Selamat membaca🤍
Kring.. Kring.. Kring
Suara alarm dari ponsel itu berbunyi sangat nyaring, membangunkan seorang gadis cantik yang sedang terlelap dalam tidurnya.
Gadis tersebut langsung mematikan alarm ponsel yang berada di samping tempat tidurnya sambil mengucek mata menyesuaikan cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela.
Gadis cantik yang sempat kehilangan nyawa itu menggeliatkan tubuhnya dan segera bangun dari tidurnya untuk menyambut hari pertama libur panjang sekolahnya setelah satu minggu bergulat dengan soal yang sangat rumit.
Drt.. Drt.. Drt..
Namun saat gadis itu ingin melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tiba-tiba saja ponsel miliknya bergetar menampilkan nama Hanin.
Halo Ca
Apa?
Gadis yang baru saja bangun dari tidurnya dan mengangkat sambungan telpon itu bernama Echa Aprilia Anjani, sering di panggil Caca, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan lebih dari anak indigo lainnya.
Jadi kan pergi?
Pergi? Kemana?
Ya ampun Ca! Jangan bilang baru bangun tidur!
Sedangkan orang yang berada dalam sambungan telpon Echa itu bernama Hanin Anjani Tifanka, sahabat baik Echa, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan untuk merasakan aura di sekitar, siapapun bisa memiliki kemampuan seperti Hanin.
Iya Caca baru bangun, emang nya kenapa?
Kita mau ke rumah Kak Tiara kan?
Ya ampun Nin! Caca lupa.
Hanin tunggu 10 menit.
Oke, oke tunggu Caca siap-siap dulu, masuk aja ke rumah, kayaknya Bi Neni udah masak deh.
Tut.
Echa mematikan sambungan telponnya itu secara sepihak tanpa menunggu jawaban dari Hanin, meskipun dia tahu bahwa saat ini Hanin sedang kesal karena telponnya di matikan secara sepihak.
Dirinya langsung lari terbirit-birit masuk kedalam kamar mandi. Suara gemercik air terdengar dari dalam kamar mandi, tanda bahwa Echa sudah memulai ritual mandinya.
...----------------...
Bagaikan kilat, saat ini Echa sudah selesai dengan ritual mandi paginya dengan memakai outfit simpel.
Dia langsung bergegas turun ke bawah untuk melihat apakah Hanin sudah sampai atau belum.
"Bii," panggil Echa sambil menuruni anak tangga dengan terburu-buru.
"Iya?" sahut Bi Neni yang berada di ruang tamu.
"Hanin udah kesini?" tanya Echa melihat kearah Bi Neni yang sedang membersihkan ruang tamu rumahnya.
"Belum." jawab Bi Neni.
Echa langsung bernafas lega saat mendengar perkataan Bi Neni bahwa Hanin belum datang ke rumahnya.
Ting.. Tong.. Ting.. Tong..
Suara bel rumah milik Echa berbunyi berkali-kali, menandakan ada seorang tamu yang datang ke rumah Echa.
"Biar Caca aja yang buka Bi," ucap Echa sambil melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Udah siap?" tanya seseorang yang sedang berdiri di hadapannya.
"Udah Nin," jawab Echa.
Orang yang membunyikan bel rumah Echa adalah Hanin. Dia tidak mengharapkan siapapun lagi saat membukakan pintu rumahnya, kecuali Hanin.
"Kirain belum siap." ucap Hanin.
"Baru aja beres." ujar Echa sambil melangkahkan kakin menuju meja makan untuk mengisi perutnya yang sudah memberi tanda untuk segera di isi, di ikuti dengan Hanin di belakangnya.
"Soal hubungan Caca sama Kak Bara gimana?" tanya Hanin.
Bara Gatramana adalah seseorang yang selama 1 tahun kurang ini selalu menemani ke kosongan hari-hari Echa, menemaninya di setiap detak jantungnya dan detik waktunya, alasan Echa untuk tetap bertahan hidup saat keluarganya meminta dia untuk pulang karena tugasnya di dunia sudah selesai.
Namun alasan untuk Echa bertahan hidup malah pergi meninggalkan dirinya sendirian, di dunia baru tanpa kehadiran Bara. Satu nama yang selalu berada dijajaran paling atas alur hidupnya.
"Caca juga gak tau." jawab Echa sambil memakan sarapannya itu.
"Katanya mau pindah ya?" tanya Hanin. Sedangkan Echa hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia belum ingin menceritakan tentang kepergian Bara kepada siapapun. Pamitnya Bara adalah hal yang Echa hindari beberapa hari kebelakang.
Hanin tidak melanjutkan percakapan nya itu karena dia tahu jika Echa sudah tidak menanggapi pertanyaannya berarti Echa sedang tidak ingin melanjutkannya lebih jauh.
Sebelum hari terakhir pengumuman liburan, Bara memberitahu bahwa dirinya dan Aira akan pindah keluar negeri untuk berkumpul dengan keluarganya, kemarin adalah hari dimana Bara dan Aira pergi keluar negeri.
FLASHBACK ON
Saat ini Echa sedang berada di kantin sekolah sambil menunggu teman-temannya yang belum keluar, dia adalah orang pertama yang sudah selesai dengan kumpulan soal rumit di satu lembar kertas. Namun bagi Echa soal itu tidak terlihat rumit.
"Ca," panggil seseorang yang kini sudah berada di hadapan Echa.
"Kakak udah selesai?" tanya Echa sambil tersenyum ke arah orang yang memanggil namanya.
"Udah." jawab orang tersebut mendudukkan dirinya disebelah Echa.
"Kak Bara mau makan?" tanya Echa ketika Bara sudah duduk di sampingnya.
Orang tersebut adalah Bara, siapa lagi yang berani mendekati Echa selain Bara?
"Gak perlu." jawab Bara menundukkan kepalanya beberapa detik sebelum pada akhirnya menatap mata Echa.
"Oh ya udah," ucap Echa.
"Kakak mau ngomong." ujar Bara dengan tatapan serius.
"Kan ini udah ngomong." ucap Echa. Bara hanya menghela nafasnya saat mendengar ucap Echa. Rasanya berat sekali ketika harus mengucapkan kata pamit.
"Ya udah iya, Kakak mau ngomong apa?" tanya Echa sambil menggenggam tangan Bara. Sedangkan Bara tidak menjawab pertanyaan Echa, dia masih menatap lekat mata Echa.
"Katanya mau ngomong, ngomong apa?" tanya Echa penasaran ketika Bara malah tidak menjawab pertanyaannya.
"Kakak mau pergi." jawab Bara.
"Kemana?" tanya Echa tanpa rasa curiga sedikit pun.
"Ke luar negeri. Nyusul Mama," jawab Bara dengan tatapan seriusnya, sedangkan Echa hanya diam tak berkutik saat mendengar perkataan Bara, secara perlahan tangan yang Echa genggam kuat kini sudah tidak sekuat tadi lagi. kalimat yang singkat itu membuat hatinya terasa sesak.
"Sekarang?" tanya Echa.
"Udah beres ujian sorenya langsung berangkat," jawab Bara yang melihat mata Echa mulai tak seantusias tadi.
Echa hanya bisa menghela nafasnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, jika memang Bara harus pergi karena keluarganya, alasan apa yang harus Echa keluarkan untuk mencegah Bara agar tidak pergi? Bara juga tak pernah main-main dengan perkataan yang keluar dari mulutnya.
"Kalau emang harus pergi gak apa-apa kak, pergi aja." ucap Echa sambil tersenyum ke arah Bara, meskipun hatinya terasa sakit saat mendengar penuturan Bara.
"Yakin?" tanya Bara sambil menggenggam tangan Echa.
"Apa lagi yang harus di yakinin? Meskipun Caca bilang gak boleh, Kakak harus tetep pergi kan? Kakak gak usah khawatir soal Caca, Caca bakalan baik-baik aja disini." jawab Echa.
"Di bilang berat buat Caca emang berat, tapi Caca gak bisa bilang gak boleh buat kebaikan Kakak sama Aira, di sana Kakak bakalan ketemu sama keluarga Kakak," sambung Echa sambil mengusap air mata yang ada di sudut matanya.
Semenjak kejadian gerhana bulan merah yang merenggut nyawa Echa, jiwanya seolah tidak tenang saat ingin melangkah pergi, karena Bara selalu saja memanggil namanya dengan seruan yang pilu.
"Jangan nangis.." ujar Bara yang melihat air mata Echa menetes. Sedangkan Echa hanya tersenyum sambil menghapus air matanya dan menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Kakak baik-baik ya di sana, jangan lupa disini Caca selalu nunggu kakak pulang," ucap Echa.
Bara menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, dia juga sebenarnya merasakan hal yang sama seperti yang Echa rasakan saat ini. Sakit, sesak dan berat.
FLASHBACK OFF.
Di meja makan tersebut tidak ada perkataan atau pertanyaan apapun, hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang saling sahut menyahut. Setidaknya di meja makan itu tidak ada kekosongan seperti hati Echa saat ini.
......................
...Apapun rintangannya lihat lah hasil akhirnya lalu ambillah kesimpulan....
...-Echa Aprilia Anjani-...
Selamat membaca🤍
10 menit telah berlalu, kini Echa dan Hanin sudah selesai dengan acara makannya itu. Mereka harus bergegas pergi kerumah Mutiara.
"Udah selesai?" tanya Echa sambil merapikan meja makannya.
"Udah." jawab Hanin.
"Bi, ini maaf ya Caca gak bantuin," ucap Echa.
"Gak apa-apa simpen aja di situ, biar Bibi yang beresin," sahut Bi Neni yang sedang berada di dapur.
"Ayo," ajak Echa.
Mereka berdua melangkahkan kakinya pergi keluar untuk segera menemui teman-temannya yang berada di rumah Mutiara.
Saat Echa berada di dalam mobil, dia hanya menatap keluar jendela meratapi perginya seseorang yang selalu ada di kehidupannya.
Sedangkan Hanin hanya bisa mengelus pundak Echa yang sedang di landa dilema, Hanin dapat merasakan di tinggal pergi oleh seseorang yang telah dia sayangi.
"Hanin tau, Caca pasti bisa lewati semua ini sendirian, Hanin juga tau Caca sekuat dan setegar apa dalam menghadapi setiap masalah tapi buat kali ini Caca bisa kok nangis sekeras-kerasnya kalau emang udah cape banget," ucap Hanin sambil melihat kearah Echa yang sedang meratapi jalanan dari jendela.
"Caca bisa lewatin semua ini," ujar Echa sambil tersenyum dan menggenggam tangan Hanin.
"Hanin tau ini pasti berat," ucap Hanin yang masih mengelus pundak Echa.
"Caca belajar dari perginya Kak Bara. Kalau kita terlalu bergantung dengan orang, akan ada saatnya orang itu pergi di waktu yang tidak tepat," ujar Echa yang sedang menahan air matanya.
"Gak apa-apa nangis aja, Hanin tau pertama kali mengikhlaskan itu harus penuh dengan air mata," ucap Hanin sambil memeluk Echa yang sedang menahan tangisannya itu.
"Caca gak perlu khawatir soal gimana nge hadapin dunia ini tanpa Kak Bara, Hanin disini selalu sama Caca apapun yang terjadi," ucap Hanin yang merasakan air mata Echa membasahi bajunya.
Echa hanya menganggukkan kepalanya sambil menangis tanpa suara di pelukan Hanin. Yang dikatakan soal Hanin tentang mengikhlaskan harus dengan air mata itu memang sesuatu yang sangat menguji ketegaran hati.
"Nangis aja sampai Caca tenang. Jangan simpan bebannya sendirian," ujar Hanin sambil mengelus lembut punggung Echa.
Caca selalu berharap kalau ini cuman mimpi, tapi ini adalah kenyataannya. ucap Echa dalam hati.
...----------------...
15 menit telah berlalu, Echa dan Hanin sudah sampai di rumah Mutiara.
Setelah kejadian di mobil tadi, Echa sedikit lega dengan apa yang selama ini membebani hatinya.
"Kita kira Caca gak bakalan datang," ucap Nathan.
"Caca pasti dateng ko, Caca gak mau karena perginya Kak Bara hidup Caca jadi gak ada semangatnya sama sekali," ujar Echa sambil tersenyum manis.
Sedangkan semua orang yang berada di rumah itu hanya tersenyum penuh arti dan saling menatap satu sama lain.
"Hebat ya Ca, bisa sekuat ini. Padahal long distance relationship itu gak enak," ucap Ivy.
"Meskipun berat tapi Caca gak bisa apa-apa," ujar Echa.
"Oh iya Kak Tiara mana?" tanya Echa yang mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin air matanya turun di saat seperti ini.
"Tiara ada di dapur, lagi buat makanan." jawab Alvero.
"Caca pergi bantuin Kak Tiara aja ya," ucap Echa.
"Bantu aja Ca, itu emang kita tunggu," ujar Ivy polos.
"Ya udah Caca pergi dulu ya," ucap Echa sambil berlalu pergi, di saat yang bersamaan dengan perginya Echa, semua orang yang sedang berkumpul itu saling tersenyum penuh arti.
"Gak tau ya Ca, kalau di dapur ada apa?" tanya Ivy dengan suara yang pelan dan senyuman penuh arti.
Saat Echa tiba di dapur, dia tidak melihat ada keberadaan Tiara di sini, dia hanya melihat beberapa makanan yang belum jadi.
Echa langsung membereskan makanan yang sedang Mutiara simpan begitu saja.
Dia sedang memotong bawang merah yang masih utuh. Namun karena dirinya terlalu banyak melamun jari tangannya itu sedikit tersayat oleh pisau yang dia pegang sendiri.
"Aww..." ringgis Echa saat melihat jari tangannya yang berdarah.
"Kalau lagi di dapur jangan ngelamun." ucap seseorang yang berada di belakang Echa. Seseorang yang Echa kenali.
Gak mungkin. ucap Echa dalam hati saat mendengar ucapan seseorang yang berada di belakangnya.
Orang tersebut langsung membalikkan tubuh Echa dan melihat luka yang ada di tangannya. Sedangkan Echa hanya diam tak berkutik melihat seseorang yang berada di hadapannya ini.
Kak Bara. ucap Echa dalam hati sambil menatap orang tersebut yang sedang membersihkan darah di jarinya.
Gak mungkin, Caca pasti lagi halu, Kak Bara lagi di luar negeri kenapa bisa tiba-tiba disini? Ini halu seratus persen pasti halu banget.ujar Echa dalam hati sambil menarik tangannya dan memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya.
Ibu, tolongin Caca, ini pasti bohong kan? jangan buat Caca berharap lebih kalau Kak Bara emang datang beneran. Caca gak mau sakit lagi, baru aja tadi nangis. Seseorang atau siapapun tolong sadarin Caca dari halu ini. sambung Echa dalam hati.
"Gak mungkin." ucap Echa sambil mengucek matanya. Namun hasilnya nihil, orang yang Echa panggil dengan sebutan Bara itu masih belum menghilang dari hadapannya.
"Iya ini Kakak," ujar Bara yang sedang menatap gemas ke arab Echa.
"Masih gak percaya kalau ini Kakak?" tanya Bara.
"Ini beneran Kakak kan?" tanya Echa sambil menatap wajah Bara yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Iya." Jawab Bara sambil memeluk Echa.
Echa yang mendapat pelukan itu langsung membalas pelukan Bara, melepas rasa rindu ya g baru saja di tinggal selama 1 hari, tapi baginya 1 hari itu ibarat 1 abad
......................
...Mengikhlaskan dan melepaskan itu dua hal yang paling berat untuk di laksanakan....
...•Hanin Anjani Tifanka...
Selamat Membaca🤍
Setelah kejadian di dapur tadi, semua orang langsung berkumpul di ruang tamu.
"Gimana Ca?" tanya Azka sambil tertawa.
"Biasa aja." jawab Echa.
"Biasa aja apa luar biasa banget?" tanya Hanin yang sedang menaik turunkan alisnya.
"Ish, kenapa sih, jangan gitu Caca malu," jawab Echa sambil menutup wajahnya yang terlihat memerah. Semua orang hanya yang ada di sana hanya tertawa melihat Echa yang memerah seperti itu.
"Oh iya, Kak Rara, Shiren sama Kak Gavin mana?" tanya Ivy yang sedang memakan cemilan.
"Rara lagi keluar negeri sama orang tuanya, kalau Gavin sama Shiren gak tau dimana," jawab Mutiara.
"Terus Devan?" tanya Echa.
"Devan bakalan kesini Ca, ngapain nanyain dia?" tanya Hanin sambil tersenyum penuh arti.
"Oh, gak apa-apa Caca cuman tanya aja," jawab Echa yang merasakan tatapan Bara sedang menuju ke arahnya saat mendengar nama Devan di sebut olehnya.
"Permisii! ada orang?" teriak seseorang sambil masuk kedalam rumah.
"Tuh yang ditanyain nongol, panjang umur," ucap Alvero saat mendengar suara teriakan orang tadi.
"Woi Van, ini rumah bukan hutan." ucap Azka.
"Aelah ya maaf, kirain gak ada orang, dari tadi Pijit-pijit bel gak ada yang bukain pintu." ujar Devan.
"Udah, duduk dulu pasti capek kan?" tanya Mutiara sambil memberikan Devan air putih.
"Ah baik banget," jawab Devan sambil mengambil air putih itu dan duduk di sebelah Echa.
Sedangkan Bara yang melihat itu langsung melemparkan gelas aqua yang sudah habis kearah Devan.
Pletak.
Gelas aqua itu tepat mengenai kepala Devan, sasaran Bara tak pernah meleset sedikitpun.
"Ck, iya Devan ngerti, Devan lesehan aja di bawah." ucap Devan sambil duduk di bawah karpet namun kini Devan duduk lebih dekat ke arah Echa.
"Kakak, kasian tau jangan gitu." ucap Echa sambil menatap tajam kearah Bara. Sedangkan Bara hanya menghela napasnya pasrah saat Echa sudah menatap dirinya seperti itu.
"Aaaa, Hanin juga pengen kayak gitu," ujar Hanin yang melihat pertengkaran antara Bara dan Echa.
Pletak.
Suara itu terdengar dari kepala Hanin yang di lempar bekas gelas aqua oleh Nathan.
"Gitu kan?" tanya Nathan.
"Ish, gak ke Hanin juga Kak. Sakit nih, gimana kalau Hanin jadi amnesia terus lupa sama semua orang?" tanya Hanin yang menatap kesal ke arah Nathan.
"Bukannya tadi pengen kayak Bara? Kak Nathan gak salah dong Nin," jawab Ivy yang tertawa melihat Hanin mengaduh kesakitan.
"Untung temen." ucap Hanin sambil mengelus dadanya.
Semua orang tertawa mendengar pertengkaran antara Hanin dan Ivy yang tidak ada beres-beresnya, Echa melihat tawa bahagia itu dirinya seolah kembali teringat tentang kejadian malam gerhana bulan merah.
FLASHBACK ON
Echa berada di suatu tempat yang bernuansa serba putih, matanya terus melihat sekeliling tempat tersebut, dia tidak melihat apa-apa, bahkan dirinya tidak melihat satupun orang.
"Ibu!!" teriak Echa sambil melihat sekeliling ruangan putih itu.
"Nak, kemari lah," ucap seseorang yang suaranya Echa kenali.
Mama. ucap Echa dalam hati.
"Mari kita pulang, Caca udah terlalu capek kan?" tanya suara itu lagi.
"Mama dimana?" tanya Echa saat mendengar suara Mama nya itu.
"Ayo." ajak Mama Echa yang kini sudah ada di hadapan Echa, dia melihat wajah yang sudah membesarkannya selama ini, meskipun hanya membesarkan saja tapi Mama nya itu telah membantunya merangkak, berjalan dan berlari.
"Mama, Caca kangen banget sama Mama." ucap Echa sambil memeluk Mamanya itu.
"Kamu udah tau semuanya ya?" tanya Mama nya itu. Echa hanya menganggukkan kepalanya sambil terus memeluk Mamanya itu.
"Ayo pergi. Tugasmu sampai disini, Mama gak mau kamu capek sama kemampuan yang kamu milikin," ucap Mamanya itu.
"Tapi ibu?" tanya Echa.
"Caca!" teriak Hanin yang menggema di seluruh ruangan, teriakan yang belum pernah Echa dengar.
"Hanin?" tanya Echa sambil melihat sekeliling ruangan.
"Ca," panggil Bara yang suaranya menggema di ruangan putih itu.
"Kak Bara?" tanya Echa.
"Ayo. Mama gak mau liat kamu sakit lagi," ajak Mamanya sambil menggenggam tangan Echa untuk membawanya pergi.
"Kakak keliatan baik-baik aja di luar Ca, Kakak tenang di luar, Kakak kayak yang gak peduli waktu Caca pergi, Itu cuman di luar aja Ca, Tolong dengerin hati Kakak, Caca pasti bisa dengerin suara hati Kakak," ucap Bara.
"Kakak," panggil Echa sambil meneteskan air matanya.
"Ayo Nak." ajak seseorang yang suaranya Echa kenali.
Ayah. ucap Echa dalam hati saat melihat orang tersebut juga sudah menggenggam tangannya.
"Ayo kita pergi, kamu sudah menyelesaikan semuanya," ajak Ayahnya itu. Echa menganggukkan kepalanya sambil melangkahkan kakinya.
"Kakak mohon untuk yang satu ini, Kakak mohon Caca bangun, Kakak bakal turutin apa aja mau Caca, apapun itu Kakak janji," ucap Bara dengan suara seraknya.
Langkah Echa langsung terhenti saat mendengar ucapan Bara.
"Kenapa berhenti?" tanya Mamanya.
"Ayo Nak." ajak Ayahnya. Echa menganggukkan kepalanya lemah, dia terlihat ragu dalam melangkah.
"Ca. Ini Ibu Nak,"ucap Ibunya Echa yang kini suara menggema.
"Ibu?" tanya Echa yang memberhentikan langkahnya lagi.
"Ayo Nak bangun, apa kau tidak mau memeluk ibumu ini?" tanya Ibunya Echa.
"Caca mau Bu, Caca mau peluk Ibu tapi Caca harus pergi," jawab Echa.
"Ayo Nak bangun, kamu pasti mendengarkan suara ibu," ucap Ibunya Echa.
"Iya Bu, Caca denger suara Ibu disini, Caca jiga denger suara semuanya," ujar Echa yang kini sedang menangis.
"Siapa yang memberatkan mu pergi?" tanya Mamanya Echa sambil mengelus lembut rambut Echa.
"Semuanya," jawab Echa.
"Tapi ini sudah waktunya kamu pergi," ucap Ayahnya Echa sambil menghapus air mata Echa.
"Ca, apa yang harus Kakak bilang ke Mama soal Caca?" tanya Bara.
"Bunda An," ucap Echa.
"Kakak gak bisa nge hadapin Mama pas nanti tanya dimana Caca, kemana Caca, kenapa Caca. Kakak gak bisa nge hadapin pertanyaan Mama," ujar Bara.
"Jaga dirimu baik-baik Nak." ucap Mamanya Echa sambil tersenyum ke arahnya.
"Kami akan selalu menjagamu disini," ucap Ayahnya Echa sambil mencium keningnya.
Secara bersamaan wajah Mama dan Ayahnya menghilang bersama dengan cahaya putih yang menyilaukan mata dan semuanya langsung menggelap, dia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
FLASHBACK OFF
Setelah kejadian itu, Bara tidak pernah mengingkari janjinya, Bara selalu menuruti apa kemauan Echa.
Roslyn Ibunya Echa, dia sedang mengurus beberapa perusahaan yang sempat berhenti di tangan keluarganya dan perusahaan yang sempat dia rintis sendiri.
"Udah gak boleh ribut," ucap Mutiara saat mendengar percakapan antara Hanin dan Ivy yang masih belum berhenti.
"Eh, gimana kalau kita liburan?" tanya Devan.
"Bener juga kata Devan," ucap Alvero.
"Tapi enaknya kemana?" tanya Azka.
"Gimana kalau ke daerah pedesaan gitu? Menurut Devan sih mending ke pedesaan gitu, soalnya hidup kita penuh dengan polusi," ucap Devan.
"Emang ada saudara di sana?" tanya Nathan.
"Apa sangkut pautnya sama saudara?" tanya Devan bingung.
"Terus mau tidur dimana? Mau lesehan?" tanya Bara sambil menatap ke arah Devan yang sedang menyandarkan tangannya ke kaki Echa.
"Terkadang orang yang lagi marah cepat tanggap ya," ucap Mutiara.
"Iya juga sih, kita mau tinggal dimana coba?" tanya Hanin.
"Ngontrak aja." jawab Ivy polos.
"Vi, lain kali naro otaknya jangan di dengkul, di kira kontrakan itu segede apa?" tanya Azka.
"Ya kalau kita cari nya yang gede bakalan gede," jawab Ivy.
"Shiren tau tempatnya," ucap Shiren yang datang secara tiba-tiba bersama dengan Gavin di belakangnya.
"Kirain gak bakalan kesini," ujar Echa.
"Bakalan lah Ca," ucap Shiren sambil duduk di sebelah Echa.
"Jadi dimana tempatnya?" tanya Nathan to the point.
"Shiren punya satu Villa di perkebunan gitu tapi udah lama gak di pake sih," jawab Shiren.
"Gimana kalau ada hantunya?" tanya Ivy.
"Bukannya itu yang kita liat sehari-hari ya Vi?" tanya Echa.
"Caca sama Shiren aja Vivi gak ikutan," jawab Ivy.
"Tau jalannya?" tanya Bara.
"Terakhir kali Shiren kesana itu waktu kelas 3 sd. Kayaknya masih inget deh," jawab Shiren.
"Seru gak? Banyak kembang desanya gak?" tanya Azka.
"Kembang desa banyak tuh di pinggir jalan." jawab Ivy sewot.
"Sewot banget." ucap Azka.
"Kayaknya sih banyak kalau emang mereka masih bertahan buat gak nge rantau ke jakarta." ujar Shiren.
"Ya udah kalau gitu otw nya kapan?" tanya Alvero.
"Besok!" jawab semua orang kompak.
......................
...Hal yang menyakitkan adalah perginya seseorang....
...•Ivy Oktaviani...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!