ibu mengantar ke rumah sakit, apa ibu bersedia?"
Puspa mengangguk setuju dengan sangat terpaksa dia menyanggupi untuk mengantar ke kantor polisi.
Pak Polisi mulai mencari identitas orang yang tergeletak tersebut. Tidak lama, dia menemukan KTP dan kartu keluarganya, serta ponselnya.
"Aprilia Permata Indah dan Dimas Putra." Pak polisi menyerahkan kartu keluarga dan KTP pada Puspa, "Identitas ini bisa membantu untuk mencari kerabat dekat."
Lalu, di serahkan ponsel milik Aprilia dalam genggaman Puspa.
Tidak lama kemudian, Pak polisi membopong masuk Aprilia dan puteranya masuk ke dalam mobil Puspa. Setelah Puspa menyanggupi untuk mengurus Aprilia dan bersedia menghubungi keluarga Aprilia. Pak Polisi pun pergi meninggalkan lokasi tersebut.
Tersisa Puspa yang duduk di balik kemudi mobil, dengan dua orang yang baru dia jumpai. Puspa mendengus kesal, "Apa kesialanku harus menanggung beban hidup dua orang yang terlihat gelandangan."
Puspa menatap kartu keluarga dan KTP, "Wanita yang masih sangat muda, dan telah memiliki anak usia berusia 5 tahun. Pastilah pernikahan dini."
Puspa menoleh ke belakang dan menatap wanita yang baru dia ketahui bernama Aprilia, "Pasti kalian dua gelandangan yang tengah kelaparan. Jatuh pingsan tepat di depan mobilku. Untung saja mobilku tidak melindas kepalamu," gerutu Puspa dan menginjak pedal gas.
Perlahan mobil sedan merah milik Puspa melaju membelah malam yang sepi dengan gerimis hujan yang masih membasahi bumi. Dengan bantuan Gmaps yang memberi rute perjalanan menuju rumah sakit. Membuat Puspa lebih muda menemukan rumah sakit terdekat.
Dalam hanya waktu 30 Menit. Mobil Puspa telah mencapai halaman rumah sakit, dan dengan bantuan para medis, dua orang yang baru dia temui, telah di rebahkan di ranjang UGD.
......................
Bersambung ....
..."Aku tidak punya uang. Oleh itu, aku hanya cocok mengemis di kaki orang lain."...
...Aprilia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Pelet Janda Penggoda Episode 03...
Gedung Rumah sakit terlihat menjulang tinggi. Aprilia dan anaknya tidur dengan ranjang yang bersisian. Sementara itu, Puspa seorang wanita bergaun tipis bewarna merah menyala nampak mengarahkan setiap matanya melihat ke luar jendela.
Malam itu tampak tidak cerah. Gumpalan awan hitam terlihat menghalangi cahaya jutaan bintang yang bertebaran di langit. Angin menderu dengan perlahan masuk melalui jendela yang di buka oleh Puspa, dan mengirim rasa dingin yang mengigit tulang. Namun, berkat cairan merah dalam cawan ramping di tangan kanannya, dia mampu menghangatkan tubuhnya kembali.
" Arrrrg ...," erang wanita yang berbaring di ranjang. Dia tampak bangun berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat. Puspa segera memutar tubuhnya , dan berjalan menghampiri sisi ranjang wanita yang telah dia tolong dua hari yang lalu.
"Sekarang kau benar-benar bisa bangun!"
"...." Aprilia membuka matanya lebar seketika. Walau kepalanya masih sangat sakit, dia masih mengedarkan acak pandangannya, menatap langit-langit ruangan yang bewarna putih tulang, dan terminal terakhir tatapannya jatuh pada sosok wanita bergaun merah.
"Aku dimana?" Aprilia menatap pada Puspa, dengan tangan yang terus memijit pelipisnya. Kepalanya masih terasa sangat pusing, pandangannya masih terlihat bergoyang-goyang.
"Ini rumah sakit!" Sahutan wanita itu terdengar ketus. Aprilia hanya menyimpan ketakutannya sekaligus rasa sungkannya dalam hati.
Apakah wanita ini menolongku? Aprilia membuka bibirnya yang masih terasa sangat kering kerontang, dia memaksakan dirinya berkata, "Terima kasih sudah menolong!"
"Anakku?" Aprilia menoleh dan mencari Dimas, dan dia menarik napas, terasa lega kala menemukan Dimas terlelap di ranjang yang bersebelahan dengan miliknya.
Wanita ini kah yang menolongku dan Dimas? Aprilia kembali menatap dengan wajah bersemu merah, dia merasa malu telah merepotkan seseorang yang baru dia kenal saat ini.
"Terima kasih lagi atas bantuanmu ...," ucap Aprilia lembut. Namun, hanya deru napas kasar yang terlihat naik turun mengisi dada wanita itu. Ekspresi wanita itu terlihat tidak bersahabat.
Duh, apa ada yang salah? Aprilia segera memposisikan dirinya duduk. Ingin rasanya dia melompat berjongkok di atas lantai, dan memegang kaki wanita di depannya, sebagai ucapan terima kasihnya. Tetapi, geraknya terhalangi oleh selang infus yang melingkar pada pergelangan tangannya. Akhirnya dengan tangannya mengacung tinggi di udara, membiarkan selang itu terulur panjang, tidak menghalangi pergerakan dirinya.
Aprilia menumpukkan sepasang lututnya di lantai, dan satu tangan kirinya memegang kaki wanita yang terlihat makin angkuh, dan dia menjatuhkan kepalanya menunduk dalam menatap ujung sepatu wanita itu.
"Aku meminta maaf, sudah merepotkanmu. Aku sangat berterima kasih!"
Puspa mencibir dengan bibir merahnya. Sepasang matanya terlihat menjuling malas, "Cium Kakiku! dasar sampah merepotkan!"
Aprilia mendongakkan kepalanya ke atas, menatap dagu wanita itu teracung tinggi dan angkuh. Cium Kakiku!
Aprilia menelan pahit. Haruskah aku seperti itu? Mencium kakinya ....
Ujung sepatu Puspa terlihat bergoyang mengayun mendekati wajah Aprilia, "Dengan mencium kaki. Aku menghapus dosamu karena telah merepotkanku!"
Deg! Degup jantung Aprilia terdengar melompat tinggi, dan dia menatap nanar akan kaki berbalut sepatu yang terlihat wah dan indah dalam satu tampilan. Namun, akhirnya Aprilia menundukkan kepalanya, dan mendekatkan ujung bibirnya akan bersiap mencium kaki wanita di depannya.
"Heh!" Puspa menegur dengan kaki yang di goyangkan menjauh dari bibir wanita dengan status janda anak satu tersebut.
"Lepas dulu sepatunya. Baru kau cium Kakiku!"
Aprilia berhenti bernapas mendengar saran yang merendahkan dirinya, dia seperti telah di dorong masuk ke dalam tong sampah. Tidak ada harganya.
Dia bukan penolong! dia setan, umpat Aprilia menahan amarah, seraya tangannya melepaskan sepatu wanita itu. Kini, terlihat punggung kaki yang terlihat putih seperti susu, halus dan lembut berada dalam genggaman tangan Aprilia.
"Harga diri tidak perlu kau ingat lagi. Karena, kau tidak punya uang! Dasar miskin!" celetuk Puspa kala menangkap keraguan wanita yang berlutut di dekatnya kakinya itu.
Aprilia menelan ludahnya. Dia memang sedang menimang-nimang soal harga dirinya. Tetapi, kalimat wanita di depannya itu benar-benar telah melucuti selimut harga dirinya.
Aku tidak punya uang. Oleh itu, aku hanya cocok mengemis di kaki orang lain.
Aprilia pun menurunkan kepalanya, perlahan bibir putih keringnya menyentuh hati-hati kaki wanita di depannya.
"Tahan dan cium kakiku! Jangan lepaskan degan mudah!"
Aprilia hanya memejamkan matanya. Tidak berani mengindahkan teguran wanita itu. Dia terus menempelkan bibirnya, hingga air matanya pun ikut jatuh membasahi punggung kaki wanita itu.
"Kau jangan menangis! Dunia ini kejam. Jika saudaramu saja, enggan memberikan uang. Apalagi diriku! Oleh itu, aku ingin melihat bagaimana rupa dirimu seperti anjing yang setia padaku."
Aprilia menarik napasnya yang bercampur dengan Isak yang naik turun dalam dadanya dan tenggorokannya. Wanita ini terlahir kejam. Jika tidak ingin menolong, bukankah seharusnya kau tinggalkan saja kami di pinggir jalan.
"Apa kau tau? Biaya inap untuk kalian berdua itu sejuta semalam. Belum lagi obat dan lain-lain." Puspa terlihat kesal dan marah mengingat dia telah menguras saldo bank, hanya untuk mengurusi ibu dan anak yang tidak memiliki hubungan darah yang sama dalam tiap nadi mereka.
"Anakmu itu!" Puspa menunjuk tubuh anak lelaki yang masih terbaring di ranjang dengan pulasnya.
Anakku Dimas, ada apa dengan Dimas?
Aprilia menatap kosong dengan bibir yang terus menempel erat pada punggung kaki wanita itu. Dia sudah melupakan harga dirinya, kini pikirannya hanya mengkhawatirkan Dimas.
"Anakmu itu harus di rawat di rumah sakit selama 7 hari. Karena DBD! Kita baru berkenalan. Tetapi kalian sudah menguras uangku. Menguras keringatku!"
Aprilia menitikkan air matanya. Air matanya banjir turun bak hujan menyentuh bumi, sangat banyak kesedihan dan luka yang ikut tersayat di dalam daging hatinya.
"Maaaf ...," lirih Aprilia gentar akan setiap kata yang telah menjadi beban orang lain.
Satu cawan air anggur tiba-tiba membasahi kepala Aprilia. Manis terkecap jatuh di antara sela-sela bibir putih yang bergetar mencium kaki wanita angkuh itu.
Cih! Puspa meludah ke lantai. Dia memang terlahir sebagai wanita yang kikir dan suka mengepalkan tangan jika menyangkut uang. Karena, dirinya pun hanyalah seorang wanita penghibur di salah satu hotel bintang Lima. Uang yang di kumpulkan selama ini adalah untuk mengorbitkan dirinya menjadi artis pendatang baru,dan untuk memperbaiki setiap detail wajah.
"Kau pikir kau bisa bayar dengan satu kata! Kau harus menggantinya dengan uang! Jika tidak, aku akan membawa anakmu keluar hari ini! Biarkan anakmu mati karena demam tinggi!"
Aprilia segera mendongakkan kepalanya, sepasang matanya terlihat berembun, diapun lirih memohon, "Jangan, aku mohon. Aku akan perlahan membayarmu!"
Puspa menarik kakinya dari tangan Aprilia. Dia terlihat menyimpan rencana dalam hatinya, kala dia lekat-lekat menatap wajah Aprilia, yang terlihat manis dan cukup cantik.
"Perjanjian hitam di atas putih! Kau harus membayarnya!"
......................
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!