...Jatuh Cinta......
...Kata Orang, Cinta itu adalah anugrah yang terindah, yang harusnya kita syukuri. Aku pernah jatuh cinta, hingga jatuh ke dalam lubuk hati yang paling terdalam....
...Pernah......
...Aku pernah berusaha keluar dari lubuk itu, tapi Aku masih belum bisa......
...Bertahun-tahun semua ini ku lalui, agar aku bisa bangkit dari semua ini. Bahkan, setelah Aku menikah. Aku merasa hatiku bernoda, hatiku ini masih mencintai yang lain, padahal aku telah terikat tali pernikahan dengan suamiku yang baik hati....
...Berapa lamakah hatiku ini akan tertidur? Kapan hatiku ini akan terbangun dari rasa masa lalu?!...
...Kabar gembira,...
...Kabar gembira dari sebuah rasa ikhlas... Mengikhlaskan yang bukan menjadi jodohku, karena takdir Tuhan lebih indah dari keinginanku....
...Aku......
...Dengan sebuah kata ikhlas, yang lahir dari lubuk hatiku yang paling terdalam, ikhlas menerima semua yang telah Engkau takdirkan padaku Tuhan......
...Untukmu......
...Terimakasih, telah menjadi bagian dari hidupku....
^^^Bukittinggi, 09-09-2019^^^
^^^Ttd^^^
^^^Rosalinda Tanjung.^^^
••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Inilah tentang diriku...
•••
“Apa??!!” Aku terpekik kaget mendengar ucapan Ayah dan Paman ke-dua ku.
“Bagaimana bisa, Ayah dan semuanya, menerima lamaran seseorang, tanpa menanyakan pendapatku?!” protes ku dengan suara tinggi.
“Kamu sudah patut untuk menikah. Seperti yang sudah Mamak bilang, dia pria yang baik, bagus agamanya dan bisa bertanggung jawab untukmu di masa depan.” Paman ke-dua menjelaskan kembali kepadaku.
Mamak adalah sebutan untuk Paman dari keluarga Ibu. Dan Apak, untuk Paman dari keluarga Ayah.
“Tapi Makngah, aku tidak kenal dengan dia. Kenapa kalian menerima lamaran itu?” Aku masih mencoba mencari celah untuk protes.
“Mau tidak mau, kami semua sudah sepakat. Dua minggu lagi, kamu akan menikah dengannya.” tegas Ayah menimpali protes ku pada Paman ke dua.
“Tapi aku tidak menyukai pria asing yang tak aku kenal itu, Ayah. Dan aku menyukai seseorang.” teriak ku lantang. Aku membangkang saat ini, tak terima keputusan keluargaku.
“Pria yang tak berniat menikah denganmu, bukanlah pria yang baik.” ucap Ibu ku menyambung perdebatan ku dan Ayah.
Ibu menggenggam tanganku erat, lalu mengelus punggung tanganku, mencoba menenangkanku, agar keributan ini tak semakin panjang.
“Aku yakin dia akan segera melamar ku, Bu.” terangku.
“Jika dia berniat, dia pasti sudah melamar mu dan berusaha sejak dulu bukan? Lalu, apa ini? Kau mondar-mandir tidak jelas, balap-balapan motor, kau itu perempuan bukan anak laki-laki!!” Tiba-tiba Paman pertama ku yang pendiam dan jarang bicara itu langsung menyambung ucapanku dengan suara tinggi, memberikan tatapan tajam.
Aku terdiam, aku takut dengan Paman pertama yang pemarah itu.
“Kami semua sudah sepakat, 2 minggu lagi kamu akan menikah, dia pemuda yang baik, bagus agamanya, dia juga memiliki pekerjaan, dari keluarga yang baik-baik.” ucap Paman pertamaku tegas.
Suasana hening seketika, setelah Paman Pertamaku bicara, tak terasa air mataku langsung mengalir sendiri, kemudian Aku berlari keluar.
Aku bukanlah wanita lemah dan cengeng, namun Aku memang takut dan tak berani membangkang Paman pertama sedari dulu, tangisan ini karena marah yang tak bisa ku keluarkan.
Kenapa Aku harus dipaksa begini?
Mereka menjodohkan Aku dengan pria asing, yang tak ku kenal sama sekali. Dan kenapa keluarga Pria asing itu dengan segera meminangku? Kenapa?!
Tanpa sepertujuanku, keluargaku telah menerima pinangan itu dan menetapkan hari pernikahanku, serta acaranya yang akan dilangsungkan dua minggu lagi.
Aku pergi berlari ke sebelah rumah, rumah tetanggaku. Setelah sampai, aku langsung masuk dan mendapati seorang Ibu yang sedang menjahit.
“Etek Inah, Boy sudah bangun belum?” tanya ku pada Ibu itu.
“Masih tidur. Bangunkan saja.” balasnya tanpa menoleh padaku, Ia masih fokus pada jahitannya.
Aku langsung masuk ke dalam kamar belakang disamping dapur. Kamar itu sedikit gelap, penuh dengan aroma asap rokok.
Ku buka gorden jendelanya sampai cahaya terang menembus masuk ke dalam kamar itu.
“Woi, bangun!” Ku tepuk-tepuk punggung pemuda yang tidur telungkup tanpa baju itu. Ia hanya tidur pakai celana boxer pendek, menyingkapkan pahanya.
“Bangun, woi!!” ucapku lebih keras lagi dan tepukan ku juga semakin kuat.
“Cih!” Ia berdecih kesal karena tidurnya ku ganggu.
“Ah, ada apa? Kau ini hobi sekali mengangguku.” jawabnya dengan suara serak khas bangun tidur, kemudian Ia membalikkan tubuhnya tertelentang. Lalu, Ia menatapku.
“Cepat bangun, kita pergi yuk! Aku lagi badmood!” ucap ku ketus.
Dengan posisi tertelentang, pemuda itu meletakkan ke dua tangannya ke belakang, menumpu kepala belakangnya. Lalu, tersenyum menggoda.
“Apa kau pikir aku tergoda melihat tubuhmu? Jangan sok tampan seperti ini! Cepat bangun!” teriakku dan langsung memukul perutnya yang sixpack itu.
“Auucwwhh!! Aduh! Kau ini, sebenarnya wanita atau pria sih?! Kau memukulnya dengan bersungguh-sungguh, membuatku kesakitan.” Ia langsung terduduk dan mengelus perutnya.
“Siapa yang suruh kau tebar pesona!” ucapku sembari menyedekapkan kedua tanganku di dada.
“Eh, dengar ya! Tidak ada wanita yang masuk ke kamar seorang pria seperti ini, apalagi pria itu tidak memakai baju dan hanya pakai celana boxer begini, tentu sa.....” Belum selesai pemuda itu menyelesaikan ucapannya, kepalanya sudah aku pukul dengan kuat terlebih dahulu.
“Kau!!!!” serunya marah. Ia mengelus kepalanya.
“Cepat bangun, ku tunggu kau di luar!” perintahku. Aku langsung berjalan keluar, tanpa menunggu jawaban setuju dari pemuda itu.
“Gimana, Dia udah bangun?” tanya Ibu yang menjahit itu.
“Udah Tek, ku pukul dia.” terangku terkekeh. Ibu itu juga terkekeh mendengarnya.
“Etek sudah lelah membangunkan nya, kerjaannya begadang aja, bangun siang terus.” ucap Ibu itu menjelaskan perangai putranya padaku.
Padahal Aku dan Putra Beliau, sebelas dua belas loh. Hehehehe.
Beberapa belasan menit kemudian, pemuda itu sudah keluar, rambut pendek yang di sisir belah tengah, kulit hitam manis, dan memiliki senyum gigi gingsul, namanya adalah Reyvaldo, dia temanku sejak kecil, tetangga di sebelah rumahku.
Teman-teman yang lain dan orangtuanya memanggilnya dengan panggilan, Valdo. Tapi, Aku tentu saja berbeda dengan yang lain, Aku lebih sering memanggilnya dengan panggilan Boy, dan Dia juga sering menyebutku Preman Galuak alias preman tempurung, artinya preman yang tidak mempunyai wawasan yang luas, belum layak menjadi preman. Itu katanya!
“Mau kemana?" tanya Ibu Boy pada kami.
Nama Ibu Boy adalah Sakinah, Aku lebih sering memanggilnya dengan Etek Inah. Etek itu panggilan untuk Tante.
“Gak tau Mak, preman ini ngajak entah kemana.” jawab Boy menunjukku.
Boy memanggil Ibu nya dengan panggilan Amak dan Ayahnya dengan panggilan Abak.
“Aku bukan preman!” protes ku menggerutu.
“Ya udah, kalian jangan ngebut-ngebut ya, Kamu dua minggu lagi akan menikah.” Ibu Boy berkata lembut.
“Menikah?!” tanya Boy terkejut.
“Kau akan menikah? Dengan siapa?” Wajah Boy langsung berubah, dia memegangi kedua bahuku dengan kuat dan sedikit mengguncangnya
“Jawab lah, kenapa kau diam saja?”
“Ros!” panggil Boy menatapku. Aku hanya diam.
“Ayo kita pergi, aku akan bercerita padamu.” Ku tarik tangan Boy keluar, ingin menjelaskan padanya.
Boy langsung menghidupkan motor Vega R berwarna hijau yang sudah Dia buat ceper dengan kandolpot resing bersuara keras, serta gambar-gambar yang nyentrik di tempelkan di beberapa bagian motor itu.
Tempat duduknya yang licin dan menungging, ciri khas motor anak balap yang ada di kampungku.
Aku dan Boy pergi entah kemana. Di atas motor, kami saling diam tanpa kata. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing.
Tiba-tiba, motor itu mati di tengah jalan sepi, tepat di tengah jembatan muaro, yang dikenal dengan jembatan angker.
Boy memeriksa motor yang tiba-tiba mati itu, rupanya motor itu kehabisan minyak. “Pant**!!!” Ia mengumpat, berkata kasar.
“Kenapa sih harus habisnya sekarang?!” gerutunya menendang ban motor itu. Aku pun juga ikut-ikutan menendang ban motornya.
“Kau mau ikut atau menunggu ku di sini? Aku akan dorong motor sampai simpang depan.” jelas Boy dengan wajah kusut.
“Aku tunggu kau di sini saja.” jawabku. Aku langsung duduk di atas pagar jembatan berwarna kuning itu.
“Kau yakin?” tanyanya menatapku dengan selidik.
“Aku bukan gadis penakut, aku tak percaya ada setan di siang bolong!” ucapku sombong.
“Ya udah, kalau gitu! Baik-baik kau duduk di sini. Jangan sampai jatuh, apalagi kau menceburkan diri ke sungai.”
“Kau pikir aku bodoh! Cepat dorong sana!”
Boy mendorong motor sendirian. Cukup lama aku menunggu sendirian di tempat sepi ini, membuatku jengkel menunggu lama, aku berdecih dan menendang jalan beberapa kali.
Sebuah motor Supra fit dengan pakaian lengkap di tubuh motornya, menghentikan laju motornya di depanku. Kemudian pengendara motor itu membuka helmnya. “Permisi Dek, numpang tanya, jalan ke arah Timadang kemana ya?”
Aku menatap pengendara pria itu dari atas sampai ke bawah, melihat penampilannya dan motornya, menilai, kemudian tersenyum tipis.
“Oh, Bapak lurus, nanti setelah sampai di simpang depan, Bapak belok kiri.” jawabku.
“Oh, makasih banyak ya. Ngomong-ngomong kok sendirian aja di jembatan ini? Mau kemana, mungkin aku bisa bantu.” tawar pria itu.
“Aku nunggu teman, Dia kehabisan minyak motor, tadi Dia dorong motor ke depan sana.” balasku.
“Oh, kalau begitu aku permisi dulu ya, Dek. Permisi." ucap pemuda itu, lalu ia melajukan motornya.
Selepas kepergian pemuda itu, Aku tertawa keras. “Zaman sekarang, motor meng-amin begitu, pakai hlem lagi. Hahahaha.”
Ya, bagiku, di kampungku, pemuda seumuran dengan diriku tak pernah memakai helm dan kaca spion lengkap kiri dan kanan seperti orang berdo'a. Padahal memakai kaca spion dan helm itu penting. Namun bagi kami itu 'GAK GAUL'.
“Kau dari tadi tertawa sendiri, apa kau kesurupan?” Boy yang baru datang langsung memegangi keningku.
“Keningmu tidak panas, matamu juga terlihat normal. Apa kau sejenis setan jembatan yang sedang gila?”
Pletak! Ku sentil kening Boy agar mulutnya tak mengeluarkan perkataan aneh, dan percaya akan mitos jembatan itu.
“Ayo!” Aku langsung menaiki motor, menarik tangan Boy yang masih berdiri itu.
Boy akhirnya duduk di atas motor dan aku berbonceng di belakang Boy. Lalu, aku menepuk pundak pemuda itu. “Ayo!”
Aku masih saja terkekeh di belakang, mengingat kejadian tadi. “Kau kenapa? Ketawa sendirian sejak tadi, jangan-jangan kau beneran di ganggu setan jembatan!” ucap Boy yang sedang mengendarai motor.
“Kalau aku di ganggu setan jembatan, sudah ku cekik kau sedari tadi, Huh!” sungutku, menarik rambut belakang Boy.
“Lalu, kenapa Kau tertawa seperti itu?”
“Tadi ada orang lucu, wajahnya sih masih terlihat muda. Tapi, penampilan dan motornya seperti bapak-bapak”
“Terus? Jangan bilang kau naksir Bapak itu?”
Bugh! Ku tinju punggung Boy. “Sakit woy.” teriaknya.
“Mana mungkin aku akan suka pria seperti itu, gak LEVEL!” ucapku sombong.
“Tadi, aku ngerjain bapak itu. Aku beri tahu arah jalan yang salah padanya. Dia mau ke Timadang, aku tunjuk arah jalan berlawanan, jalan buntu ke kebun sawit orang. Ahahahaha.” terangku tertawa menceritakan pada Boy.
“Kau jahil sekali Ros!”
“Biar aja, lagian ya, gak akan jumpa lagi sama dia kok. Hahaha.” ucapku masih terkekeh.
Kami akhirnya berhenti di lapangan bola kaki. “Kita duduk di sini dulu Ros. Pertandingan bola nya masih satu jam lagi.”
Drrrtt! Drrrtt! ringring! Handphone Nokia 1100 ku berbunyi.
“Wa'alaikumsalam.” jawabku mengangkat sambungan telepon.
“Gak! Aku gak mau pulang! Terserah!” seru ku, langsung ku matikan handphone ku, agar tidak ada yang bisa menelfon ku lagi.
“Kenapa Ros?” Boy menatapku penasaran.
“Aku di suruh pulang, calon suamiku datang, dan menanyakan aku mau mahar apa. Malas banget.” Ku tendang rumput hijau yang tak bersalah di lapangan bola ini.
“Apa kau akan melanjutkan pernikahan ini?”
“Entahlah. Kau kan tahu denganku sejak dulu Boy. Apakah aku pernah bilang, kalau aku kebelet pengen kawin? Lagian....” Ku menghentikan ucapanku, dan aku pun termenung seketika.
“Sudahlah Ros, aku paham.” Boy menepuk-nepuk punggungku pelan. “Aku tak bisa bantu masalah kau tentang pernikahan ini, tapi jika kau butuh teman curhat dan teman bermain, aku akan selalu siap.” Boy berkata serius menatap kedepan, memandangi lapangan bola kaki yang mulai di padati manusia.
Tak terasa waktu terus berjalan, lapangan bola kaki menjadi ramai oleh manusia. “Tunggu sini Ros, aku beli minum dan kacang rebus dulu.”
“Ok.” Ku acungkan jempol setujuku pada Boy.
Dari kejauhan, aku melihat Boy di kerumuni beberapa pemuda. “Eh??!” Aku cepat berdiri dari duduk, menyelamatkan diriku.
“Permisi, permisi!!!” Aku bergegas berjalan dengan cepat, masuk ke dalam kerumunan manusia di lapangan sepak bola kaki itu. Beberapa orang aku sibakkan karena mereka berdiri berbaris di tepi lapangan.
Tatapan ku terus menoleh ke belakang, memastikan gerombolan pemuda yang menghadang Boy tadi tak bisa melihat keberadaan ku sekarang. Lalu, Aku memilih berjongkok diantara rombongan kelompok yang ramai dekat ku berdiri sekarang.
“Huft!!!” Aku hembuskan nafasku, Aku bernafas lega. Bagaimana dengan nasib Boy ya? Apakah dia melawan seperti biasa, lalu di pukuli, atau berkilah untuk menyelamatkan dirinya sendiri? Entahlah, semoga saja dia pintar.
“Kau di sini rupanya, Uni?!”
Deg! Jantungku berpacu cepat. Aku tahu betul dengan suara yang ada di belakangku.
Aku menoleh ke belakang, dan benar saja. Mereka datang dari semua penjuru. Di sana, Boy masih dengan beberapa pemuda, dan sekarang ada yang lainnya di sini hendak menangkapku.
“Sial!!” Aku mengumpat, bergegas ku berdiri.
“Mau kemana kau Uni?! Paman menyuruh kau pulang!” pemuda yang lain menghadang.
“Aku gak mau, ngapain aku ketemu sama orang itu!”
“Orang yang mana? Dia udah pergi sejak tadi. Ini sudah sore. Ayo pulang, Paman mau mufakat dulu untuk pernikahan Uni.” jelasnya mulai berjalan mendekatiku.
Sekarang aku sudah menjadi tontonan orang banyak, karena aku bersembunyi di dekat keramaian. Mata para pemuda-pemudi disekitarku mulai menatapiku, seolah aku adalah buronan.
“Apa kalian lihat-lihat!!” teriakku berkacak pinggang ke arah mereka.
Perlahan para pemuda yang ingin menangkapku pun mendekat, hendak menangkap ku. Dengan gesit aku berlari kencang secara zig-zag.
“Maaf, maaf, permisi!!!” ucapku sambil berlari.
Aku berlari sekencang-kencangnya, peluh di dahiku mulai terasa, aku sudah berlari jauh meninggalkan lapangan. Aku kelelahan dan tenagaku hampir habis. Nafasku ngos-ngosan.
“Ah, sial!!! Apa para bocah itu tak punya rasa lelah?!” gerutu ku. Ku tatap mereka yang semakin mendekat.
Saat mereka hampir sampai di dekatku, Aku mengancang lari sekuat hati lagi, karena aku sudah istirahat sejenak, sembari memegangi lutut ku dengan nafas memburu.
Aku pun berlari kencang sambil menoleh kebelakang.
Brugh!!!
“Aucwh!” Ku meringis.
Aku menabrak seseorang, sehingga aku dan dia sama-sama terjatuh, tangan laki-laki itu tergores, dan lututku juga tergores karena tanah berpasir.
Laki-laki itu menopang tubuhku, jadi tangannya tertindih oleh tubuhku.
Aku mencoba bangkit, dan menatap Laki-laki di depanku. Awalnya berniat minta maaf dan makasih sudah mencoba menangkapku. Namun...
“Kau!!!”
Aku mencoba bangkit, dan menatap Laki-laki di depanku.
“Kau!!!” Aku langsung bangun, laki-laki itu juga bangun, menepuk-nepuk bajunya yang kotor.
Aku hendak berlari, namun laki-laki itu menarik baju kaos ku yang berwarna hitam dari belakang. “Mau kemana Dek?” tanyanya dengan memegangi baju ku, sembari meniup-niup tangan satunya lagi.
“Bukan urusanmu!” jawabku ketus.
“Lepas!” sambung ku lagi, menepis tangannya yang memegangi baju ku seperti memegangi kotoran, Ia memegang ujung baju ku seperti orang yang sedang kejijikan.
“Takutnya nanti kamu salah alamat, nanti kamu ke sasar.” ucapnya tersenyum. Alisku langsung berkerut mendengarnya.
Aku tak peduli, aku hanya ingin pergi, aku tak ingin di tangkap oleh pemuda-pemuda yang mengejarku.
“Maaf, maaf sudah menabrak kamu ya!” ucap laki-laki itu berteriak, saat aku pergi meninggalkannya tanpa meminta maaf padanya.
Laki-laki itu benar-benar menyindirku. “Sial! Kenapa aku harus bertemu dengan dia sekarang sih!” umpatku. Dia adalah laki-laki yang ku tunjukkan jalan salah tadi.
Aku berhenti dan menoleh ke arahnya, ku acungkan jari tengah ku padanya untuk mencemooh nya. Dia hanya membalas ku dengan tersenyum.
Aku masih mencoba berlari, namun kaki ku benar-benar sakit. Gara-gara terjatuh tadi, sekarang aku pun berlari terpincang-pincang.
“Hahahaha. Mau kemana lagi kau, Uni!” ucap para pemuda-pemuda itu, mereka telah mengepungku, dan aku terpojok.
Aku pun di tangkap oleh para pemuda yang mengejarku sedari tadi.
“Lepasin!!!” Aku memberontak.
Pemuda yang badannya paling besar langsung menggendongku, memasukkan aku ke dalam bak belakang mobil Mitsubishi L300. Aku di pegangi oleh mereka, agar tak bisa kabur lagi.
Beberapa saat, saat mobil sudah berjalan aku pun diam, lelah juga memberontak. Tapi ngomong-ngomong, gimana nasibnya Boy ya? Palingan cuma di pukul, kalau bertindak bodohkan? Hm...
Sebelumnya mari kita berkenalan dengan ku secara lengkap dulu...
Namaku Rosalinda Tanjung.
Aku punya Eyang, Ia anak tunggal dengan kekayaan yang berlimpah. Karena ia anak satu-satunya, semua harta pusaka menjadi miliknya. Dan beliau telah memiliki 5 suami.
Suami pertama sampai ketiga nya, tidak memiliki anak dan mereka meninggal dunia.
Kemudian Eyang menikah lagi, untuk ke 4 kalinya. Akhirnya, beliau memiliki 2 orang putra, dan suaminya pun meninggal dunia.
Ya, di kampung Ibu ku yang masih kuno itu, anak perempuan sangat berarti, jadi Eyang memilih menikah lagi dengan suami kelima nya agar memiliki putri.
Suami ke lima nya memang keren. Ia memberikan 4 orang anak perempuan, salah satunya Nenek ku.
Nenek ku menikah muda, kata beliau saat itu umur beliau 12 tahun. Ya, mungkin zaman dulu kala, menikah muda itu biasa kali ya?
Kakek dan Nenek ku memang top cer! Keren banget lah pokoknya.
Mereka memiliki 11 orang anak, dengan 3 orang putra dan 8 orang putri. DAEBAK!!!
Diantara 8 orang putri itu, salah satunya Ibu ku.
Ayah dan Ibu ku adalah petani yang rajin, bukan hanya kerja keras dalam berkebun, tapi juga bekerja keras untuk mengalahkan Nenek dan Kakek ku dalam bercocok tanam manusia. Tapi, tetap yang lebih hebat Nenek dan Kakek ku. Soalnya Ayah dan Ibu hanya memiliki 9 orang anak. Sedangkan Nenek dan Kakek memiliki 11 orang anak.
Hehehehe...
Aku?
Aku tentu saja anak pertama dari 9 orang bersaudara. Alasan ayah dan Ibu ingin memiliki anak tiap tahun, dengan alasan ingin memiliki 3 orang putri. Namun, yang keluar adalah 8 orang putra. Dan Aku, tetap menjadi putri satu-satunya.
Aku juga cucu pertama dari suku ku. Dan lucunya, dari 4 orang nenek ku itu, mereka sangat susah memiliki cucu perempuan. Dari 199 cucu di suku ku, hanya 5 orang cucu perempuan. Salah satunya A.K.U.!!!
Seperti yang sudah ku beritahu, dari perut nenekku, aku memiliki 8 orang Tante yang ku panggil dengan sebutan : Mama, Mami, Ibu, Umi, Amak, Iyaik, Bunda, dan Uncu.
Sedangkan pamanku : Makdang untuk Paman pertama, Makngah untuk Paman kedua dan Acik untuk Paman ketiga.
Dan ada beberapa panggilan lainnya untuk Tante-tante dan paman sepupu Ibuku, dari yang adik beradik dengan Nenekku
Bisa di bayangkan kan? Dari 199 cucu dari perut Eyangku, hanya 5 orang perempuan. Dan pemuda-pemuda yang menangkap ku ini adalah Adik Kandung dan Adik sepupuku.
Aku juga memiliki Paman dari sepupu Ibu ku yang masih muda, sebaya denganku, bisa menjadi teman bermain untukku. Jadi, jangan salahkan sifat ku yang sedikit tomboy ini, karena lingkungan ku di penuhi laki-laki.
Eyang adalah Tetua yang paling tua di sini, dan 2 orang putranya, Inyiak dan Angguik, itu lah panggilan kami kepada mereka berdua.
Dulu, Datuak atau Kepala Suku ku adalah Inyiak, namun Ia mengalihkan nya satu tahun yang lalu kepada Paman pertamaku. Ya, beliau Kakak laki-laki ibu ku yang pemarah itu yang menjadi Datuak.
Sekarang umurku 21 Tahun, aku tamatan SMA tahun 2003. Dan 2 Minggu lagi, Aku akan menikah dengan pria asing yang sama sekali tak ku kenali.
Semua adik-adik ku memanggilku dengan panggilan Uni, artinya Kakak perempuan.
Kami sampai dan mobil pun berhenti, Adik ku yang berbadan tinggi besar itu, kembali menggendongku keluar dari mobil L300, seperti menggendong semen satu karung.
Aku di dudukan di atas sofa, di kelilingi oleh banyak orang, diantaranya ada Paman serta para Istri paman dan lainnya.
“Mulai sekarang, kau tak boleh kemana-mana lagi, Ros. Kau harus di rumah sampai pesta pernikahan.” jelas Paman pertama.
“Mahar dan pakaian nikah sudah kami bahas tadi. Jangan membuat keluarga malu, mengerti!” sambung Paman pertamaku lagi dengan tegas.
Aku diam membatu, ingin sekali rasanya aku berteriak dengan lantang. “Menikah saja kalian, kenapa suruh aku!! Emang ini zamannya Siti Nurbaya yang dipaksa menikah sama Datuak Maringgih! Padahal ini zaman kemerdekaan, Demokrasi, bebas mengeluarkan pendapat!” Dan tentu saja aku hanya berani melawan dan bergumam dalam hati.
“Kalian semua, kalian jaga Uni kalian, jangan biarkan dia membuat onar dan masalah, mengerti?!” perintah Paman pertamaku.
“Mengerti Makdang.” jawab mereka serempak.
“Kau juga Valdo, jangan kau ajak lagi dia keluar, kalau kau di ajak sama Rosa keluar, jangan pergi. Kau mengerti?” tanya Paman pertama pada Boy.
“Iya Pak.” jawab Boy.
Syukurlah Boy terlihat baik-baik saja, namun dia juga di seret sampai ke rumahku. Bahkan, Etek Inah, Ibunya Boy juga duduk di sini.
°°°
Bukittinggi, 25 Mei 2006
Langit yang terlihat gelap, serta air hujan yang membasahi bumi. Ku pandangi air yang mengalir dari cipratan hujan yang mengembun di jendela kamarku senja ini.
Kamar ku luasnya 5x4 m, dan ada kamar mandi di dalamnya. Aku duduk di tepi ranjang baru ku, ranjang spring bed Kangaroo Luxury dengan ranjangnya berwarna coklat tua, dan matrasnya berwarna coklat muda.
Semua isi kamarku diganti menjadi barang-barang baru, dan di sulap menjadi indah. Kelambu berwarna merah dengan renda-renda keemasan. Bunga-bunga di dinding kamar, bahkan loteng dan lampu pun di sulap sedemikian rupanya.
Beberapa hari lagi aku akan menikah dan melangsungkan pesta pernikahan. Aku benar-benar terkurung seperti burung di rumah, Boy tidak bisa menemuiku, mungkin juga di larang oleh Etek Inah.
Kabarnya, calon suamiku itu berumur 28 Tahun, dulunya dia tamatan pesantren Padang Panjang. Apakah aku akan menikah dengan om-om yang memakai sarung, atau memakai celana gantung dan memiliki jenggot yang panjang?
Hm... Entahlah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!