Note : Perhatikan keterangan waktu yang ada di Suamiku Calon Mertuaku ya, kepergian Irene dan Ansel berjarak 1 Minggu ya.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Selamat membaca!
Di dalam pesawat, Ansel masih termangu menatap ke arah kaca jendela. Pria itu sungguh merindukan sosok Irene, wanita yang selama ini disia-siakan dengan segala perlakuannya yang kasar, hingga membuat Irene memutuskan untuk pergi darinya.
"Irene tunggu aku, aku pasti akan membawamu pulang kembali," batin Ansel meyakinkan dirinya.
Pesawat pun lepas landas dan mulai mengudara. Perjalanan Ansel mencari istrinya di kota Birmingham pun di mulai, walau ia tidak tahu dengan pasti keberadaan Irene. Namun, itu tidak membuat semangatnya patah untuk dapat menemukan Irene dan membawanya kembali pulang.
Saat Ansel mulai memejamkan kedua matanya, tiba-tiba ia tersentak kaget saat di dalam bayangannya, Ansel melihat Irene menangis sambil menunjukkan sebuah test pack yang sedang digenggamnya.
Ansel bangkit dengan tubuh yang tegap tak lagi bersandar, nafasnya saat ini begitu terengah. "Aku tidak pernah melihat Irene menangis seperti itu, sebenarnya apa ini? Kenapa bayangan Irene sering hadir saat aku menutup mata? Ada apa sebenarnya?" ucap Ansel dengan peluh yang tampak membasahi keningnya, Ansel beberapa kali mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Setelah berhasil menenangkan dirinya. Ansel kini dapat terpejam dan coba terbiasa dengan bayangan yang hadir di dalam matanya, walau kini pikirannya mulai dapat membaca bahwa semua ini terjadi sejak dirinya kembali melihat.
"Pasti ada hubungannya dengan kornea yang didonorkan kepadaku. Aku harus menyelidiki pemilik kornea mata ini," batin Ansel yang kembali menyandarkan tubuhnya.
🍂🍂🍂
Di kamar apartemen terlihat Irene sedang berkaca di depan sebuah cermin. Hari ini ia berencana untuk mencari pekerjaan, ditemani oleh sahabatnya yang bernama Nisa. Seorang wanita yang ia temui semasa kuliah dulu saat olimpiade sains yang berlangsung di kota Seoul waktu itu. Sejak itu persahabatan mereka terus berlanjut, walau Nisa sudah kembali ke Birmingham.
Tiba-tiba terlintas wajah Ansel di dalam pikirannya yang membuatnya mematung diam.
"Ansel, bagaimana kabarnya ya? Sudah seminggu sejak aku meninggalkannya. Apa dia sudah mendapatkan pendonor untuk matanya? Mungkin sebaiknya aku menghubungi Dokter Evran untuk menanyakan hal ini padanya," gumam Irene dengan pikirannya saat ini. Walau ia masih menyimpan rasa benci kepada Ansel, namun di lubuk hatinya ada perasaan rindu yang tak bisa hilang karena mau bagaimanapun Ansel adalah ayah dari anak yang saat ini dikandungnya.
Lamunan Irene seketika buyar, saat panggilan dari sahabatnya itu terdengar keras di telinganya.
"Irene, ayolah cepat apa kau sudah siap?" tanya Nisa dengan kening yang berkerut, karena melihat sahabatnya itu hanya mematung di depan cermin.
"Iya, iya, ini aku sudah siap. Sebentar ya!" Irene langsung menyambar tas kecilnya yang tergelatak di atas nakas. Ia kemudian menghampiri Nisa yang saat ini menunggunya di depan pintu kamar.
"Kamu itu lama sekali. Kayanya kalau aku perhatikan anakmu itu perempuan deh."
Irene mengerutkan keningnya dalam.
"Kamu sok tahu Nisa, udah kaya peramal aja," sanggah Irene sambil merangkul tubuh sahabatnya itu dan mulai melangkah bersamaan untuk keluar dari apartemennya.
"Ya soalnya biasanya begitu, kalau anakmu laki-laki kamu itu akan cuek dan terlihat dekil, tapi kalau aku perhatiin kamu itu kelihatan semakin cantik kaya masih perawan tahu, ya walaupun perutmu sudah terlihat buncit."
"Kamu ini bisa aja, kira-kira apa ada yang menerimaku dengan kondisiku saat ini yang sedang mengandung?" tanya Irene penuh keraguan.
Nisa menghentikan langkah kakinya dan kini keduanya saling berhadapan di depan pintu lift.
"Padahal aku sudah bilang, kamu itu tidak perlu bekerja karena kan aku sekarang sudah bekerja, jadi untuk biaya hidup kita aku bisa menanggungnya, tapi karena kamu memaksa ya sudah mau bagaimana lagi? Kamu itu kan memang keras kepala."
"Tidak Nisa, aku tidak ingin terlalu merepotkanmu. Kamu sudah memberikan aku tempat tinggal, itu sangat membantuku dan aku sangat bersyukur karena memiliki sahabat sebaik dirimu."
Nisa langsung memeluk tubuh sahabatnya itu dan mendekapnya dengan erat. "Kita itu sudah seperti saudara, jadi jangan sungkan terhadapku. Masalahmu adalah masalahku juga dan aku tidak akan membiarkanmu menanggung beban itu seorang diri!"
Kedua mata Irene tampak berkaca-kaca, setelah mendengar perkataan Nisa. Ia begitu terharu dengan ketulusan hati sahabatnya, hingga membuatnya tak mampu menahan bulir air mata untuk tak jatuh membasahi kedua pipinya.
"Terima kasih ya Nisa, tapi aku harus tetap bekerja. Tolong jangan larang aku ya!"
Nisa mengesah pelan dan coba memaklumi segala keputusan sahabatnya itu.
"Baiklah sahabatku yang keras kepala, ayo sekarang kita cari pekerjaan itu. Aku juga sudah mengantongi beberapa tempat yang membuka lowongan pekerjaan. Semoga saja salah satunya ada yang mau menerimamu ya."
Irene seketika mengulas senyum manis di wajahnya. "Sekali lagi terima kasih ya Nisa."
Keduanya kembali berpelukan dengan penuh haru. Saat ini di dalam pikiran Irene, ia masih bimbang dan belum dapat menentukan arah tujuan hidupnya, walau di satu sisi ia ingin kembali kepada Ansel, namun keinginan itu seketika lenyap saat luka dan rasa sakit atas sikap Ansel kepadanya kembali menyeruak dalam ingatannya.
"Walau aku jauh, tapi semoga kau di sana bahagia Ansel tanpa aku yang hanya menjadi pembawa sial untukmu. Saat ini aku masih belum tahu akan seperti apa hidupku ke depannya, tapi aku akan coba bertahan demi anak ini, anak yang menjadi alasan, kenapa aku masih bertahan untuk tetap hidup!" batin Irene yang dulu pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya, ketika rasa sakit sering mengalahkan kesadarannya.
🌸🌸🌸
Bersambung✍️
Berikan komentar kalian ya.
Terima kasih.
Ansel dan Irene sangat erat kaitannya dengan novel Sekretarisku Canduku, jadi kalian harus baca secara bersamaan juga ya, karena kedua novel itu saling melengkapi.
Selamat membaca!
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 12 jam lamanya. Kini Ansel sudah tiba di Birmingham Airport.
Pria itu terlihat sedang mengedarkan pandangan untuk melihat sekitarnya, sambil terus menarik koper yang dibawanya. Tiba-tiba jauh di depan sana, Ansel melihat seorang pria menabrak wanita paruh baya, hingga membuatnya terjatuh. Ia pun bergegas menghampiri dan dengan cepat langsung menolongnya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Ansel sambil membantunya untuk bangkit.
Wanita paruh baya yang berusia sekitar 50an itu, kini telah kembali berdiri dan sangat berterima kasih atas kebaikan Ansel karena telah menolongnya.
Tak lama kemudian seorang wanita cantik datang menghampiri dengan raut cemas di wajahnya. Wanita itu bernama Tania Angelica.
"Ya ampun, Oma kenapa?" tanya Tania yang langsung memapah tubuh wanita paruh baya itu.
"Oma baik-baik saja Tania, tadi ada seorang pria stres yang menabrak Oma," jawab wanita paruh baya itu dengan nada yang sangat kesal, hingga membuat Ansel tersenyum saat mendengarnya.
"Huss, Oma itu enggak boleh menghina orang lain seperti itu, mungkin yang menabrak tadi tidak melihat Oma atau bisa saja dia sedang terburu-buru karena sesuatu, jadi sebaiknya Oma maafin ya, yang pentingkan sekarang Oma baik-baik aja."
"Padahal Oma ini kan masih hidup, masa pria itu tidak melihat Oma," jawab wanita paruh baya itu dengan raut wajah yang masih diliputi oleh amarah.
"Sudah, sabar ya Oma. Nanti darah tinggi Oma kumat lagi."
Wanita parah baya itu pun mengembuskan napasnya dengan kasar. Amarah yang sejak tadi hinggap di pikirannya, kini mulai mereda saat ia mengingat kebaikan Ansel saat menolongnya tadi.
"Oh ya, kamu harus berterima kasih pada pria ini, dia yang sudah menolong Oma!" titah wanita paruh baya itu untuk memberitahu cucunya.
Tania kini langsung melihat Ansel dengan senyum yang terlukis di wajahnya. "Terima kasih ya, karena Anda telah menolong Oma saya."
"Tidak masalah Nona, tapi sebaiknya jangan meninggalkan Omamu sendirian di tengah keramaian seperti ini!"
"Iya, maafkan saya untuk hal itu."
"Ya sudah kalau begitu saya permisi dulu. Hati-hati selalu ya Oma." Ansel pun berlalu dari hadapan Tania dan wanita paruh baya itu, yang masih menatap kagum dengan sosok Ansel.
"Jarang sekali ya ada pemuda seperti itu, peduli dengan orang lain, walaupun tidak saling kenal," puji wanita paruh baya itu dengan mengulas sebuah senyuman di wajahnya.
"Ayo Oma, Steve sudah satu jam menunggu kita. Dia pasti akan memarahiku, karena kita terlambat. Padahal semua bukan kesalahanku, pesawatnya aja kenapa bisa delay," gerutu Tania yang paling malas, jika mendengar ocehan Steve saat sedang marah.
"Tenang saja! Selama ada Oma, kakakmu itu tidak akan berani memarahimu," jawab wanita paruh baya itu sambil terus melangkah beriringan dengan Tania, yang senantiasa berada di sampingnya.
"Untung saja ada pria itu, padahal aku hanya meninggalkan Oma sebentar saja ke toilet," batin Tania kembali melihat ke arah Ansel yang terus menjauh darinya.
🍂🍂🍂
Setelah sampai di pelataran bandara, Ansel memanggil sebuah taksi yang berada tidak jauh dari tempatnya.
"Sekarang aku harus kemana? Bagaimana caranya aku bisa menemukan Irene di kota sebesar ini?" Ansel mendesah kasar dan terus memutar otaknya.
Tak berapa lama kemudian, taksi yang telah Ansel panggil itu berhenti tepat di hadapannya.
"Sebaiknya aku ke hotel dulu. Nanti aku bisa pikirkan lagi, kemana aku harus memulai untuk mencari Irene," gumam Ansel yang langsung masuk ke dalam taksi.
Taksi pun mulai melaju, setelah Ansel mengatakan tujuannya. Di dalam taksi, Ansel benar-benar memutar otaknya, terlebih saat ini ia berada di negara dan sebuah kota yang belum pernah dikunjunginya, itulah yang mempersulit langkahnya dalam melacak keberadaan Irene. Namun, tiba-tiba ia teringat dengan perkataan Owen sewaktu di bandara saat mengantarnya.
"Bukannya Owen mengirim sahabatnya untuk membantuku selama di Birmingham. Sebaiknya aku menghubungi Owen." Ansel langsung mengambil ponsel dari dalam kopernya dan mulai mengaktifkan ponsel yang selama di dalam pesawat ia matikan.
🌸🌸🌸
Bersambung✍️
Berikan komentar kalian ya.
Saya akan running update dulu ya, jadi maaf masih pendek-pendek episodenya.
⏺️ Steve dan Tania juga ada di Sekretarisku Canduku ya.
Saya menghimbau kepada sahabat EP semua, agar kalian baca terlebih dahulu Suamiku Calon Mertuaku lalu Sekretarisku Canduku, agar kalian mengerti jalan ceritanya. Tentang Steve, Tania juga Nisa ada di judul Sekretarisku Canduku ya.
Selamat membaca!
Setelah menghubungi Owen, Ansel pun telah membuat janji untuk bertemu seorang pria yang bernama Lucas Andreas. Orang yang akan membantunya selama berada di Birmingham untuk menemukan Irene.
"Semoga saja dengan adanya Lucas, aku bisa tahu keberadaan Irene."
Taksi yang Ansel tumpangi kini sudah mulai memasuki area hotel. Sementara itu di pintu masuk menuju lobi, Irene tiba-tiba menghentikan langkah kakinya, hingga membuat Nisa pun diam mengikutinya. Namun, Ansel ternyata tidak melihatnya karena ia sedang sibuk mengirim sebuah pesan kepada Lucas untuk memberitahukan bahwa ia sudah tiba di hotel tempat mereka akan bertemu.
"Nisa, mana mungkin mereka mau menerimaku sedangkan perutku saja sudah kelihatan membuncit seperti ini."
Perkataan Irene dengan cepat disanggah oleh Nisa yang kemudian memberikan motivasi pada sahabatnya itu.
"Kamu itu enggak boleh putus asa, jangan suka mengatakan sesuatu yang mendahului takdir. Udah ayo kita coba dulu, masalah gagal tidaknya, yang penting kita kan udah usaha Irene."
Irene pun coba meyakini dirinya dan kembali melangkah untuk masuk ke dalam hotel, setelah Nisa menarik tangannya.
Baru saja Irene dan Nisa masuk ke dalam hotel. Taksi yang ditumpangi oleh Ansel, berhenti tepat di pelataran hotel. Setelah membayar biaya perjalanan taksinya, Ansel pun keluar dengan membawa kopernya.
"Hotel Park Regis, akhirnya aku sudah sampai. Rasanya lelah sekali, sepertinya aku harus beristirahat dulu sebelum mulai keliling kota untuk mencari Irene." Ansel pun melangkah masuk ke dalam hotel, saat itu jauh di depan sana, tepatnya di bagian resepsionis hotel, Irene dan Nisa terlihat sedang bertanya pada salah satu petugas resepsionis terkait masalah lowongan pekerjaan yang Nisa baca dalam sebuah portal berita.
Ansel terus melangkah menuju bagian resepsionis. Saat itu kedua matanya sudah dapat melihat kedua wanita yang saat ini masih berada di depan meja resepsionis hotel. Namun, Ansel tak menyadari bahwa wanita yang saat ini dilihatnya adalah Irene yang memang menjadi tujuannya datang ke Birmingham.
"Hotel ini lumayan bagus. Ternyata Owen memilihkan hotel yang tepat untuk aku tinggal selama di Birmingham," ucap Ansel yang sejenak mengedarkan pandangannya melihat sekeliling, sebelum ia melihat kembali ke arah meja resepsionis untuk melakukan check-in.
"Wanita itu! Kenapa semakin aku lihat malah semakin mirip dengan Irene ya?" tanya Ansel di dalam hati dengan menajamkan sorot matanya.
Ansel masih tak yakin dengan apa yang telah dilihatnya. Namun, semakin lama ia semakin yakin, bahwa memang wanita yang berada di depan meja resepsionis itu adalah Irene, jika dilihat dari postur tubuh dan rambut dari tampak belakangnya.
"Sepertinya itu benar Irene, lantas siapa wanita yang bersamanya itu? Apa itu temannya selama dia tinggal di sini?" gumam Ansel penuh pertanyaan dalam benaknya.
Demi menjawab rasa penasarannya, Ansel pun memacu langkah kakinya untuk memastikan apa yang dilihatnya. Jarak yang ada terasa panjang, karena pada kenyataannya memang lobi hotel Park Regis ini memang sangatlah luas dan benar-benar menampilkan kelas hotel yang mewah juga elegan.
Ketika langkah Ansel semakin tergesa, ia malah tidak fokus dalam melihat sekelilingnya, hingga seorang pengunjung tertabrak olehnya.
"Hai, hati-hati kawan kalau melangkah, pergunakan matamu!" tegur seorang pria yang tampak geram karena Ansel tak memperhatikan langkah kakinya.
Ansel pun melihat pria itu dengan raut penuh penyesalan, pria yang memiliki postur tubuh atletis dan sangat kekar itu kini tepat berdiri di hadapannya dan menghalangi pandangan matanya.
"Maafkan saya Tuan, jika saya kurang memperhatikan langkah saya," ucap Ansel melontarkan permohonan maafnya sambil mencari celah untuk dapat melihat ke balik tubuh pria kekar itu.
"Tapi apa mungkin itu Irene? Aku saja baru akan memulai pencarian, masa tiba-tiba Irene malah mendatangi hotel yang akan aku tempati," batin Ansel masih penuh keraguan dengan apa yang saat ini dilihatnya.
Ansel menepikan rasa penasaran dengan berpikir rasional. Ia sadar betul, jika kerinduan dan rasa bersalahnya terhadap Istrinya itu membuatnya selalu terbayang wajah Irene, bahkan banyak wanita yang dilihatnya sering menyerupai wajah istrinya itu.
🌸🌸🌸
Bersambung✍️
Berikan komentar kalian ya.
Terima kasih banyak atas dukungan kalian.
Jangan lupa vote ya, agar Ansel dan Irene bisa masuk ranking vote ya sahabat semua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!