NovelToon NovelToon

Cinta Setelah Perceraian

Maya Aprilia Putri

Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 8 pagi. Aku baru saja membuka mataku dan menyambut datangnya pagi hari di hari-hariku yang cerah sebagai seorang mahasiswa salah satu jurusan ilmu ekonomi.

Kurenggangkan sedikit otot-otot yang terasa amat nikmat. Ya, mengulet Itu memang sesuatu yang sangat nikmat tiada tara. Bangun tidur siang- siang, mengulet dan dengan santainya untuk berangkat ke kampus.

Hidupku memang seindah itu. Tinggal di kos-kosan yang jaraknya hanya 5 menit dari kampus. Aku anak dari juragan beras di kampung yang hidup merantau jauh dari orang tua. Aku bisa hidup dengan nyaman sambil kuliah di kota semua berkat sokongan dari orang tuaku.

Aku adalah anak perempuan satu-satunya dan juga anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku laki-laki dan sudah bekerja. Kakak pertamaku bernama Anton. Kak Anton meneruskan usaha Bapak membuka beberapa agen beras yang usahanya lumayan maju.

Berbeda dengan kata pertamaku, kakak keduaku lebih memilih bekerja di luar kota sebagai seorang arsitek. Ia yang paling berbeda di antara anak-anak Bapak.

Kak Rian, nama kakak kedua aku. Kak Rian sama sekali tidak tertarik untuk meneruskan usaha Bapak. Ia memiliki cita-cita yang diluar dari harapan Bapak.

Kak Rian tidak seperti Kak Anton yang amat penurut. Kak Rian punya cita-cita menjadi arsitek hebat yang bisa membangun gedung-gedung bertingkat megah di ibukota. Ia tidak peduli dengan sikap keras Bapak yang selalu menentang mulai dari kuliah bahkan Kak Rian bekerja sambil kuliah hanya untuk menggapai cita-citanya sendiri.

Ya, Kak Rian memang sekeras kepala itu. Jujur saja aku salut dengan keberanian yang Kak Rian miliki. Ia berani menghadapi sikap keras Bapak dan teguh dengan pendiriannya.

Lalu bagaimana denganku? Aku hanya anak perempuan yang biasa dimanja. Semua keinginanku sebisa mungkin Bapak turuti. Ibaratnya, aku bagaikan setangkai mawar yang harus dijaga tanpa boleh rusak sedikitpun.

Tapi tidak semua keinginanku bisa terpenuhi. Contohnya ya aku harus merelakan keinginanku untuk menjadi seorang dokter karena Bapak tidak mengijinkan. Bapak mau aku kuliah di bidang ekonomi agar nantinya bisa seperti kak Anton yang meneruskan dan mengembangkan usaha Bapak.

Aku harus melepaskan impianku memakai jubah putih dokter yang terlihat amat keren jika aku pakai. Bapak bahkan menyuruh aku belajar dengan keras agar bisa masuk ke perguruan tinggi di kota.

Yang bisa aku lakukan adalah menuruti semua keinginan Bapak. Aku nggak punya daya dan upaya untuk melawannya. Aku bukan seperti Kak Rian yang berani dengan terang-terangan menentang bapak bahkan nekat membiayai kuliahnya sendiri meskipun kulihat Ia tampak kesulitan untuk membayarnya tapi ternyata Ia mampu.

Aku takut. Aku takut kehilangan semua fasilitas yang Bapak berikan. Mana bisa sih anak manja seperti aku melawan keinginan Bapak?

Jadilah sekarang Aku disini. Di kos-kosan yang bisa dibilang cukup mewah untuk kalangan seorang mahasiswa.

Sudah menjadi hal yang wajar, letak kos-kosan yang dekat dengan kampus apalagi dengan fasilitas yang lengkap sudah pasti harganya lebih mahal dibanding yang lain. Bagi Bapak bukan masalah. Yang terpenting adalah aku menuruti keinginannya untuk belajar ilmu ekonomi.

Aku ibarat pion yang Bapak ciptakan untuk memenuhi keinginannya dulu yang tak pernah bisa ia wujudkan. Bapak terlahir bukan dari keluarga yang kaya. Sejak kecil Bapak hidup dengan serba kekurangan. Usaha dan kerja kerasnya lah yang bisa membuat Ia menjadi seorang juragan beras yang terkenal di desaku.

Sama seperti aku, Kak Anton juga pion yang Bapak ciptakan. Kak Anton penurut. Sangat penurut malah. Semua perintah Bapak ibarat titah dari sang raja yang tidak boleh Ia tolak.

Bapak sangat sayang dengan Kak Anton, tetapi tentunya Ia lebih sayang padaku. Aku adalah anak perempuan satu-satunya yang Ia jaga seperti menjaga sebuah gelas kaca. Tak boleh ada seorangpun yang melukaiku.

Sifat Bapak yang memperlakukanku terlalu berlebihan membuat rasa iri ada di dalam hati nya kak Anton terhadapku. Sekeras apapun Ia berusaha, tetap saja di mata Bapak biasa aja.

Berbeda denganku, saat aku menuruti keinginan Bapak untuk masuk jurusan ekonomi, Bapak ibarat menang lotre. Ia amat gembira. Ia bahkan tidak sayang menggelontorkan uang banyak demi memberikan fasilitas agar aku nyaman selama kuliah di kota.

Lalu bagaimana dengan Kak Rian? Kak Rian yang sejak awal sadar bahwa keinginannya akan bertolak belakang dengan keinginan Bapak sama sekali tidak iri terhadapku. Ia sadar Bapak tidak akan memperdulikannya. Jadi Ia sudah menyerah untuk mendapatkan simpati dan perhatian dari Bapak.

Aku lebih dekat dengan Kak Rian dibanding dengan Kak Anton. Mungkin karena Kak Rian tidak memiliki rasa iri hati terhadap aku. Dan aku melihat kalau Kak Rian tuh lebih sayang sama aku dibanding Kak Anton.

Aku menyudahi lamunanku. Mengingat tentang keruwetan keluargaku tak akan pernah ada habisnya. Aku bergegas mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku menyalakan shower dan mulai mengguyur kepalaku. Air shower yang dingin membuat rasa kantukku benar-benar sudah hilang.

Aku tidak berlama-lama di kamar mandi. Sudah jam 8:30 pagi saat aku keluar dari kamar mandi. Kayaknya aku lebih lama melamun deh dibanding mandi. Aku mengambil setelan celana jeans dan kemeja tangan pendek. Kutatap wajahku di cermin dan kupakai lipgloss dan bedak bayi agar aku terlihat lebih segar.

Aku tidak suka pakai make-up. Aku suka kesan natural yang ada pada diriku. Kupandangi wajah cantikku di dalam cermin. Aku tersenyum. Pantulan wajahku pun ikut tersenyum.

Tidak bisa dipungkiri, aku memang cantik. Aku merupakan salah satu kembang kampus yang lumayan terkenal. Banyak mahasiswa yang dengan terang-terangan menyukaiku.

Aku menikmati star syndrome yang ada dalam diriku saat ini. Bagiku, inilah indahnya hidup. Hidup dengan fasilitas yang Bapak berikan dan dipuja dengan banyak laki-laki. Apa yang lebih indah dari ini?

Berarti pacarku banyak dong? Jawabannya tidak. Memang sih banyak yang suka sama aku tapi aku nggak suka. Bagiku, enggak ada yang menarik.

Aku Bukannya sombong. Memang benar kok nggak ada yang bikin aku tertarik. Banyak yang menyatakan cinta sama aku. Tapi rasanya tidak ada yang berhasil membuat dadaku berdegup dengan kencang.

Itu yang aku baca di novel dan kisah kisah di drama. Katanya kalau jatuh cinta tuh bisa bikin dada kita berdegup kencang. Aku nggak pernah ngerasain kayak gitu.

Mereka yang menyukaiku ada yang ganteng, putih, ada yang anak orang kaya juga. Ada juga yang terkenal banyak fansnya. Tapi kalau aku nggak suka gimana dong? Masa sih aku harus menerima perasaan orang lain sementara aku sendiri nggak suka? Tujuannya apa? Biar dibilang aku keren? Biar dibilang aku hebat? Atau biar rating aku di kampus makin naik? Ih aku mah nggak kayak gitu.

Aku udah siap untuk berangkat ke kampus. Kulihat jam di dinding sudah pukul jam 8:45. Sebelum berangkat aku mengambil susu UHT di dalam kulkas.

Berbeda dengan mahasiswa yang merantau di kota lainnya, yang hidup harus prihatin. Aku tinggal di kamar kost ber-AC dan ada kamar mandi di dalam kamar.

Aku memiliki kulkas yang berisi full dengan makanan dan cemilan. Ibu sudah menyetok persediaan bahan makanan untukku saat mengantar aku ke kosan.

Setelah mengambil susu UHT aku memasukkannya ke dalam tas lalu berjalan keluar dari kosan. Tak lupa aku mengunci pintu kosan terlebih dahulu. Aku berjalan santai dan berhenti sebentar di depan tukang roti keliling dan membeli roti cokelat kesukaanku.

Kumasukkan roti yang aku beli ke dalam tas dan melanjutkan lagi perjalananku yang hanya tinggal beberapa meter sampai di depan kampus. Aku langsung menuju ke tempat mata kuliah statistik akan di mulai 10 menit lagi.

Adel sahabatku yang melihat kedatanganku dari jauh langsung melambaikan tangannya. Aku tersenyum melihat sahabatku yang bertubuh subur itu.

Bukan Adel yang menyambut senyumku, melainkan para cowok-cowok yang sedang nongkrong di depan kelas. Mereka ke-gr-an sendiri dan menganggap aku tersenyum sama mereka.

Aku melenggang dengan santai dan tidak menghiraukan siulan siulan yang mereka buat saat aku lewat. Kuhampiri Adel dan duduk di kursi sebelahnya yang memang sudah Ia sediakan.

"Enak bener dah artis kampus kalau datang banyak yang nyambut." celetuk Adel.

"Kamu mau kayak aku? Aku tuh udah kaya ikan lewat depan kucing tau gak. Enggak enak tau, Del."

"Iya, kalau kamu kayak ikan lewat depan kucing aku tuh kayak anjing yang lewat depan kucing. Mereka tuh pada kabur tahu gak?" gurau Adel.

Aku tersenyum mendengar ucapannya tersebut. Adel tuh lucu. Aku senang kenal sama dia. Walaupun Ia agak gendut tapi wajahnya cantik. Hanya saja Ia terlalu rendah diri dan tidak yakin dengan penampilannya.

"Udah ah aku mau sarapan, laper. Kamu mau gak? Tadi aku beli roti nih di jalan. Kalau mau kita bagi dua, gimana?" aku menawarkan roti yang aku bawa pada Adel.

"Enggak usah. Nanti kamu nggak kenyang. Aku udah sarapan nasi uduk tadi. Makan aja sendiri. Udah cepetan makan nanti dosennya dateng."

"Ya udah kalau kamu nggak mau aku makan dulu ya." Aku memakan sarapan pagiku dengan lahap. Perutku terasa kosong dan lapar karena setiap malam aku nggak pernah makan.

Dosen yang mengajar kelas kami belum juga datang. Aku memutuskan keluar ruangan untuk membuang plastik pembungkus roti. Baru saja keluar dari pintu kelas tiba-tiba....

Brug...

Ada seorang cowok yang menabrakku. Lumayan sakit juga karena tenaga cowok kan jauh diatas tenagaku.

"Aww... aduh!" rintihku.

"Oh.. maaf... maaf.... Aku nggak sengaja. Maaf banget ya." kulihat cowok tersebut terdengar tulus menyesali perbuatannya.

"Iya gak apa-apa. Jangan diulangin lagi ya. Sakit tau." kataku menasehati.

"Siap, Bos! Oh iya ruang kelas G dimana ya?" tanya cowok itu lagi.

Aku membuang plastik pembungkus roti lalu menunjuk ke arah kelas tempat aku keluar tadi. "Kamu kuliah di kelas G juga? Statistik?"

"Iya bener. Statistik. Kamu di kelas ini juga?"

Aku mengangguk. Baru kali ini aku melihat cowok ini. Ganteng soalnya. Gayanya setengah bad boy tapi kayaknya lumayan asyik juga orangnya.

"Anak baru ya?" tebakku.

"Iya. Oh iya kenalin, nama aku Leo. Leonard Messi." cowok itu lalu mengulurkan tangannya padaku.

"Beneran nama kamu Leonard Messi?" tanya aku ragu. Aku juga jadi ragu ingin menjabat uluran tangannya.

Cowok itu lalu tertawa. Deretan gigi putihnya dan lesung pipi di wajahnya membuat Ia terlihat makin tampan.

"Bukanlah, Non. Becanda doang. Leonardo Prakoso." Leo menyebutkan nama aslinya. Tangannya masih terulur menunggu tanganku menyambutnya.

"Maya Aprilia Putri panggil aja Maya." aku menyambut uluran tangannya.

Kulihat dari kejauhan Pak Slamet dosen statistik sedang berjalan menuju kelasku. "Masuk, yuk. Dosennya udah datang tuh."

Leo mengikuti langkahku masuk ke dalam kelas. Kedatanganku bersama dengan cowok yang sebelumnya tidak pernah ada di kampus ini membuat perhatian anak-anak sekelas teralih padaku.

"Siapa tuh May?" tanya Adel.

"Iya, siapa tuh May? Cowok lo ya?" tanya beberapa anak-anak bergantian.

"Bukan. Ini anak baru. Tadi Dia nanya ruangan sama aku di depan. Dia pindahan dari kampus lain kayaknya." kataku menjelaskan.

"Hai semua aku Leo. Aku anak baru di sini. Salam kenal ya semuanya. Semoga kita bisa saling temenan." kata Leo memperkenalkan dirinya.

Aku lalu berjalan menuju tempat dudukku disebelah Adel. Ternyata Leo juga mengikuti langkahku dan karena kebetulan tempat di sampingku kosong maka Ia pun duduk di kursi sebelahku juga. "Aku duduk di sini ya May. Aku kan belum ada yang dikenal di sini."

"Yaudah duduk aja." kataku mempersilahkan. Tak lama kemudian Pak Slamet masuk ke dalam ruangan dan mulai mengabsen kami satu per satu.

*****

2 bulan setelah pertemuan pertamaku dengan Leo, kami pun resmi berpacaran. Aku akhirnya menerima pernyataan cintanya.

Tak ada alasan bagiku untuk tidak menerima laki-laki seganteng dan semenarik Leo. Ibaratnya tuh Leo kayak punya kharisma yang tak pernah bisa aku tolak.

Sifat Leo yang mudah bergaul dan asyik bukan hanya menarik perhatianku tapi juga Ia dengan mudahnya bergabung dengan teman-teman satu angkatan. Leo orangnya supel dan ternyata kalau ngobrol dengannya tuh nyambung makanya anak-anak menyukainya.

Yang aku suka dari Leo adalah saat Ia tertawa. Saat Leo tertawa maka orang lain pun akan ikut tertawa terbawa suasana bahagia yang Ia pancarkan.

Maka jangan salahkan aku jika aku langsung berkata 'iya' saat Ia menyatakan perasaannya padaku. Disinilah aku sekarang, berjalan sambil berpegangan tangan menuju kamar kost milikku.

Leo biasa menunggu aku selesai kuliah dan mengantarku sampai ke kostan. Ia beralasan kalau seorang putri harus diantar oleh pangeran sampai ke istananya. Ia tidak mau ada seorang pun yang menggoda sang putri yang memang miliknya seorang.

Hal yang receh dan sepele menurut sebagian orang. Tapi aku menyukainya. Aku menyukai bagaiana Leo memperlakukanku. Aku menyukai bagaimana Leo mencintaiku. Dan aku terhanyut akan semua itu. Sampai akhirnya aku pun melanggar batas......

Leonardo Prakoso

Aku baru saja menutup panggilan telepon dari Leo. Sudah jam 12 malam. Sepertinya tak pernah bosan bagiku untuk mengobrol dengan Leo padahal tadi siang kami sudah bertemu di kampus.

Ibaratnya hubungan aku dan Leo masih hangat-hangatnya. Detak jantung kami masih sama-sama berdetak kencang saat kami berdekatan.

Aku senang mendengar Leo bercerita. Melihat senyum Leo aja udah bikin aku bahagia apalagi sampai mendengar cerita-ceritanya. Pokoknya aku mau selalu bersama Leo terus deh.

Kutatap foto kami berdua yang sedang tersenyum. Ini foto berdua pertama kami di Photo Box. Memang lagi jamannya foto di Photo Box. aku dan Leo berfoto di sana sepulang dari kuliah.

Di foto tersebut Aku sedang dipeluk oleh Leo dari belakang. Terlihat senyum bahagia yang terukir di wajah kami berdua. Maklum, masih baru berpacaran. Dunia serasa milik berdua yang lain cuma numpang aja.

Tanpa kusadari aku pun jatuh tertidur sambil tanganku tetap memegang foto kami berdua. Suara alarm dari handphone yang membangunkan ku di pagi hari. Aku mengambil handphone yang aku taruh di atas kepalaku lalu menelepon Leo untuk membangunkannya.

Hari ini aku dan Leo ada kuliah pagi. Kebetulan juga hari ini ada kuis. Aku terbiasa membangunkan Leo kalau ada kuliah pagi.

Setelah membangunkan Leo aku pun membuat roti bakar untuk sarapan aku dan Leo nanti. Di kostanku ada kompor tapi jarang kugunakan, aku lebih sering pakai oven toaster untuk membuat roti yang Ibu belikan saat aku pulang ke rumah.

Aku membuat sarapan yang penuh dengan cinta tersebut. Sarapan beres sama aku pun langsung mandi. Aku berdandan rapi dan wangi tentunya karena aku akan bertemu sang pujaan hati aku.

Aku benar-benar sudah jatuh hati dengan pesona yang Leo miliki. Aku seperti seorang budak cinta yang seakan tak pernah bosan untuk merasakan kan cinta yang berlimpah dari Leo.

Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menyukai orang. Yang jelas udah lama banget. Rasa suka itu kembali hadir dalam hatiku meskipun hanya mendengar nama Leo saja disebut.

Aku sedang berjalan santai ketika pundakku ada yang menepuk. Ternyata siapa lagi kalau bukan Leo. Ia baru saja memarkirkan sepeda motornya di parkiran motor. Begitu melihatku, Ia langsung berlari mengejarku dan kini aku dan Leo berjalan beriringan menuju kelas kami.

"Aku kangen sama kamu." kataku dengan suara yang dibuat semanja mungkin.

"Aku juga kangen banget sama kamu. Enggak sabar rasanya buat ketemu kamu. Aku tuh kayak udah kecanduan gitu loh loh. Maunya deket kamu terus." gombal Leo.

"Bisa banget sih pacar aku ngegombal pagi-pagi. Kan aku jadi tersipu malu nih." kataku masih dengan suara manja.

"Jadi nggak suka nih digombalin?"

"Suka dong."

"Kita cabut aja yuk. Bosen nih kuliah. Kita pacaran aja, gimana?" ajak Leo.

"Sekarang?" tanyaku memastikan lagi.

"Bukan. Besok. Atau nunggu ubannya Dosen akuntansi berubah jadi pitak." gerutu Leo lagi.

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar celetukan Leo. Nih anak emang lucunya tuh natural. Bikin aku nggak ada bosennya sama sekali tiap deket Dia.

"Mau kemana? Masih pagi juga, mall belum ada yang buka. Kalau ada kuis dadakan gimana?" tanyaku.

"Jadi nggak mau nih diajakin pacaran?" kata Leo merajuk.

"Bukan nggak mau. Gimana kalau cabutnya abis pelajaran akuntansi aja?" usulku.

"Heh itu mah bukan cabut namanya. Itu udah selesai kuliahnya. Ah nggak seru! Sekali-kali kita nitip absen aja sama anak-anak. Ayolah." bujuk Leo lagi.

Aku masih ragu menerima ajakan Leo. Yang aku takutin tuh cuma kuis dadakan aja.

"Hmm... begini aja deh. Kita jangan ke mall dulu. Kita nongkrong deket kampus aja dulu. Aku mau kasih kabar Adel. Kalau memang nggak ada kuis kita langsung cabut. Kalau ada ya kita masuk kelas aja. Gimana?" kataku bernegosiasi.

Leo terlihat memikirkan saran dariku. "Yaudah deh. Yang penting kita bisa pacaran hari ini. Jadi kita mau kemana nih?"

"Mau nongkrong di kantin?" tanyaku.

"Ih ngapain bolos kuliah cuma buat nongkrong di kantin makan indomie atau siomay? Nggak seru. Kita nonton Dvd aja gimana? Nanti siang kita ke mall kalau bioskop udah buka."

"Nonton dimana? Di kostan aku gitu?"

"Ya terserah kamu mau dimana. Kan kita cuma nunggu sampai Adel kasih kabar ada kuis apa enggak abis itu kita jalan-jalan deh." jawab Leo.

Aku berpikir cepat. Banyak mahasiswa sudah berdatangan ke kampus. Kalau mereka tahu aku dan Leo cabut dan tidak kuliah kan akan timbul gosip.

"Yaudah deh ayo ke kostan aku aja. Kita makan mie rebus bareng aja. Aku laper juga belum sarapan nih."

"Oke. Let's go!" Leo merangkulkan tangannya di pundakku. Kami berdua berjalan ke kostanku.

Kostanku bukanlah kostan khusus putri. Ini kostan campuran. Kadang aku suka nongkrong dengan anak cowok yang kost disini juga. Ibu pemilik kostan tidak tinggal disini. Beliau hanya datang sebulan sekali tiap awal bulan untuk menagih uang kost saja.

Aku membuka pintu kamar kostku dan mempersilahkan Leo masuk. Kamar kostku memang rapi. Aku cinta kebersihan. Sebelum berangkat kuliah sudah aku bersihkan dulu.

"Kamu mau minum apa?" tanyaku pada Leo yang sedang menutup pintu kamar.

"Apa aja terserah kamu. Aku tutup pintunya ya. Biar AC nya lebih terasa." kata Leo beralasan.

"Iya. Aku buatin mie instan dulu ya buat kamu." kataku setelah memberikan teh kotak dingin pada Leo.

Aku pergi ke dapur yang berada di sudut ruangan dan membuatkan dua bungkus mie rebus untukku dan Leo. Kulihat Leo sedang melihat-lihat isi kamar kostku.

"Kamar kost kamu mewah juga ya. Kamu anak orang kaya ya May?" komen Leo dengan santainya.

"Enggak kok. Aku bukan anak orang kaya. Bapak cuma manjain aku aja karena menuruti keinginannya untuk kuliah sesuai jurusan yang beliau mau. Ya kayak semacam take and gift gitulah. Aku dapat fasilitas enak tapi aku nurutin kemauan Bapak."

"Terus kamu mau aja gitu? Nggak memberontak?"

"Enggaklah. Ngapain juga harus ngelawan sama orang tua? Enggak ada untungnya. Aku yakin apa yang Bapak pilihkan untukku pasti yang terbaik." kumatikan kompor dan menghidangkan mie yang sudah matang di depan TV.

"Kita nonton film ini aja ya." Leo mengeluarkan sebuah DVD dari dalam tasnya.

"Kamu beneran bawa DVD? Kirain tadi cuma becanda aja." aku menaruh mangkuk mie di depan Leo tak lupa aku menyediakan air mineral untuk Ia minum nanti.

"Beneranlah. Aku udah beli kemarin pas pulang kuliah tapi belum sempet aku tonton." Leo mulai memakan mie buatanku.

"Kenapa belum nonton? Kan kemarin kita pulang kuliahnya masih siang dan kamu langsung pulang. Jadi sempet dong buat nonton di rumah." aku mengikuti Leo memakan mie milikku.

"Males. Aku kemarin pergi ke rumah Tony. Pusing di rumah denger Mama sama Papa bertengkar terus."

Aku langsung menatap Leo. Bertengkar? Orang tua Leo bukanlah keluarga yang harmonis? Oh iya kalau dipikir-pikir Leo memang tidak pernah menceritakan tentang keluarganya padaku. Begitu pun sebaliknya. Aku tidak pernah menceritakan tentang keluargaku.

Bagi aku dan Leo, hubungan pacaran kami ya hanya tentang kami berdua, bukan tentang keluarga kami. Tapi ternyata kami saja tidak cukup.

"Mama Papa kamu sering bertengkar?" aku akhirnya bertanya pada Leo. Bukan karena aku ingin tahu tapi sebagai bentuk empati karena Leo sudah membuka tentang dirinya terlebih dahulu padaku.

Leo mengangguk. "Dari aku masih kecil. Aku sampai bosan melihat mereka bertengkar setiap hari."

Aku menatap Leo dengan pandangan penuh simpati. Tak kusangka dibalik sikap cerianya tersimpan kegetiran dalam hidup. Aku merasa sedikit lebih beruntung dari Leo. Setidaknya Ibu dan Bapak saling mencintai dan jarang bertengkar.

"Enggak usah ngeliat aku kayak gitu. Aku udah biasa. Santai aja."

"Maaf. Aku nggak bermaksud kayak gitu." Aku menaruh mangkuk mie dan memeluk Leo. Aku merasa bersalah pada Leo.

"Kan aku bilang aku udah biasa. Jangan merasa bersalah. Banyak kok yang ngeliat aku kayak cara kamu memandang aku tadi." Leo balas memelukku serta membelai lembut rambutku.

Pandangan mata Leo seperti menerawang dan memikirkan sesuatu. Aku melihatnya dari pantulan wajahnya di cermin lemari baju.

Aku melepaskan pelukanku dan menatap lekat mata Leo. Aku melihat kesedihan yang berusaha Ia sembunyikan.

"Orang tuaku korban dari keegoisan orang tua mereka yang menjodohkan anak-anaknya atas dasar bibit, bebet dan bobot. Mereka tidak pernah saling mencintai. Mereka tetap berada di bawah atap yang sama namun sepertinya mereka memiliki cinta lain yang mereka pendam."

Aku memegang tangan Leo dan menepuknya pelan. Aku memberikan sedikit kekuatan agar Ia tetap tegar menghadapi cobaan hidupnya.

"Mama bukanlah istri penurut seperti yang Papa inginkan. Mama terlalu asyik dengan teman-temannya dan melupakan kewajibannya sebagai seorang istri. Kerjaannya tiap hari hanya shopping dan nongkrong."

"Papa sering kali tidak kuasa menahan emosinya. Ia bahkan suka main tangan dan melakukan kekerasan sama Mama. Tak terhitung jumlah piring dan perabotan di rumah yang pecah akibat pertengkaran mereka. Sampai akhirnya kami pindah dan tinggal di tempat sekarang. Kuliahku pindah dan kakakku juga ikut pindah."

"Kakakku sama seperti Mama. Kerjaannya tiap hari senang-senang dan ngabisin uang Papa aja. Aku kasihan May sama Papa aku. Ia sangat tertekan dengan ulah anak dan istrinya sendiri. Ya aku juga enggak membenarkan sih perbuatannya suka main tangan dengan Mama. Tapi apa yang Papa dan Mama alami membuatku yakin kalau perjodohan itu belum tentu baik. Maaf ya May keluargaku tidak sebaik keluarga kamu."

Aku menggelengkan kepalaku. "Kamu nggak perlu minta maaf. Ini semua bukan kuasa kamu. Semua sudah Tuhan yang menentukan. Walau kita belum lama berpacaran tapi aku seperti sangat mengenal kamu. Aku yakin kamu berbeda dengan keluarga kamu yang lain. Aku yakin kamu laki-laki yang baik."

Leo tersenyum. Ia senang ada yang mendukungnya meskipun baru dalam kata-kata saja.

"Makasih ya Sayang. Kamu memang malaikat yang Tuhan kirim untuk aku." Leo mendekatkan tubuhnya padaku dan mulai menciumku.

Ini pertama kalinya Leo menciumku. Lebih tepatnya ini ciuman pertamaku. Aku belum pernah melakukannya sebelumnya. Leo cowok pertama yang menciumku.

Leo melepaskan ciumannya setelah sadar kalau aku hanya diam terpaku tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. Yaiyalah, baru pertama gitu. Mana aku ngerti yang kayak gituan.

Leo tersenyum. "Kamu belum pernah ciuman sebelumnya?"

Tebakan Leo langsung benar. Aku langsung tersipu malu. Leo tidak menganggapnya hal yang lucu, justru Ia senang menjadi orang pertama dalam hidupku.

"Aku-" Leo tak membiarkan aku menyelesaikan perkataanku. Ia langsung menciumku lagi.

Tak perlu teori. Aku bisa membalas ciuman Leo. Kami sudah melupakan mie instan yang terhidang di meja. Kami juga melupakan untuk bertanya pada Adel apakah ada kuis atau tidak. Kami lupa segalanya. Hanya aku dan Leo.

Tangan Leo terangkat dan mulai membelai lembut wajahku. Ciumannya sudah tidak selembut seperti sebelumnya. Sudah mulai memanas.

Perlahan tangan Leo mulai turun dan membelai leherku. Bersamaan dengan Ia melepas ciumannya dan pindah untuk mencium leherku.

Aku merasakan sensasi berbeda yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku tak mau Leo menghentikan ciumannya. Aku mau lebih....

Sekarang aku bahkan menarik wajah Leo dan berinisiatif menciumnya duluan. Aku tak menyadari kalau aku sudah dikusai oleh hawa nafsu.

Kulihat seulas senyum dalam wajah Leo. Ia suka dengan keagresifan yang aku lakukan. Tanpa aku sadari Leo membuka kancing kemejaku.

Nafas Leo mulai menderu. Leo terus mendekatkan tubuhnya padaku. Aku lupa semuanya. Aku terlalu menikmati apa yang kami lakukan.

Leo mengangkat tubuhku dan menaruhnya dengan lembut diatas tempat tidur. Ia mulai menciumi seluruh tubuhku tanpa melewatkan satu tempat pun.

Pagi itu menjadi saksi perbuatan dosa yang aku dan Leo lakukan. Kenikmatan yang membuatku kehilangan mahkota yang selama ini aku jaga. Aku tak menyesalinya. Jujur saja aku menyukainya.

******

Sejak kejadian hari itu, hubunganku dan Leo sudah berubah menjadi melewati batas. Kami sering melakukan hubungan yang tidak boleh kami lakukan sebelum menikah.

Baik aku dan Leo tidak peduli. Kami sama-sama suka. Inilah cinta menurut aku dan Leo. Cinta yang membara.

Kapanpun Leo mau menuntaskan nafsunya Ia akan mendatangi kostanku. Dan aku yang bodoh dengan senang hati melakukannya.

Sampai akhirnya buah dari perbuatan dosaku menjeratku dalam cobaan hidup berikutnya.

Aku mengambil test pack yang sudah kucelupkan ke dalam air pipis. Kutunggu hasil apa yang akan keluar.

Ya, aku sudah telat menstruasi. Tamu bulanan yang kutunggu-tunggu ternyata tak jua datang. Sebagai perempuan aku merasa was-was jika tamu bulananku tak kunjung datang pada waktunya.

Tanganku terasa dingin. Dalam waktu satu menit hasi test pack akan menentukan masa depanku nanti.

Kupejamkan mataku, tak siap dengan hasil yang akan kudapat. Kubuka satu mata dan mengintip hasilnya.

Ada... Ada dua garis. Oh God!

Aku hamil?

Aku beneran hamil?

Enggak... enggak... Ini pasti salah.

Aku ambil test pack yang lain dan mengeceknya lagi. Hasilnya sama. Positif.

Air mataku langsung membasahi wajahku. Lalu aku harus bagaimana???

Hamil

Dengan tangan gemetar aku mencari nama Leo dalam phonebook telepon aku. Aku menunggu teleponku diangkat namun Leo belum juga mengangkat telepon dariku. Aku tunggu sampai beberapa kali namun Leo tak juga mau angkat teleponku.

Aku berjalan mondar-mandir dengan gelisah di dalam kamar kos ku yang ukurannya tidak terlalu besar tersebut. Berbagai pikiran negatif silih berganti memenuhi kepalaku. Apakah Leo sekarang meninggalkan aku? Apakah Leo akan bertanggung jawab? atau Apakah Leo sudah tahu kalau aku hamil dan Ia sekarang sedang kabur?

Lalu bagaimana dengan Bapak? Apa yang akan Bapak lakukan kalau tahu aku bukannya malah kuliah dan hamil diluar nikah? Aduh Ibu gimana? Ibu pasti akan menangis histeris bahkan sampai pingsan atau ..... Ibu bisa jatuh sakit kan?

Kak Anton pasti akan tersenyum senang karena akhirnya hanya Dia yang benar-benar mengikuti segala perintah Bapak. Lalu, bagaimana masa depan aku selanjutnya?

Kamar dengan seluruh fasilitas ini, kebebasan yang aku dapat saat kuliah, uang jajan yang cukup untuk jalan-jalan di mall dan sikap dimanja oleh Bapak, semua ini pasti akan lenyap dalam waktu singkat setelah Bapak tahu kalau aku ternyata hamil. Terus aku gimana ya? aku pasti akan diusir sama Bapak nih sementara kuliah aku tinggal 2 semester lagi. Aduh.....bagaimana hidupku selanjutnya?

Di tengah kegalauan dan kebimbangan ku memikirkan masa depan suara dering telepon dari handphoneku membuatku kaget. Hampir saja aku terloncat mendengarnya. Kulihat nama penelepon di sana, Leo yang menelponku. Secepat kilat aku mengambil handphone yang tadi sudah aku taruh di atas nakkas lalu mengangkatnya.

"Leo, cepet deh kamu ke kosan aku sekarang. penting!" perintahku sebelum Leo mengatakan satu patah katapun.

"Tenang dulu dong, Sayang. Ada apa? Ada masalah? Aku baru aja sampai rumah dari rumahnya Tony." jawab Leo.

"Udah nanti aja aku ceritanya di kosan. Pokoknya kamu harus ke kosan aku sekarang juga." jawabku dengan serius.

"Ih aku jadi penasaran deh. Segitu kangennya ya kamu sama aku? Atau kamu udah kepengen banget?" goda Leo kepadaku. Leo pikir aku sedang bercanda tapi Ia tidak tahu seberapa seriusnya masalah yang akan kita hadapi kelak.

"Aku tunggu kamu di kosan aku sekarang." aku langsung menutup telepon dan mulai memikirkan langkah ke depan yang akan aku ambil.

*****

Setengah jam kemudian, dengan mengendarai sepeda motor miliknya Leo datang ke kosanku. Sambil bersiul-siul ia berjalan mendekati kamarku.

"Sayang, aku udah sampai nih. Bukain pintunya dong." kata Leo dari depan pintu kamarku. Aku yang sejak tadi gelisah pun langsung terburu-buru berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu untuknya.

"Ayo cepetan masuk!" aku menarik tangan Leo dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Tak lupa aku menutup dan mengunci pintu kamarku terlebih dahulu agar tidak ada teman-teman kos yang mengganggu pembicaraan aku nantinya.

"Enggak sabaran banget sih kamu sayang. Udah kepengen banget emangnya? Ya aku sih siap-siap aja." Leo masih bercanda dengan kata-katanya.

Aku menatap Leo dengan serius. Sampai akhirnya senyum di wajah Leo pun memudar. Ia tahu aku sedang serius dan tidak main-main.

"Beneran ada masalah? Ada apa sih?" tanya Leo pada akhirnya.

Aku tak langsung menjawab pertanyaan yang Leo ajukan. Aku memberikan tiga buah hasil tespek yang tadi pagi udah aku pakai. Leo mengerutkan keningnya. Ia bingung dengan apa yang aku berikan.

"Testpack? Sebentar, KAMU HAMIL?" tanya Leo kaget dan tak percaya.

Aku mengangguk. "Iya, aku hamil."

"Kok bisa? Memangnya kamu enggak pakai pil KB? Kok kita bisa sampai kayak gini sih? Enggak ini pasti salah. Kita ke dokter aja. Aku nggak percaya sama hasil ini. Pasti testpack ini rusak." ternyata Leo sama seperti aku yang tidak mudah menerima kenyataan ini. Aku juga tadi sempat tidak percaya dengan testpack yang aku gunakan. Tapi masa iya sih sampai 3 testpack dan semua hasilnya positif?

"Testpack-nya nggak rusak. Tadi aku juga kayak kamu kok, nggak percaya sama hasil testpacknya. Kamu lihat sendiri kan aku sampai tiga kali mencoba testpack dengan berbeda merk. Ini sih udah pasti kalau aku hamil. Bukan itu yang harus kita pikirkan sekarang. Bagaimana dengan orang tuaku? Bagaimana dengan kuliah aku? Bagaimana dengan kuliah kamu? Bagaimana hidup kita nanti?" aku menjejalkan pertanyaan yang sejak tadi memenuhi otakku kepada Leo. Biarlah Ia yang berpikir, enak aja jangan maunya enaknya doang. Dia juga harus merasakan penderitaan aku.

"Kamu mau nyuruh aku tanggung jawab?" tanya Leo tanpa dipikir terlebih dahulu.

"Ya iyalah. Kita kan udah ngelakuin dosa. Ya kita harus mempertanggungjawabkan dosa kita." jawab aku dengan kesal. Kenapa sih Leo kayak begini aja nggak ngerti? Peka dikit kenapa sih jadi cowok. Emang dasar laki-laki enggak peka!

"Tapi aku kan belum kerja May. Aku mau hidupin kamu dan anak kita dengan cara apa?"

"Ya mana aku tahu Leo. Aku juga bingung. Aku juga pusing mikirin semua masalah kita ini. Dan yang pasti aku takut ngadepin Bapak aku. Aku udah bisa bayangin Dia bakalan marah kayak gimana. Pasti lebih serem dari pada saat Kak Rian mau kuliah jurusan yang Ia mau dan menentang Bapak."

Perkataanku barusan membuat nyali Leo makin menciut. Ia lalu duduk di lantai sambil mengacak-acak rambutnya.

"Kenapa sih kamu harus hamil?" tanya Leo pada akhirnya.

"Ya aku hamil karena perbuatan kamu juga lah . Kita kan ngelakuin nya sering. Jadi wajar aja kalau aku tuh sampai hamil." kataku dengan ketus.

"Terus kita harus ngelakuin apa?"

" Ya aku nggak tahu Leo. Kamu bantu dong aku untuk mikir. Jangan kamu cuma nanya kita harus bagaimana- kita harus bagaimana. Ini tuh masalah kita berdua. Kita harus pikirin bareng jalan keluar atas segala masalah kita."

"Apa kita harus...." Leo tidak meneruskan perkataannya. Aku tahu apa yang akan Ia ucapkan.

"Gugurin kandungan ini maksud kamu?" tanyaku to the point.

Leo mengangguk. Bahkan untuk berkata iya aja Dia tidak sanggup.

Aku menggelengkan kepalaku dengan yakin. "Kita udah berbuat dosa dan kita mau menambah dosa untuk menutupi dosa yang udah kita perbuat? Aku nggak mau Leo. Aku nggak mau ngelakuin hal sehina itu. Apalagi sampai harus membunuh janin yang tidak bersalah ini. Biar bagaimanapun, janin yang ada dalam perutku adalah anak kamu juga. Kamu tega membunuh buah hati kamu sendiri?" kataku sambil bercucuran air mata. Akhirnya pertahananku jebol juga. Air mataku mengalir tanpa bisa kubendung lagi.

Leo lalu memelukku. Ia sepertinya merasa bersalah dengan ide yang terlintas di pikirannya tersebut. "Maafin aku, lupain ide aku yang jahat tado. Aku juga nggak mau kok lakuin hal itu. Biar bagaimanapun, anak itu lahir dari buah cinta kita. Aku nggak mau jadi orang tua yang jahat." kata Leo dengan bijaksana.

Perkataan Leo telah membuat aku sedikit tenang. Setidaknya sekarang kami sepakat untuk tetap mempertahankan bayi dalam kandungan ku tersebut.

"Kita hadapin bareng-bareng ya. Pertama, kita hadapin keluarga kamu. Aku tahu Bapak kamu pasti akan marah banget atas apa yang udah kita lakuin. Aku akan bilang sama Bapak kamu kalau aku akan bertanggung jawab atas semua perbuatanku." kata Leo sambil menepuk lembut punggungku.

"Iya. Bagaimana kalau besok kita ke rumah Bapak? Lebih cepat lebih bagus. Aku nggak siap menunggu terlalu lama."

"Oke. Besok pagi, kita berangkat ya ke rumah kamu. Kita hadapin semuanya. Selama ada kamu disisi aku, aku yakin kita bisa lewatin semuanya. Setelah dapat jawaban dari Bapak kamu, kita baru bisa nentuin langkah kita selanjutnya apa. Aku nggak tahu Bapak kamu akan memutuskan apa, kalau memang Ia menginginkan kamu tetap melanjutkan kuliah ya kamu kuliah lah. Tapi kalau misalnya memang Bapak kamu marah dan sampai mengusir kamu, kita harus berjuang sama-sama dari nol." kata Leo dengan yakin.

Aku mengangguk dan kembali memeluk Leo dengan erat. Tidak ada yang aku butuhkan selain pelukan dan dukungan dari Leo saat ini.

*******

Aku hanya mampu menunduk tanpa berani mengangkat kepalaku. Aku dan Leo bagai sedang duduk di kursi pengadilan. Bersiap menerima hukuman apa yang akan kami dapatkan atas perbuatan kami ini.

"Maafin saya, Om. Saya dan Maya saling mencintai. Dan sekarang dalam rahim Maya ada anak saya." kubiarkan Leo yang menghadapi Bapak dan Ibu.

Hanya suara tangis Ibu yang sejak tadi tak pernah berhenti. Suara tangis pilu seorang Ibu yang sudah dikecewakan oleh puteri satu-satunya tersebut.

Aku bisa mengerti bagaimana perasaan Ibu. Kostan yang Ia sediakan senyaman mungkin dengan segala fasilitas yang ada eh malah dijadikan tempat berbuat dosa oleh anak gadisnya sendiri.

Bagaimana reaksi Bapak. Sambil menunduk aku bisa melihat Bapak mengepalkan tangannya dengan kencang. Ini adalah tanda kalau Bapak sedang menahan dirinya untuk kemarahan yang lebih besar lagi.

"Kamu tau, saya bisa laporkan kamu ke polisi atas tuduhan perkosaan terhadap putri saya!" perkataan Bapak membuat aku yang sejak tadi menunduk lalu mengangkat kepalaku.

"Pak, jangan Pak. Maya mohon jangan lakukan hal itu. Jangan, Pak. Biar bagaimanapun Leo adalah ayah dari anak yang ada dalam kandungan Maya." pintaku sambil berurai air mata.

"Masih berani kamu bicara setelah kau kasih kotoran di wajah orang tuamu? Masih punya nyali kamu!" suara Bapak terdengar menggelegar dan amat menakutkan bagiku. Belum pernah Bapak membentakku sama sekali dan ini yang pertama aku alami.

Aku langsung bersimpuh dibawah kaki Bapak. Kupeluk kaki Bapak. "Maaf, Pak. Maafin Maya. Maya tau Maya salah, Pak. Tolong jangan masukkin Leo ke penjara, Pak. Maya mohon!" pintaku di sela uraian air mata yang terus mengalir deras.

Leo mendekatiku dan ikut bersimpuh di kaki Bapak. "Saya akan bertanggung-jawab, Om. Saya cinta sama Maya. Saya nggak mau kehilangan Maya dan anak kami. Beri saya kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan saya, Om."

Aku menatap Leo yang kini juga beruraian air mata.

"Kalau kamu mau bertanggung-jawab, silahkan serahkan diri kamu di kantor polisi! Kamu sudah merusak masa depan putri semata wayang saya!" kata Bapak dengan nada tinggi.

"Pak... Jangan, Pak. Maya mohon.... Ijinkan kami menebus kesalahan kami, Pak. Biarkan kami yang bertanggung-jawab atas perbuatan kami." pintaku. Aku berusaha membantu Leo untuk bicara dengan Bapak. Selama ini Bapak selalu memanjakanku dan tak pernah bisa menolak permintaanku. Tapi kali ini berbeda. Ucapanku tak Bapak gubris.

"Kalau kalian mau bertanggung-jawab, silahkan. Tapi Bapak tidak akan pernah merestui pernikahan kalian sampai kapanpun! Jika kalian sampai menikah, jangan pernah menginjakkan kaki kalian di rumah ini lagi!" Bapak menghempaskan tanganku yang sejak tadi memeluk erat kaki Bapak saat bersimpuh. Bapak lalu pergi meninggalkan aku dan Leo dan masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintu dengan kencang.

Aku menangis makin kencang. Perasaan yang kurasa saat ini adalah perasaan terbuang. Aku dibuang oleh Bapakku sendiri.

Ibu, ya... Ibu. Pasti Ibu bisa membantu kami. Aku mendekati Ibu yang sejak tadi hanya duduk di bangku sambil menangis sesegukan.

Hatiku teriris. Wanita yang selalu menyayangiku kini sangat terluka hatinya. Dan aku yang sudah menyakiti hatinya tersebut.

"Bu.... Maafin Maya, Bu.... Maya salah.... Maya udah nyakitin Ibu...." Aku memeluk wanita yang sudah melahirkanku tersebut.

"Maafin Maya, Bu... " hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan berulang-ulang. Aku sadar kalau Ibu yang paling terluka atas perbuatanku.

Kulihat Leo hanya terduduk lemas di lantai. Usahanya untuk meminta restu dengan baik-baik kandas sudah.

Ibu melepaskan pelukanku. Matanya sudah bengkak karena kebanyakan menangis tapi Ibu masih saja terlihat cantik.

"Ibu akan merestui pernikahan kalian. Tebuslah dosa atas perbuatan yang sudah kalian lakukan. Biar Bapak nanti Ibu yang bujuk pelan-pelan. Kalian harus sabar menghadapinya. Berjuanglah kalian berdua menghadapi cobaan hidup kalian kelak. Ibu yakin Bapak nggak akan semudah itu melepas kamu, May. Tunggu sebentar, ada yang mau Ibu kasih ke kamu."

Ibu lalu bangun dari duduknya dan pergi ke ruang baca. Itu adalah tempat favorit Ibu. Tak lama Ibu kembali dengan membawa sesuatu di tangannya.

"Ini. Gunakanlah untuk modal memulai hidup baru. Mungkin tidak banyak. Itu uang tabungan punya Ibu, rencananya Ibu akan berikan pada Rian saat Ia susah membayar uang kuliah, namun Rian bisa membayar dengan usahanya sendiri. Ibu rasa kamu lebih membutuhkannya."

"Ibu yakin semua fasilitas yang Bapak berikan sama kamu akan dicabut, seperti yang Bapak lakukan pada Rian dulu. Gunakanlah sebaik mungkin. Ingat, kamu juga akan memerlukan uang untuk melahirkan. Lebih baik kamu cuti kuliah dulu. Tata hidup kamu dulu lalu setelah keadaan lebih baik barulah kamu kuliah lagi."

Aku makin terisak mendengar perkataan Ibu. Ya, ini bukan pertama kalinya anak Ibu ada yang menentang Bapak. Ibu pasti sudah pengalaman makanya memberikan aku bekal.

"Maaf, Bu..." kembali hanya maaf yang bisa aku ucapkan. Aku menyesal. Aku udah bersalah menyakiti hati Ibu tapi beliau masih saja membelaku.

"Pergilah! Jalani hidup kamu sebaik mungkin."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!