"Aku minta kita bercerai!"
Deg!
Empat kata itu bagaikan sebuah kilat petir yang menyambar tubuh Jimmy. Jimmy memejamkan mata berupaya meredam rasa sakit. Dadanya terasa terhimpit, begitu sesak seolah-olah tertimpa beban yang begitu besar didalam sana.
Apapun yang Jimmy lakukan dan korbankan selama ini tak pernah bisa menyentuh hati Mutia. Wanita itu setitik pun tak pernah merasa bahagia bersamanya.
Mendadak tubuh Jimmy kaku tak bergeming. Rasa sakit menjalar di tubuhnya. Dia tak bisa mendengar apapun kecuali fokus pada kata 'laknat yang baru saja terlontar dari bibir mutia.
Tapi kali ini, Jimmi pasrah. Dia akan melepas bebaskan Mutia. Berharap wanita itu bisa bahagia setelah ini. Pernikahan ini tidak bisa diselamatkan lagi, sudah semestinya mereka sudahi.
Membelenggu Mutia adalah bagaikan menggenggam mata pisau. Semakin erat Jimmi menggenggamnya, semakin pula jari jemarinya terluka.
"Baiklah, aku akan turuti permintaanmu dek... tapi sebelum itu, izinkan Mas meminta hak Mas sebagai seorang suami." Jawab Jimmy kepada wanita yang sudah hidup bersamanya selama kurang dari setahun ini. "Layani aku sebaik-baiknya, layaknya seorang suami pada umumnya."
"Nggak lama,"
Mutia terlihat menunduk. Kenapa mendadak rasa bersalahnya juga begitu besar?
Mutia menyadari, dosanya bertumpuk kepada Jimmy, karena selama pernikahan Mutia tidak pernah sekalipun memberikan haknya.
Mengetahui respon Mutia, Jimmy tersenyum lalu memegang bahu Mutia. "Mas tidak memaksa Mut, kalau tidak bersedia tidak apa-apa." Ucap Jimmy sebelum ia melangkah pergi.
"Tunggu Mas!"
Langkah Jimmy terhenti ketika Mutia memanggilnya.
"Baiklah, be-berapa hari kamu minta?"
"Satu bulan dari hari ini."
"Ya, oke kalau begitu."
***
Perceraian tak jarang dianggap sebagai salah satu hal yang menakutkan. Berbagai cara pun akan diupayakan agar kondisi demikian tidak sampai terjadi. Tapi bagaimana jika istri terus-terusan menuntut ingin cerai?
Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tangga mereka?
***
Visual dan lain-lain ada di IG @Ana_miauw ya?
Setelah satu judul selesai, berlanjut lagi lagu lainnya. Pesanan pun mulai berdatangan. Kegelisahan Mutia semakin menjadi, apalagi saat seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi keluar dengan sorot mata menatapnya! Ya, sekilas dia tersenyum manis dan menatapnya!!
Ji-Jimmy! Batin Mutia memekik.
Dia menaiki panggung kecil dan duduk di sebelah perempuan tadi. Laki-laki itu, membenarkan tata letak mike agar memudahkannya dalam bernyanyi. Ya, Jimmy akan bernyanyi. Si perempuan yang baru saja menyumbangkan lagu Hello dari Beyonce itu kemudian menyerahkan gitarnya.
"Gila!! Ganteng banget sumpah!! Itu senyumnya ada lesung pipitnya. Ada lesung pipitnya! Oh my God!!"
Mutia tidak pernah melihat Rina se-histeris itu saat memuji seorang laki-laki.
Suasana mendadak hening saat Jimmy mulai memetik gitarnya.
Masa berlalu
Tanpa 'ku menyadari
Percintaan yang kita bina
Hampir selesai
"Gilaaaaa....sudah ganteng, suaranya bagus lagi, ya ampun keren banget!" seru Rina.
Apa salahku
Kau buat 'ku begini
Dalam dilema
Di antara jalan derita
Tidak pernah kuduga
Ini semua terjadi
O-o-o-oh ...
Janganlah engkau
Menghancurkan segala
Setelah lama
Kita mengarungi bersama
Usah biarkan
Cinta kita yang suci
Dilambung ombak
Karam di lautan berduri
Hanya satu pintaku
Moga kau perbaiki
O-oh ...
Semua ini
Telah banyak yang kuberi
Sejak dulu lagi
Pengorbanan tiada pernah jemu
Hanyalah Tuhan saja
Bisa menentukan semua
Kesabaran daku menantimu
O-o-o-oh ...
Kutetap memaafkan
Dan berdoa kau kembali
Sebelum diri melangkah pergi
Telah banyak yang kuberi
Sejak dulu lagi
Pengorbanan tiada pernah jemu
Hanyalah Tuhan saja
Bisa menentukan semua
Kesabaran daku menantimu
O-o-o-oh ...
Kutetap memaafkan
Dan berdoa kau kembali
Sebelum diri melangkah pergi
Hanyalah Tuhan saja
Bisa menentukan semua
Kesabaran daku menantimu
O-o-o-oh ...
Kutetap memaafkan
Dan berdoa kau kembali
Sebelum diri melangkah pergi
Sebelum diri melangkah pergi
(Terry di persimpangan dilema.)
"Mari kita beri tepuk tangan untuk suara merdu saudara Jiiiiimmy!!" Teriak MC di cafe Luby disertai tepuk tangan para pengunjung. Hari ini malam minggu, jelas cafe lebih ramai daripada biasanya. Dengan suka rela Jimmy menyumbangkan lagu.
Sedikit menganggukkan badan sebagai gestur hormat kepada semua penonton yang telah bersedia mendengar suaranya.
Berbeda dengan pengunjung lain, justru wanita cantik yang satu ini duduk mengeluh tak nyaman. Merasa ada yang berbeda dengan hatinya.
"Kenapa hatiku merasa sakit," gumam Mutia.
"Iyalah, suaranya sangat bagus, menjiwai banget ... atau memang ini yang sedang dialami olehnya, mungkin?" Sahut Rina.
"Sudah ah ayo kita pulang, lagian ngapain sih ngajak aku ke cafe ini. Cafe jelek." Mutia berdiri lalu menjinjing hand bagnya.
"Biasanya juga kita sering kesini, aneh banget kamu deh Mut, ini kan cafe favorit kamu dulu biasa mojok."
"Nggak, pokoknya aku mau pulang sekarang!" jawab Mutia semakin sewot saja.
"Ya ampun Mut, ini malam minggu... mau ngapain jam segini pulang. Ini makanan juga baru di pesan. Aku sih mau jatuh cinta sama yang nyanyi itu, hehe..."
"Kamu aja sendiri deh, aku mau pulang!" Jawab Mutia masih dengan suara ketus. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Rina tanpa memperdulikan dengan apa temannya pulang nanti.
"Ya udah sana, aku masih mau disini. Hati-hati ya!" Seru Rina. Dia tampak senang sekali dan sangat menikmati musik yang sedang di suguhkan.
Di mobil.
"Sial, kenapa hatiku merasa sakit. Apa memang aku.... aargh! Nggak mungkin, aku punya Frans, aku hanya cinta sama Frans...."
Merasa tidak konsentrasi menyetir, Mutiara sempat menepikan mobilnya ke tempat yang lumayan sepi. Sungguh Mutiara tak mengerti apa yang dia rasakan saat ini. Benar-benar tak percaya hanya karena lagu itu hatinya merasa tersayat-sayat.
Apa benar dia telah jatuh cinta kepada Jimmy?
Melamun, Mutia hanya melamun berkali-kali dia menggeleng. Memastikan bahwa perasaannya salah. Tidak mungkin kan? Dia mencintai Jimmy?
Jimmy hanya penghalang untuknya!
Mutia tidak mungkin mencintai seorang pelayan cafe!!
Mutia hanya milik Frans!!
Tok tok tok.
Mutiara membuka sedikit kaca mobilnya ketika ada seseorang bapak-bapak tua berseragam security yang mengetuk.
"Permisi Nona, sebaiknya anda tidak berhenti disini. Daerah ini berbahaya, apalagi anda sendirian."
"Terimakasih sudah memberitahu saya Pak, saya akan segera melanjutkan perjalanan."
Pak tua itu terlihat sedikit menganggukkan kepalanya sebelum Mutia berlalu.
Sesampainya di rumah, Mutia langsung menuju ke ke ruang tamu. Dia berhenti sejenak lalu mendongak ke dinding, mengamati foto pernikahan mereka. Kebencian mencuat di dadanya. Dan entah sampai kapan rasa benci itu akan hilang dari dalam hatinya.
Mutia berjinjit lalu meraih foto itu, kemudian membantingnya ke lantai keras-keras.
BRAKKKK!! PRANG!!
"Ini adalah pernikahan bohongan!" Ucap Mutia berapi-api sambil menginjak fotonya yang bergambar wajah dirinya dan Jimmy. Tak peduli bagaimana respon Jimmy nanti kalau dia melihatnya. Mutia masuk ke dalam kamar.
Beberapa puluh menit berlalu~
Tepat jam dua belas.
Derap langkah kaki Jimmy terhenti saat pandangannya tertunduk ke bawah. Hatinya terasa diremas dan ditarik paksa dari tubuhnya.
Mata Jimmy berkaca saat dia Foto cantik nan manis dan gagah dirinya mengenakan tuksedo warna putih tersenyum menghadap kamera telah hancur berkeping-keping di lantai.
Dia berjongkok dan meraih foto itu. Sedikit mengaduh saat dia membereskan pecahan kaca. Tangannya terluka, darah merah mengalir pucuk jarinya. Tapi itu tak seberapa dibandingkan dengan hatinya saat ini. Dipungutnya selembaran foto itu dan ia peluk di dadanya. Tanpa disadari airmata sudah terjun begitu saja. Jimmy merasakan hati yang amat terluka.
#####
To be continued
Flashback satu tahun lalu.
Jimmy mengendarai motor dengan wajah putus asa. Tampak beban yang berat sedang menimpanya. Jalan demi jalan ia lewati, membelah keheningan malam dengan tujuan tak pasti. Tak peduli rintik-rintik hujan yang menetes membasahi wajahnya. Jimmy, tak memikirkan itu, Jimmy hanya memikirkan hubungannya setelah ini.
Kecewa, sakit hati, tertekan, tapi dia bisa apa?
"Nggak lucu jika sebuah hubungan yang sudah melibatkan kedua keluarga, dirusak begitu saja, Mut. Aku harus gimana?"
Dia tak mungkin mengecewakan persahabatan kedua orang tua mereka bukan?
Beberapa jam yang lalu, dia dan keluarga baru saja bertandang ke rumah Mutiara bermaksud untuk melamarnya. Pertemanan erat Ayahnya-lah yang membuat mereka melakukan perjodohan ini.
Bukan tanpa sebab, tapi karena Ahmad selaku Papa dari Mutiara sudah sangat mengenal Jimmy baik dari segi apapun. Sehingga beliau meminta Jimmy untuk menikahinya, mempercayakan putrinya kepada Jimmy, karena Ahmad yakin Jimmy-lah yang mampu menjaganya!!
Tiga bulan lalu mereka memang sudah membicarakan perjodohan ini, sehingga hari ini adalah waktu yang disepakati untuk mengadakan acara lamaran.
Awalnya hanya berteman biasa dari kecil, tidak ada pacaran sebelumnya. Tapi sejak perjodohan itu dibicarakan, Jimmy memutuskan untuk mulai belajar mencintai Mutia. Dan sekarang, dia sudah terlanjur menaruh hati kepada wanita itu.
Tapi ternyata, nasib tak begitu baik kepadanya.
Tepat hari ini juga, hatinya dipatahkan.
Jimmy akui telah bodoh dan ceroboh, membiarkan perasaannya tumbuh begitu saja. Jimmy pikir, Mutia menerimanya karena perasaan yang sama. Tapi ternyata, Mutia menerimanya karena ada sebab lain.
"Aku sudah punya pacar...."
"Kenapa nggak kamu gagalkan saja tadi?"
"Aku menerima lamaran kamu karena Papa ya, KARENA PAPA! Bukan berarti aku suka sama kamu."
"Lagian pacaran juga enggak, tahu-tahu kamu malah melamar."
"Harusnya kamu tanya aku dulu dong!"
"Masa aku pacaran sama pelayan cafe, yang benar saja."
"Pacar aku itu lebih dari segala-galanya dari kamu. Jangan ngimpi."
Kata-kata Mutia beberapa saat lalu terus berputar di kepalanya. Sakit, tapi tidak berdarah yang Jimmy rasakan. Apalagi, Mutiara adalah cinta pertamanya.
"Apa definisi mencintai itu harus kaya dulu?" Jimmy membatin.
Sudah beberapa puluh menit perjalanan, Jimmy memutuskan untuk berhenti di suatu tempat. Detik itu juga ia turun dari motornya. Jimmy pikir, dia butuh tempat singgah untuk menenangkan diri.
Menatap bangunan tinggi yang menjulang, matanya mengedari ke seluruh bangunan yang didominasi putih dan hijau itu. Kemudian Jimmy menginjakkan kakinya di lantai yang dia rasa cukup dingin.
Pelan, Jimmy membuka handle pintu yang sudah tertutup. Padahal, hari belum begitu malam, pikirnya.
"Kenapa dek?" tanya seorang laki-laki paruh baya berbaju koko warna putih. Sudah bisa ditebak, beliau marbot masjid ini.
"Saya mau beribadah disini apakah boleh?" jawab Jimmy hati-hati.
"Boleh, masuk saja ke dalam. Tidak dikunci."
"Belum shalat isya?"
Jimmy mengangguk.
"Iya sudah, masuklah. Tempat wudhu ada disamping."
"Terima kasih Pak…"
***
"Darimana kamu semalaman Jim?" tanya Ibu Dwi. "Kenapa kamu baru pulang, wong sudah mau menikah itu mbok ya jangan macam-macam kamu Jim..."
"Ketiduran di masjid Bu, maaf ya..." Jimmy menyalami Ibunya.
"Tidur itu dirumah, kayak nggak punya rumah saja tidur di masjid."
Bu Dwi mengeluarkan pacitan-pacitan untuk mereka sarapan. Mulai dari pisang goreng, bakwan, teh hangat dan masih banyak lagi.
"Ini diminum dulu, dimakan dulu," ucap Bu Dwi. "Kamu itu lho, mau nikah kok ya wajahe malah kusut. Mbok ya harusnya seneng toh? Apa biayanya kurang?"
"Jimmy seneng kok Bu, biaya nggak kurang." Jawab Jimmy sopan.
"Ayah!" Panggil Bu Dwi kepada suaminya.
"Ya, sebentar" teriak Ayah dari dalam. Tak lama kemudian, beliau keluar.
"Kita rembug masalah biaya pernikahan sekarang saja Yah," ucap Ibu. Lalu beralih kepada Jimmy "kamu ada uang berapa, biar ada kekurangan kita tambahin."
"Tidak usah Bu, uang Jimmy nggak akan kurang. Insyaallah..."
"Yakin kamu nak? Buat seserahan, sewa gedung, biaya Wedding Organizer?"
"Yakin Bu, sebentar ya Yah..." Jimmy masuk ke dalam kamarnya mengambil sesuatu.
"Ini perhiasannya sudah ada, sama uang buat mahar. Dan ini uang buat biaya sewa gedungnya." Ucap Jimmy dengan menunjukkan apa saja yang dibawanya.
Ibu Dwi dan Ayah Wirawan membeku di tempat melihat uang Jimmy sebanyak itu.
"Yah, Bu?" panggilan Jimmy tak mendapat respon apa-apa dari mereka. "Huhh, malah main sulap jadi patung." Gerutu Jimmy.
"Bu? Ayah!!" Panggilnya sekali lagi lebih seru dari yang tadi.
Keduanya menatap Jimmy bersamaan.
"Ini uang segini banyak darimana? Halal atau tidak ini?"
"Halal Ayah, tenang saja. Jimmy nggak akan berbuat aneh-aneh kasihan sama orang tua. Jimmy juga masih ingat dosa."
"Lalu darimana?" tanya Ayah.
"Dari Allah SWT" ucap Jimmy kemudian pergi ke kamar mandi.
Ayah dan Ibunya lagi-lagi saling menatap bingung dan bertanya dalam diam.
***
"Kamu itu kenapa sih, dari kemarin di chat nggak dibalas-balas. Aku merindukanmu." Ucap Frans. Laki-laki yang berstatus tak halal untuk Mutia itu memeluknya dari belakang.
"Aku sibuk Frans, aku kan kerja. Kamu juga tahu nggak usah nanya lagi."
"Kerja sampai malam? Nggak kan?"
Mutiara melepas belitan tangan yang melingkar di pinggang rampingnya, lalu menghadap Frans.
"Kalau malam aku capek, jadi kalau belum bisa balas, aku minta maaf. Okay? Please, percaya sama aku."
"Yaudah nggak apa-apa."
"Aku lagi bete nih. Jangan ganggu aku dulu." Kata Mutia dengan nada ketus.
"Kita shopping yuk! Aku akan belikan semuanya yang kamu mau."
Mood Mutiara langsung berubah seketika mendengar kata belanja barusan.
"Benar?"
Frans mengangguk.
"Kita shopping?"
"Iya sayang!"
" Ayo!"
Keduanya langsung melesat menuju ke pusat perbelanjaan. Frans memang selalu memanjakan Mutia dengan uangnya pada saat weekend seperti ini.
Jika ada yang bertanya siapa Frans? dia berbeda jauh dari Jimmy dari segi apapun.
Frans adalah anak dari salah satu anggota DPRD di kota ini dan dia sendiri juga sudah sukses mendirikan beberapa usaha counter ponsel yang tersebar di kota-kota besar. Jadi tak khayal, pundi-pundi uangnya seakan tak pernah habis.
Awal pertemuan singkat yang dulunya teman dari teman akhirnya menjadi hubungan ketika mereka merasakan kecocokan. Hingga kini, hubungan mereka sudah berjalan setahun lamanya.
"Ambil saja semua yang kamu mau." Ucap Frans pada saat mereka sudah di outlet Zara terbesar.
"Aku mau itu, itu, itu," tunjuk Mutia kepada barang yang dia inginkan.
"Iya nggak apa-apa."
"Tapi harganya mahal" Mutia sedikit berbisik.
"Sayang, jangan ragukan uangku."
"Oke deh, hehe. Besok aku bisa berangkat kerja sama baju keren deh..."
Beberapa menit setelah mereka puas berbelanja, keduanya mampir ke restoran jepang favorit mereka.
"Jadi kapan aku bisa melamarmu sayang?"
Pertanyaan Frans barusan membuat Mutia terdiam. Yang Papa Ahmad ketahui hubungan keduanya sudah kandas, mempercayai apa yang Mutia katakan.
Mungkinkah ia harus jujur perihal lamarannya kemarin siang? Nggak mungkin kan?
"Kenapa kamu diam?" tanya Frans lagi. "Apa Papa kamu belum merestui hubungan kita?"
"Ehm, iya. Maaf Frans belum" jawab Mutia gugup. Ternyata dia tidak pandai berbohong.
"Sampai kapan? Kita nggak akan mungkin seperti ini terus. Aku ingin segera menikahimu."
Deg!!"
Mutia menelan makanannya susah payah.
Dia takut kepada Papa Ahmad, tapi juga lebih takut melepas Frans, laki-laki yang ia cintai.
***
To be continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!