Empat tahun berlalu, Giovani Andra Karsya merasa penat lantaran mengelola perusahaan sang
papa di Australia. Harapan awal akan berjumpa dengan pujaan hati tak juga berhasil, sejak beberapa bulan terakhir Andra meminta Alex, sang asisten pribadi untuk mencari keberadaan wanitanya secara intensif.
Namun, semua hanya percuma, hari berlalu hanya ada jawaban sama yang ia dengar dari Alex tentang Rhania, cinta pertamanya.
"Apa kau yakin dengan keputusanmu?" tanya Alex menatap teliti raut kecewa Andra, ia tahu kekecewaan Andra tak lepas dari ketidakberhasilannya memberikan apa yang Andra mau.
"Tidak ada jalan lain, aku sudah terlalu lelah. Aku akan meminta Raka mengambil alih sementara perusahaan ini," ujar Andra menyandarkan tubuhnya. Jika dahulu dialah yang mengabdi untuk Raka, berbeda dengan kali ini.
"Bukankah Raka pernah menolak keinginanmu ini?" Alex sedikit ragu dengan keputusan Andra, ia tahu Raka takkan semudah itu mengikuti kemauan Andra.
"Tidak, beberapa hari lalu Raka mengatakan jika ia ingin membawa serta Gian dan Jelita untuk tinggal di luar negeri, mungkin dia bosan tinggal di sana." Andra menjawab asal, kehamilan kedua Jelita yang membuat Raka terpaksa melakukan hal itu, jika berbicara tentang dirinya jelas saja Raka takkan suka.
"Lalu? Bagaimana dengan wanitamu, bahkan keberadaannya kau belum tahu." Alex memasukkan tangan di saku celananya, sejauh ini yang ia pahami tentang sosok Andra bukanlah pria yang mudah mengeluh akan sesuatu. Suatu yang ia suka, akan ia dapatkan bagaimanapun caranya.
"Entahlah, aku pasrah tentang Rhania. Meski selamanya hanya dia yang mengisi relung hatiku, Lex," ujar Andra sendu. Tak rela, sejenak ia membenci diri lantaran tak mampu bertahan akan pencariannya.
"Baiknya kau pikirkan terlebih dahulu, Andra, kau tidak bisa bertindak gegabah."
Alex mencoba menahan kepergian Andra, jika benar Andra pergi lantas kedudukan Andra akan digantikan Raka. Dan Alex tidak siap dengan pria itu, sedikit ia mengenal Raka sewaktu pria itu menemui Andra.
Alex menggelengkan kepala, bahkan mengingat sedikit saja membuatnya bergidik ngeri.
"Habis sudah jika atasanku pria sombong itu." Alex membatin, bahkan mengingat Andra pernah menduduki posisi sebagai asisten Raka sungguh tak mampu Alex bayangkan.
"Aku sudah cukup lama memikirkan hal ini, Lex, kau tenang saja. Raka tak seburuk yang kau pikirkan," ujar Andra, ia tahu apa yang berada di otak pria itu. Kejadian buruk yang cukup menggemparkan perusahaan membuat Andra terbahak seketika.
"Asal kau tidak melirik istrinya seperti beberapa bulan lalu," celetuk Andra yang membuat Alex memerah. Kejadian dimana dia terjepit di lift lantaran Raka tak suka Alex main mata dengan Jelita, sang Istri.
"Tidak akan!! Bahkan jika aku mendengar suara sepatu istrinya dari jarak 10 meter, aku akan menundukkan pandangan. Kau tenang saja," tekad Alex kuat. Jelas hal itu membuat Andra terbahak, sungguh lucu, baik adik maupun asistennya membuat Andra merasa terhibur kala itu.
Tawa ringan Andra memenuhi ruangan, terkekeh geli akan keadaan. Bukan hanya karena canda, namun juga luka. Ia tengah mentertawakan diri sendiri, takdir tentu saja. Andra meraih ponsel yang terletak di sisi meja, panggilan dari nomor tak dikenal masuk beberapa kali. Hendak peduli namun, Andra hanya manautka alisnya.
"Angkat saja," ujar Alex memberikan saran. Meski ia tahu, ucapannya kadang kala membuat Andra merasa tak nyaman.
Andra menghela napas kasar, memijat pangkal hidung seraya mengeraskan rahangnya. Lagi-lagi suara tidak jelas yang ia biasa dengar dari sang penelepon kembali terulang, sungguh Andra membenci hal itu.
"Katakan siapa kau, Bodoh!!" Andra tidak sesabar yang Alex kira sebelumnya, selama ini ia tahu betapa lembutnya hati Andra.
BRAK!!
Alex tersentak kala Andra menggebrak meja, apa yang ia dengar hingga membuat pria bermata sipit itu begitu murka. Andra beranjak dan segera berlalu setelah meraih kunci mobil, meninggalkan Alex yang hanya terpaku seraya melongo menatap kepergian Andra yang tampak begitu emosi.
Ya, begitulah Andra. Pria yang dulunya humoris, kini pribadi itu hilang entah kemana. Kerinduan dalam benaknya, lama-lama membentuk luka dan sakitnya luar biasa. Pencarian tanpa penghujung, jujur saja dia lelah. Di antara rasa bangga yang sang papa berikan padanya, tersimpan kedukaan tiada tara. Andra rindu wanita yang dicintainya, Rhania.
_******_
Melajukan mobil seenaknya adalah jalan yang kerap Andra lalukan kala hatinya tak menentu. Suara pria yang membuatnya menggila itu masih terngiang di kepala, selama ini Andra begitu tertutup akan kehidupannya, mengapa informasi sedetail itu dapat diketahui orang lain, pikir Andra.
"Tunggu aku, Rhania, kali ini kau takkan kulepas." Andra menambah laju kendaraannya,
menatap tajam jalanan yang memang terlihat tenang.
Apartemen menjadi tujuan utamanya, pulang ke negaranya tak mampu diganggu gugat. Dengan langkah pasti Andra menuju tempat ternyamannya, baru saja hendak tenang kini pria itu dikacaukan dengan kehadiran pengusik di depan pintu apartemennya.
"Honey," panggil wanita itu manja, demi Tuhan sedikitpun Andra tak suka. Inilah salah satu alasan Andra tak suka bila Alex membawa teman wanita, sudah pasti ia terpaksa terikat dalam hubungan yang bahkan tak ia inginkan.
"Berhenti memanggilku dengan sebutan Honey! Aku bukan kekasihmu, kita tidak sedekat itu!!" gertak Andra kian panas, wajahnya sudah memerah lantaran lelah yang lumayan namun ketika pulang yang dia temui justru wanita ini.
"Ck, mungkin saat ini belum ... tapi belum tentu besok atau lusa kan? Kita tidak pernah bisa menduga apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, Baby." Masih berusaha, dia tidak mau menyerah karena bagi Bianca pria tampan di hadapannya ini adalah impian yang harus ia raih.
"Diam kau, sarang tawon." Andra menatap sinis wanita yang kini menatapnya begitu manja, ingin rasanya Andra melempar pemilik tubuh jenjang itu.
"What's? Sarang tawon?" tanya wanita itu mengerutkan dahi, bingung, ia tak cukup mengerti maksud Andra menyamakannya dengan sarang tawon.
"Bianca, pergilah, aku tidak ingin bertemu denganmu hari ini," ujar Andra menepis tangan Bianca yang kini begitu manja bergelayut di bahunya.
"Kau kenapa, hem?" Bianca hendak membelai wajah Andra, namun secepat mungkin ia tepis dan berlalu masuk tanpa perduli Bianca masih di luar.
"Andraa!! Dasar brengsekk!!" Bianca menendang pintu yang kini tertutup, sungguh pengusiran yang keberapa kali ia terima dari kekasihnya itu. Cinta satu sisi, hanya Bianca yang terobsesi dan menganggap pria itu kekasihnya.
"Dia kenapa sebenarnya? Menyebalkan sekali ... aarrgghhh!!"
Bianca menjambak rambutnya kesal luar biasa, harus dengan cara apa dia merayu Andra agar pria itu luluh. Menurutnya, dia sudah cukup cantik. Bahkan sangat-sangat cantik. Namun, anehnya seorang Andra tidak tergoda dengan bentuk tubuh dan kecantikan yang ia punya.
"Bianca!! Apa kau tuli?!" Andra menghardik wanita yang kini menerobos masuk ke dalam Apartemennya. Ia lupa jika Bianca mengetahui password tempat tinggalnya, tanpa malu kini wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa.
"Aku dengar, Andra!! Tapi kau sendiri yang pernah mengatakan jika aku boleh ke tempatmu kapanpun, iya kan?" Bianca mengedipkan matanya, bulu mata nan lentik itu tak sedikitpun membuat Andra tergoda dengan pesona wanita itu. Baginya, hanya ada Rhania, sekarang, esok dan juga nanti.
"Kau lupa alasan yang mendasarinya, Bianca. Itu boleh kau lakukan jika aku tidak berada di sini, kau paham?" Andra mengeratkan giginya, bantal empuk yang berada di pelukan Bianca mendarat kasar di wajahnya.
"Ays!! Kenapa kau melakukan hal semacam ini padaku? Dasar gila!!" Andra tak terima dengan sikap Bianca yang lebih mirip remaja. Jika wanita itu Rhania, mungkin dengan senang hati Andra akan terima.
"Kenapa? Kau masih bertanya kenapa? Aku kekasihmu, Andra, bukankah terlalu kasar jika kau bertindak seperti ini padaku?" Bianca mengiba, berucap manja seakan dirinya lah wanita paling menderita.
"Kekasih? Sudah kukatakan aku bukan kekasihmu, Bianca!! aku bahkan tidak memiliki alasan menganggapmu sebagai kekasih, jangan gila, Bianca." Andra menjawab ketus, sungguh ini bukanlah dirinya. Hanya saja jika menghadapi Bianca jelas Andra harus tegas.
"Kau lupa? Perjanjian beberapa bulan lalu apa? Kau menyanggupi itu, Kan?" Andra terdiam, memejamkan mata sejenak. Andai saja ia tak mengizinkan Alex membawa teman gilanya ini kepadanya, maka hal semacam ini takkan terjadi.
"Ck, terserah kau saja." Andra berlalu begitu saja, niat hati menyelamatkan hidup Bianca, Andra justru terjebak dalam hubungan yang tak ia ingini.
"Kau mau kemana?" tanya Bianca setengah berteriak, baginya Andra adalah kekasihnya meski tak sedetikpun Andra memperlakukan Bianca layaknya kekasih.
"Mandi, apa urusanmu?!" tanya Andra begitu ketus, jika bukan wanita, sudah pasti Andra telah menyiram wajah Bianca.
"Aku ikut," ujar Bianca dan segera beranjak, menghampiri Andra yang hendak berlalu ke kamar.
Andra menatap jijik Bianca yang kini menghambur ke pelukannya, segera ia mendorong tubuh Bianca agar segera menjauh. "Jaga harga dirimu, Bianca, kau cantik, amat disayangkan jika kau sia-siakan."
Andra menatap tajam manik wanita itu, tak perduli ucapannya menyakiti atau tidak. Hanya saja Andra sungguh membenci sikap wanita layaknya Bianca. Bukan tak tertarik pada wanita, Andra normal tentu saja. Namun, dia bukanlan pria yang semudah jatuh dalam pelukan wanita.
Bianca menggigit bibir bawahnya, matanya seakan membasah tanpa di pinta. Mengapa ada pria seperti Andra, selama ini justru pria yang ia dekatilah yang memintanya, namun mengapa perbedaan itu begitu jelas dalam diri Andra.
"Kau milikku, Andra," ujar Bianca pelan, mengepalkan tangan seraya menatap Andra yang kini semakin menjauh.
Bianca menatap figura yang terletak tak jauh darinya. Wanita cantik bermanik hazel dengan rambut kemerahan alami yang membuatnya terlihat begitu manis tersenyum ke arahnya. Bianca tak tahu siapa dia, yang jelas untuk bertanya sedikit saja, Bianca tak punya keberanian lantaran Andra tak memberikan hak kepadanya untuk menanyakan hal semacam itu.
"Kaukah itu? Bisakah untuk sekali saja, izinkan Andra menerimaku." Pilu hati Bianca, nestapa yang ia arungi sungguh menyesakkan dada.
Kala cinta berbicara, namun sayang ia salah menjatuhkannya. Andra tak mungkin mencintai dia layaknya cinta Bianca pada Andra. Wanita itu sejenak paham akan hal itu, tapi, untuk melepas Andra begitu saja, jelas Bianca takkan rela.
Hatinya tertutup kabut cinta, meski ada Alex yang nyata-nyata menyukainya akan tetapi sampai kapanpun Bianca hanya mencintai pria itu. Tidak ada yang lain, pertemuan tak sengaja tiga tahun lalu membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya pada Giovani Andra Karsya.
_********_
"Kau belum pergi juga?" tanya Andra yang kini muncul dari balik pintu kamar, dengan pakaian rapi dan wajah yang lebih segar.
"Kau mau kemana?" Bukannya menjawab Bianca justru balik bertanya, penampilan Andra terlihat jelas jika ia akan pergi.
"Apa pedulimu, pergilah, Bianca. Bukankah ayahmu sedang sakit?" Andra tak sedikitpun menatap Bianca yang kini ikut melangkah di balik punggungnya, ia hanya memikirkan satu tujuan yang akan ia datangi.
"Andra, aku kan ...." Ucapan itu terhenti kala Andra menatapnya sinis, seakan tak ada celah untuk Bianca mengatakan kalimat itu.
"Apa? Kau tetap ingin mengatakan dirimu kekasihku?" Andra menyeringai, bukan ia membenci Bianca, hanya saja ia tak suka akan obsesi Bianca yang bahkan membuat semua orang yang mengenal mereka percaya akan status wanita itu sebagai kekasih Andra.
"Iya!!" Bianca meninggi, segera menjauh dan menghempaskan tubuhnya di sofa.
Andra hanya meghela napas kasar, mengusap wajahnya kasar. Sungguh ia merasa terganggu dengan kehadiran wanita itu, seberapa kuat usaha Andra untuk membuatnya pergi, tetap saja wanita itu akan tinggal.
"Menyebalkan," cetus Andra segera berlalu. Kehadiran Bianca cukup membuat harinya terasa buruk
kali ini.
Menjelang sore, Andra melajukan mobil begitu berhati-hati. Mandi memang kerap menjadi pilihan Andra untuk mendinginkan pikirannya, menemui seseorang dalam kadaan emosi tak terbendung bukanlah sikap Andra.
Dalam Hidup, Andra selalu berusaha untu menyelesaikan masalah secara hati-hati, jika gegabah, bisa saja ia celaka. Apalagi ini menyangkut Rhania, ia tak sebodoh itu percaya begitu saja kala pria misterius itu mengatakan bahwa Rhania tengah berada di tanganya. Tentu saja selain nyawa, uang yang ia inginkan.
"Tempat apa ini?" Andra turun, melangkah begitu hati-hati lantaran hari mulai gelap. Semburat merah di ufuk barat tak mampu membuatnya dapat melihat dengan jelas.
Dengan penerangan dari ponselnya, Andra memasuki gedung tua itu perlahan. Lembab, suasana didalam ruangan itu sungguh tak nyaman. Cukup lama Andra melangkah, terdengarlah gelak tawa dan jeritan seorang wanita.
"Aaaaaaaa!!" Teriakan itu sungguh mengiris batin Andra, hal seperti ini sempat ia alami kala
membantu menyelamatkan Jelita kala itu.
"Tolooong!!" Lagi-lagi, isakan tangis dan permintaan dari wanita itu membuat Andra meradang.
"Rhania," lirih Andra mempercepat langkahnya, matanya merah padam, telapak tangan yang kini mengepal. Jika saja benar terjadi sesuatu pada wanita itu, Andra tak menjamin dirinya takkan menggila.
BRAAK!!!
Andra mendorong paksa pintu yang tertutup rapat di depannya, tak cukup mudah bagi seorang Andra. Namun, kemarahan dalam jiwanya seakan mengalahkan segalanya. Dalam pikiran Andra hanya tentang membawa pergi Rhania dalam keadaan baik-baik saja.
"Aaaaaaaakkhh!!" Bersamaan dengan teriakan itu, Andra berhasil membuka pintu itu, hatinya berdebar. Jantungnya sama sekali tidak aman meski terlihat seberani itu saat ini.
Beberapa pria yang kini tengah menunggu kedatangannya terdiam, menyeringai seraya menatap rendah Andra. Cukup lama mereka menunggu, bahkan wanita yang dijadikan umpan kini telah terlampau lemas.
Tbc
"Kau terlambat 15 menit, Tuan," ucap salah satu pria dengan tato yang memenuhi lengannya. Wajah garang pria itu tak sedikitpun membuat Andra takut.
Kemarahannya akan perlakuan kasar mereka pada wanita didepannya membuat Andra kalap mata. Diam, pilihan Andra untuk sementara. Jelas saja hal itu menjadi tanya beberapa pria di sana. Reaksi Andra di luar dugaan mereka, pria itu terlihat santai seakan tak khawatir dengan wanita yang tengah di siksa.
"Lakukan, Rey!!" sentak pria bertubuh kekar yang kini menatap tajam Andra. Mungkin dengan sedikit pertunjukkan Andra akan tergerak untuk menyerang, pikir mereka.
Byur...!!
Dengan sadis, Rey yang di perintahkan menyiramkan air dingin ke tubuh wanita yang tertutup wajahnya itu. Sakit bukan main, hati Andra meraung menatap apa yang ada di depannya. Namun, jika bertindak bodoh ia lah yang akan terjebak dalam masalah, pikirnya.
Andra masih setia dalam diamnya, ia tak mengenali siapa mereka. Andra tak merasa pernah memiliki hubungan dengan mereka, baik itu kerja sama atau apapun. Isak tangis dan teriakan wanita yang tak jauh darinya masih saya menggema, mengiris kalbu seorang Andra.
Prok ... Prok ... Prok
Derab langkah diikuti tepuk tangan beberapa kali muncul dari balik salah satu pintu disana. Ruangan yang sebelumnya hanya remang kini terang benderang. Bias cahaya memenuhi ruangan.
"Waw, kau mati rasa sekarang?" Pria itu menyeringai, bukankah mempermainkan Andra adalah hal yang lucu, pikirnya.
Andra menatap tajam pria yang tengah tertawa kecil itu, sungguh ia benci dengan wajah itu. Beberapa tahun lalu, pria itu hampir menghilangkan nyawa Raka, sang Adik. Dialah Gio, adik kandung Alvino yang merupakan mantan suami dari Kinan.
Tak ia duga, takdir membawanya kembali bertemu dengan orang yang sama. Gio mendekat dan memberikan sebuah surat di sana, sebuah perjanjian konyol yang meminta Andra menebus wanita yang ia siksa dengan uang senilai 2M. Gila, liciknya seorang Gio bahkan tidak berubah.
"Jadi ini caramu mendapatkan uang?" Andra menatap hina Gio, maju selangkah agar jarak mereka semakin dekat. Netra keduanya berpadu nyata, tak Andra ketahui apa yang sebenarnya menjadi alasan Gio mengusiknya.
Kalaupun masalah Raka, rasanya tidak mungkin. Seperti yang ia tahu, Gio bahkan meminta Vino untuk menghentikan niat jahatnya usai kecelakaan yang membuat Raka terluka itu terjadi.
"Hahaha!!! Iya, salah-satunya, lalu kau mau apa?"
Gio menyeringai, baginya tidak satupun hal di dunia ini yang tidak mampu menghasilkan uang. Persetan dengan perasaan, baginya dendam tetaplah dendam. Jatuhnya nama Gio, dan hancurnya bisnis karena kalah saing dengan perusahaan Andra menjadi penyebab utama pria itu nekat mengusik Andra.
"Lemah!!" sentak Andra, hanya sepatah kata. Namun, sakit itu menusuk di hati Gio. Sepatah kata yang seakan menjadi hinaan untuknya, tangannya mengepal bersamaan dengan rahang yang kini mengeras.
Tanpa aba-aba, Gio hendak mendaratkan pukulan di wajah Andra. Namun, pria bermata sipit yang dulunya selalu kalah dalam pertarungan tak selemah yang di kira. Secepat kilat menghindar dan melayangkan tendangan tepat di perut Gio.
BRUGH
Sial, tali sepatu membuat Gio tersiksa. Dengan mudah Andra membuatnya tumbang, dengan sekuat tenaga Andra menginjak punggung Gio, wajah pria itu menyentuh lantai. Sakit, itu pasti. Bahkan Gio susah untuk bernapas, sedang beberapa anak buahnya tak mampu berkutik kala Andra mengeluarkan pistol dari saku jaketnya.
Rey yang sedari tadi begitu angkuh kini menciut mundur beberapa langkah, mengangkat tangan sebagai isyarat ia menyerah. Meski ia kuat, tak menutup kemungkinan ia akan tutup usia jika peluru itu menembus dadanya.
"Kalian salah bermain-main denganku, Badjingan!!!" Andra tak kuasa menahan amarahnya. Tembakan sembarang arah yang membuat mereka berteriak melebihi para gadis yang mendengar suara petir membuat Andra ingin terbahak.
"Kau!!" Andra menatap Rey yang kini berusaha bertahan di kaki lemasnya, jika saja Andra tak memikirkan dosa sudah tentu mereka dengan mudah ia bantai.
"Pergilah, sebelum aku yang membuat kalian pergi ketempat lain!" Ancaman Andra yang membuat Rey dan tiga orang lainnya memilih pergi tanpa memperdulikan Gio yang kini sekarat oksigen.
Andra melepaskan Gio dari pijakannya, nampak pria itu tengah berusaha mengambil napas. Benar, ia salah terlalu bermain-main dengan Andra. Tak ia duga jika Andra bukanlah pria lemah tanpa Raka.
"Urusan kita belum selesai, Badjingan." Andra berjongkok dan menarik kasar rambut Gio yang memang cukup panjang. Bak adegan ibu tiri yang kerap ia saksikan, Andra sungguh mendalami peran.
"Cih, jangan terlalu bangga, kau hanya anak dari wanita murahan yang di nikahi secara rahasia, iya kan?"
Pertanyaan bak hunusan pedang menusuk dada Andra, mengapa harus ibunya yang menjadi sasaran mulut jahat Gio. Demi Tuhan, sedikitpun ia tak bisa terima, tangan yang sejak tadi tertahan akhirnya mendarat tepat di wajahnya. Darah keluar seenaknya kala Andra mendaratkan pukulan berkali-kali tanpa ampun pada Gio.
Hingga pria itu terkulai lemah, barulah ia berhenti. Andra menghela napas kasar, segera bangkit dengan sisa tenaga dan hati hancurnya. Menghampiri wanita yang kini hanya bersandar tak bertenaga.
Perlahan Andra membuka ikatan kaki dan tangannya, Andra bernapas lega kala tak ia temukan tanda merah di pergelangan tangan wanita itu. Tak peduli bagaimanapun keadaan wanita itu.
"Syukurlah, aku tidak menemukan dirimu dalam keadaan seperti ini." Andra menghela napas perlahan, sungguh ia bersyukur kali ini. Meski ia tahu, tidak ada aturan yang membenarkan bersyukur di atas penderitaan orang lain.
"Kau baik-baik saja?" tanya Andra mencoba menyadarkan wanita yang menjadi korban Gio dan anak buahnya, melihat wanita itu bahkan tak memberi jawaban, segera Andra membopongnya dan berlalu meninggalkan Gio yang masih lemah disana.
Meski tak mengenal wanita itu, Andra tetap menemaninya di rumah sakit. Menanti pemilik kulit putih namun penuh lebam itu siuman, tak dapat ia bayangkan jika benar Rhania yang berada di posisi itu.
"Terima kasih, siapapun kamu." Andra berucap pilu menatap wanita yang kini terbaring lemah.
Tak sedikitpun Andra menyesal terlambat menyelamatkan, karena semua telah ia atur sedari awal. Sejak memasuki ruangan, ia tahu wanita itu bukanlah Rhania. Seorang Rhania tidak akan selemah itu, pikirnya.
Jarum jam menunjukkan pukul 08 malam, Andra merasa tubuhnya sedikit lelah lantaran belum sempat mengisi perutnya. Dalam situasi seperti ini, Alex benar-benar ia butuhkan.
"Kemari dalam 10 menit," ujar Andra tegas setelah panggilan terhubung.
Tanpa menunggu jawaban, Andra menutup ponselnya kala usai membagikan lokasi dimana ia berada. Esok ia akan kembali ke tanah air, meski tak yakin namun ia harus lakukan. Itulah pilihan yang telah ia tentukan sejak beberapa bulan lalu.
Tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!